DAP-KMSP : Masih Ada Stigma Dalam Perjuangan Masyarakat Adat
Jayapura
– Dewan Adat Papua (DAP) dan Koalisi Masyarakat Sipil Papua (KMSP)
menilai masih ada stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat adat Papua
bagi penegakan, penghargaan dan perlindungan hak-hak dasar.
Demikian hal itu disampaikan oleh sekertaris Dewan Adat Papua Leonard
Imbiri yang juga mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Papua dalam pidato
memperingati perayaan hari pribumi internasional yang jatuh pada 9
Agustus lalu lewat jumpa pers yang dilaksanakan di aula P3W Padangbulan,
Kota Jayapura, Sabtu (10/8).
“DAP dan KMSP menilai masih ada stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat adat Papua dalam berbagai hal,” katanya.
Dalam pidato tersebut DAP dan KMSP mencatat beberapa ketimpangan
dalam tataran implementasi yang berkaitan langsung dengan penghargaan
dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat Papua.
Diantaranya proses politisasi perjuangan masyarakat adat Papua dengan
pemberian ‘stigmatisasi’ telah melemahkan perjuangan penegakan hak-hak
dasar masyarakat adat Papua.
Dan hal ini, lanjut Leonard, bisa dilihat pada masyarakat adat Papua
yang makin mengalami kehilangan atas hak ulayat dan sumber daya
alamnya. Dimana hal itu juga berimbas pada struktur dan nilai-nilai
adat yang terdegradasi dengan munculnya struktur baru yang tidak
menghargai mekanisme interen masyarakat adat.
Dalam kesempatan itu, Leonard juga sampaikan DAP dan KMSP
menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada beberapa Kabupaten yang
telah mendorong lahirnya Peraturan Daerah tentang Pelarangan Penjualan
Tanah Adat dan mendesak perusahan nasional dan multinasional, lembaga
donor dan pemerintah untuk menggunakan mekanisme Free Prior and Informed
Consent(FPIC) dalam kebijakan pembangunan di Tanah Papua. Mendesak
lembaga-lembaga PBB yang bekerja di Tanah Papua untuk terlibat aktif
dalam perayaan Hari bangsa Pribumi 2013 dan mengambil inisiatif dalam
perjuangan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.
Lebih lanjut DAP dan KMSP secara khusus mencatat bahwa Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah salah satu contoh
program negara yang telah mampu memarjinalkan masyarakat adat Marind
dari aset budaya. Dimana pelaksanaan proyek-proyel tersebut dilakukan
atas nama pembangunan bangsa tanpa melalui proses-proses yang menghargai
dan mengakui masyarakat adat Marind yang adalah pemilik sah wilayah
adat tersebut.
“Proyek ini tidak memperhitungkan ruang hidup masyarakat adat dalam
penetapan tata ruang wilayah yang ada serta menjamin keberlangsungan
pemanfaatan makanan lokal sebagai salah satu modal ketahanan pangan
lokal dan pangan nasional. Program ini juga merupakan satu proyek yang
bertentangan dengan kampanye menjadikan hutan Papua sebagai salah satu
hutan tropis yang memberi kontribusi pada pengurangan emisi dunia,”
katanya.
Hari Bangsa Pribumi Internasional, 9 Agustus, pertama kali diumumkan
oleh Sidang Umum PBB pada 1994 dan dirayakan disetiap tahun selama
dekade internasional pertama
Bangsa Pribumi se-dunia (1995-2004). Pada 2004, Sidang Umum PBB mengumumkan Dekade Internasional Kedua Bangsa Pribumi, dari 2005- 2014, dengan thema “Dekade Bagi Aksi dan Martabat.”
Bangsa Pribumi se-dunia (1995-2004). Pada 2004, Sidang Umum PBB mengumumkan Dekade Internasional Kedua Bangsa Pribumi, dari 2005- 2014, dengan thema “Dekade Bagi Aksi dan Martabat.”
Perayaan Hari Bangsa Pribumi tahun 2013 kiranya menolong kita untuk
menata diri dan membangun masa depan Papua yang lebih baik,” tutup
Lenoard.
Dalam acara jumpa pers tersebut selain dihadiri Leonard Imbiri yang
juga direktur Yadupa dan sekretaris DAP, Pelaksana tugas kepala
perwakilan kantor Komnas Ham Papua Frits Ramandey dan Fien Yarangga dari
Tiki Papua juga hadir. Dan juga Victor Mambor pemimpin redaksi tabloidJubi.com serta John
Haluk, ketua Kamar Adat Pengusaha Papua nampak hadir pula. (AR/AlDP)