photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label News alert. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label News alert. Tampilkan semua postingan

    Jubir ULMWP: Kami Turut Belasungkawa!

    Selamat datang di Melanesia Barat ! Melanesia adalah tempat khusus di Pasifik yang memiliki sesuatu untuk semua orang. Kaya akan sumber daya dan dengan banyaknya orang yang kaya dan beragam budaya, adat istiadat, ritual, mitos dan legenda, negara-negara Melanesia yang layak dikunjungi.

    Jubir ULMWP: Kami Turut Belasungkawa!

    Gambar eksekusi mati warga negara Australia (kiri) dan rakyat Papua (kanan) (Foto: Ist)
    Gambar eksekusi mati warga negara Australia (kiri) dan rakyat Papua (kanan) (Foto: Ist)

    SYDNEY, SUARAPAPUA.com — Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, Rabu (25/2/2015), mengatakan, ia sangat kecewa karena upaya terbaru untuk menyelamatkan nyawa dua warga Australia yang jadi terpidana mati di Indonesia telah gagal.

    Desakan pemerintah Australia ditindaklanjuti pengacara para terpidana yang mendesak pemerintah Indonesia tidak eksekusi mati Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, sebelum sebuah pengadilan banding digelar.
    Tetapi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (10/3/2015) kemarin, sebagaimana dilansir kompas.com edisi Kamis (12/3/2015), menolak upaya kedua terpidana untuk menghindari eksekusi dengan menggugat penolakan Presiden Joko Widodo terkait permohonan grasi mereka. Hakim menilai, gugatan tersebut tidak masuk dalam wewenang PTUN.

    Permohonan grasi mereka kepada Presiden, yang merupakan kesempatan terakhir bagi para terpidana mati untuk menghindari regu tembak, ditolak Presiden Joko Widodo belum lama ini.

    “Kami sangat kecewa bahwa upaya itu gagal pada saat ini,” kata Bishop kepada Nine Network.
    “Namun, saya tahu bahwa para pengacara sedang mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut dan mereka punya waktu sekitar 14 hari untuk itu,” ujarnya. Meski begitu, kata dia, Canberra akan terus melobi Joko Widodo untuk meminta pengampunan.
    “Kami hanya bisa berharap bahwa mereka (akhirnya) bisa melihat nilai kehidupan dari orang-orang ini. Kedua pria itu telah menjalani proses rehabilitasi dengan cara yang paling luar biasa,”
    tegasnya.
    Bishop menambahkan, pertemuannya dengan ibu dari Sukumaran baru-baru ini sangat memilukan. “Dia memeluk saya begitu erat, sehingga saya hampir tidak bisa bernapas dan hanya meminta saya untuk melakukan semua yang saya bisa demi menyelamatkan nyawa anaknya,” tutur Menlu Australia.

    Presiden Joko Widodo menegaskan, negara-negara asing tidak boleh mencampuri hak Indonesia untuk menerapkan hukuman mati. Indonesia sedang menghadapi tekanan diplomatik tidak hanya dari Australia, tetapi juga dari Brasil dan Perancis, yang warganya telah kehilangan permohonan grasinya dan segera menghadapi eksekusi mati.

    Keprihatinan oleh warga negara Australia juga diungkapkan oleh Juru Bicara (Jubir) United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda.

    Wenda menyatakan turut berbelasungkawa kepada keluarga dan para korban eksekusi mati yang akan dilakukan pemerintah Indonesia karena kasus Narkoba. Bagi bangsa Papua, menurut Wenda, kebijakan Indonesia tersebut tidak manusiawi. Ia menegaskan, kemanusiaan dan hak hidup harus dijunjung dan dihargai di atas segalanya.

    “Banyak dari kami orang Papua juga dieksekusi mati oleh Indonesia, hanya karena mengungkapkan keinginan kami untuk merdeka,” tegas Benny Wenda, seperti dikutip dari radionz.co.nz, Kamis (12/3/2015).
    Menunjuk pada seorang polisi Indonesia yang tersenyum saat berdiri di samping terpidana mati warga Australia, Andrew Chan, yang akan dieksekusi, Benny mengingatkan dunia pada sebuah foto yang mirip sama, militer Indonesia tersenyum senang dengan mayat Yustinus Murib yang telah dieksekusi militer Indonesia juga karena memperjuangkan kemerdekaan Papua.
    “Saya merasa bahwa foto-foto ini menunjukkan kepada dunia bagaimana sikap pemerintah Indonesia terhadap siapapun yang menentang mereka. Begitu banyak orang West Papua seperti Yustinus Murib, tentara dan polisi Indonesia tersenyum sesaat sebelum dibunuh seperti seekor binatang,”
    demikian Wenda.
    Sambil menyesalkan tindakan tersebut, ia menyatakan, bangsa Papua turut berduka terhadap diambilnya hak hidup manusia dengan paksa atas nama hukum.
    “Saya ingin mengingatkan dunia bahwa eksekusi mati adalah apa yang pemerintah Indonesia lakukan untuk orang-orang saya juga. Lebih dari 500.000 orang Papua telah secara sistematis dibunuh oleh Indonesia sejak Indonesia secara ilegal menginvasi bangsa Papua pada tahun 1963,”
    tegas Benny Wenda.

    MIKAEL KUDIAI, , SUARAPAPUA.com,
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Arti Papua Merdeka

    Apa Artinya Papua Merdeka

    Pengantar
    "Merdeka" atau "Papua Merdeka", yang dulunya kata "racun" bagi Indonesia, kini menjadi "kata angin lalu." Bagi masyarakat Papua, kata ini menjadi simbol expresi jatidiri suku-bangsa Melanesia terhadap penjajahnya suku-bangsa Proto-Malay. Ini arti di permukaan yang dapat dijawab oleh anak berumur 3 tahun di Jl. Bestuur Sentani. Tetapi kalau pertanyaan yang sama diajukan kepada Pak Menpan, atau menteri otonomi daerah, maka apakah kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Mr President, lalu apa kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Moses Weror di PNG atau Viktor Kaisiepo di Holland, maka apa yang mereka maksud? Kalau kita tanya kepada Aliansi Mahasiswa Papua, maka apa pengertian mereka?

    Arti leksis
    Secara leksis, kata "merdeka" dalam bahasa Inggris berarti "terlepas" (independent), atau "tidak tergantung." Lawan katanya "dependent" artinya "tergantung. " Kata merdeka berkonotasi melepaskan diri dari suatu ketergantungan. Ketergantungan itu dapat diartikan dalam segi politik, ekonomi, sosial, teknologi, ilmu-pengetahuan, dan lain sebagainya.

    Pertanyaan selanjutnya barangkali "tergantung kepada apa atau siapa" dan "terlepas dari apa atau siapa." Nah, di sinilah kita kewalahan, terutama kalau Indonesia juga masih "tergantung" kepada entah sesuatu atau seseorang. Alasan yang mudah karena ketergantungan Indonesia tidak menjamin independent Papua Barat. Dengan kata lain, Indonesia sendiri masih tergantung kepada seseorang dan sesuatu, jadi kalau ditanyakan untuk melepaskan Papua Barat, hal itu menjadi sakit kepala yang bukan main hebatnya.

    Selanjutnya, kita perlu bertanya, "Ketergantungan dalam bidang apa dan untuk kepentingan apa?" Jawabannya bagi Jakarta masih kabur. Itulah sebabnya Jakarta dicap tidak tegas dan KJ.

    Untuk menjamin Papua Barat independent, itu sebenarnya berarti sebuah langkah ke arah independent buat Jakarta, karena aneksasi Papua ke dalam Indonesia sebenarnya bukan tanda kemerdekaan Indonesia, tetapi justru tanda bahwa Jakarta itu belum independent secara arti leksis. (Di sini bukan tempatnya untuk membuktikan apakah Indonesia itu suatu negara yang merdeka atau tidak, yang berhak adalah Mas Amin Rais, Pak Wahid, Mbak Mega, Pak Wiranto, dll. untuk mengkleim kalau mereka memang merdeka dan membuktikannya, paling tidak kepada rakyat Papua Barat.)

    Arti Politis
    Secara politis kemerdekaan suatu suku-bangsa secara umum dimengerti sebagai suatu kelompok manusia, dengan batasan-batasan geografis, politis, kultural dan historis secara unik dan khas dan memiliki cukup sumberdaya manusia untuk menjalankan pemerintahan, yang dikepalai oleh seorang kepala negara, sayang sekali, yang juga diakui oleh suku-bangsa yang sudah merdeka.

    Sudah pasti, legitimasi Indonesia di tanah Papua dapat dengan mudah diragukan. Pelanggaran pertama karena invasi tahun 1962 adalah invasi militer. Lalu Pepera tahun 1969 adalah ilegal. Lalu satu-demi-satu manusia Papua dihabiskan dengan berbagai kebijakan seperti peracunan makanan, keluarga berencana, kebijakan pendidikan, transmigrasi, penerimaan pegawai, dll. Walaupun beberapa negara se-ras kita di Afrika sudah pernah menyatakan keberatan mereka untuk mengakui invasi Indonesia akhir tahun 1960an, badan bergengsi sedunia PBB telah mensahkan invasi ilegal Indonesia, dan kini Indonesia menikmati kekayaan Papua secara luar-biasa.

    Tetapi angka 10 bagi Jakarta, karena telah menang dalam diplomasi politiknya sampai hari ini Papua masih dikleim sebagai wilayahnya dan dunia masih mengakui kleimnya. Kini, kalau kita tanya Perdana Menter sesuku-sebangsa di kota Port Moresby, yang konon punya nenek-moyang satu mama-satu-bapa itu akan menjawab "West Papua is part of Indonesia." Sungguh, betapa teganya dia bisanya menangkal suku sendiri. Kalau kita bertanya kepada Australia sebagai negara barat terdekat di Pacific, kebanyakan yang kita dengar seperti ini: "Kita telah habiskan orang Aborigin di benua ini. Kita telah buru mereka seperti binatang. Mereka kini hanya ratusan orang. Jadi, kalau Indonesia berbuat serupa, itu sebenarnya sama dengan kita. Jadi kalau kita menegur Indonesia, itu suatu kesalahan besar, karena Australia mempunyai rekor biadab dalam memperlakukan teman-teman kita orang Aborigin."

    Kalau kita memohon bantuan kepada orang Amerika Serikat, maka jawabannya serupa dengan jawaban Australia. Orang-orang putih di Amerika berasal dari Eropa. Mereka menginjakkan kaki di benua itu dan telah memburu orang Indian American secara membabi-buta dan habis-habisan. Bangsa Eropa menyisihkan waktu-waktu luang mereka untuk berburu. Yang diburu bukan binatang, tetapi apa yang kita kenal sebagai Indian-American, teman-teman Anda, pemilik benua yang kini kita sebut Amerika. Film-film cowboy menunjukkan sedikit sisah-sisah yang mereka tinggalkan. Mereka kuta, mereka gagah, mereka lebih beradab daripada orang Eropa. Tetapi sayang, mereka telah diburu, dihabiskan dengan meracuni makanan, dengan keluarga berencana, dengan meracuni air mereka, dengan mensenjatai kelompok-kelompok yang bertikai dan dengan mencap mereka sebagai teroris. Ingat, kata teroris berasal dari Amerika Serikat untuk mencap masyarakat pribumi yang keluar dan berteriak, "Ini tanah saya, hargai saya, jangan bunuh saya!"

    Kalau kita bermohon kepada Eropa, tanpa malu mereka akan mengatakan, "Indonesia is wrong. They must stop killing Papuans." Tetapi mereka juga ingat, paling tidak di bawah sadar mereka, bahwa mereka telah berbuat hal-hal yang jauh-jauh lebih jahat dan di luar batas peri-kemanusiaan kepada teman-teman seras dan sebangsa Anda di benua Afrika, di Selandia Baru, di Papua New Guinea, di negara-negara Pacific, di Benua Amerika, di Benua Australia, yang sampai saat ini mereka tidak pernah katakan, "We are sorry that we have killed you so much!"

    Jangan pernah lupa juga, bahwa mereka juga bertanggung-jawab atas penderitaan kita di tanah Papua. Mereka yang menjual pesawat pemburu bronco fighters dan hawks atau jet fighters. Jangan lupa bahwa mereka yang mensuplai senjata kepada militer Indonesia. Mereka yang melatih pasukan elite Indonesia yang kita tahu dengan nana Kopassus, dulunya Kopasanda. Mereka yang melatih dan mensuplai berbagai perlengkapan kepada Badan Koordinasi Inteligen Indonesia (BAKIN). Kalau kita melacak cara kerja BAKIN, maka Anda tidak perlu kaget melihat seluruhnya adalah foto-kopi operasi central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat. Dengan kata lain, BAKIN adalah cabang CIA untuk Asia Tenggara dan Pasifik. Kalau kita baca Kompas tanggal 2 Februri 2000, Inggris telah menjanjikan mensuplai peralatan dan pelatihan bagi kepolisian Indonesia. Dengan kata lain, Inggris tidak mau berhenti dan belum kenyang dengan pemburu, senjata, pelatihan pasukan elit dan berbagai kebrutalan tidak manusiawi di Indonesia yang telah mengakibatkan Jakarta harus hilang muka sebagai militer professional. Militer kini dicap buruk, dan sebagian tanggung-jawab ada di London, tetapi itu diabaikan. Malahan kerjasama militer mau ditingkatkan dengan bidang kepolisian. Banyak rakyat mati di Acheh, Timor Loro Sae, Papua Barat, Maluku, dll. dengan peluru Inggris dianggap kurang memuaskan? Barangkali Presiden kita mengangguk dan berterima-kasih atas tawaran tidak manusiawi itu. Tetapi sayang, kita kembali lagi, Indonesia sebenarnya kita perlu sangsikan, "Apakah memang sudah merdeka?"

    Secara politis, proklamasi sudah diucapkan tepat tanggal 17-8-1945 jam 10:am di Pegangsaan Timur Jakarta, tetapi lonceng ucapan proklamasi kemerdekaan policy dan ekonomis belum pernah terdengar, paling tidak di telinga orang Papua.

    Arti Ekonomis
    Jangan lupa bahwa politik era 21 adalah politik bermuatan ekonomis. Tidak ada kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan keuntungan secara ekonomis. Kalau politisi saat ini hanya memikirkan politik, dan mengabaikan ekonomi, maka politisi seperti itu disebut politisi purba dan tak mungkin mereka dipilih di panggung politik.

    Sebelum kita lanjut, kita perlu tahu latar-belakang politik bermuatan ekonomis ini. Pertama, kalau kita lihat era kolonialisme, tujuan utama adalah masih sama, yaitu untuk mencari harta-benda dan membawanya kembali ke negara asal mereka. Kita lihat Maluku sebagai kota rempah-rempah. Kebanyakakan rempah-rempah sudah dibawa ke Eropa. Kita lihat emas dan perak di Afrika dan New Guinea. Semua yang digali dibawa ke Eropa.

    Kini, sejak Amerika Serikat berdiri, sebagai negara yang sudah bebas dari kolonialisme Inggris, ia tidak menolong bangsa-bangsa yang masih terjajah seperti Indonesia dan negara lain di Afrika dan Asia. Ia tampit sebagai negara adikuasa yang anti kolonialisme, tetapi yang tak mau mengakui diri sebagai kekuasaan imperialisme abad 20 dan barangkali juga abad 21. Apa yang dibuat AS adalah merutuhkan kolonialisme, dan secara otomatis mendirikan koloninya sendiri yang disebut neo-colonial power. Saya curiga, Indonesia adalah negara utama dan anak kesayangan neo-colonial power dari Amerika Serikat. Anda bisa keliling dunia dan baca peta politik AS. Indonesia adalah biji mata AS.

    Di Inggris, AS da berbagai negara maju sedang digalakkan kampanye-kampanye untuk memotong utang "negara berkembang." Ada politisi yang sudah mulai mengumumkan kedermawan mereka "memotong utang." Mereka dipuji karena kebijakan-kebijakan berani mereka itu. Tetapi kalau kita lihat secara ekonomis, sebenarnya mereka tidak menghapuskan, tetapi mereka merubah bentuk utang, dari utang keuangan menjadi utang moral. Utang keuangan akan habis saat dibayar, sedangkan utang moral tidak akan pernah habis, karena utang itu sudah dihapus.

    Utang moral itu sebenarnya sama dengan bentuk kolonialisme termutakhir dalam peradaban kita. Untung bagi Indonesia, karena utangnya belum dihapus. Ada NGOs di Indonesia yang secara ignorant berkampanye untuk menghapus utang, tetapi sayang mereka belum paham apa implikasi masa panjangnya. Mereka yang berkampanye memilik alasan yang manusiawi dan masuk akal, antara lain bahwa rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan yang digariskan oleh Bank Dunia. (Perlu diingat di sini dengan baik bahwa garis-garis yang dipatok oleh Bank Dunia sebagai negara maju, sedang berkembang dan terbelakang itu menggunakan patokan Barat dan modern, yang jelas-jelas tidak pas dengan patokan kita orang Papua. Misalnya, orang yang mengenakan koteka dianggap Bank Dunia sebagai di bawah garis kemiskinan. Benarkan? Aneh, tetapi nyata, maaf, di sini bukan tempatnya membahas ini.)

    Kini kita bisa bertanya, apakah Indonesia sebenarnya sudah merdeka secara ekonomis? Kalau Indonesia sudah merdeka, maka kemungkinan besar sikapnya adalah bukan menahan-nahan tetapi malahan menawarkan kemerdekaan kepada daearh yang sedang menuntut. Sebenarna daerah-daerah tidak perlu menuntut karena toh ditawarkan. Tetapi saat ini secara ekonomi, Indonesia masih dijajah,karenanya sulit bagi Jakarta untuk mengambil sikap. Sikap plin-plan dan enggan dari Jakarta merupakan sinyal yang cukup jelas bahwa Jakartapun tidak mau menuntuk kemerdekaan ekonomisnya dari penjajahnya. Kalau ini keadaanya, maka kemerdekaan politik bagi Papua masih jauh dari kenyataan di mata Jakarta.

    Arti Sejarah
    Kalau kita lihat dalam sejarah peradaban manusia, kita dapat mengerti bahwa kemerdekaan suku-bangsa Papua adalah sudah wajar dan sudah saatnya untuk diakui. Kalau kita melihat arti ekonomis di atas, maka hal yang lebih bijaksana kalau Jakarta mengatakan "Papua Merdeka!" daripada mempertahankannya, dan akhirnya Jakarta sendirilah yang menelan pil pahit dan kerugian secara ekonomis dan politis.

    Perjuangan Papua Barat bukan hanya sekedar untuk lepas dari neo-kolonialisme Indonesia. Kalau kita berpandangan demikian, perlu kita pikir ulang. Perjuangan hakiki bangsa Papua adalah untuk terlepas dari jurang-jurang maut yang telah digali sejak Order Baru menginjak kaki ke dalam rumah orang Indonesia. Dengan kata lain, "Kita tak mau tanggung resiko dosa-dosa Orde Baru!" Perjuangan ini adalah perjuangan antara masyarakat pribumi dan dunia adikuasa yang mau mengisap semua harta kita. Pastilah Sri Sultan Hamengkubuwono setuju dengan pernyataan ini. Perjuagan ini perjuangan untuk respect atas jati-diri dan harga diri manusia Papua yang diabaikan atas kepentingan dunia Barat.

    Beberapa waktu silam Amin Rais pernah berkata bahwa Indonesia perlu disatukan agar daerah-daerah di Indonesia tertolong dari genggaman negara-negara luar. Barangkali beliau salah. Yang harus dibuat Jakarta adalah bukan mempertahankan kesatuan, tetapi malahan memberikan keluasan seluas-luasnya, bahkan menawarkan federasi atau bahkan kemerdekaan. Jakarta tidak boleh menunggu desakan Amerika Serikat, Jakarta tidak perlu minta dukungan Eropa, Jakarta tidak perlu menjilat telapak kaki IMF. Jakarta perlu mejadi "Kakak yang berbesar hati." Jakarta perlu menjadi "otak di balik pemain" bukan pemain bola. Kedudukan Jakarta perlu dirubah supaya Jakarta berfungsi dengan tepat.

    Agak aneh kalau orang Papua harus minta tolong kepada bangsa Amerika yang tak manusiawi menggali segala harta di Papua sejak 1960an. Lihat semua perusahaan tambang, perusahaan kayu, perusahaan ikan, perusahaan minyak, dll. di tanah Papua. Agak aneh kalau orang Papua menoleh kepada Inggris atau Belanda yang nalurinya kolonial, yang meninggalkan tanah Papua tanpa belas kasihan. Lebih aneh lagi kalau orang Jawa tidak bisa menolong tetangga terdekatnya yang menderita karena ditindas. Apakah Jawa mau berteman dengan orang asing? Apakah Jawa mau jadi sekutu orang jauh? Kalau begitu sampai kapan sekutu itu berjalan? Sampai kekeyaan semua dibawa keluar dari Indonesia, keharmonisan itu pasti akan lenyap, dan Jawa akan merayap kembali. Teman terdekatnya adalah Sumatra, Borneo, Sulawesi, Bali, Maluku dan Papua. Kalau Jawa tega memperlakukan tetangganya seperti ini dan malahan orang jauh seperti Amerika Serikat yang harus datang membela Papua, maka apa ini yang terjadi? Kalau Jawa tidak manusiawi karena mau bersahabat dengan orang Barat, maka apa untungnya?

    Kita patut menyesal bahwa TNI masih mau mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan. Kita perlu sesali bahwa mereka tidak menunjukkan penyesalan sedikitpun. Ini kelemahan kita semua, kelemahan politik dan kelemahan kedewasaan berpolitik. TNI belum paham apa artinya politik di era globalisasi dan abad 21. Sikap TNI tentu merugikan semua bangsa Indonesia, bukan TNI sendiri. (Saya tidak mau menjadi guru politik di sini!)

    Kalau kita melihat saat Papua menjadi bagian Indonesia, itu terjadi berkat masa dekolonisasi, di mana suku-bangsa dan pulau yang berada di bawah kolonialisme diberi waktu untuk memilih merdeka atau bergabung dengan negara yang sudah merdeka, dalam hal ini Papua dengan Indonesia. Ini sejarah yang kita semua tahu. Dan ini berdasarkan deklarasi PBB tentang dekolonisasi yang tentu diprakarsai AS dan didukung penuh AS akhir 1950an.

    Sejarah itu berlanjut. Sekarang kita sudah ada dalam tingkat peradaban dan tingkat management of governance yang canggih. Kini saat di mana Jakarta perlu bertanya kepada semua teman-teman dekatnya, dan semua negara donor, semua negara pendukungnya yang sementara ini mengatakan, "Kita ingin melihat Indonesia menjadi satu!" Ini sama dengan dulu Harmoko bilang, "Rakyat mau Suharto tetap menjadi Presiden!", tetapi tidak lebih dari 5 bulan kemudian mengatakan: "Saya telah memimpin rapat untuk meminta President Suharto mundur!" Ada pepatah Papua, "Lebih baik teman yang membunuh saya daripada musuh!" Artinya, lebih baik Jakarta mendengar orang Indonesia sendiri daripada menguping ke negara luar, yang jelas-jelas bukan orang Indonesia.

    Saya terkesan mendengar salah seorang professor di UGM yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini belum beradab. Peradaban Indonesia itu belum mencapai tingkat manusiawi karena sikap dan paham yang keliru. Salah satunya ditunjukkan TNI dan mereka yang percaya bahwa Indonesia masih bisa tinggal sebagai negara kesatuan.

    Penutup
    Politik era 21, kalau kita melihat sejarah politik adalah lebih condong politik yang bersifat reaktif, bukan lagi antisipatif. Artinya, kebanyakan politisi perlu belajar bagaimana merespon kepada dilema dan dinamika hidup rakyat mereka, daripada meletakkan dasar-dasar politik, dan ilmu politik serta best-practice of politics dan memaksakan diri untuk menerapkannya. Praktek politik yang memaksakan filsafat dan idealisme telah terbukti berbahaya bagi politisi sendiri. Makanya, kalau Jakarta mau menjadi pemain politik dan pemeran dalam politik internasional, tidak salah kalau saya secara jujur mau sarankan: "Berilah kemerdekaan kepada suku-bangsa Papua Barat sebagai hadiah Millennium Baru, daripada dirampas dari tanganmu, atau daripada orang asing todong Jakarta untuk lepas tangan atas Papua Barat." Itu kenyataan, dan itu secara politis, ekonomis, dan historis bermanfaat bagi Jakarta. Kalau itu tidak terjadi, marilah kita menghiningkan cipta, atas gugurnya Jakarta dan kejayaannya; - kalau bukan besok, ya lusa.

    IF ONLY...
    If only I were a Javanese,
    I would have let West Papua people to be free
    If only I were a Javanese,
    I would have supported West Papua to be free
    If only I were a Javanese,
    I would have admitted that I myself am not free
    If only I were a Javanese,
    I would have pressured Jakarta, to let West Papua be free
    If only I were a Javanese,
    I would have agreed, that it is time now to offer freedom to West Papua If only I were a Javanese,
    I would have no trust to politicians from the USA and Europe
    If only I were a Javanese,
    I would have build strong solidarity within Indonesia by giving independent to each outer-island demanding it, even before that
    If only I were a Javanese,
    I would have offered the independence to West Papua
    If only I were a Javanese,
    I would have been wiser than I am now
    Anyway, IF ONLY... !

    5 West Papuans shot dead in Indonesian military rampage

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online

    5 West Papuans shot dead in Indonesian military rampage

    11349_10154939986640010_123477179303448014_nFive West Papuan people were shot dead and 12 others injured when Indonesian troops and police fired into a crowd of civilians in the highlands region of Paniai on Monday.

    Local sources quoted by newspaper Suara Papua say the crowd had gathered in Karel Gobay Square in Paniai to protest against a group of Indonesian soldiers, who they say had beaten a 12-year-old boy the previous night.

    A group of boys aged 12 and 13 stopped a military vehicle on Sunday night to complain that it was being driven without headlights.

    Newspaper editor Victor Mambor, from Tabloid Jubi, also quoting local sources, said the boys were living in a small house they had built by the side of the road — a common feature of Christmas celebrations across Papua.

    After the boys had stopped them, the driver and passenger of the military vehicle returned to their base in the village of Madi, and then returned to where the boys were, bringing with them a group of fellow soldiers in trucks. The soldiers then beat at least one of the boys, the local sources said.
    Mr Mambor said that, on Monday morning, a crowd gathered to protest, and attacked a military vehicle, at which point the police and military fired into the crowd, killing five.
    10690106_10201901720504704_6034927113682006842_n
    http://www.kobogaunews.com/2014/12/foto-peluruh-panas-militer-indonesia.html
    http://suarawiyaimana.blogspot.co.uk/2014/12/ketika-korban-dibariskan-di-lapangan.html

    Report from the Age, in Australia.

    http://www.theage.com.au/world/indonesian-military-and-police-fire-into-crowd-of-west-papuan-civilians-killing-5-20141208-122wf0.html

    West Papuans unite under a new umbrella group

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online

    West Papuans unite under a new umbrella group

    Port Vila, Vanuatu

    In a historic gathering of West Papuan leaders in Vanuatu, different factions of the independence movement have united to form a new body called the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    This new organisation unites the three main organisations who have long struggled for independence in their own way. By coming together to present a united front, this allows us to re-submit a fresh application for membership of the Melanesian Spearhead Group (MSG) as well as countering Indonesian claims that the West Papuan groups are divided. The negotiations and kastom ceremonies attended by leaders of all the major groups and observed by the chiefs, churches and the government of Vanuatu demonstrates that now we West Papuans are united in one group and one struggle.
    The key groups who have united include the Federal Republic of West Papua (NRFPB); National Coalition for Liberation (WPNCL) and National Parliament of West Papua (NPWP). An external secretariat consisting of five elected members from the various groups will now co-ordinate the ULMWP activities. Octovianus Mote has been elected as General Secretary of the ULMWP while Benny Wenda is the spokesperson and the other three elected members are Rex Rumakiek, Leone Tangahma and Jacob Rumbiak.

    General Secretary Mote said at the close of the unification meeting “I am honoured to be elected and very happy we are now all united. The ULMWP is now the only recognised co-ordinating body to lead the campaign for MSG membership and continue the campaign for independence from Indonesia.”

    The ULMWP wishes to express its profound gratitude to the government of Vanuatu, the Malvatuamuri Council of Chiefs, the Vanuatu Christian Council of Churches and the Pacific Council of Churches who have facilitated the week-long meeting of delegates, who have come from inside West Papua and around the world, to unite after 52 years of struggle.
    Papua Merdeka!

    For more information please contact spokesman Benny Wenda on office@bennywenda.org
    1799044_10154934173355010_7947596252039787636_o

    DUKUNG SIMPOSIUM DAN RAYAKAN HUT KE-53 WEST PAPUA, AMP MEDIASI MASYARAKAT PAPUA DI TANAH KOLONIAL, JAKARTA

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online

    DUKUNG SIMPOSIUM DAN RAYAKAN HUT KE-53 WEST PAPUA, AMP MEDIASI MASYARAKAT PAPUA DI TANAH KOLONIAL, JAKARTA


    Foto: AMP dukung Simposium di Port Vila, Vanuatu dan rayakan HUT ke-53 West Papua
    | Dok. AMP

    AMP In Action, Jakarta -- Masyarakat Papua yang tergabung di Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) bersama rayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-53 dan mendukung kegiatan Simposium di Port Vila, Vanuatu. Kegiatan berlangsung di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta dalam bentuk “Aksi Demonstrasi Damai dan Pesta Tarian Adat.” 

    Massa mengenakan atribut Identitas Papua, seperti; Baju warna dasar Putih, bergambar Bendera “Bintang Kejora” bertuliskan Free West Papua, Lambang Negara Papua Barat “Mambruk” bertuliskan Hak Menentukan Nasib Sendiri, Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua, dan semboyan “One People, One Soul.” Dan pengikat kepala bergambar “Bintang Kejora.”

    Kronologis
    Pukul 08:30 Waktu Jakarta (WJ), massa sudah berada di titik kumpul, Bundaran HI, Jakarta. Di waktu yang sama, Tim negosiator dari AMP melakukan negosiasi kepada pihak Kepolisian Metro Jaya.

    Pukul 08:40 WJ, massa menyanyikan pembukaan kegiatan perayaan Hari Ulang Tahun ke-53 Papua Barat, 1 Desember 1961 – 2014.

    Rakyat Papua Barat sebagai Massa aksi Demonstrasi Damai, merayaan HUT ke-53 Papua Barat berjumlah 800 jiwa lebih. Massa yang tergabung dan solid dalam satu barisan, satu tali komando adalah satu semangat. Yaitu: Pembebasan Nasinal Papua Barat.

    Pukul 09:10 WJ, negosiasi masih berlangsung.

    Negosiasi bersama pihak kepolisian, Akp. Kapolsek Menteng Metro Jaya, Gunawan pada tahap pertama, Negosiator AMP, Zet Tabuni dan Advokator AMP, Emanuel Gobai SH., Pengacara di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta berujung pada dua pilihan. Pilihan itu dikarenakan, AMP berpenampilan dengan mengenakan atribut Bintang Kejora.

    Pilihan tersebut, ada dua. Yaitu:
    1. Mengenakan atribut Bintang Kejora dan melakukan aksi di titik nol, Bundaran HI. Dan tidak melakukan Long March ke Istana Negara Indonesia.


    2. Lepas atribut Bintang Kejora dan bisa melakukan aksi Long March ke Istana Negara Indonesia.


    AMP duduk bersama dan memutuskan untuk memilih bahwa AMP tetap Long March dengan mengenakan atribut Bintang Kejora.

    Pukul 09:40 WJ, mobil Komando ditahan oleh tim kepolisian dengan melakukan tendangan ke arah Pintu Sopir, tekanan mental pada sopir, melepaskan dua pengeras suara, merampas Bendera Organisasi AMP, menarik massa AMP, melepaskan pukulan sekitar dua kali kepada Kordinator Lapangan (Korlap, Sonny Dogopia), dan mengempeskan Ban depan bagian kanan Mobil Komando.

    Pukul 10:20 WJ, setelah aksi yang dilakukan oleh pihak kepolisian, Korlap mengambil alih dan menyuruh massa aksi tenang dan duduk.

    Pukul 10:30 WJ, Masing-masing Kordinator AMP berkumpul untuk memutuskan langkah terbaik.

    Pukul 10:40 WJ, AMP tetap akan Long March. Selang waktu tiga menit, Heni Lani berorasi Politik.

    Pukul 10:50 WJ – 11:10 WJ, massa aksi diberi kesempatan untuk melakukan Orasi Politik.

    Pukul 11:15 WJ, negosiator dan advokator AMP melakukan negosiasi terhadap pihak kepolisian.

    AMP menerima pilihan yang ditawarkan oleh kepolisian. Yaitu: Lepas atribut Bintang Kejora dan bisa melakukan aksi Long March ke Istana Negara Indonesia. AMP siap Long March.

    Biro Operasi Polda Metro Jaya, Daniel, ternyata tetap tidak mengizinkan AMP untuk Long March. Padahal, pilihan itu berasal dari Pihak Kepolisian sendiri.
    Pukul 11:25 WJ, Negosiator, Zet Tabuni dan Advokator, Emanuel Gobai SH., mengembalikan pilihan kepada Korlap AMP.

    Korlap dan Koordinator Umum, Jefry Wenda ambil alih dan menyeruhkan kepada massa AMP untuk membuka atribut Bintang Kejora dan melakukan Long March ke Istana Negara Indonesia.

    Pukul 11:40 WJ, AMP dihadang kekuatan Kepolisian yang berjumlah lebih dari massa aksi. AMP menobrak pemblokadean yang dilakukan Tim Kepolisian.

    Peralatan Kepolisian:
    Dua mobil komando siap tembak di bagian depan dan belakang. Tiga truk Sabara, dua Bus Polisi, dua truk gas air mata, dan besi kecil.


    Peralatan AMP:
    Spanduk, Poster, Tali Komando, Satu Mobil Komando jenis Pickup, Disel Generator, Pengeras suara dua toa, satu bendera Organisasi AMP, dan satu motor konsumsi jenis Mio.


    Selang waktu 30 menit, kepolisian Indonesia membentrokan massa dengan pemblokadean mereka.

    Akibat dari sebab yang dipicu oleh Kepolisian Indonesia, Yaitu: Bendera Organisasi AMP masih dibawa Polisi, Ban mobil depan bagian kiri dikempeskan Polisi, beberapa massa aksi luka, dan hal-hal teknis lainnya yang dialami massa aksi.

    Pukul 12:10 WJ, Heni Lani mengambil alih komando dan menarik massa untuk menyatakan sikap Politik AMP.

    Korlap kembali menyeruhkan untuk memakai atribut Bintang Kejora dan nyatakan sikap tegas Politik.

    Pukul 12:30 WJ, Koordinator Umum, Jefry Wenda membacakan pernyataan sikap Politik AMP.

    Massa Aksi Demo Damai peringati Hari Ulang Tahun Negara Papua Barat yang tergabung dalam AMP melakukan pesta Yospan, Besek, Waita, Tumbuk Tanah.

    Masyarakat Papua Barat melakukan tarian adat Papua Barat dari tujuh wilayah adat, kelanjutan dari aksi demo damai.

    Pukul 13:10 WJ, Massa aksi meninggalkan Bundaran HI, Jakarta. Dan kembali ke tempat masing-masing melakukan Ibadah di tempat masing-masing.

    Foto-foto Perempuan Papua, [ KLIK ].  Dan Foto-foto saat kegiatan, [ KLIK ]. 

    Salam Pembebasan!
    Salam Revolusi!


    #Laporan Kronologis oleh Biro Politik KP AMP, Sonny Dogopia

    Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP AMP)

     Jefry Wenda        |           Benny Wetipo

    Ketua Umum      |         Sekertaris Umum

    Rocks of Papua hope

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online

    Rocks of Papua hope

    AT next month's Melanesian Spearhead Group meeting in New Caledonia, leaders from Melanesia will be asked to respond to the cry for liberation by their brothers and sisters in West Papua.
    For the past half century the people of West Papua have struggled for their call for self-determination to be heard and responded to.

    When Dutch colonial rule ended on December 1, 1961, they agreed to grant West Papua self-rule.
    When the Dutch left, they handed West Papua over to the United Nations and then to Jakarta, in a transfer agreement which stipulated that West Papuans would be able to decide within six years whether to accept incorporation into Indonesia.

    Many West Papuans saw the Dutch departure as a chance for complete independence. But within a year, forces from Jakarta had annexed the region and claimed it as part of Indonesia
    This opportunity came and went — and many Papuans, as well as human rights groups, have questioned why the region has still not been allowed a vote for independence.

    From the time Jakarta first annexed the province, there have been sporadic clashes between poorly armed independence supporters and Indonesian security forces. Over the years there have been serious abuses committed by the Indonesian security forces. Accusations of torture and rape persist.
    The Free West Papua Campaign website claims: "Over 500,000 civilians have been killed in genocide against the indigenous population. Thousands more have been raped, tortured, imprisoned or 'disappeared' after being detained. Basic human rights such as freedom of speech are denied and Papuans live in a constant state of fear and intimidation."

    Last year, Papua New Guinea's Prime Minister Peter O'Neill broke with tradition and publicly admonished the Indonesian government's response to continuing state violence, human rights violations and failure of governance in West Papua. Moved by 4000 women from the Lutheran Church, O'Neill said he would raise human rights concerns in the troubled territory with the Indonesian government.

    The Pacific Media Centre notes "Melanesian support for a free West Papua has always been high. Travel throughout Papua New Guinea and you will often hear people say that West Papua and Papua New Guinea is "wanpela graun" — one land — and West Papuans on the other side of the border are family and kin. Earlier this year politicians in Papua New Guinea also were heard to lend their voice to the cause of a free West Papua.

    According to the Pacific Media Centre in Auckland, Powes Parkop, Governor of the Papua New Guinea's National Capital District, recently insisted that "there is no historical, legal, religious, or moral justification for Indonesia's occupation of West Papua".

    Governor Parkop, who is a member of the International Parliamentarians for West Papua, which now has representatives in 56 countries, then went on to formerly launch the free West Papua campaign.
    In April, West Papua National Coalition for Liberation visited Noumea and presented its official application for full MSG membership to Victor Tutugoro, the executive of the FLNKAS and the incoming MSG chairman.

    According to Radio New Zealand, "New Caledonia's pro-independence FLNKS has pledged its full support for the cause of the West Papuan people for freedom and independence".
    Mr Tutugoro said the MSG is only for Melanesia and Liberation Movements within it, and the FLNKS leadership would be happy to welcome West Papua as a new member in the Melanesian family. Last week, Solomon Islands' Prime Minister Gordon Darcy Lilo met officials from the West Papuan National Coalition for Liberation (WPNCL) in Honiara.

    According to the Solomon Star newspaper, during the meeting Mr Lilo "expressed his support for the West Papuan agenda to be discussed at the MSG level. He said this would be included in the next Melanesian Spearhead Group Summit". Mr Lilo said he was aware of the West Papuan struggles, which is now more than 50 years.

    Vice chairman of the West Papuan National Coalition for Liberation, Dr Otto Ondawame, expressed his delight after the assurance by PM Lilo. Dr Ondawame said given the important role that MSG plays in regional politics it is vital that the West Papuan issue is discussed at the leadership level.
    He said they were also rallying for support in Melanesia and beyond to ensure that their West Papuan issue was discussed at all opportunities available at the regional and international level.
    Support from the Solomons and Kanaky seem to be part of a changing tide of political engagement within Melanesian countries on the issue of independence for West Papua.
    In Vanuatu, opposition parties, the Malvatumari National Council of Chiefs and the Anglican bishop of Vanuatu, Reverend James Ligo have been urging the Vanuatu government to change its position on West Papua.

    Last month Vanuatu PM Moana Carcasses and Deputy PM and Minister of Foreign Affairs Edward Nipake Natapei pledged Vanuatu's support for the West Papua request to grant and admit West Papua as an observer status to the MSG.

    The issue of West Papua's Independence was also on the agenda of this year's Pacific Conference of Churches General Assembly in Honiara, Solomon Islands. The PCC Assembly resolved to address human rights abuse and independence in West Papua. It will incorporate the human rights situation in West Papua as a strong focal point of PCC's programmatic work on self-determination for non-self-governing territories and communities and peoples who yearn to be free. Pacific churches will designate an annual Freedom Sunday to pray for island countries and people who are not free.
    Given our nation's close bond with Papua New Guinea and leadership role in Melanesia, yet at the same time, its recent strengthening of ties with Indonesia, Fiji's leadership may have to look beyond the short term and the government's own interests to support the cause of West Papuans who only ask for the same rights that the current draft constitution aims to provide for Fijians. The late Father Walter Lini, Vanuatu's first prime minister, once said "Melanesia is not free until West Papua is free". The cry of West Papuans continues to be, if not now, when?

    As the people of Oceania — Melanesia, Polynesia and Micronesia to continue struggle for control of their destiny, the plight of West Papua and Maohi Nui (in what is known as French Polynesia) are reminders that liberty, justice and peace are not just ideals but are non-negotiables for every human being. They are rocks from which islands of hope grow.

    Those who physically or spiritually join in the weekly Peace Vigil at Suva's Holy Trinity Cathedral every Thursday between 12.30pm to 1.30pm may wish to spend some time reflecting on West Papua as we reflect on our own political journey.

    For more information on West Papua visit: http://freewestpapua.org/info/human-rights/ or visit the "Free West Papua Campaign Fiji" Facebook page.
    "Simplicity, serenity, spontaneity."

    * Reverend JS Bhagwan is a Masters in Theology Student at the Methodist Theological University in Seoul, South Korea. The views expressed are his and not of this newspaper.

    LAPORAN PENDEK JENDELA KAMPANYE DAN DIPLOMASI PERJUANGAN BANGSA MELANESIA PAPUA BARAT DI AMERIKA SERIKAT, TAHUN 2011 – 2014.

    10411072_4989967682712_5941276577050965803_nOleh Herman Wainggai, Perwakilan NFRPB PBB

    Tuhan Adalah Gembala Kami, patut dinaikan pujian dan syukur oleh karena Kasih-Nya Tuhan yang memberkati perjuangan kita semua secara khusus dalam penulisan laporan ini bisa saya siapkan secara sederhana sebagai informasi bersama. Maka perkenankanlah saya atas nama Departemen Hubungan Luar Negeri Otorita Nasional Papua Barat (Deparlu ONPB/WPNA USA) sekarang yang dikenal sebagai salah satu lembaga ketatanegaraan disebut Departemen Hubungan Luar Negeri Negara Federal Republik Papua Barat Perwakilan Perserikatan Bangsa- Bangsa (Deparlu NFRPB PBB) yang berbasis di USA, melaporkan beberapa hal yang mana isinkan saya memberi judul” Laporan Pendek Jendela Kampanye dan Diplomasi Perjuangan Bangsa Melanesia - Papua Barat di Amerika Serikat sejak tahun 2011 – 2014”, beserta sub judul, “Perjuangan kerja-kerja strategis dari apa yang telah dikerjakan, dan kerja-kerja perjuangan apa yang akan diperjuangkan.

    Sebagaimana yang mungkin telah diketahui oleh kita semua melalui sharing online via FaceBook/
    Twitter saya secara umum, maupun melalui catatan tertutup dari laporan pendek Jendela Diplomasi NFRPB sekarang ini yang mana disiapkan dan dishare terbatas bagi yang menerimanya entah bagi yang membacanya berada di dalam tanah air itu sendiri atau di Exile serta masyarakat internasional pada umumnya.

    I. Kondisi umum perjuangan kampanye Papua Barat di negara Amerika Serikat (USA) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Negara Amerika Serikat yang mendeklarasikan hari kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 dan diakui pada 3 September 1783. Tahun 2014, data statistik kepadatan penduduk di seluruh dunia menyebutkan bahwa sejak dari berdirinya negara Amerika Serikat hingga hari ini telah memiliki jumlah penduduk ratusan juta lebih besar bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk negara Indonesia.

    Sehubungan dengan perjuangan panjang rakyat Papua Barat hari ini, tentu pula kita semua sepakat bersama-sama bahwa peran administrasi pemerintah Washington DC sangatlah penting sehingga konflik panjang diantara kekuasaan kolonialisme politik Indonesia dan kerinduan perjuangan pembebasan rakyat Papua Barat untuk berpemerintahan sendiri (Self Determination) hendaknya menjadi perhatian pemerintah USA dan sekiranya dapat ditinjau kembali status politik Papua Barat didalam mekanisme PBB. Demikianpun target lobbying yang mendesak dimana kita semua ingin capai dalam harapan dan doa rakyat Papua Barat termasuk bersama teman-teman advokasi di US, kami sebutkan perjuangan lebih kurang 50 tahun Papua Barat berjuang selama ini membutuhkan resolusi atau Washington Solution yang pro Demokrasi, Keadilan dan Pembebasan bagi rakyat bangsa Melanesia Papua Barat di hari ini dan waktu terdesak mendatang.

    Bagaimanapun, hingga dalam penulisan laporan pendek ini, patut diakui bahwa perjuangan Papua Barat hari ini sedang terus diperjuangkan meskipun dapat dirasakan pemberitaan media massa US baik itu disebut media online, cetak, tv maupun radio untuk mengcover perjuangan Papua Barat di benua besar ini sangatlah minim sekali atau sama sekali tidak ada. Dengan kata lain, apabila berita perjuangan tentang Papua Barat minimalnya bisa terkover, maka itu akan menjadi proses pembelajaran konsumsi publik bagi penduduk Amerika Serikat pada umumnya. Realitasnya, berita Media kecil presentasenya atau sama sekali tidak termuat mengcover berita-berita tentang Papua Barat apabila dibandingkan dengan perjuangan kampanye berbagai media di benua Australia dan wilayah Pacific khususnya. Hal inipun disebabkan oleh beberapa alasan yang diamati disini dan saya menilai bahwa hal tersebut tidak dijelaskan di dalam penulisan lembaran laporan ini. Bagaimanapun, sebagai orang Papua Barat yang berjuang kita tetap memiliki rasa optimis yang tinggi dan terus bekerja keras untuk mendapatkan simpati dan memohon dukungan pemerintah US administrasinya President Barack Obama di Washington, DC demi dan berpihak pada perjuangan bangsa rakyat Papua Barat yang berjuang ditanah air dan kelanjutan advokasi termasuk lobbying internasional ke kota New York dimana organisasi internasional PBB ini berlokasi.


    10411072_4989967682712_5941276577050965803_n
    Photo di halaman pintu masuk markas besar gedung PBB kota New York, September 2014

    Bersambung.....
    God bless America, God bless West Papua
     LAPORAN PENDEK JENDELA KAMPANYE DAN DIPLOMASI PERJUANGAN BANGSA MELANESIA PAPUA BARAT DI AMERIKA SERIKAT, TAHUN 2011 – 2014.

    Dukungan Melanesia untuk Papua Barat bebas selalu tinggi

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online

    NEGARA-NEGARA MELANESIA GALANG DUKUNGAN UNTUK KEMBALIKAN KEBEBASAN PAPUA BARAT

    Penulis :
    -Wandikbonak


    Powes Parkop dan Benny Wenda (AK Rockefeller)

    Oleh : Airileke Ingram dan Jason MacLeod
    Jayapura, 18/3 (Jubi-NewMatilda)-Pemimpin Papua Nugini dan negara Melanesia lainnya menunjukkan dukungan mereka untuk pembebasan Papua Barat. Bob Carr bergerak melawan arus regional, tulis Airileke Ingram dan Jason MacLeod

    Dukungan Melanesia untuk Pembebasan Papua Barat selalu tinggi. Berjalan di seluruh Papua Nugini Anda akan sering mendengar orang berkata bahwa Papua Barat dan Papua Nugini adalah “Wanpela Graun” – satu tanah – dan bahwa Papua Barat di sisi lain perbatasan adalah keluarga dan kerabat.
    Di Kepulauan Solomon, Kanaky, Vanuatu dan Fiji orang akan memberitahu Anda bahwa “Melanesia belum bebas sampai Papua Barat bebas”. Masyarakat di bagian Pasifik ini sangat menyadari bahwa orang Papua Barat terus hidup di bawah ancaman senjata.

    Kemungkinan Perubahan.

    Rabu terakhir 6 Maret 2013, Powes Parkop, Gubernur Distrik Ibu Kota Nasional, Papua Nugini menancapkan “warna” nya tegas ke “tiang”. Di depan kerumunan 3000 orang Gubernur Parkop menegaskan bahwa “tidak ada pembenaran, sejarah hukum, agama, atau moral bagi pendudukan Indonesia di Papua Barat”.

    Menyambut pemimpin Papua, Benny Wenda, yang berada di Papua New Guinea sebagai bagian dari tur global, Gubernur mengatakan bahwa saat Wenda berada di Papua New Guinea, “tidak ada yang akan menangkapnya, tidak ada yang akan menghentikannya, dan ia dapat merasa bebas untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan. ” Ini merupakan hak dasar yang ditolak di Papua Barat, yang terus menerus ditangkap, disiksa dan dibunuh hanya karena warna kulit mereka.

    Gubernur Parkop, yang merupakan anggota dari Parlemen Internasional untuk Papua Barat, yang kini memiliki perwakilan di 56 negara, melanjutkan kegiatannya dengan meluncurkan kampanye Pembebasan Papua Barat. Dia berjanji untuk membuka kantor, mengibarkan bendera Bintang Kejora dari City Hall dan menjanjikan dukungannya untuk tur musisi Melanesia untuk Pembebasan Papua Barat.

    Gubernur Parkop Tak Lagi Sendirian di Melanesia Menyerukan Perubahan.

    Tahun lalu Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O’Neil “merusak” tradisi hubungan dengan Indonesia setelah mengingatkan publik dengan memberikan respon terhadap Pemerintah Indonesia atas kekerasan negara yang sedang berlangsung, pelanggaran hak asasi manusia dan kegagalan pemerintahan. Tergerak oleh 4000 perempuan dari Gereja Lutheran, O’Neill mengatakan kekhawatirannya tentang HAM terhadap pemerintah Indonesia.

    Sekarang Gubernur Parkop ingin menemani Perdana Menteri dalam kunjungan ke Indonesia untuk mempresentasikan gagasannya kepada Indonesia tentang cara memecahkan konflik Papua Barat sekali dan untuk semua.

    Komentator terkenal PNG, Emmanuel Narakobi berkomentar di blog-nya tentang usulan pendekatan multi-cabang dari Parkop, bagaimana memobilisasi opini publik di PNG tentang Papua Barat. “Mungkin adalah pertama kalinya saya mendengar rencana yang sebenarnya tentang bagaimana mengatasi masalah ini (Papua Barat)”. Melalui radio Gubernur Parkop menuduh Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr tidak serius menangani isu Papua Barat, melainkan “membersihkannya di bawah karpet.”

    Di Vanuatu, partai-partai oposisi, Malvatumari Nasional Dewan Chiefs dan uskup Anglikan dari Vanuatu serta Pendeta James Ligo mendesak pemerintah Vanuatu untuk mengubah posisi mereka terhadap isu Papua Barat. Ligo baru-baru ini berada di Sidang Dewan Gereja Pasifik di Honiara, Kepulauan Solomon, yang mengeluarkan sebuah resolusi mendesak Dewan Gereja Dunia untuk menekan PBB untuk mengirim tim pemantau ke wilayah Papua Indonesia.

    “Kita tahu bahwa Vanuatu telah mengambil sisi-langkah itu (masalah Papua Barat) dan kita tahu bahwa pemerintah kita mendukung status pengamat di Indonesia pada MSG (Melanesian Spearhead Group), kita tahu itu. Tapi sekali lagi, kami juga percaya bahwa sebagai gereja kami memiliki hak untuk mengadvokasi dan terus mengingatkan negara-negara dan para pemimpin kita untuk khawatir tentang saudara-saudara Papua Barat kami yang menderita setiap hari.” kata Ligo.

    Masyarakat Papua Barat juga mengorganisir diri mereka, bukan hanya di dalam negeri di mana kemarahan moral terhadap kekerasan negara Indonesia yang sedang berlangsung, tetapi juga di regional. Sebelum kunjungan Benny Wenda ke Papua Nugini, perwakilan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Kemerdekaan yang berbasis di Vanuatu resmi diajukan untuk mendapatkan status pengamat di MSG dalam pertemuan MSG tahun ini yang dijadwalkan akan digelar di New Kaledonia pada bulan Juni. New Caledonia, tentu saja, adalah rumah lain dari perjalanan panjang perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa Melanesia. Di Vanuatu Benny Wenda menambahkan dukungan untuk langkah tersebut, dengan menyerukan pada organisasi perlawanan Papua yang berbeda untuk mendukung “agenda bersama untuk kebebasan”. Sebuah keputusan tentang apakah Papua Barat akan diberikan status pengamat pada pertemuan MSG tahun ini akan dilakukan secepatnya.

    Di Australia Bob Carr mungkin mencoba untuk meredam semakin besarnya dukungan publik untuk Pembebasan Papua Barat tapi di Melanesia arus bergerak ke arah yang berlawanan.*

    Dewan Parlemen Nasional Papua Barat (PNWP)Telah Diluncurkan

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online

    Dewan Parlemen Nasional Papua Barat Telah Diluncurkan
    Ketua PNWP, Bucthar Tabuni ketika berorasi (Foto:Ist)
    PAPUAN, Jayapura --- Lembaga Parlemen Nasional West Papua (PNWP), beberapa waktu kedepan akan diluncurkan secara resmi di Jayapura, Papua, dengan mengdungan delegasi dari berbagai suku di tanah Papua.
    “Dewan Parlemen Nasional Papua Barat diluncurkan sebagai sebuah lembaga yang bertujuan untuk menjawab hak politik rakyat Bangsa Papua Barat ke dunia internasional maupun nasiona, termasuk simpatisan yang mendukung papua merdeka,” ujar Mecky.

    Lanjut Mecky, lembaga ini terdiri dari dua puluh tiga (23) Parlemen Rakyat Daerah yang mencakup seluruh tanah Papua, dan dihadiri oleh semua perwakilan daerah dari Sorong sampai Samarai.

    Diharapkan juga dengan perluncuran parlemen nasional ini mampu menjawab aspirasi seluruh rakyat Papua Barat yang telah lama diperjuangkan.

    Solidarity organisation calls on police not to use violence on 1 December



    Solidarity organisation calls on police not to use violence on 1 December

    News alertsyndication,


    Bintang Papua,
    26 November 2012Jayapura: Alius Asso, the deputy chairman of SHDRP,  the Papuan Civil Society Organisation for Solidarity, Law and Human Rights, has urged the police to use persuasive methods on 1 December when demonstrations will take place to mark the anniversary of 1 December.
    Asso said that on that day, there will be actions by indigenous groups in seven regions that claim to be part of the Federated Republic of West Papua  in Mamta, Saireri, Bomberay, Domberay, Me Pago, Ha Amin and several other places, which will take the form of prayer meetings or flag ceremonies.
    However, Asso said that it was not possible for him to tell groups not to wave the Morning Star flag  ‘because they have every right to do so’.
    He said that it was up to the security force to act in a professional way during these coming events. Demonstrations on 1 December have become a regular annual feature for Papuan people to  commemorate this historic day and this has been going on for many years.
    ‘The police should act wisely and professionally. They should avoid repressive actions. If they fail to do so, there will be many victims among the Papuan people . In Sentani, it is likely that  the event will take place at the grave of [the assassinated Papuan leader] Theys Eluay with prayers being said.’ But Asso said  he was not sure what would happen in Jayapura.
    The chief of police for Papua, Inspector-General Tito Karnavian has said that the army (TNI) and the police will be out guarding the areas because this is an integral part of their duties.. But Asso said that they should not resort to the use of violence. ‘If the demonstrators only intend to say prayers, why should this be banned by the security forces?’
    He went on to say that the spirit of democracy is developing and people are expressing their aspirations in peaceful ways, but if the State goes on silencing democracy, it will be responsible for closing down the space for democracy and there will be yet more injustices and human right abuses.
    ‘Everyone agrees about the need for security and moreover there is a law in force which guarantees protection for the citizens. And this is quite clear in the first article of the 1945 constitution.’
    [Translated by TAPOL]
     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif