photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label Papua Merdeka. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label Papua Merdeka. Tampilkan semua postingan

    Papua Merdeka Bukan Tidak Berdasar- Petinggi Negara dan Uud Negara Ini Turut Mendukung Kemerdekaan Papua

    Papua Merdeka Bukan Tidak Berdasar- Petinggi Negara dan Uud Negara Ini Turut Mendukung Kemerdekaan Papua

    "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
    Dengan demikian jelas bahwa Papua memiliki hak prerogatif untuk merdeka di atas tanahnya sendiri.
    Persoalan ini bukan hal baru di Indonesia. Banyak petinggi  di negara ini beranggapan. Kedaulatan lebih tingggi dari pada hak asasi manusia dan konstitusi negaranya sendiri. Sehingga jangan heran korban pelanggaran Ham berat selalu saja  berjatuhan di negeri ini. Terlebih khusus di Papua.
    "Jika Pemerintah Indonesia tidak menghormati kontrak karya yang dibuat pada era Presiden Soeharto, maka tak akan ada investor yang mau datang ke Indonesia," kata Henry Kissinger waktu itu

    Tapi ancaman mantan Menlu AS ini tidak digubris oleh Gus Dur. Ia tetap meminta instansi terkait untuk mengevaluasi kembali kontrak kerja PT Freeport, dengan satu pesan: "Jangan Gadaikan Masa Depan Papua ! (muslimoderat.com)
    Saat itu Wiranto masih menjabat Menko Polkam dan melapor ke Pak Presiden Gus Dur terkait pengibaran bendera OPM, Bintang Kejora.

    "Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora," ujar Mubarok menirukan Wiranto saat melapor.

    Mendengar laporan tersebut, kemudian GusDur bertanya, "Apa masih ada bendera Merah Putihnya?" tanya Gus Dur .

    "Ada hanya satu, tinggi," ujar Wiranto sigap.

    Mendengar jawaban itu, Gus Dur kemudian menjawab, "Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul," ujar Gus Dur santai.

    "Tapi Bapak Presiden, ini sangat berbahaya," sergah Wiranto .

    Gus Dur pun marah dan segera mendamprat Wiranto , "Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul! Sepak bola saja banyak benderanya!" ucap Gus Dur. (Mereka.com)
    "Bintang kejora bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri," kata Gus Dur kepada wartawan di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (6/7). (Merdeka.com)
    Jika dicermati  perkataan beliau dari  dua kutipan di atas. Terkandung makna filosofis yang sangat mendalam. Satu hal yang seharusnya negara ini belajar  dari Gusdur. "Bukan tidak mungkin, beberapa tahun lagi sikab dan cara pandang negara ini terhadap orang Papua yang akan melepaskan Papua dari negara ini"
    “Apakah kita masih harus mempertahankan Papua? Bagaimana kalau dilepaskan saja? Rumit!”

    “Saya dulu jg berpikir, Papua harus dipertahankan dg harga apapun. Tp saya merasa pikiran saya itu kok naif,” sambung Ulil.
    Mengapa Papua sebaiknya dimerdekakan, Ulil beralasan: “Biaya mempertahankan Papua mahal sekali. Sudah begitu, apapun yg diperbuat pemerintah pusat, akan dianggap salah terus. Capek!” (Forum Kompas)
    Jakarta sama sekali tidak tertarik dengan orang Papua tetapi Jakarta hanya tertarik dengan Wilayah Irian Barat. Jika inginkan Kemerdekaan, maka sebaiknya minta kepada Allah agar diberikan tempat di salah sebuah Pulau di Samudera Pasifik, atau menyurati orang-orang Amerika untuk mencarikan tempat di bulan’’ (Ali Murtopo, Komandan OPSUS)
     
    Ya pergi saja mereka ke MSG sana, jangan tinggal di Indonesia lagi
    Poin utama dari isi artikel ini adalah anda harus mengetahui  tuntutan  rakyat Papua untuk  merdeka bukan hanya keinginan Orang Papua. UUD di negera ini dan para petingginya pun turut mendukung tuntutan tersebut. 
    Negara ini harus tahu. Saat ini rakyat Papua sedang berada diposisi Indonesia yang juga pernah berjuang untuk merdeka dari penjahaan Belanda.  Dengan demikian pelabelan yang lahir dari negara ini untuk orang Papua, juga  merupakan regenerasi dari pelabelan Belanda terhadap orang Indonesia. Bagaimana tidak. Jika, hukum di negara ini pun diadopsi dari negara kincir angin ?
    Setelah Anda membaca Artikel Ini. Apa tanggapan Anda?
    Situs ini adalah situs online aktivis suara papua merdeka yang dikembangkan oleh Biro Media dan Propaganda Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang-Surabaya. Anda diperkenankan untuk BERBAGI (menyalin dan menyebarluaskan kembali materi ini dalam bentuk atau format apapun) dan ADAPTASI (menggubah, mengubah, dan membuat turunan dari materi ini untuk kepentingan apapun, termasuk kepentingan komersial). Informasi dalam situs ini masih harus dikonfirmasi kepada pengelola situs di melanesiapost@gmail.com (Activis Independence of Papua/Pengembang Situs)

    Jekson Ikomou:Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua


    Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua

     Oleh Jekson Ikomou
     AMP KK Bandung

    Pemerintah Indonesia berusaha meredamkan Ideology Papua  Merdeka melalui Otonomi Khusus (OTSUS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun sayangnya Undang-Undang tersebut Gagal.  Nasionalisme Papua terus tumbuh. Bukan Nasionalisme Indonesia. Orang Papua tidak percaya dengan Pemerintah Indonesia.

    Hal subtansi permasalahan Papua adalah sejarah masa lalu, pelanggaran HAM, dan kondisi hidup bersama lebih dari 40-an tahun ini. Pelanggaran misalnya, Negara habiskan  Ribuan Orang Papua yang tak berdosa melalui berbagai Operasi Militer Indonesia di Tanah Papua. Hal ini tidak mematikan gerakan merdeka.
    Jika melihat sejarah, Papua merupakan sebuah Negara. Ia  merdeka pada tanggal 1 Desember 1961. Namun, Pemerintah Indonesia secara paksa mengklaim Papua sebagai bagi dari Indonesia dengan kekuatan Militer yang disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA), sehinggah Amerika memanfaatkan peluang demi kepentingan ekonominya  (salah satunya PT. FI).

    Dan hinggah kini, Lembaga-Lembaga Peneliti kemukakan, PT. FI merupakan akar permasalahan di Papua. Bahkan, Rakyat pun mengatakan bawah Freeport  merupakan salah satu perusahan yang memakan ribuan korban orang Papua. Ribuan orang Papua  menuntut PT. Freeport  harus ditutup melalui berbagai aksi damai. Namun, sayangnya pihak Pemerintah Indonesia menutup ruang Demokrasi bagi Orang Papua melalui kekuatan Militer Indonesia.

    Keadaan ini membuktikakn bahawa Indonesia benar-benar gagal Indonesiakan orang Papua. Indonesia gagal di semua bidang pembangunan untuk orang asli Papua. Karena itu, orang Papua berpikir bawah Indonesia sedang menjajah kita. Jika dibilang orang Papua dijajah memang benar, karena mengingat permasalah yang terjadi selama ini.

    Di Atas Luka Otsus Muncul  UP4B

    Otsus adalah peluang untuk sejahterakan Orang Papua. Namun Gagal. Lalu, muncul lagi  sebuah yang sebut dengan Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Program kerja yang disusun dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua Barat (UP4B) ini seperti dengan Program kerja OTSUS.

    UP4B masih bicara sebatas keadilan pembanguna di Papua. Ia bicara soal pendidikan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur. Ia tidak bicara soal pelanggaran HAM, tidak bicara soal dialog, tidak bicara soal sejarah Papua. Orang Papua berpendapat apa bedanya OTSUS dengan UP4B?

    Banyak Rakyat Papua mengatakan, “Unit Perepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) bukan solusi untuk perdamaian di Papua, Perdamaian di Papua adalah Referendum”. Rakyat Papua menilai janji-janji pembangunan yang mereka temui di Papua adalah operasi-operasi Militer, pembunuhan sana-sini, perusahaan-perusahaan raksasa yang mengancan keberadaan masyarakat adat, dan lainya. Semuanya merusak dan menguras.

    Nah sekarang, jika Pemerintah Indonesia punya hati untuk membangun Papua tarik Militer dari Papua baik organik maupun non-organik. Lalu, adili semua pelaku pelanggaran HAM sejak tahun 1961, gelar dialog damai, Jakarta-Papua.

    Tapi, Indonesia harus ingat bahwa Papua Merdeka itu telah menjadi darah daging orang Papua. Dengan cara dan pendekatan apapun tidak akan pernah dipatahkan. Otsus adalah luka. Di atas luka Otsus lahir luka baru, UP4B. Kemudian, selanjutnya apa? Tunggu hari untuk menuai Kemerdekaan bagi Bangsa Papua Barat.

          Oleh Jekson Ikomou
          AMP KK Bandung Jawa Barat

    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    "Berilah Kemerdekaan Kepada Suku-Bangsa Papua Barat sebagai Hadiah Millennium Baru"

    Kalau Jakarta mau menjadi pemain politik dan pemeran dalam politik internasional, tidak salah kalau saya secara jujur mau sarankan: "Berilah Kemerdekaan Kepada Suku-Bangsa Papua Barat sebagai Hadiah Millennium Baru" , daripada dirampas dari tanganmu, atau daripada orang asing todong Jakarta untuk lepas tangan atas Papua Barat." Itu kenyataan, dan itu secara politis, ekonomis, dan historis bermanfaat bagi Jakarta. Kalau itu tidak terjadi, marilah kita menghiningkan cipta, atas gugurnya Jakarta dan kejayaannya; - kalau bukan besok, ya lusa.

    Kebersamaan Dalam Perjuangan

    Kebersamaan Dalam Perjuangan Dalam Menghasislkan Karya-Karya Nyata Yang Berprofesional, Good Cooprate Creatif, Inofatif, dan Interaktif Yang Tiada Henti

    “Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk, karena kalau tidak, mereka akan bergerak untuk memberontak. (hal. 37). …Penghancuran kebanggaan pribumi dipandang sebagai suatu kebutuhan; karenanya dilakukan pencemaran watak pribumi” (hal. 44), ( S.H. Alatas).

    "Kami Tolak Otonomi Khusus Plus, Kami Mau Referendum Itu Harga Mati"

    Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang menyatakan menolak perubahan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Tahun 2001 menjadi Otonomi Khusus Plus. Perubahan yang direalisasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menandatangani Surat Presiden (Surpres) Otonomi Khusus Plus, Kamis, 18 September 2014, itu dianggap sia-sia dan membuang waktu.

    "Yang kami minta adalah duduk bersama dalam satu meja dan berbicara mengenai persoalan Papua,"

    Problem Papua tak bisa diselesaikan dengan cara yang sederhana seperti memberi otonomi atau kucuran dana tiap tahun. Itu pun (dana) dinilai tak jelas penyerapannya dan hilang entah kemana. "Pejabat Papua hanya menginginkan uang untuk kepentingan mereka, sementara rakyat kecil terus menderita,"

    Orang Papua menuntut merdeka bukan karena mereka terpinggirkan atau jauh dari sejahtera, tapi karena hak politik mereka dirampas.

    "Kami tolak otonomi khusus plus. Kami mau referendum, itu harga mati,"

    Arti Papua Merdeka

    Apa Artinya Papua Merdeka

    Pengantar
    "Merdeka" atau "Papua Merdeka", yang dulunya kata "racun" bagi Indonesia, kini menjadi "kata angin lalu." Bagi masyarakat Papua, kata ini menjadi simbol expresi jatidiri suku-bangsa Melanesia terhadap penjajahnya suku-bangsa Proto-Malay. Ini arti di permukaan yang dapat dijawab oleh anak berumur 3 tahun di Jl. Bestuur Sentani. Tetapi kalau pertanyaan yang sama diajukan kepada Pak Menpan, atau menteri otonomi daerah, maka apakah kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Mr President, lalu apa kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Moses Weror di PNG atau Viktor Kaisiepo di Holland, maka apa yang mereka maksud? Kalau kita tanya kepada Aliansi Mahasiswa Papua, maka apa pengertian mereka?

    Arti leksis
    Secara leksis, kata "merdeka" dalam bahasa Inggris berarti "terlepas" (independent), atau "tidak tergantung." Lawan katanya "dependent" artinya "tergantung. " Kata merdeka berkonotasi melepaskan diri dari suatu ketergantungan. Ketergantungan itu dapat diartikan dalam segi politik, ekonomi, sosial, teknologi, ilmu-pengetahuan, dan lain sebagainya.

    Pertanyaan selanjutnya barangkali "tergantung kepada apa atau siapa" dan "terlepas dari apa atau siapa." Nah, di sinilah kita kewalahan, terutama kalau Indonesia juga masih "tergantung" kepada entah sesuatu atau seseorang. Alasan yang mudah karena ketergantungan Indonesia tidak menjamin independent Papua Barat. Dengan kata lain, Indonesia sendiri masih tergantung kepada seseorang dan sesuatu, jadi kalau ditanyakan untuk melepaskan Papua Barat, hal itu menjadi sakit kepala yang bukan main hebatnya.

    Selanjutnya, kita perlu bertanya, "Ketergantungan dalam bidang apa dan untuk kepentingan apa?" Jawabannya bagi Jakarta masih kabur. Itulah sebabnya Jakarta dicap tidak tegas dan KJ.

    Untuk menjamin Papua Barat independent, itu sebenarnya berarti sebuah langkah ke arah independent buat Jakarta, karena aneksasi Papua ke dalam Indonesia sebenarnya bukan tanda kemerdekaan Indonesia, tetapi justru tanda bahwa Jakarta itu belum independent secara arti leksis. (Di sini bukan tempatnya untuk membuktikan apakah Indonesia itu suatu negara yang merdeka atau tidak, yang berhak adalah Mas Amin Rais, Pak Wahid, Mbak Mega, Pak Wiranto, dll. untuk mengkleim kalau mereka memang merdeka dan membuktikannya, paling tidak kepada rakyat Papua Barat.)

    Arti Politis
    Secara politis kemerdekaan suatu suku-bangsa secara umum dimengerti sebagai suatu kelompok manusia, dengan batasan-batasan geografis, politis, kultural dan historis secara unik dan khas dan memiliki cukup sumberdaya manusia untuk menjalankan pemerintahan, yang dikepalai oleh seorang kepala negara, sayang sekali, yang juga diakui oleh suku-bangsa yang sudah merdeka.

    Sudah pasti, legitimasi Indonesia di tanah Papua dapat dengan mudah diragukan. Pelanggaran pertama karena invasi tahun 1962 adalah invasi militer. Lalu Pepera tahun 1969 adalah ilegal. Lalu satu-demi-satu manusia Papua dihabiskan dengan berbagai kebijakan seperti peracunan makanan, keluarga berencana, kebijakan pendidikan, transmigrasi, penerimaan pegawai, dll. Walaupun beberapa negara se-ras kita di Afrika sudah pernah menyatakan keberatan mereka untuk mengakui invasi Indonesia akhir tahun 1960an, badan bergengsi sedunia PBB telah mensahkan invasi ilegal Indonesia, dan kini Indonesia menikmati kekayaan Papua secara luar-biasa.

    Tetapi angka 10 bagi Jakarta, karena telah menang dalam diplomasi politiknya sampai hari ini Papua masih dikleim sebagai wilayahnya dan dunia masih mengakui kleimnya. Kini, kalau kita tanya Perdana Menter sesuku-sebangsa di kota Port Moresby, yang konon punya nenek-moyang satu mama-satu-bapa itu akan menjawab "West Papua is part of Indonesia." Sungguh, betapa teganya dia bisanya menangkal suku sendiri. Kalau kita bertanya kepada Australia sebagai negara barat terdekat di Pacific, kebanyakan yang kita dengar seperti ini: "Kita telah habiskan orang Aborigin di benua ini. Kita telah buru mereka seperti binatang. Mereka kini hanya ratusan orang. Jadi, kalau Indonesia berbuat serupa, itu sebenarnya sama dengan kita. Jadi kalau kita menegur Indonesia, itu suatu kesalahan besar, karena Australia mempunyai rekor biadab dalam memperlakukan teman-teman kita orang Aborigin."

    Kalau kita memohon bantuan kepada orang Amerika Serikat, maka jawabannya serupa dengan jawaban Australia. Orang-orang putih di Amerika berasal dari Eropa. Mereka menginjakkan kaki di benua itu dan telah memburu orang Indian American secara membabi-buta dan habis-habisan. Bangsa Eropa menyisihkan waktu-waktu luang mereka untuk berburu. Yang diburu bukan binatang, tetapi apa yang kita kenal sebagai Indian-American, teman-teman Anda, pemilik benua yang kini kita sebut Amerika. Film-film cowboy menunjukkan sedikit sisah-sisah yang mereka tinggalkan. Mereka kuta, mereka gagah, mereka lebih beradab daripada orang Eropa. Tetapi sayang, mereka telah diburu, dihabiskan dengan meracuni makanan, dengan keluarga berencana, dengan meracuni air mereka, dengan mensenjatai kelompok-kelompok yang bertikai dan dengan mencap mereka sebagai teroris. Ingat, kata teroris berasal dari Amerika Serikat untuk mencap masyarakat pribumi yang keluar dan berteriak, "Ini tanah saya, hargai saya, jangan bunuh saya!"

    Kalau kita bermohon kepada Eropa, tanpa malu mereka akan mengatakan, "Indonesia is wrong. They must stop killing Papuans." Tetapi mereka juga ingat, paling tidak di bawah sadar mereka, bahwa mereka telah berbuat hal-hal yang jauh-jauh lebih jahat dan di luar batas peri-kemanusiaan kepada teman-teman seras dan sebangsa Anda di benua Afrika, di Selandia Baru, di Papua New Guinea, di negara-negara Pacific, di Benua Amerika, di Benua Australia, yang sampai saat ini mereka tidak pernah katakan, "We are sorry that we have killed you so much!"

    Jangan pernah lupa juga, bahwa mereka juga bertanggung-jawab atas penderitaan kita di tanah Papua. Mereka yang menjual pesawat pemburu bronco fighters dan hawks atau jet fighters. Jangan lupa bahwa mereka yang mensuplai senjata kepada militer Indonesia. Mereka yang melatih pasukan elite Indonesia yang kita tahu dengan nana Kopassus, dulunya Kopasanda. Mereka yang melatih dan mensuplai berbagai perlengkapan kepada Badan Koordinasi Inteligen Indonesia (BAKIN). Kalau kita melacak cara kerja BAKIN, maka Anda tidak perlu kaget melihat seluruhnya adalah foto-kopi operasi central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat. Dengan kata lain, BAKIN adalah cabang CIA untuk Asia Tenggara dan Pasifik. Kalau kita baca Kompas tanggal 2 Februri 2000, Inggris telah menjanjikan mensuplai peralatan dan pelatihan bagi kepolisian Indonesia. Dengan kata lain, Inggris tidak mau berhenti dan belum kenyang dengan pemburu, senjata, pelatihan pasukan elit dan berbagai kebrutalan tidak manusiawi di Indonesia yang telah mengakibatkan Jakarta harus hilang muka sebagai militer professional. Militer kini dicap buruk, dan sebagian tanggung-jawab ada di London, tetapi itu diabaikan. Malahan kerjasama militer mau ditingkatkan dengan bidang kepolisian. Banyak rakyat mati di Acheh, Timor Loro Sae, Papua Barat, Maluku, dll. dengan peluru Inggris dianggap kurang memuaskan? Barangkali Presiden kita mengangguk dan berterima-kasih atas tawaran tidak manusiawi itu. Tetapi sayang, kita kembali lagi, Indonesia sebenarnya kita perlu sangsikan, "Apakah memang sudah merdeka?"

    Secara politis, proklamasi sudah diucapkan tepat tanggal 17-8-1945 jam 10:am di Pegangsaan Timur Jakarta, tetapi lonceng ucapan proklamasi kemerdekaan policy dan ekonomis belum pernah terdengar, paling tidak di telinga orang Papua.

    Arti Ekonomis
    Jangan lupa bahwa politik era 21 adalah politik bermuatan ekonomis. Tidak ada kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan keuntungan secara ekonomis. Kalau politisi saat ini hanya memikirkan politik, dan mengabaikan ekonomi, maka politisi seperti itu disebut politisi purba dan tak mungkin mereka dipilih di panggung politik.

    Sebelum kita lanjut, kita perlu tahu latar-belakang politik bermuatan ekonomis ini. Pertama, kalau kita lihat era kolonialisme, tujuan utama adalah masih sama, yaitu untuk mencari harta-benda dan membawanya kembali ke negara asal mereka. Kita lihat Maluku sebagai kota rempah-rempah. Kebanyakakan rempah-rempah sudah dibawa ke Eropa. Kita lihat emas dan perak di Afrika dan New Guinea. Semua yang digali dibawa ke Eropa.

    Kini, sejak Amerika Serikat berdiri, sebagai negara yang sudah bebas dari kolonialisme Inggris, ia tidak menolong bangsa-bangsa yang masih terjajah seperti Indonesia dan negara lain di Afrika dan Asia. Ia tampit sebagai negara adikuasa yang anti kolonialisme, tetapi yang tak mau mengakui diri sebagai kekuasaan imperialisme abad 20 dan barangkali juga abad 21. Apa yang dibuat AS adalah merutuhkan kolonialisme, dan secara otomatis mendirikan koloninya sendiri yang disebut neo-colonial power. Saya curiga, Indonesia adalah negara utama dan anak kesayangan neo-colonial power dari Amerika Serikat. Anda bisa keliling dunia dan baca peta politik AS. Indonesia adalah biji mata AS.

    Di Inggris, AS da berbagai negara maju sedang digalakkan kampanye-kampanye untuk memotong utang "negara berkembang." Ada politisi yang sudah mulai mengumumkan kedermawan mereka "memotong utang." Mereka dipuji karena kebijakan-kebijakan berani mereka itu. Tetapi kalau kita lihat secara ekonomis, sebenarnya mereka tidak menghapuskan, tetapi mereka merubah bentuk utang, dari utang keuangan menjadi utang moral. Utang keuangan akan habis saat dibayar, sedangkan utang moral tidak akan pernah habis, karena utang itu sudah dihapus.

    Utang moral itu sebenarnya sama dengan bentuk kolonialisme termutakhir dalam peradaban kita. Untung bagi Indonesia, karena utangnya belum dihapus. Ada NGOs di Indonesia yang secara ignorant berkampanye untuk menghapus utang, tetapi sayang mereka belum paham apa implikasi masa panjangnya. Mereka yang berkampanye memilik alasan yang manusiawi dan masuk akal, antara lain bahwa rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan yang digariskan oleh Bank Dunia. (Perlu diingat di sini dengan baik bahwa garis-garis yang dipatok oleh Bank Dunia sebagai negara maju, sedang berkembang dan terbelakang itu menggunakan patokan Barat dan modern, yang jelas-jelas tidak pas dengan patokan kita orang Papua. Misalnya, orang yang mengenakan koteka dianggap Bank Dunia sebagai di bawah garis kemiskinan. Benarkan? Aneh, tetapi nyata, maaf, di sini bukan tempatnya membahas ini.)

    Kini kita bisa bertanya, apakah Indonesia sebenarnya sudah merdeka secara ekonomis? Kalau Indonesia sudah merdeka, maka kemungkinan besar sikapnya adalah bukan menahan-nahan tetapi malahan menawarkan kemerdekaan kepada daearh yang sedang menuntut. Sebenarna daerah-daerah tidak perlu menuntut karena toh ditawarkan. Tetapi saat ini secara ekonomi, Indonesia masih dijajah,karenanya sulit bagi Jakarta untuk mengambil sikap. Sikap plin-plan dan enggan dari Jakarta merupakan sinyal yang cukup jelas bahwa Jakartapun tidak mau menuntuk kemerdekaan ekonomisnya dari penjajahnya. Kalau ini keadaanya, maka kemerdekaan politik bagi Papua masih jauh dari kenyataan di mata Jakarta.

    Arti Sejarah
    Kalau kita lihat dalam sejarah peradaban manusia, kita dapat mengerti bahwa kemerdekaan suku-bangsa Papua adalah sudah wajar dan sudah saatnya untuk diakui. Kalau kita melihat arti ekonomis di atas, maka hal yang lebih bijaksana kalau Jakarta mengatakan "Papua Merdeka!" daripada mempertahankannya, dan akhirnya Jakarta sendirilah yang menelan pil pahit dan kerugian secara ekonomis dan politis.

    Perjuangan Papua Barat bukan hanya sekedar untuk lepas dari neo-kolonialisme Indonesia. Kalau kita berpandangan demikian, perlu kita pikir ulang. Perjuangan hakiki bangsa Papua adalah untuk terlepas dari jurang-jurang maut yang telah digali sejak Order Baru menginjak kaki ke dalam rumah orang Indonesia. Dengan kata lain, "Kita tak mau tanggung resiko dosa-dosa Orde Baru!" Perjuangan ini adalah perjuangan antara masyarakat pribumi dan dunia adikuasa yang mau mengisap semua harta kita. Pastilah Sri Sultan Hamengkubuwono setuju dengan pernyataan ini. Perjuagan ini perjuangan untuk respect atas jati-diri dan harga diri manusia Papua yang diabaikan atas kepentingan dunia Barat.

    Beberapa waktu silam Amin Rais pernah berkata bahwa Indonesia perlu disatukan agar daerah-daerah di Indonesia tertolong dari genggaman negara-negara luar. Barangkali beliau salah. Yang harus dibuat Jakarta adalah bukan mempertahankan kesatuan, tetapi malahan memberikan keluasan seluas-luasnya, bahkan menawarkan federasi atau bahkan kemerdekaan. Jakarta tidak boleh menunggu desakan Amerika Serikat, Jakarta tidak perlu minta dukungan Eropa, Jakarta tidak perlu menjilat telapak kaki IMF. Jakarta perlu mejadi "Kakak yang berbesar hati." Jakarta perlu menjadi "otak di balik pemain" bukan pemain bola. Kedudukan Jakarta perlu dirubah supaya Jakarta berfungsi dengan tepat.

    Agak aneh kalau orang Papua harus minta tolong kepada bangsa Amerika yang tak manusiawi menggali segala harta di Papua sejak 1960an. Lihat semua perusahaan tambang, perusahaan kayu, perusahaan ikan, perusahaan minyak, dll. di tanah Papua. Agak aneh kalau orang Papua menoleh kepada Inggris atau Belanda yang nalurinya kolonial, yang meninggalkan tanah Papua tanpa belas kasihan. Lebih aneh lagi kalau orang Jawa tidak bisa menolong tetangga terdekatnya yang menderita karena ditindas. Apakah Jawa mau berteman dengan orang asing? Apakah Jawa mau jadi sekutu orang jauh? Kalau begitu sampai kapan sekutu itu berjalan? Sampai kekeyaan semua dibawa keluar dari Indonesia, keharmonisan itu pasti akan lenyap, dan Jawa akan merayap kembali. Teman terdekatnya adalah Sumatra, Borneo, Sulawesi, Bali, Maluku dan Papua. Kalau Jawa tega memperlakukan tetangganya seperti ini dan malahan orang jauh seperti Amerika Serikat yang harus datang membela Papua, maka apa ini yang terjadi? Kalau Jawa tidak manusiawi karena mau bersahabat dengan orang Barat, maka apa untungnya?

    Kita patut menyesal bahwa TNI masih mau mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan. Kita perlu sesali bahwa mereka tidak menunjukkan penyesalan sedikitpun. Ini kelemahan kita semua, kelemahan politik dan kelemahan kedewasaan berpolitik. TNI belum paham apa artinya politik di era globalisasi dan abad 21. Sikap TNI tentu merugikan semua bangsa Indonesia, bukan TNI sendiri. (Saya tidak mau menjadi guru politik di sini!)

    Kalau kita melihat saat Papua menjadi bagian Indonesia, itu terjadi berkat masa dekolonisasi, di mana suku-bangsa dan pulau yang berada di bawah kolonialisme diberi waktu untuk memilih merdeka atau bergabung dengan negara yang sudah merdeka, dalam hal ini Papua dengan Indonesia. Ini sejarah yang kita semua tahu. Dan ini berdasarkan deklarasi PBB tentang dekolonisasi yang tentu diprakarsai AS dan didukung penuh AS akhir 1950an.

    Sejarah itu berlanjut. Sekarang kita sudah ada dalam tingkat peradaban dan tingkat management of governance yang canggih. Kini saat di mana Jakarta perlu bertanya kepada semua teman-teman dekatnya, dan semua negara donor, semua negara pendukungnya yang sementara ini mengatakan, "Kita ingin melihat Indonesia menjadi satu!" Ini sama dengan dulu Harmoko bilang, "Rakyat mau Suharto tetap menjadi Presiden!", tetapi tidak lebih dari 5 bulan kemudian mengatakan: "Saya telah memimpin rapat untuk meminta President Suharto mundur!" Ada pepatah Papua, "Lebih baik teman yang membunuh saya daripada musuh!" Artinya, lebih baik Jakarta mendengar orang Indonesia sendiri daripada menguping ke negara luar, yang jelas-jelas bukan orang Indonesia.

    Saya terkesan mendengar salah seorang professor di UGM yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini belum beradab. Peradaban Indonesia itu belum mencapai tingkat manusiawi karena sikap dan paham yang keliru. Salah satunya ditunjukkan TNI dan mereka yang percaya bahwa Indonesia masih bisa tinggal sebagai negara kesatuan.

    Penutup
    Politik era 21, kalau kita melihat sejarah politik adalah lebih condong politik yang bersifat reaktif, bukan lagi antisipatif. Artinya, kebanyakan politisi perlu belajar bagaimana merespon kepada dilema dan dinamika hidup rakyat mereka, daripada meletakkan dasar-dasar politik, dan ilmu politik serta best-practice of politics dan memaksakan diri untuk menerapkannya. Praktek politik yang memaksakan filsafat dan idealisme telah terbukti berbahaya bagi politisi sendiri. Makanya, kalau Jakarta mau menjadi pemain politik dan pemeran dalam politik internasional, tidak salah kalau saya secara jujur mau sarankan: "Berilah kemerdekaan kepada suku-bangsa Papua Barat sebagai hadiah Millennium Baru, daripada dirampas dari tanganmu, atau daripada orang asing todong Jakarta untuk lepas tangan atas Papua Barat." Itu kenyataan, dan itu secara politis, ekonomis, dan historis bermanfaat bagi Jakarta. Kalau itu tidak terjadi, marilah kita menghiningkan cipta, atas gugurnya Jakarta dan kejayaannya; - kalau bukan besok, ya lusa.

    IF ONLY...
    If only I were a Javanese,
    I would have let West Papua people to be free
    If only I were a Javanese,
    I would have supported West Papua to be free
    If only I were a Javanese,
    I would have admitted that I myself am not free
    If only I were a Javanese,
    I would have pressured Jakarta, to let West Papua be free
    If only I were a Javanese,
    I would have agreed, that it is time now to offer freedom to West Papua If only I were a Javanese,
    I would have no trust to politicians from the USA and Europe
    If only I were a Javanese,
    I would have build strong solidarity within Indonesia by giving independent to each outer-island demanding it, even before that
    If only I were a Javanese,
    I would have offered the independence to West Papua
    If only I were a Javanese,
    I would have been wiser than I am now
    Anyway, IF ONLY... !

    Pesan dari Kampanye Papua Merdeka Barat

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta WPNews - SPMNews Group Online
    Papua Barat pada hari dalam pakaian tradisional
    Papua Barat pada hari dalam pakaian tradisional

    Pesan dari Kampanye Papua Merdeka Barat

    Kampanye Papua Merdeka Barat sangat senang bagaimana hari berkembang dan sangat berterima kasih kepada semua pihak yang membantu untuk mengkoordinasikan dan mengaturnya termasuk Himpunan Mahasiswa Papua Barat UPNG dan Gubernur NCDC Powes Parkop. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih semua orang yang dilakukan pada hari seperti Sir George Telek, Basil Greg dan banyak tari dan musik kelompok Papua Barat yang juga berpartisipasi. Akhirnya kami ingin berterima kasih kepada semua orang-orang dari seluruh Papua Barat dan PNG yang hadir hari bersejarah ini dan mengangkat banyak kesadaran dibutuhkan dan dukungan untuk Papua Barat.

    Kami sangat yakin dengan dukungan yang kuat dan meningkat untuk Papua Barat dari dalam Papua Nugini. Kami terus memobilisasi solidaritas lebih lanjut untuk Panduan Papua Barat dari seluruh PNG, termasuk melalui lobi anggota parlemen dan organisasi sipil.

    Sekali lagi, sangat besar Terima kasih kepada semua orang yang hadir hari dan yang terus membantu dan meningkatkan kesadaran tentang perjuangan ini untuk Gratis Papua Barat.

    Orwell would recognise the logic of postcolonialism at play in West Papua

    morgangodfery

    Orwell would recognise the logic of postcolonialism at play in West Papua

    In many respects, the West Papuan struggle is the story of Indigenous peoples the world over: exploitation



    ——————————————————————————————
    Papuan activists clash with police guarding a building housing the office of US mining giant Freeport in 2006.
    Papuan activists clash with police guarding a building housing the office of US mining giant Freeport in 2006. Photograph: Ed Wray/AP
     Few people know that George Orwell, better known as the author of the dystopian novel 1984, is one of the earlier founders of postcolonial studies. Orwell’s best known contribution to the field is Burmese Days, but his earliest contribution was How a Nation Is Exploited – The British Empire in Burma. Published in the French journal Le Progrès civique, Orwell describes how the land, labour and resources of one country – that is, Burma – are used to finance the industrial development of another – in this case, Britain.
    “”Care is taken to avoid technical and industrial training [in Burma]. This rule, observed throughout India, aims to stop India from becoming an industrial country capable of competing with England.
    The role of the colony, then, is under-development for the sake of the coloniser’s development. This is the logic of colonialism.

    One might think this is merely of historical interest. If only. There is a newly industrialised country on our doorstep and it is using a colony to finance its growth. Orwell would recognise the coloniser – Indonesia – and the logic of colonialism in the West Papua region.

    Indonesia annexed West Papua in the 1960s. Thus began and thus continues the deadliest postcolonial struggle in Oceania. In the past half century the Indonesian security forces have killed as many as 500,000 West Papuans. Last year the Asian Human Rights Commission released The Neglected Genocide, a report on atrocities committed in 1977 and 1978. Survivors describe how they escaped the killing fields while others recount their run-ins with the torture squads. Violence wasn’t just something that happened in West Papua, it was a form of government.

    One would hope that, some 40 years later, things have improved. It doesn’t seem so. According to the Free West Papua Movement a local independence leader was shot dead on his motorcycle in June. The UNPO reports that local democracy activists have been beaten and arrested for handing out leaflets encouraging West Papuans to boycott last week’s presidential election. In the run up to the election the security forces were put on full alert.

    But why does Indonesia cling to West Papua? The basis of Indonesia’s claim to sovereignty is the farcical Act of Free Choice”in 1969. The act was a nominal referendum where a little over 1000 men – less than 1% of the eligible voting population – agreed to transfer sovereignty to Indonesia. The result was controlled – an act of forced choice – with the military carefully selecting and coercing the participants. The Indonesian government has exercised its claim to sovereignty at the end of an assault rifle ever since.

    But that claim is only a convenience. West Papuans are ethnically Melanesian and geographically part of Oceania – Jakarta acknowledges this much – but, importantly, the West Papua region is home to the world’s largest goldmine, third largest copper mine and rich mineral deposits. Freeport-McMoRan, the American company that operates the Grasberg mine, is Indonesia’s largest taxpayer. The company has contributed more than $12 billion to Jakarta’s coffers since 1991. Rather than relying on private security at the mine, Freeport-McMoRan pays the Indonesian security forces. Jakarta is happy to oblige.

    Orwell would recognise the logic of colonialism here. West Papua has largely missed the Indonesian industrial revolution, instead being compelled to finance it. In many respects the West Papuan struggle is the story of Indigenous peoples the world over: exploitation.

    Former Australian prime minister Robert Menzies warned of as much in the 1960s when he said that Indonesian control of West Papua would merely substitute white colonialism for “brown colonialism”. We did not listen then, will we listen now?

    Proklamasi Negaara Republik Papua Barat (NRPB)

    Proklamasi Negaara Republik Papua Barat (NRPB)


    Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. 


    Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem  sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai  sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.

    Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:

    PROKLAMASI
    Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
    Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure).
    Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.

    Victoria, 1 Juli 1971
    Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
    Seth Jafet Rumkorem
    (Brigadir-Jenderal)

    West Papua News Online Network

    WPNews Online



    INFO PAPUA : West Papua News
    Port Moresby - Free West Papua Campaign-PNG Coordinator, Mr Fred Mambrasar rallies Melanesian solidarity for West Papua as he gives an impassioned speech to the thousands of people gathered at the Melanesian Festival of Arts & Culture in Port Moresby, Papua New Guinea this month.




    PORT MORESBY – This month there is meeting to support West Papua struggle for independence and discussing issues of West Papua in the Melanesian region. In fact that, very good news has emerged from Papua New Guinea as some of the Free West Papua Campaign PNG team met with Melanesian leaders, including the new Prime Minister of Vanuatu, Joe Natuman during their recent visit to Port Moresby.



    INFO PAPUA : Editorial/ Opinion

    Indonesia’s military crackdown on the West Papuan independence movement
    Home to 3.5 million people, daily life in West Papua is characterised by widespread violence, intimidation and political suppression. On July 9, a boycott against the Indonesian presidential election was organised by activists – 14 of whom were reportedly tortured by the military and now reside in prison. Visit Website ]


    INFO PAPUA : Editorial/ Opinion : Media Opinion
    West Papuan political prisoners freed but vow to keep lobbying for independence
    Earlier this month, six activists from the National Committee for West Papua were reportedly arrested and beaten for distributing leaflets calling on the West Papuan people to boycott the presidential election. Visit Website ]



    INFO PAPUA

    Benny meeting UN representative Michael Møller, the Acting Head of the Economic Commission for Europe and the United Nations Office at Geneva.




    Nobel Peace Prize Nominee and Free West Papua Campaign founder Benny Wenda meets with United Nations Representatives and staff and speaks at the ‘Just Governance’ conference organised by the Initiative of Change IofC in Caux, Switzerland.



    INFO PAPUA : West Papua News

    Netherlands consul in Vanuatu welcomed

    The West Papua National Coalition for Liberation has welcomed the nomination of the Netherlands' Honourary Consul to Vanuatu, Elizabeth Van Vliet.




    INFO PAPUA : West Papua News

    Vanuatu to host West Papua groups
    Vanuatu is to host a major conference of West Papuan representative groups towards arranging a unified bid for membership in the Melanesian Spearhead Group. Visit Website ]



    INFO PAPUA : West Papua News

    Timika, KNPBNews - The Indonesian military and police continue to close and prohibit the democratic space to KNPB to express their opinions and freedom for speech in the public with peacefully in Timika. While the Parliament and the Government of Indonesia recognizes and Indonesian constitutions law allowed to the people to have right to assembly and freedom of speech in the public, but that law only applied to other part of the Indonesia province. It is not apply for West Papua.



    INFO PAPUA : West Papua News

    LONDON – Free West Papua Campaign solidarities with British Friends, Papua New Guinean, and New Caledonia join demonstration to Boycotting Indonesian colonial presidential election in outside of Indonesian Embassy London. The Free West Papua Campaign take action solidarity with their brothers and sisters in West Papua who is refused Indonesian presidential election on Wednesday 09/07/2014) two days ago in London.



    INFO PAPUA : West Papua News

    NETHERLANDS – Free West Papua Campaign Netherlands with Dutch citizens join demonstration outside of the Indonesian embassy to Boycotting Indonesian colonial presidential election. They solidarity with their brothers and sisters in West Papua who is refused Indonesian presidential election on Wednesday 09/07/2014) Den Hag, Netherlands.



    INFO PAPUA : West Papua News

    PERTH – Australia take action boycotting Indonesian criminal presidential election. Also this action was in memory of the Biak Massacre in 1998 and to end the brutality and human rights abuses against West Papuan people under Indonesian military regime who has been denied self-determination for over 51 years.



    INFO PAPUA : West Papua News

    DARWIN – Australian citizens demonstration outside of the Indonesian consulate in Darwin whereas many Indonesian people cast their vote today in Darwin in an election, while West Papua will boycott - not vote in spite of the violent threats made by the Indonesian Military on Wednesday 09/07/2014) Darwin, Australia.



    INFO PAPUA : West Papua News

    SYDNEY- Australian citizens’ demonstration outside of Indonesian embassy boycotting Indonesia colonial presidential election, but Indonesian embassy staff terrorised and intimidated Australian citizen who was taking part of demonstration. Indonesian embassy staff action increased their behaviours when tried to intimidate Australians who support West Papuan people’s struggle for free on (09/07/2014) Sydney, Australia.



    INFO PAPUA : West Papua News

    The “Bleed Black and Read Campaign”, base in Fiji and Vanuatu. This organisation strongly support their brothers and sisters who is living under Indonesia illegal occupation.

    Global day of protests for jailed journalists in West Papua

    Global day of protests for jailed journalists in West Papua


    Protest in UK for the release of French Journalists, Thomas Dandois and Valentine Bourrat
    The Free West Papua Campaign in the UK protests for the release of the journalists outside the Indonesian Embassy in London
    On Monday 25th August, the Free West Papua Campaign organised demonstrations in 5 different countries all over the world in support of the release of the two French journalists, Thomas Dandois and Valentine Bourrat, who were arrested and jailed by the Indonesian police 3 weeks ago just for reporting in West Papua.
    It is a clear example of how the Indonesian government is trying to hide the atrocities in West Papua, by banning and arresting foreign journalists, even though last year the Indonesian foreign minister and the local Governor said that they welcomed journalists into West Papua.
    The journalists
    Thomas Dandois and Valentine Bourrat had been in West Papua making a documentary about the situation for French/German TV Network, Arte.
    The Indonesian government still bans all foreign journalists from entering West Papua and so when the police found Thomas and Valentine on 6th August, they promptly arrested and  jailed them.
    Thomas and Valentine are now being threatened with a 5 year jail sentence and $40,000 US dollar fine for simply being journalists in West Papua.

     Free West Papua Campaign takes action
    On 21st August, Nobel Peace Prize Nominee and Free West Papua Campaign founder, Benny Wenda issued a press release, in which he called for worldwide protests for the freeing of Thomas and Valentine.
    Free West Papua Campaign Papua New Guinea holds a demonstration for the journalists in Port Moresby
    Free West Papua Campaign Papua New Guinea holds a demonstration for the journalists in Port Moresby
    Benny’s statement was widely distributed and in answer to the call, protests were held around the world in support of the journalists’s release.
    In London, United Kingdom, the Free West Papua Campaign held a protest outside the Indonesian Embassy and demanded the release of Thomas and Valentine.
    Free West Papua Campaign Netherlands  also protested on Monday in the Hague, first outside the International Court/Peace Palace and later outside the Indonesian Embassy.
    Afterwards, a petition was handed to the French Embassy calling for their support in helping to pressure the Indonesian government to free the pair.

    The Free West Papua Campaign in Papua New Guinea also held a demonstration in the capital city of Port Moresby.
    The next day, the Campaign in PNG also appeared on the National Tok Bek Radio show, raising more awareness and backing for the release of the journalists.

    West Papuan students hold a gathering to raise awareness and support for Thomas and Valentine
    West Papuan students hold a gathering to raise awareness and support for Thomas and Valentine
    Another demonstration was also held in the Australian island of Tasmania and in Yogyakarta, Indonesia, members of the West Papuan Students Alliance (AMP) also held a gathering to show support for Thomas and Valentine.
    The students called for their freedom and held a slideshow presentation about the journalists.
    Despite being a peaceful gathering, it was surrounded by dozens of armed Indonesian riot police who intimidated the students and dispersed the demonstration.
    Photos from all these protests on Monday can be seen on the Info Papua News Site here


    FWPC Statement on the Day of Action

    On behalf of all the branches of the Free West Papua Campaign around the world, we give our full and sincerest thanks to all those who came out to demonstrate and show their support for the release of Thomas Dandois and Valentine Bourrat.
    This campaign has grown from a small group in the United Kingdom to a wide international network with several permanent offices and we are very encouraged to see that increasingly there are more and more people around the world attending such joint international days of action for freedom and justice in West Papua.
    We send our deepest sympathy and thoughts with the families of Thomas and Valentine at this time of great concern and we would like to assure them that we will never stop struggling for the release of their loved ones until they are finally free.

    Free West Papua Campaign holds a demonstration in Tasmania, Australia for the journalists's release
    Free West Papua Campaign holds a demonstration in Tasmania, Australia for the journalists’s release
    Finally we would like to thank Thomas and Valentine themselves for the incredible courage, strength and righteousness that they have shown, not only for reporting on the situation in West Papua but also for sacrificing even their very own freedom by telling the story of the West Papuan people.
    Keep up your spirits, Thomas and Valentine. We firmly believe that  you will soon be free and that one day we will meet you both in a Free West Papua.
    We will continue this campaign for your freedom and the freedom of everyone in West Papua until this vision finally comes true.
     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif