photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label dap. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label dap. Tampilkan semua postingan

    Perjuangan Masyarakat Adat Menuju Negara Demokrasi Kesukuan di Papua Barat

    Perjuangan Masyarakat Adat Menuju Negara Demokrasi Kesukuan di Papua Barat

    Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DEMMAK) lahir dari hasil prakarsa anak bangsa yang stelah melihat hasil perjuangan melalui Presidium Dewan Papua (PDP) dibawah pimpinan Alm.Theys Hiyo Eluay, tidak lagi konsisiten memperjuangan aspirasi masyarakat Papua yang telah lama hidup di bawah cengkeraman kolonial NKRI selama 30 tahun. Segala Harapan dan aspirasi masyarakat saat itu ada pada pimpinan dan Pilar PDP, namun aspirasi dan harapan rakyat itu tidak diperjuangan semaksimal sesuai harapan Rakyat Papua, terlihat PDP semakin akrab dengan NKRI, dan seolah ada  permainan dari pimpinan PDP dalam memperjuangan hak-hak dasar serta aspirasi menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua, Maka DEMMAK di dirikan oleh anak Koteka yang setelah melihat semua keganjilan yang terjadi di tubuh PDP.

    DeMMaK di dirikan setelah Musyawarah  Besar Papua ke II tahun 2000, DEMMAK berdiri  sebagai Organisasi masyarakat adat yang menyuarakan hak-hak dasar masyarakat Adat Papua yang telah dan sedang menuju kepunahan dan kehancuran.

    Perjuangan DEMMAK tidak melalui dalam Negeri, perjuangan dan Kampanye Papua mulai dari luar Negeri, dengan kantor pusatnya di Ireland, Ingggris Raya, vanuatu dan beberapa negara di Eropa... Perjuangan ini di dukung penuh oleh Masyarakat Adat Koteka yang ada di Pegunungan Tengah Papua, terutama Suku Walak yang hingga hari ini masih Eksis memperjuangan melalui Dukungan Dana dan Doa dalam men capai Negara Demokrasi Kesukuan.

    Perjuangan keras Masyarakat Adata Koteka di Wilayah Pegunungan Tengah Papua  sehingga kantor DEMMAK dan Lobi politik di sejumlah negara berhasil dan sedang mendukung Penuh untuk Merdeka. Dalam rangka mendukung Perjuangan DEMMAK di luar negeri , Masyarakat Adat Adat Koteka di wilayah Badlima, berbagai cara mencari dana untuk mendukung Perjuangan lobi Politik di luar negeri,

    Sejarah Bangsa Papua, dan dunia akan mencatat, sebuah sejarah baru dimana Masyarakat adat Koteka wilayah Badlima telah menjual anak-anak gadisnya dengan harga yang murah demi mendukung dana Perjuangan Papua, Koordinator DEMMAK wilayah Badlima Tuan Jafet Togodly melakukan tindakan penjualan gadis-gadis papua di wilayah badlima kepada masyarakat disekitarnya untuk demi mendapatkan uang untuk perjuangan Politik Papua di Luar Negeri.

    Sejarah ini akan selalu mencatat di papua barat, bahwa begitu jerih payahnya Perjuangan masyarakat Adat Koteka wilayah Badlima untuk mendorong proses Perjuangan Papua menuju Kemerdekaan Penuh dengan negara Demokarasi Kesukuan...

    Perjuangan panjuang Masyarakat Adat Koteka seperti di wilayah Badlima, adakah perjuangan seperti ini dilakukan juga masyarakat lain di Papua??? Ataukah hanya mengahrapkan kemerdekaan dan Kebebasan itu datang begitu saja dari Surga? dari PBB?, atau orang kulit putih??? TIDAK!!!

    Perjuangan harus dari masyarakat Papua sendiri dengan penuh keyakinan, tanggungjawab, terhadap Perjuangan ini...

    DEMMAK Koordinator Wilayah Badlima, hingga hari ini masih Eksis dan semangat dalam perjuangan menuju Kemerdekaan Penuh dengan Negara Demokrasi Kesukuan, Moto Perjuangan masyarakat Adat Koteka Wilayah Badliama adalah, " Perjuangan Melawan Antara TIPU dan Benar"" BENAR LAWAN TIPU" ...

    Dasar Perjuangan Masyarakat Adat Koteka Papua adalah X1414,  Benar bahwa Allah menjadikan Tanah Papua dan penjaga atas ciptaaan tanah ini adalah orang Papua, kulitnya hitam, rambut Keriting, bukan orang rambut dan kulit lain... Kalau Allah kehendaki orang Papua yang menghuni di atas negeri ini, kenapa ada orang lain yang datang merampas, mencuri dan membunuh dengan seenaknya saja atas keberadaban manusia Papua???

    Allah sebagai Panglima Perang akan Berperang Bagi Umatnya, dan tugas kami adalah bekerja keras, mendukung  impian dan harapan itru terwujud dengan memberikan dukungan dana,kepada Diplomat anak Koteka yang ada di Luar Negeri.

    Bersama Kebenaran Sejarah Sang Bintang Kejora !!! Kita Pasti meraih Kemerdekaan dan Pembebasan Nasional Bagi Rakyat Papua Barat.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    DAP Bukan Wadah OPM

    DAP Bukan Wadah OPM
    Keerom (SULPA)—Herman Yoku yang baru terpilih sebagai Ketua Adat Keerom  pada Musda III Dewan Adat mengatakan, “Saya tidak ingin lembaga adat dikatakan sebagai wadah OPM. Papua sudah resmi menjadi bagian dari negara Indonesia.

    Dewan adat bukan organisasi yang melawan kepada pemerintah namun jika ada yang mengaku dewan adat merupakan corong sebuah organisasi seperti OPM maka itu oknum saja. Untuk itu saya berharap agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap lembaga adat. Hal ini dikatakan Herman Yoku Rabu (28/08/2013).
    Sebagai anak asli Papua yang memperjuangkan nasib masyarakat adat tidak akan gentar menghadapi diskriminasi yang diperoleh saat menduduki Ketua Adat. Dewan adat hanya ingin membangun ekonomi rakyat dan mempertahankan kearifan lokal, kata Yoku.

    Berkaitan dengan terpilihnya sebagai ketua dia akan merangkul semua kerukunan dari luar Papua maupun orang Papua. Hal ini dilakukan untuk merangkul semua lapisan masyarakat untuk membangun Papua.
    “Harapan saya agar non Papua dan asli Papua yang berada di atas tanah Tabi atau Keerom untuk saling mengahargai dan bekerja di atas tanah Papua dengan baik. (a/cr08/r3/lo-03)

    DAP Nilai PSK Degeuwo Sudah Meresahkan

    DAP Nilai PSK Degeuwo Sudah Meresahkan
    jhon-gobay-57 Kotaraja (SULPA)- Ketua Dewan Adat Kabupaten Pania John NR Gobay meminta pada pemerintah Kabupaten Paniai, untuk segera menertibkan para PSK yang ada di penambangan rakyat Degeuwo.
    Menurutnya, keberadaan PSK di dua titik penambangan rakyat, yakni di Kilometer 69 dan Kali Degeuwo, Baya Biru, Kabupaten Paniai sudah meresahkan masyarakat, untuk itu dewan adat meminta agar mereka dikembalikan ke daerah masing-masing.

    Dikatakannya, kekhawatiran datang dari kaum ibu yang takut akan keterlibatan suaminya dengan para PSK, karena wabah HIV AIDS saat ini sudah mulai menyebar ke masyarakat, terutama di daerah penambangan rakyat.
    “Kehadiran mereka sudah meresahkan, para istri takut kalau suami mereka melakukan hubungan seks dengan PSK dan tertular HIV,” katanya.

    Disinggung tekait keberadaan penambangan rakyat, dia mengatakan kalau keberadaan tambang rakyat itu sangat mendukung perekonomian masyarakat, karena banyak juga warga lokal yang ikut dalam penambangan itu. Baginya, selama mereka mengikuti prosedur dan aturan yang ada, tidak menjadi sebuah permasalahan.

    “Saat ini pemkab memang sudah berkomitmen untuk mencabut izin-izin penambangan ilegal. Tetapi ada tiga titik yang sudah menjadi perhatian pemerintah. Bupati Paniai sudah meminta dinas terkait untuk melakukan cek lokasi. Kalau itu sudah dilakukan, baru ada langkah yang akan ditempuh,” katanya. (B/cr1/r6)

    DAP: OPM di Paniai Jangan Diganggu

    DAP: OPM di Paniai Jangan Diganggu
    KETUA DEWAN ADAT PAPUA
    Ketua Dewan Adat Paniai Jhon Gobay mengatakan, pendekatan yang buruk terhadap pasukan Organisasi Papua Merdeka di Paniai, dapat menciptakan konflik berkepanjangan. Sejatinya, pendekatan ideal adalah dengan menghargai OPM sebagaimana mereka manusia yang juga mempunyai hak hidup. “Intinya adalah jangan mengganggu OPM, alasan aparat mengejar OPM di Paniai, dapat menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, karena sudah pasti mereka (warga sipil) yang akan kena dampaknya,” ujarnya kepada SULUH PAPUA, Kamis (19/9/2013).

     Menurut dia, pendekatan militeristik terhadap kekuatan bersenjata di hutan Paniai, sudah bukan jamannya lagi. “Lebih bagus adalah, aparat mendekati OPM dengan cara persuasif, toh mereka juga manusia yang punya hati, mereka pasti akan mendengar kalau didekati baik-baik,” ujarnya.

    Ia memandang, perlu dibangun komunikasi yang intens untuk meredakan gejolak bersenjata di daerah itu.
    “OPM jangan dianggap identik dengan kekerasan atau hal yang berbau anarkis, atau yang mengancam nyawa orang lain, saya kira, jika tidak diganggu, mereka juga tidak akan mengganggu aparat,” katanya.
    Pernyataan Jhon terkait dengan gejolak yang selama dua tahun terakhir pecah di Paniai. Daerah itu dikuasai oleh kelompok bersenjata pimpinan Jhon Yogi. Ia memiliki ratusan anggota dan bermarkas di hutan Paniai. “Setelah markas mereka di Eduda diserang tahun lalu, disitulah aksi kekerasan makin meningkat, untuk itu, pendekatan yang lebih manusiawi penting disini,” ucapnya.
    Baginya, stigma terhadap OPM sebagai pelaku terror, mesti pula dihilangkan. “Saya bukan mendukung OPM, tapi dengan cara yang lebih persuasif, kiranya penembakan atau kasus-kasus kekerasan di Paniai dapat diredam,” katanya.

    Dari berbagai sumber diperoleh, akibat pengejaran aparat terhadap OPM di Paniai, sejumlah warga menjadi korban. Peristiwa tersebut terjadi beruntun dari Januari hingga April 2013. Dalam sebuah insiden awal Februari 2013, aparat menangkap 6 warga dan mencabuli seorang wanita hamil. Tujuan operasi ketika itu adalah untuk menemukan anggota kelompok pro-kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka.
    Ditempat terpisah, seorang PNS juga ditangkap dan ditahan selama enam malam di Pos Polisi Paniai. Ia dituduh terlibat dalam gerakan pro-kemerdekaan. Ada pula, empat warga diringkus pada 25 Februari 2013 di Kampung Bobaigo dan Daoguto. Mereka dipukul hingga bibirnya berdarah.
    Di 23 Maret 2013, seorang pemuda Suku Moni di Uwibutu, Paniai, disiksa petugas karena diduga anggota John Yogi. Ia diseret di aspal dan ditendang. Beberapa warga sempat melihat aksi itu namun tak dapat menolong. Korban yang tak berdaya kemudian dibawa ke rumah sakit.

    Kepala Kepolisian Resor Paniai, Ajun Komisaris Besar Polisi Semi Ronny menegaskan kasus kekerasan di Paniai yang mencela aparat sebagai pelaku, tidak sepenuhnya benar. “Data itu merupakan informasi sementara, semua masih harus diklarifikasi lagi,” kata Semi Ronny. Menurut dia, apabila ditemukan anggotanya terlibat kekerasan, pasti diberi sanksi.

    Terkait desakan agar personil brigade mobil ditarik karena diduga menganiaya warga, Semi mengatakan telah dilakukan. “Sementara untuk penambahan personil menghadapi kelompok bersenjata, itu tidak. Memang anggota kita sedikit dan bertugas untuk tiga kabupaten, tapi tetap tidak ada penambahan,” katanya. Jumlah personil Brimob di Paniai sekitar 85 orang. “Sedikit saja, ini memang tantangan berat,” ujarnya lagi.
    Desakan agar brimob ditarik, dikemukakan sejumlah aktivis dalam pertemuan antara pemerintah Paniai, Kepolisian/TNI serta DPR Papua di Gedung DPRP, beberapa waktu lalu. “Karena kehadiran Brimob, masyarakat menjadi trauma dan ketakutan serta menjadi korban kekerasan,” kata Andreas Gobay, Ketua Solidaritas Kekerasan Paniai.

    Sementara itu, Bupati Paniai Hengky Kayame menegaskan, kekerasan bersenjata di wilayah pegunungan bagian barat itu terjadi tiap tahun. Karena itu masyarakat minta agar Brimob ditarik.
    Menurut Hengky, pihaknya dihadapkan pada situasi sulit. Di satu sisi terdapat persoalan kesejahteraan, sedangkan di lain sisi timbul masalah keamanan.

    ”Sebelum saya dilantik sebagai bupati, daerah Paniai selalu bermasalah. Sekarang jadi bupati juga dihadapkan pada masalah,” tutur Kayame.
    Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magai menegaskan, konflik Paniai akibat ego dua pihak. OPM bersikukuh menyatakan Papua merdeka, sedangkan kepolisian dan TNI mempertahankan NKRI sebagai harga mati.

    ”Kalau semua pihak mempertahankan pendapatnya, konflik tak akan berakhir, masyarakat yang akan jadi korban,” katanya memaparkan.
    Magai menyarankan agar pemerintah menjawab aspirasi dengan menyelenggarakan dialog antara Jakarta dan Papua sebagai jalan tengah bermartabat dan adil menuntaskan masalah Papua. ”Kalau tidak, korban akan terus berjatuhan,” tandasnya. (JR/R4)

    DAP-KMSP : Masih Ada Stigma Dalam Perjuangan Masyarakat Adat

    DAP-KMSP : Masih Ada Stigma Dalam Perjuangan Masyarakat Adat

    Jayapura  – Dewan Adat Papua (DAP) dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua (KMSP) menilai masih ada stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat adat Papua bagi penegakan, penghargaan dan perlindungan hak-hak dasar.

    Demikian hal itu disampaikan oleh sekertaris Dewan Adat Papua Leonard Imbiri yang juga mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Papua dalam pidato memperingati perayaan hari pribumi internasional yang jatuh pada 9 Agustus lalu lewat jumpa pers yang dilaksanakan di aula P3W Padangbulan, Kota Jayapura, Sabtu (10/8).
    “DAP dan KMSP menilai masih ada stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat adat Papua dalam berbagai hal,” katanya.

    Dalam pidato tersebut DAP dan KMSP  mencatat beberapa ketimpangan dalam tataran implementasi yang berkaitan langsung dengan penghargaan dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.
    Diantaranya proses politisasi perjuangan masyarakat adat Papua dengan pemberian ‘stigmatisasi’ telah melemahkan perjuangan penegakan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.

    Dan hal ini, lanjut Leonard, bisa dilihat  pada masyarakat adat Papua yang makin mengalami kehilangan atas hak ulayat dan sumber daya alamnya. Dimana hal itu juga berimbas pada  struktur dan nilai-nilai  adat yang  terdegradasi dengan munculnya  struktur baru yang tidak menghargai mekanisme interen masyarakat adat.
    Dalam kesempatan itu, Leonard juga  sampaikan DAP dan KMSP menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada beberapa Kabupaten yang telah mendorong lahirnya Peraturan Daerah tentang Pelarangan Penjualan Tanah Adat dan mendesak perusahan nasional dan multinasional, lembaga donor dan pemerintah untuk menggunakan mekanisme Free Prior and Informed Consent(FPIC) dalam kebijakan pembangunan di Tanah Papua. Mendesak lembaga-lembaga PBB yang bekerja di Tanah Papua untuk terlibat aktif dalam perayaan Hari bangsa Pribumi 2013 dan mengambil inisiatif dalam perjuangan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.

    Lebih lanjut DAP dan KMSP secara khusus mencatat bahwa Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah salah satu contoh program negara yang telah mampu memarjinalkan masyarakat adat Marind dari aset budaya. Dimana pelaksanaan proyek-proyel tersebut dilakukan atas nama pembangunan bangsa tanpa melalui proses-proses yang menghargai dan mengakui masyarakat adat Marind yang adalah pemilik sah wilayah adat tersebut.

    “Proyek ini tidak memperhitungkan ruang hidup masyarakat adat dalam penetapan tata ruang wilayah yang ada serta menjamin keberlangsungan pemanfaatan makanan lokal sebagai salah satu modal ketahanan pangan lokal dan pangan nasional. Program ini juga merupakan satu proyek yang bertentangan dengan kampanye menjadikan hutan Papua sebagai salah satu hutan tropis yang memberi kontribusi pada pengurangan emisi dunia,” katanya.

    Hari Bangsa Pribumi Internasional, 9 Agustus, pertama kali diumumkan oleh Sidang Umum PBB pada 1994 dan dirayakan disetiap tahun selama dekade internasional pertama
    Bangsa Pribumi se-dunia (1995-2004). Pada 2004, Sidang Umum PBB mengumumkan Dekade Internasional Kedua Bangsa Pribumi, dari 2005- 2014, dengan thema “Dekade Bagi Aksi dan Martabat.”
    Perayaan Hari Bangsa Pribumi tahun 2013 kiranya menolong kita untuk menata diri dan membangun masa depan Papua yang lebih baik,” tutup Lenoard.

    Dalam acara jumpa pers tersebut selain dihadiri Leonard Imbiri yang juga direktur Yadupa dan sekretaris DAP, Pelaksana tugas kepala perwakilan kantor Komnas Ham Papua Frits Ramandey dan Fien Yarangga dari Tiki Papua juga hadir. Dan juga Victor Mambor pemimpin redaksi tabloidJubi.com serta  John Haluk, ketua Kamar Adat Pengusaha Papua nampak hadir pula. (AR/AlDP)

    DAP: Papua on the brink of genocide


    The chairman of DAP, the Papuan Traditional Council, Forkorus
    Yaboisembut, is reported as saying that the process of elimination of
    the Melanesian Race which is currently turning the indigenous Papua
    people into a minority in their own homeland does not yet fall within
    the definition of genocide. But it is the intention of the Indonesian
    State to bring the indigenous Papuan People to the brink of genocide.
    ‘It cannot be said that, according to the definition of genocide, that
    is what is happening, but the situation is moving in that direction,’ he
    said.

    He said that the growth in the indigenous population has not increased
    at all, as compared with what has been happening in Papua New Guinea.
    ‘At the time of Papua’s integration into the Republic of Indonesia, the
    indigenous population (Orang Asli Papua or OAP) numbered around 800,000, whereas in PNG it was 900,000.’

    Since then, the population of PNG has increased to 7.7 million or more,
    which is out of all comparison with the growth of the OAP who now number 1.8 million. If there had been no discriminatory measures against the OAP, this would have grown to 6 million. This lower growth is partly also due to several government programmes, such as the Family Planning Programme and the transmigration programme. Added to this is is spread of HIV/AIDS which is undermining the growth potential of indigenous Papuans.

    On top of all that, he said, from 1969 until the fall of Suharto in
    1998, Papua was a Military Operations Zone (DOM). And now what it
    happening is the continual violation of human rights.
    He accused the Central Statitics Bureau (BPS) of publishing data that
    does not conform with the reality in Papua. He said that this data
    serves the interests of the Indonesian state while victimising the OAP.
    ‘The BPS ‘s intention is to show that there is no such thing as genocide occurring in Papua, They have even been claiming that the indigenous Papuans still comprise the majority in this part of the country.
    He also referred to the UN Convention on Genocide which defines genocide as the intentional, systematic elimination of an ethnic group

    Ini Pidato DAP dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua pada Perayaan Hari Bangsa Pribumi Internasional 2013

    Perayaan Hari Bangsa Pribumi Internasional di Papua 
     



    Ini Pidato DAP dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua pada Perayaan Hari Bangsa Pribumi Internasional 2013
     
    DEWAN ADAT PAPUA DAN KOALISI MASYARAKAT SIPIL PAPUA PERAYAAN HARI BANGSA PRIBUMI INTERNASIONAL 9 AGUSTUS 2013
    THEMA: "MASYARAKAT ADAT MEMBANGUN ALIANSI: MENGHORMATI PERJANJIAN, KESEPAKATAN DAN PENGATURAN KONSTRUKTIF LAINNYA"

    Mengawali pidato radio, perkenankanlah Dewan Adat Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H kepada semua umat muslim di Tanah Papua dan dimana saja berada.
    Hari Bangsa Pribumi Internasional, 9 Agustus, pertama kali diumumkan oleh Sidang Umum PBB 1994 dan dirayakan setiap tahun selama dekade internasional pertama Bangsa Pribumi se-dunia (1995 2004). Pada 2004, Sidang Umum PBB mengumumkan Dekade Internasional Kedua Bangsa Pribumi, dari 2005 2014, dengan thema DEKADE BAGI AKSI DAN MARTABAT.
    Thema perayaan Hari Internasional Bangsa Pribumi tahun 2013 adalah Bangsa Pribumi Membangun Aliansi: Menghormati Perjanjian, Kesepakatan dan Pengaturan Konstruktif Lainnya ("Indigenous peoples building alliances: Honouring treaties, agreements and other constructive arrangements.).
    Maksud thema ini adalah untuk menyoroti pentingnya menghormati perencanaan atau persetujuan antara Negara-Negara, warga negaranya dan masyarakat adat yang dirancang untuk mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka dan membangun satu kerangka bagi kehidupan yang dekat dan masuk dalam hubungan-hubungan ekonomi.
    Perjanjian ini juga menguraikan tentang suatu visi politik tentang kedaulatan masyarakat yang berbeda yang hidup bersama diatas tanah yang sama, sesuai dengan prinsip persahabatan, kerjasama dan perdamaian.
    Sejalan dengan tema tersebut, Dewan Adat Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil di Tanah Papua merayakan 9 Agustus 2013 dan memberi refleksi terhadap Upaya Penghargaan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, terdiri dari:

    1.    Perjuangan masyarakat adat pada tataran Internasional telah mencapai satu tahapan di mana Masyarakat Adat telah mendapat tempat dalam sistem dan mekanisme PBB. Hal itu nampak dimana PBB selain telah mengesahkan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Bangsa Pribumi tetapi juga telah menyetujui 3 mekanisme yang signifikan yaitu:

    1.1.    Forum Permanen PBB tentang Isu-isu masyarakat adat (United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues UNPFII),
    1.2.    Mekanisme Para Pakar PBB tentang Hak-Hak Bangsa Pribumi (United Nations Expert Mechanism on the Rights of Indigenous Peoples - UNEMRIP),
    1.3.    Pelapor Khusus PBB tentang Hak-Hak Bangsa Pribumi (United Nations  Special Rapporteur on Indigenous Peoples)
    1.4.    Konferensi Dunia Masyarakat Adat (the World Conference on Indigenous Peoples) yang untuk pertama kali akan dilaksanakan pada bulan September 2014.

    Dewan Adat Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua menyampaikan apresiasi yang mendalam untuk semua keberhasilan yang telah dicapai dan mendorong stakeholders di Tanah Papua dan masyarakat adat Papua untuk berpartisipasi aktif dalam memaksimalkan mekanisme-mekanisme tersebut bagi penghargaan dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.

    2.    Pada tataran nasional, Perjuangan Masyarakat Adat telah mencapai beberapa kemajuan signifikan dalam dekade Internasional kedua Masyarakat Adat.
    Salah satu langkah positif masyarakat adat di Indonesia adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

    Putusan ini mengakui Hak kepemilikan Hutan Adat. Keputusan ini menjadi langkah hukum yang signifikan bagi masyarakat adat khususnya masyarakat adat Papua untuk menindak-lanjuti dalam kebijakan operasional lainnya yang menjamin hak milik masyarakat adat atas pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat.

    Dalam kaitan dengan keberhasilan tersebut, Dewan Adat Papua dan Koalisi
    Masyarakat Sipil di Tanah Papua menyampaikan apresiasi atas upaya yang strategis ini dan mendesak pemerintah daerah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk merealisasikan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/Menhut-II/2013 tentang Putusan Mahkamah Konsitutsi Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013.
    Selain Keberhasilan pada tataran kebijakan, Dewan Adat Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua mencatat beberapa ketimpangan dalam tataran implementasi yang berkaitan langsung dengan penghargaan dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.
    1.    Masih adanya stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat adat Papua bagi penegakan, penghargaan dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat Papua. Proses politisasi perjuangan masyarakat adat Papua dengan pemberian stigmatisasi telah mampu melemahkan perjuangan penegakan hak-hak dasar masyarakat adat Papua. Hal ini nampak dimana masyarakat adat Papua makin mengalami kehilangan atas Tanah dan Sumber Daya Alamnya. Struktur dan nilai-nilai adat makin terdegradasi dengan penciptaan struktur baru yang tidak menghargai mekanisme internal masyarakat adat yang memperkuat struktur adat tersebut.

    Dewan Adat Papua dan Koalisasi Masyarakat Sipil Papua mendukung penuh upaya-upaya yang sistematis bagi penguatan kelembagaan masyarakat adat Papua yang benar-benar merepresentasi masyarakat adat Papua dalam perjuangan hak-hak dasar masyarakat adat Papua. Upaya politisasi terhadap institusi adat harus dihentikan dan mengembalikan fungsi institusi adat sebagai rumah bersama semua anak adat Papua, rumah dimana konflik diselesaikan, rumah dimana terjadi kesepakatan untuk membangun kampung, membangun dusun dan membangun rumah Papua;
    2.    Tanah Papua dan Sumber Daya Alam Papua adalah hak warisan leluhur orang Papua bukan hanya untuk kesejahteraan kita hari ini tetapi juga untuk kesejahteraan anak cucu kita kelak. Karena itu, Tanah dan Sumber Daya Alam Papua tidak boleh menjadi sumber konflik yang mengakibatkan penderitaan masyarakat adat Papua. Pengambil-alihan tanah adat untuk kepentingan usaha dan atas nama pembangunan serta eksplotasi Sumber Daya Alam yang telah lama menjadi satu proses yang memarjinalkan masyarakat adat Papua harus diatur dalam satu proses yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat adat Papua sebagai subyek pembangunan yang setara dengan pelaku pembangunan lainnya.
    Dewan Adat Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada beberapa Kabupaten yang telah mendorong lahirnya Peraturan Daerah tentang Pelarangan Penjualan Tanah Adat dan mendesak perusahan nasional dan multinasional, lembaga donor dan pemerintah untuk menggunakan mekanisme Free Prior and Informed Consent(FPIC) dalam kebijakan pembangunan di Tanah Papua.
    Mendesak lembaga-lembaga PBB yang bekerja di Tanah Papua untuk terlibat aktif dalam perayaan Hari bangsa Pribumi 2014 dan mengambil inisiatif dalam perjuangan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.
    Sejalan dengan pokok-pokok pemikiran tersebut diatas, maka salah contohnya adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang merupakan program negara yang telah mampu memarjinalkan masyarakat adat Marind dari aset budaya.
    Pelaksanaan mega-proyek ini dilaksanakan atas nama pembangunan bangsa tanpa melalui proses-proses yang menghargai dan mengakui masyarakat adat Marind yang adalah pemilik sah wilayah adat Marind. Proyek ini tidak memperhitungkan ruang hidup masyarakat adat dalam penetapan Tata Ruang Wilayah serta menjamin keberlangsungan pemanfaatan makanan lokal sebagai salah satu modal ketahanan pangan lokal dan pangan nasional.
    Program ini juga merupakan satu proyek yang bertentangan dengan kampanye menjadikan hutan Papua sebagai salah satu hutan tropis yang memberi kontribusi pada pengurangan emisi dunia. Disamping proyek MIFEE tersebut, masih terdapat proyek serupa yang tersebar di seluruh Tanah Papua, yang bersifat ekstraktif, penebangan, penanaman dan jasa baik di sektor pertambangan, Pertanian, Perkebunan, Perikanan, pembangunan infrastruktur mikro hingga makro yang semuanya itu untuk mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi baik secara lokal, regional, nasional dan internasional.
    Untuk itu, Dewan Adat Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua dalam kesempatan ini memberikan apresiasi dan memandang pentingnya membangun suatu cara pandang baru bahwa kepentingan investasi dan pembangunan dalam semua sektor pembangunan hendaknya dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat Adat Papua yang berada di sekitar kegiatan pembangunan dimaksud. Dengan demikian, sesungguhnya potensi dan sumber daya alam yang dimiliki oleh Masyarakat sudah tentu harus memberikan rasa keadilan dan perdamaian (Enviromental for Peace and Justice/Lingkungan dan SDA untuk keadilan dan Perdamian) tidak hanya untuk Masyarakat, tetapi juga untuk pelaku usaha/Investor dengan mengembangkan prinsip-prinsip bersama antara masyarakat dengan pelaku usaha.

    Sejalan dengan maksud tersebut, Dewan Adat Papua dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua, siap mengembangkan cara pandang dimaksud dengan berbagai pihak untuk melakukan pemikiran terkait peran penting Lingkungan dan SDA untuk keadilan dan perdamaian.

    Lebih lanjut, dengan adanya cara pandang baru ini akan lebih memberikan manfaat dan perubahan bagi Masyarakat Adat di Tanah Papua kedepan.
    Akhirnya melalui Perayaan Hari Bangsa Pribumi tahun 2013 kiranya menolong kita untuk menata diri dan membangun masa depan Papua yang lebih baik.
    Bekerjalah bagi negeri-Mu kiranya menjadi tekad bagi semua anak negeri Papua, di kota dan di kampung, di birokrasi dan di kebun-kebun, di gunung, lembah, dataran rendah, rawa-rawa dan di wilayah pesisir pantai. Marilah bekerja untuk kemajuan negerimu Papua.
    Tuhan memberkati karya kita, leluhur Papua menyertai kita.

    Jayapura, 06 Agustus 2013
    DEWAN ADAT PAPUA dan KOALISI MASYARAKAT SIPIL PAPUA
    LEONARD IMBIRI, Sekretaris Umum DAP 
    ESRA MANDOSIR, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Papua

    Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Dukung Kejaksaan Manokwari

    Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Dukung Kejaksaan Manokwari

    MANOKWARI - Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah Kepala Burung Barnabas Mandacan menyatakan dukungannya terhadap Kejaksaan Negeri Manokwari yang saat ini tengah memberantas korupsi. Disisi lain, DAP meminta jaksa untuk tidak kompromi dengan koruptor.

    Saat ditemui dikediamannya, Rabu (16/10) Barnabas Mandacan mengatakan korupsi telah menghambat proses pembangunan di daerah ini. Baik itu pembangunan sarana fisik maupun pembangunan sumber daya manusia. Sebab, dana yang dianggarkan untuk pembangunan fisik dan non fisik itu telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Untuk itu, aparat penegak hukum harus bersikap tegas terhadap koruptor.
    Barnabas juga setuju dengan sikap Kejaksaan Negeri Manokwari yang saat ini melakukan penahanan terhadap semua tersangka kasus korupsi diruang tahanan.

    “Tersangka korupsi tidak bisa dibiarkan bebas berkeliaran. Harus ditahan di Lapas supaya tidak berusaha untuk menghilangkan barang bukti,”tuturnya.
    Antara lain tersangka korupsi yang ditahan Penyidik Kejari Manokwari adalah Ketua Harian KONI Papua Barat Albert Rombe, S.E., yang diduga korupsi dalam proyek rehab lapangan softball di kompleks Bumi Marina Asri tahun 2012 senilai Rp500 juta. Ia ditahan Penyidik Kejaksaan sejak 19 September 2013 lalu.

    Koordinator KAMPAK Papua Barat Victor Betay juga menyatakan dukungannya terhadap Kejaksaan Negeri Manokwari yang melakukan penahanan rutan terhadap semua tersangka korupsi. Termasuk tersangka kasus korupsi dari Teluk Wondama yang pekan ini akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Manokwari.
    “Semua tersangka korupsi harus ditahan, apa pun statusnya, apakah dia pejabat,”tuturnya.(sera/achi/l03)

    DAP (Dewan Adat Papua) Keluarkan Seruan Terbuka Internasional

    DAP Keluarkan Seruan Terbuka Internasional PDF Afdrukken E-mailadres

    JAYAPURA—Dewan Adat Papua (DAP) tidak akan mengunakan cara- cara perjuangan Bawah Tanah  yang tersembunyi lagi untuk berhubungan dengan dunia Internasional untuk segera   mewujudkan Kedaulatan sebagai Bangsa Bagi Bangsa Papua Barat, melainkan sudah saatnya perjuangan terbuka kepada Dunia Internasional  akan gencar diperjuangkan dalam tahun 2010 ini.

    Perjuangan terbuka untuk segera mewujudkan Hak Politik Bangsa Papua secara resmi dikeluarkan Ketua DAP Forkorus Yoboisembut yang segera disebarluaskan kepada Dunia Internasional.
    Demikian disampaikan Forkorus Yobisembut kepada Pers, Jumat (19/3) di Abepura. Dikatakan, seruan ini menindaklanjuti pidatonya pada saat Kelly Kwalik dibunuh.   Salah satu butir pidato Ketua DAP, yakni DAP memberikan deadline hingga Februari 2010 kepada Pemerintah Indonesia untuk meresponi apa yang Bangsa Papua Barat Perjuangkan yakni Hak Politiknya.

    Namun ternyata, apa yang jadi tuntutan DAP belum  ada upaya segera merealisasikannya. Hal ini membuat DAP akan mengambil langkah- langkah lebih jauh,sebab selama ini DAP masih menghargai Pemerintah Indonesia agar bertindak dalam menyelesaikan sengketa status Politik dan Sumber Daya Alam, Social, Ekonomi Rakyat bangsa  Papua.

    Forkorus mengatakan, setelah batas waktu yang ditentukan yakni Februari dan bulan kedepannya ternyata tidak ada upaya dan tanda baik yang mau ditunjukkan, maka saat inilah  DAP telah mengambil tindakan  Politik yang lebih jauh dan Pemerintah Indonesia tidak boleh masalahkan  langkah politik yang diambil DAP.
    Sudah waktunya DAP mengambil Langkah dan kebijakan Politiknya dalam menyelesaikan status Politik Bangsa Papua Barat yang telah sah sejak 1 Mei 1961. Dikatakan juga bahwa latarbelakang tindakan terang terangan DAP  yang dikeluarkan terbuka kepada Internasional berdasarkan kenyataan yang terjadi di Papua terhadap sejumlah masalah kemanusiaan, dinamika Politik,social, ekonomi dan lainnya. Suara Rakyat Bangsa Papua Barat yang berteriak, kata Forkorus adalah suatu hal yang melatarbelakangi Perjuangan DAP supaya suara rakyat Bangsa Papua dapat didengar.

    Adapun seruan DAP yang dikeluarkan dengan Nomor : 005/ Ketum- DAP /III/ 2010 tentang penyelesaian sengketa antara Bangsa Papua Barat dan Pemerintah Bangsa Indonesia, seruan yang ditujukan kepada semua pihak ditingkat regional dan Internasional yang berkepentingan dengan Tanah Air Papua dan sumber Daya Alamnya serta Masyarakat asli Papua yang terus berjuang secara damai dan tetap menjunjung demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

    Isi seruan yang akan dikirimkan kepada Bangsa bangsa di dunia Internasional adalah bahwa persoalan di Tanah Papua Barat yang telah terjadi dan berlangsung sejak 1963 sampai sekarang, bukanlah persoalan dalam negeri aatau urusan rumah tangga Pemerintah Indonesia tetapi persengketaan antara dua Negara, yaitu antara Bangsa Papua Barat dan Indonesia tentang status Politik bangsa Papua dan perebutan tanah serta sumber Daya Alam.

    Dijelaskan, persengketaan tersebut seperti poin diatas telah membuat kehidupan orang asli Papua barat tidak merasa tenang, nyaman dan sehat, sehingga secara demografi populasi masyarakat asli Papua barat tidak berkembang secara sifnifikan, baik dari kualitas maupun kuantitas, hal ini dapat dibuktikan, bahwa pada tahun 1969 populasi orang asli Papua berjumlah kurang lebih 900.000 jiwasekarang populasi orang asli Papua hanya 800.000 jiwa, hingga 2010 tercatat 1,5 juta jiwa, jumlah ini bila dibandingkan dengan Papua Timur(PNG) yang sama ras pada 1969 populasinya berjumlah kurang lebih 900.000 jiwa dan sekarang jumlah populasi Papua New Guinea adalah 7 juta jiwa dalam kurun waktu yang sama.
    Masalah populasi penduduk asli Papua yang tidak berkembang, oleh DAP dianggap sebagai indikasi bahwa telah terjadi  creeping genocide secara perlahan  namun pasti.
    Selanjutnya DAP menilai UU Otsus, UU Otonomi Daerah dan sejumlah peraturan perundang undangan lain yang berlaku di Tanah Papua sejak 1969 sampai sekarang 2010 tidak dapat menjamin masa depan hak hidup masyarakat asli Papua.

    Dijelaskan, masyarakat adat dan asli Papua yang semakin termarjinal dan menjadi minoritas dan cenderung menuju kepunahan akiba genocida, hal ini nampak pada kampung kampung yang ada di Papua yang dianggap sebagai tempat hidup dan bekembangnya populasi orang asli Papua secara kuantitas maupun kualitas, disertai adat budaya yang semakin terkikis menuju kepunahan, tanah tanah adapt sebagai penunjang ekonomi yang pertama dan utama mulai kehilangan hak kepemilikan secara mayoritas bagi orang Papua, dimana pengolahan dan pemanfaatan hutan tanpa MoU  dengan masyarakat adapt pemilik hutan dari setiap suku.

    Melihat kenyataan permasalahan klasik konflik social, ekonomi hingga status Politik Bangsa Papua, maka DAP kata Forkorus  akan memainkan lobi Politik secara transparan dengan Dunia Internasional, dan Pemerintah Indonesia tidak boleh katakana perjuangan DAP alah perjuangan separatis, ditegaskan bahwa sengketa Politik Papua harus diselesaikan, DAP mendukung proses dialog yang sedang digagas, namun perjuangan go Internasional sudah diketahui Dunia,sebab sengketa BANGSA Papua karena status Politiknya yang telah dianeksasikan.

    DAP tetap mendukung Dialog yang digagas Pater Neles dan LIPI, Ketua DAP ini menilai bahwa jika dialog terjadi, hendaknya adil, tidak boleh kejadian pada 1969 PEPERA terjadi dimana Rakyat Bangsa Papua tidak terlibat didalamnya, pada hal masalah yang dibahas adalah masalah rakyat Bangsa Papua, ujarnya. (ven)
     
     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif