photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label Suara Masyarakat Papua. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label Suara Masyarakat Papua. Tampilkan semua postingan

    Perjuangan Masyarakat Adat Menuju Negara Demokrasi Kesukuan di Papua Barat

    Perjuangan Masyarakat Adat Menuju Negara Demokrasi Kesukuan di Papua Barat

    Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DEMMAK) lahir dari hasil prakarsa anak bangsa yang stelah melihat hasil perjuangan melalui Presidium Dewan Papua (PDP) dibawah pimpinan Alm.Theys Hiyo Eluay, tidak lagi konsisiten memperjuangan aspirasi masyarakat Papua yang telah lama hidup di bawah cengkeraman kolonial NKRI selama 30 tahun. Segala Harapan dan aspirasi masyarakat saat itu ada pada pimpinan dan Pilar PDP, namun aspirasi dan harapan rakyat itu tidak diperjuangan semaksimal sesuai harapan Rakyat Papua, terlihat PDP semakin akrab dengan NKRI, dan seolah ada  permainan dari pimpinan PDP dalam memperjuangan hak-hak dasar serta aspirasi menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua, Maka DEMMAK di dirikan oleh anak Koteka yang setelah melihat semua keganjilan yang terjadi di tubuh PDP.

    DeMMaK di dirikan setelah Musyawarah  Besar Papua ke II tahun 2000, DEMMAK berdiri  sebagai Organisasi masyarakat adat yang menyuarakan hak-hak dasar masyarakat Adat Papua yang telah dan sedang menuju kepunahan dan kehancuran.

    Perjuangan DEMMAK tidak melalui dalam Negeri, perjuangan dan Kampanye Papua mulai dari luar Negeri, dengan kantor pusatnya di Ireland, Ingggris Raya, vanuatu dan beberapa negara di Eropa... Perjuangan ini di dukung penuh oleh Masyarakat Adat Koteka yang ada di Pegunungan Tengah Papua, terutama Suku Walak yang hingga hari ini masih Eksis memperjuangan melalui Dukungan Dana dan Doa dalam men capai Negara Demokrasi Kesukuan.

    Perjuangan keras Masyarakat Adata Koteka di Wilayah Pegunungan Tengah Papua  sehingga kantor DEMMAK dan Lobi politik di sejumlah negara berhasil dan sedang mendukung Penuh untuk Merdeka. Dalam rangka mendukung Perjuangan DEMMAK di luar negeri , Masyarakat Adat Adat Koteka di wilayah Badlima, berbagai cara mencari dana untuk mendukung Perjuangan lobi Politik di luar negeri,

    Sejarah Bangsa Papua, dan dunia akan mencatat, sebuah sejarah baru dimana Masyarakat adat Koteka wilayah Badlima telah menjual anak-anak gadisnya dengan harga yang murah demi mendukung dana Perjuangan Papua, Koordinator DEMMAK wilayah Badlima Tuan Jafet Togodly melakukan tindakan penjualan gadis-gadis papua di wilayah badlima kepada masyarakat disekitarnya untuk demi mendapatkan uang untuk perjuangan Politik Papua di Luar Negeri.

    Sejarah ini akan selalu mencatat di papua barat, bahwa begitu jerih payahnya Perjuangan masyarakat Adat Koteka wilayah Badlima untuk mendorong proses Perjuangan Papua menuju Kemerdekaan Penuh dengan negara Demokarasi Kesukuan...

    Perjuangan panjuang Masyarakat Adat Koteka seperti di wilayah Badlima, adakah perjuangan seperti ini dilakukan juga masyarakat lain di Papua??? Ataukah hanya mengahrapkan kemerdekaan dan Kebebasan itu datang begitu saja dari Surga? dari PBB?, atau orang kulit putih??? TIDAK!!!

    Perjuangan harus dari masyarakat Papua sendiri dengan penuh keyakinan, tanggungjawab, terhadap Perjuangan ini...

    DEMMAK Koordinator Wilayah Badlima, hingga hari ini masih Eksis dan semangat dalam perjuangan menuju Kemerdekaan Penuh dengan Negara Demokrasi Kesukuan, Moto Perjuangan masyarakat Adat Koteka Wilayah Badliama adalah, " Perjuangan Melawan Antara TIPU dan Benar"" BENAR LAWAN TIPU" ...

    Dasar Perjuangan Masyarakat Adat Koteka Papua adalah X1414,  Benar bahwa Allah menjadikan Tanah Papua dan penjaga atas ciptaaan tanah ini adalah orang Papua, kulitnya hitam, rambut Keriting, bukan orang rambut dan kulit lain... Kalau Allah kehendaki orang Papua yang menghuni di atas negeri ini, kenapa ada orang lain yang datang merampas, mencuri dan membunuh dengan seenaknya saja atas keberadaban manusia Papua???

    Allah sebagai Panglima Perang akan Berperang Bagi Umatnya, dan tugas kami adalah bekerja keras, mendukung  impian dan harapan itru terwujud dengan memberikan dukungan dana,kepada Diplomat anak Koteka yang ada di Luar Negeri.

    Bersama Kebenaran Sejarah Sang Bintang Kejora !!! Kita Pasti meraih Kemerdekaan dan Pembebasan Nasional Bagi Rakyat Papua Barat.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    Awas Orang Papua Kalau Tetap Ikut NKRI Bisa Haram Hukumnya

    Awas Orang Papua Kalau Tetap Ikut NKRI Bisa Haram Hukumnya

    Situs ini adalah situs online aktivis suara papua merdeka yang dikembangkan oleh Biro Media dan Propaganda Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang. Anda diperkenankan untuk BERBAGI (menyalin dan menyebarluaskan kembali materi ini dalam bentuk atau format apapun) dan ADAPTASI (menggubah, mengubah, dan membuat turunan dari materi ini untuk kepentingan apapun, termasuk kepentingan komersial). Informasi dalam situs ini masih harus dikonfirmasi kepada pengelola situs di melanesiapost@gmail.com (Activis Independence of Papua/Pengembang Situs)

    Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

    Prolog 

    Manusia hidup di atas tanah. Manusia? Kata itu, menunjuk  pada makluk bernalar yang hidup dan melakukan aktivitas, berkembang, mengisi, dan menguasai. Manusia ’terdampar’ di atas tanah dan secara otomatis mempertahankan hidup dengan berbagai aktivitas di atasnya. Tanah menjadi tempat melakukan aktivitas ekonomi, politik, sosial dan budaya.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2001:1132) tanah adalah (1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; (2) keadaan bumi suatu tempat; (3) permukaan bumi yang diberi batas; (4) permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa…, dan seterusnya. Maka, di atas tanah ada segala sesuatu termasuk manusia. Bagi manusia, tanah menjadi tempat melakukan hubungan dengan segala sesuatu ’lain’ yang ada—lingkungan– dan karenanya dapat hidup.

    Dengan demikian, tanah (lingkungan) menjadi bagian hidup dan keber’ada’an— dalam pandangan teologis, manusia diciptakan dari tanah, manusia hidup di atas tanah, manusia akan kembali ke tanah, walaupun tidak mudah dibuktikan (yang jelas, bila manusia mati, tubuhnya akan dikubur atau dibakar dan kemudian terurai menjadi tanah dan gas alam lainnya)– manusia. Berbicara soal tanah adalah juga berbicara soal manusia dan lingkungan hidup. Maka, jika lebih jauh berbicara tentang makna dan fungsi tanah, tidak perlu pula diartikan secara sempit. Berbagai makna dan fungsi tanah sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makluk hidup lainnya.

    Mathias Haryadi (tanpa tahun) mengemukakan, tiga arti fundamental dari tanah.  Pertama, tanah adalah tempat manusia mendirikan rumah. Di atas tanah dan dalam rumah ia tinggal, manusia menemukan basis hidupnya. Di sana, ia menemukan identitasnya. Kedua, di atas tanah itu, manusia berhubungan dengan hewan dan tunbuh-tumbuhan (lingkungan—air, udara, dan lainnya). Hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga, karena tanah memiliki arti ekonomis yang sangat kaya, satu-satunya dan tak mungkin tergantikan.

    Keterpenuhan sandang, pangan, dan papan menjadi dasar untuk mengartikan makna dan fungsi tanah. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergantung pada tanah (hutan). Menurut Abdon Nababan (2003), dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan (komunitas-komunitas masyarakat adat) populasinya diperkirakan antara 50–70 juta orang masih tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan (tanah) lokalnya. Mereka tergantung pada alam serta memiliki kedekatan, ikatan yang erat dengan alam termasuk tanah. Masyarakat Papua merupakan bagian dari masyarakat adat dunia yang secara turun-temurun hidup dan menghidupi dari dan di atas tanah mereka. Tanah Papua menjadi hak milik yang diatur menurut hukum adat (KBBI, 2001:1132).

    Tulisan ini hendak mengulas tentang cara pandang masyarakat adat Papua tentang tanah (– serta isinya) dan ’pemanfaatan’ tanah dan isinya oleh orang luar (pemerintah dan pengusaha). Pemanfaatan tanah (hutan dan kaitannya) dengan perlindungan tanah (hutan)—pelestarian lingkungan hidup– dengan mengakui hak-hak adat dengan sistem pemerintah yang baik dan keterwakilan lembaga yang memikirkan secara serius akan hal ini, ikut dipikirkan secara umum.

    Tanah bagi Masyarakat Adat Papua 

    Masyarakat adat diakui secara internasional sebagai bagian dari masyarakat dalam komposisi dan konstelasi sosial-politik masyarakat modern (Baca: HAM Masyarakat Adat pasal 1, 2, dan 3– eksistensi dan jati diri Madat).  Mereka tidak masuk ke dalam kelompok Masyarakat Sipil, Masyarakat Ekonomi ataupun Politik.  Maka, jelas Madat berhak menikmati segala hak yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh semua umat manusia di planet bumi ini, termasuk hak untuk menghargai dan mengatur tanah (hutan—lingkungan hidup) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas (Papuapost.com, 19 Juni 2008).

    Rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat adat Indonesia dan dunia, sejak awal kehidupan, sudah sangat dekat dengan tanah (alam—lingkungan) mereka. Mereka telah memiliki hak untuk menghargai dan mengatur tanah (hutan) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas mereka. Kedekatan orang Papua dengan alam dapat dipahami melalui tarian, lagu, dan doa. Salah satunya dapat dilihat  dari ungkapan sederhan mama Yosepha Alomang, peraih ”Goldman Enviromental Prize” (Selangkah, September 2006. Tanah Adat, Freeport, dan Warga Sipil” hlm. 26). Atas tanahnya yang direbut oleh negara dan kapitalis, dia mengatakan: ”Tanah ini saya punya tubuh. Gunung Nemangkawi ini jangtungku. Danau wonangon ini saya punya sum-sum. Kali ini saya punya nafas. Tetapi Kao sudah makan saya. Kao tidak punya hati dan perasaan. Freeport dan Pemerintah, kamu sudah makan saya. Tidak sadarkah kamu?”
    Ungkapan di atas memperlihatkan mitologi menyangkut manusia sejati (seorang ibu) yang berubah menjadi tanah dan membentang sepanjang daerah Amungsal (tanah Amugme)—daerah keramat wilayah PT Freefort beroperasi sejak 1967 hingga saat ini. Tanah bagi Amugme adalah “seorang ibu” yang baik hati, yang memberikan dan menyediakan semua kebutuhan.

    Tidak hanya suku Amugme dan Kamoro. Sekitar 250-an suku yang ada di tanah Papua dengan adat istiadatnya masing-masing memaknai tanah sebagai ibu (mama). Orang Mee misalnya, selalu mengatakan, “maki kouko akoukai” (tanah adalah Ibu—jagalah baik-baik). Orang Mungmen juga mamahami tanah sebagai ibu kadung. Nimboran percaya bahwa tanah diciptakan oleh seorang nenek tua, sedangkan bagi orang Humbuluk tanah dikonotasikan sebagai rahim perempuan.

    Masyarakat Napan di Nabire misalnya,  meyakini bahwa hulu sungai Lagari yang dikenal dengan nama ‘Nuba Urigwa’ adalah tempat yang sakral, yang menjadi tempat tinggal Kuri. Keyakinan ini membuat masyarakat dari kelompok budaya Kuri di kawasan Napan-Weinami dan Makimi memahami seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai wilayah yang tidak boleh dirusak karena kehidupan sungai bersumber pada tanah di sekitarnya. Tanah dianggap rahim bagi air sungai dan air laut, sehingga laut dan sungai tidak boleh dicemari (baca: Kuri dan Pasai). Sama juga masyarakat kampung Yaro di Kabupaten Nabire. Mereka memandang tanah sebagai manusia yang harus dijaga.

    Pada budaya Suku Ngalum, Kabupaten Pegunungan Bintang, setiap bidang tanah, pohon, rotan, sungai, gunung hingga batu berhubungan erat dengan suku-suku di sekitarnya. Begitu eratnya hubungan ini sehingga dalam pembukan lahan, setiap laki-laki yang terlibat wajib memakan segumpal tanah. Ini mencerminkan bahwa tanah merupakan sumber kesuburan dan kehidupan sehingga masyarakat Ngalum harus mengikatkan dirinya dengan tanah yang tidak lain dianggap sebagai ibu, (Tabloid Jubi, 20 Agustus 2007).

    Keyakinan tanah sebagai ibu, diperkuat setelah agama kristen masuk di tanah Papua. “Hormatilah ayah dan ibumu” (baca: Sepuluh Perintah Allah). Ajaran itu semakin mendekatkan suku-suku di tanah Papua yang mayoritas kristen itu bahwa tanah mereka sebagai ibu yang patut untuk dicintai (dijaga).

    Tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam memperkuat ikatan mereka dengan segala hal yang berada di permukaan bumi. Tanah dalam stuktur dasar antropologi  di kalangan orang Papua menyatu dengan manusia. Artinya, tanah dipandang sebagai rumah yang memberi kehidupan dan perlindungan. Tanah juga adalah tempat tinggal arwah nenek moyang yang merupakan sumber kekuatan hidup manusia. Dari aspek budaya, tanah adalah mama atau ibu. Ibu yang melahirkan, memberi makan, memelihara, mendidik, membesarkan, hingga sekarang ini. Karena itu bila manusia merusak alam, dengan sendirinya ia merusak dirinya sendiri. Dengan demikian, masyarakat Papua memandang tanah sebagai “tubuh ibu atau mama” orang Papua, sehingga tidak ada orang yang seenaknya mengambil atau merusak.

    ’Perampasan’ Tanah Adat Papua
     
    Tanah Papua merupakan ’mama’ masyarakat adat Papua yang dimiliki secara turun-temurun. Tanah Papua dimiliki oleh suku-suku (baca: 250 suku di Papua). Dan, di lingkup suku dimiliki oleh marga-marga. Tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat itu mulai di’rampas’ sejak  kepentingan bisnis dan politik mulai menapakan tajinya di mana-mana, terutama areal pertambangan, hutan, dan pembangunan jalan trans serta lokasi pemukiman baru termasuk program transmigrasi.

    Negara yang ‘baru’ lahir itu secara sengaja menjadikan eksistensi masyarakat adat tidak memunyai kekuatan dan kepastian hukum, karena dikalahkan oleh kepentingan  yang mengatasnamakan negara demi kemakmuran rakyat (Selangkah, Edisi Februari-April 2005). Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3, “Melaksanakan hak ulayat masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, maupun peraturan-peraturann yang lebih tinggi.” Bunyi UUPA 1960 Pasal 3 jelas-jelas menjadikan masyarakat adat tidak punya jaminan hukum dari negara. Dengan berdasar pada pasal itu, negara memperbolehkan dan memberikan HGU, HPH, mupun hak pertambangan kepada perusahaan-perusahaan kayu maupun industri pertambangan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 juga dipakai negara sebagai alasan (surat jalan) untuk menguasai tanah adat.

    Secara yuridis kata ’menguasai’ yang terkandung pada pasal 33 ayat 3 UUD 45 memunyai makna; pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Kedua, menentukan dan mengatur hak-hak yang dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang  dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Maka, jelas bahwa negara tidak berhak memiliki. Kata mengatur, menyelenggarakan, menentukan mengisyaratkan makna adminitratif, tetapi seringkali makna tersebut diselewengkan oleh negara untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

    Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bab II Pasal 16 diatur tentang  hak atas tanah, sebagaimana tercantum dalam pasal 4 yang meliputi: pertama, hal milik; kedua, hak guna usaha; ketiga, hak guna bangunan; keempat, hak pakai; kelima, hak sewah; keenam, hak membuka tanah, dan ketujuh hak memungut hasil hutan. Pengaturan  atas hak tanah di atas mengalami  penyimpangan, terutama oleh aparat pemerintah sendiri, (baca: R.H. De Haas Engel dalam Pekey, 2007). Semua produk Undang-Undang tentang tanah diterapkan sepihak tanpa rasa hormat  terhadap hukum adat, dan prinsip tentang tanah yang dianut oleh masyarakat adat. Aspek lingkungan yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem yang terkandung di dalamnya terabaikan.

    Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengawali  masuknya PT Freeport Indonesia (PTFI) di tanah adat orang Amugme dan Kamoro  misalnya, kontrak dilakukan tanpa rasa hormat  terhadap hukum adat dan prinsip tentang tanah yang dianut oleh masyarakat adat. Kontrak karya pertama ditandatangani pada bulan April  1961 dan mulai beroperasi pada 10 Januari 1967 tanpa pembicaraan dengan pemilik tanah adat (Baca: ‘Travel Feature Itu Menuai Bencana’, Selangkah, edisi September 2006).

    Penduduk Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang berada di Mimika  dipaksa merelakan tanah adat mereka yang memiliki nilai sosial budaya, politik dan religius. Gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel di daerah Kabupaten Mimika yang merupakan daerah keramat orang Amungme dan Kamoro harus rela isi perutnya dilubangi karena kepentingan emas, perak dan tembaga demi sebuah investasi. Mereka menyaksikan tanah keramat, tempat arwah leluhur  bersemayam dibongkar tanpa merasa bersalah dan tanpa ada perundingan. Mereka menyaksikan hak-hak adat mereka terhadap tanah adat tercabik-cabik. Mereka menyaksikan sungai-sungai tempat mereka mencari ikan dan berudu diracuni dengan limbah.

    Eksploitasi atas tanah adat (emas, kayu, tumbuhan, hewan, dan sebagainya) terus berjalan.
    Di wilayah adat Malamoi misalnya, setidaknya ada dua perkebunan kelapa sawit selain eksploitasi kayu.
    Kini hutan alam, yang secara turun-temurun menjadi sumber kehidupan, telah menjadi sumber petaka,
    yakni banjir dan longsor. Di Biak, hutan dibuka sejak masa Belanda hingga sekarang.
    Pembukaan hutan dengan masuknya investasi skala besar di Papua telah merusak struktur masyarakat adat dan
    cara pandang mereka terhadap tanah. Semua jenis kayu, (Merbau intria sp, matoa ketapang,
    bintangur dan damar) dibabat tanpa reboisasi. Kayu merbau merupakan komoditas yang  penting dan "laris" di pasaran,
    maka habitat alam lain (sungai, kayu dan lainnya) diberangus rata dalam rangka mencari merbau, (baca: Papua 2008).
    Data Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua tahun 2006 menunjukkan, ada 65 perusahaan HPH di Papua dengan luas konsesi 14,4 juta hektar (ha). Dari 65 perusahaan HPH tersebut, hingga tahun 2006 hanya 15 HPH yang masih aktif. Perusahaan HPH punya tanggung jawab, antara lain adalah program ‘bina desa’. Artinya pemberdayaan masyarakat adat (kampung) pemilik hak ulayat dalam bentuk pembangunan rumah warga, sekolah, gereja atau fasilitas lainnya. Namun, hal ini selalu menjadi keluhan masyarakat adat di berbagai areal HPH di tanah Papua.

    Masyarakat adat Mee di distrik Yaro, kabupaten Nabire misalnya, memilki pengalaman buruk dengan perusahaan HPH PT Sesco di wilayah adat mereka. Perusahaan HPH PT Sesco yang beroperasi sejak tahun 1990/1991 hingga saat masih belum membayar sejumlah Rp40 juta dengan hitungan satu kubik Rp1000,00. Ini artinya bahwa kubikasi yang merupakan kewajiban mutlak saja belum membayar, apalagi melaksanakan program ‘bina desa’. Perusahaan HPH yang masuk di daerah Yaro (daerah yang sama) pada tahun 2003, yakni PT Jati Dharma Indah justru mengklaim kayu termasuk segala yang terkandung dalam tanah adalah miliknya. Bahkan dia melarang masyarakat adat untuk mencari ikan, berburu kuskus, di tanah adat mereka. Sementara PT Jati Dharma Indah menghabisi berbagai jenis burung termasuk cenderawasih dengan senapan angin, termasuk kuskus dan kekayaan hutan lainnya.

    Pengalaman masyarakat adat Yaro yang digambarkan di atas adalah hanya sekelumit dari kemungkinan kesamaan pengalaman masyarakat adat di 65 areal perusahaan HPH di tanah Papua. Data kemiskinan yang dipaparkan sekretaris eksekutif Foker LSM Papua Septer Manufandu sungguh memprihatinkan. Sebanyak 391.767 keluarga (81 persen) dari total 480.578 keluarga di Papua tergolong miskin.  Data ini menunjukkan bagaimana dampak eksploitasi sumber daya alam Papua bagi warganya. Juga, sekitar 4 juta ha lahan yang telah disiapkan bagi belasan perusahaan perkebunan skala besar, 300.000 ha di antaranya kebun kelapa sawit adalah rencana tragedi masyarakat adat Papua di masa depan. Eksploitasi atas tanah adat Papua terus dilakukan di balik nomine ‘Heroes Environment 2007′ yang dianugerahi kepada Gubernur Suebu dari Majalah Time terbitan Amerika Serikat pada 25 Oktober 2007 di Royal Court of Justice London, Inggris.
    Perampasan tanah adat oleh penguasa dan pengusaha ini merupakan ancaman keutuhan hutan dan masyarakat adat. Pengampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, mengatakan, ancaman keutuhan hutan (tanah) Papua bukan hanya dari pengambilan kayu, pertambangan dan kelapa sawit (Kodeco dilaporkan menebangi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah Mamberamo), namun juga rencana pembukaan jalan raya dengan pamrih kayu dan pemekaran daerah. (Kompas, 24 Juni 2008). Belum puas dengan hutan dan tambang, berbagai spesies di atas tanah adat, diramu dan dibawa keluar Papua. Berjuta-juta spesies burung, ikan air tawar, reptil, amfibi, serangga air, kupu-kupu, mamalia kecil dan vegetasinya telah hilang dan masih terus diburu.

    Penghancuran lingkungan dan ekosistem termasuk perusakan hutan lindung secara membabi buta ini mengancam eksistensi masyarakat adat Papua. Masalahnya, Jabar Lahaji memprediksikan hutan Papua akan lenyap antara tahun 2013 sampai 2015. Hasil analisa satelit tahun 1998-2000 menunjukkan angka deforestasi yang cukup tinggi, sekitar ,45 jua ha. Kalau hitungannya terus perpanjang sampai tahun ini, laju deforestasi diperkirakan bisa mencapai 2,5 sampai 3 juta ha pertahun.  Kalau hutan di Kalimantan dan Sumatera diduga tahun 2005-2010 akan habis, di Papua, antrian 2013-2015 (baca: Jabar Lahaji, 2008).
    Nah, apa yang tersisa sekarang dan 2015 nanti? Yang tersisa adalah persoalan demi persoalan yang terjadi, seperti rusaknya tatanan kehidupan, menyangkut rusaknya (mite) mitologi yang terkait dengan kerusakan lingkungan (obat-obatan dan kebutuhan lainnya), sosial, politik dan sebagainya. Hal-hal itu melahirkan perlawanan masyarakat adat Papua, lalu  dihadapkan pada militer –yang dipiara di areal HPH dan pertambangan– dengan stigma OPM (Organisasi Papua Merdeka). Stigma oposan pemerintah dengan label OPM atau separatis sering digunakan menjadi alat penekan terhadap masyarakat, bahkan sering terjadi kasus penangkapan, pemukulan/penyiksaan dan penculikan.

    Melangkah untuk Melingdungi Tanah Adat Papua 

    ‘Perampasan’ tanah adat telah merusak manusia, tanah dan segala isinya (hubungan manusia dengan alam) serta pranata-pranata sosial-politik dan kultural masyarakat adat. Upaya-upaya pemulihan-perlindungan adalah tantangan yang harus menjadi perioritas.  Dalam konteks ini, melangkah untuk melingdungi berpulang pada penyesuaian  dan penerapan hukum dengan kepastian hak-hak masyarakat adat. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001, Pasal 38 ayat 2 mengatakan, usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pada Pasal 43 ayat 1 menegaskan, pemerintah wajib mengakui, menghormati dan melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat.

    Undang-Undang Otsus Papua secara tegas memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak adat. Dalam hal ini, pengakuan atas suatu kawasan SDA yang berada di dalam wilayah masyarakat adat. Berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak adat tersebut, maka UU PSDA perlu menyebutkan: pertama, kawasan SDA yang dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh masyarakat adat maka kegiatan pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan masyarakat adat itu sendiri. Kedua, setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memerhatikan aspek konservasi. Ketiga, setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak luar negeri mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota dengan memerhatikan kepentingan nasional tanpa merugikan masyarakat adat.
    Perlu juga memikirkan, pemisahan hak penguasaan dengan hak guna, dan  hak pengelolaan/pengusahaan. Peraturan per-UU-an harus secara jelas membedakan antara “penguasaan kawasan dan SDA yang ada di dalamnya” dengan “penggunaan kawasan dan SDA di dalamnya”. Dengan demkian, status penguasaan/kepemilikan atas kawasan SDA baik yang berstatus milik pribadi, milik kolektif dan hak adat/ulayat, maupun milik publik bisa memiliki fungsi dan tata guna: (a) produksi, yaitu kawasan tertentu yang SDA-nya bisa dikelola dan diusahakan untuk memproduksi; (b) lindung, yaitu kawasan tertentu yang harus dilindungi fungsi ekologis/hidrologis di mana pemanfaatan SDA di dalamnya harus dilakukan secara sangat terbatas; (c) konservasi, yaitu kawasan yang sumberdaya dan keanekaragaman hayati di dalamnya harus dilestarikan.

    Pengakuan penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai masyarakat adat, dan juga untuk menentukan batas-batas wilayah dan kawasan hutan adat dari masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, harus jelas mengatur kriteria-kriterianya, yang kemudian secara operational-prosedural diatur lebih terinci dalam suatu aturan—dalam hal ini peraturan daerah khusus (Perdasi) yang mengatur tentang “Hutan Adat”. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyarakat adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak lain, tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat adat yang bersangkutan secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah—antara lain untuk melindungi konflik tingkat masyarakat adat.

    Sementara itu, untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumber daya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah.

    Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.  Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan” untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.

    Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama untuk banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan antarkomunitas dan antarpihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antarpihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokratis.

    Epilog 

    Akhirnya, mengingat tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam memperkuat ikatan mereka dengan segala hal yang berada di permukaan bumi, maka kemungkinan penerapan hukum adat dalam pengaturan kehidupan masyarakat adat, pengakuan kedaulatan masyarakat adat, dan kepatuhan penguasa dan pengusaha terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia—(banyak yang telah mati, dikubur dan kemudian terurai menjadi tanah dan gas alam lainnya di atas tanah adat mereka)–perlu direnungkan. 

    Pemerintah dan pemerintah provinsi Papua perlu mengevaluasi kembali semua undang-undang dan peraturan terkait, termasuk meninjau program transmigrasi—telah berbuah pahit– dan arus migrasi dari luar Papua yang mengancam eksistensi tanah dan masyarakat adat Papua (baca: 6 tahun Otsus Papua).  Hak-hak adat tidak dipikirkan dengan baik,  dapat bermuara pada gugatan masyarakat adat Indonesia—Papua, Kalimantan (Borneo), Sulawesi Utara,  Riau, Maluku dan lainnya terhadap sifat kesatuan negara Indonesia, karena masyarakat adat ada jauh sebelum negara ada.  [Yermias Degei/MS]

    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Suatu Fenomena Perampasan Tanah Milik Masyarakat Adat Papua

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    MIFEE Datang, Merauke Tenggelam

    Suatu Fenomena Perampasan Tanah Milik Masyarakat Adat Papua
    Oleh : Ley Hay*)
    Tanah beserta segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan bahan tambang/mineral sebagai karunia Allah Sang Pencipta Semesta Alam yang harus dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdayaguna, berhasil guna serta berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Patutlah kita bersyukur bahwa Negara Indonesia mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa dan kekayaan alam itu hampir tersebar merata di seluruh kepulauan nusantara. Setiap pulau di dalam wilayah NKRI memiliki keunikan tersendiri, seperti halnya keanekaragaman hayati yang terdapat di Tanah Papua. Namun, tidaklah berarti bahwa pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara berhak menguasai segala kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah, hutan, laut dan sungai bahkan udara di nusantara ini. Sebab, sejak sebelum adanya Indonesia sebagai sebuah negara, wilayah darat maupun laut di sebuah pulau seperti Tanah Papua sudah ada pemiliknya, yakni orang asli setempat yang disebut sebagai masyarakat adat Papua.

    Dalam beberapa literatur, Papua sering dikenal orang sebagai negeri bunga anggrek dan burung Cenderawasih. Bagi para sejarahwan dan ahli geografi, Papua dipandang sebagai kelangsungan Benua Australia yang letaknya di zona tropika dengan berdasarkan pada topografi, alam tumbuh-tumbuhan dan hewannya. Diperkirakan, pada masa purba Papua menjadi satu daratan dengan benua Australia, pada tempat yang sekarang merupakan Selat Torres yang lebarnya kurang lebih 100 Km. Karena dihuni oleh bangsa negroid, maka pulau ini digolongkan pada gugusan Melanesia sebagai induk bangsa yang berkulit hitam atau melanoderm. Dua peneliti Papua terkenal yang berkebangsaan Prancis, yakni Villeminot suami-istri mendefinisikan Papua melalui karyanya yang berjudul : La Nouvelle Guinee, 700.000 Papous Survivant de la Prehistoire (Irian, 700.000 Papua yang Keluar dari Zaman Prasejarah). Walaupun didukung oleh ensiklopedi Grand Larouse Encylopedie, namun Ensiklopedia Indonesia yang didukung oleh Encyclopedia Britannica menyatakan bahwa hanya daerah pesisir Timur Irian yang termasuk Melanesia.

    Istilah papua yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada pengertian Tanah Papua yang secara administrative terdiri atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sebagian besar penduduk Papua, terutama di kawasan pedesaan, adalah masyarakat adat yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan. Kebudayaan masyarakat adat di Papua maupun Papua Barat masih kental diwarnai oleh tradisi lisan atau budaya tutur dan ritual adat istiadat. Papua dan Papua Barat bersama dengan Nangroeh Aceh Darussalam adalah propinsi-propinsi di Indonesia yang memiliki kekhususan dalam sistem politik pemerintahan Indonesia dengan status otonomi khusus.

    Propinsi Papua dan Papua Barat merupakan kawasan dengan tutupan hutan yang paling luas di Indonesia dengan tingkat keanekaragaman hayati dan keunikan yang tinggi, memiliki potensi fungsi ekologi, sosial dan ekonomi yang tinggi serta berarti penting bagi iklim global. Hutan Indonesia merupakan hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Amazon di Brazil dan Congo Basin di Kongo, dimana hutan yang sebagian besar masih utuh saat ini adalah hutan Papua sebab kondisi terkini dari hutan di Kalimantan, Sumatra, Jawa dan Maluku sebagaian besar telah habis. Dari total luas tutupan hutan Indonesia, 2009: 88,17 juta hektare, persentase total tutupan hutan di Papua adalah 38,72% (tertinggi dari semua daerah di Indonesia).

    Fenomena Perampasan Tanah Global

    Berita tentang fenomena perampasan tanah (land-grab) muncul dari seluruh dunia. Perampasan tanah dapat digambarkan sebagai suatu proses di mana kepemilikan tanah yang dianggap “kosong”, “tidur” atau “tidak produktif” berpindah tangan dengan transaksi yang menggiurkan, untuk dikembangkan menjadi perkebunan skala besar untuk menghasilkan pangan atau agrofuel, atau keduanya. Jumlah kesepakatan dan luas kawasan yang tercakup meningkat pesat. Berbagai kajian menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini antara 20-80 juta hektare tanah. telah “dirampas”, meskipun sulit dipastikan karena sebagian besar kesepakatan itu dibuat dengan diam-diam.

    Pendukung perampasan tanah mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah investasi yang sangat diperlukan di sektor pertanian. Meskipun jelas bahwa investasi diperlukan di daerah pedesaan dan pertanian, pertanyaannya adalah apakah transaksi tanah skala besar seperti ini akan menghasilkan jenis pembangunan yang kemungkinan besar akan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Jika diamati lebih dekat, jelas bahwa yang terjadi bukannya pembangunan pertanian, tetapi pembangunan ‘agribisnis’ terus meningkat. Perbedaan keduanya jelas dan seharusnya tak ada lagi kebingungan mengenai siapa yang akan menerima manfaat dan siapa yang akan dirugikan oleh transaksi-transaksi itu.

    Pelaku di balik akuisisi tersebut adalah perusahaan transnasional besar atau pemerintah yang memanfaatkan sumber daya tanah “tidur” untuk mengamankan ketahanan pangan dan energi dalam negeri. Kenyataannya, tanah itu tidaklah “kosong”, melainkan seringkali merupakan tempat tinggal warga setempat atau masyarakat adat yang telah hidup di sana turun-menurun, tetapi hak mereka atas tanah itu tidak diakui atau dihormati.

    Terdapat sejumlah faktor yang mendorong perampasan tanah ini. Faktor-faktor ini dapat dianalisis dalam konteks keuangan, pangan, energi dan krisis iklim global. Krisis pangan global 2007-2008, yang mendorong kenaikan harga pangan, menciptakan momentum politik dan ekonomi bagi akuisisi tanah. Demikian juga, perubahan iklim dan krisis energi menciptakan kebutuhan mendesak baru untuk mencari tanah bagi produksi tanaman energi terbarukan.

    Semua krisis global ini menumbuhkan persepsi bahwa—karena jumlah penduduk diperkirakan meningkat sementara sumber daya terbatas— permintaan akan pangan dan bioenergi akan terus meningkat. Pada gilirannya, volatilitas harga komoditas menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan pangan dan energi. Meskipun kekhawatiran akan ketahanan pangan mungkin tidak sebesar kekhawatiran ketahanan energi, tetapi keduanya menimbulkan kebutuhan atas tanah.

    Ada sejumlah pelaku utama yang tindakannya mendorong kenaikan pangan dan akuisisi tanah. Secara umum mereka berasal dari sektor bisnis, keuangan dan pemerintahan. Krisis keuangan global dan krisis pangan global tahun 2007-2008 yang saling terkait turut menumbuhkan persepsi bahwa tanah dan pangan perlu diamankan dan didapatkan. Kedua krisis itu meningkatkan akuisisi tanah secara dramatis.

    Fenomena Perampasan Tanah di Papua

    Sejak jaman Orde Baru di bawah pemerintahan rejim Soeharto sampai sekarang ini, Papua (sebelumnya Propinsi Irian Jaya) selalu menjadi target utama proyek-proyek pembangunan skala besar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), perkebunan Sawit, dan pertambangan adalah sejumlah projek pembangunan skala besar yang telah puluhan tahun dikembangkan di seluruh Tanah Papua (mencakup Propinsi Papua dan Papua Barat).

    Semua proyek-proyek pembangunan skala besar tersebut terjadi di atas tanah adat milik masyarakat asli papua, disebabkan oleh pemerintah yang berkongsi dengan investor dan didukung oleh kekuatan militer merampas berjuta-juta hektar tanah. Watak ekploitatif yang tertanam dalam otak pemerintahan Rezim Orde Baru menyebabkan hutan dan kekayaan alam papua hampir habis. Papua dijadikan lahan dan pemasok bahan baku untuk industry di Negara maju. Sangat disayangkan, bahwa praktek-praktek seperti itu masih diterapkan hingga kini, seperti hadirnya mega proyek MIFFE di Merauke.

    Tren perampasan tanah di papua dan seluruh nusantara menunjukkan bahwa, pemerintah Indonesia lebih condong mengikuti kemauan dan kepentingan kapitalisme global. Pemerintah Indonesia tidak lagi menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Pemerintah tidak lagi mengutamakan kepentingan Negara dan bangsa. Pemerintah secara sadar telah menjadikan dirinya agen “kaki-tangan” kaum pemodal. Kasus Bima dan Mesuji dan beberapa konflik agraria di Indonesia, seharusnya menyadarkan rakyat bahwa, Negara Indonesia secara politik memang telah merdeka dan diakui oleh dunia internasional, namun secara ekonomi belum mandiri karena masih terjajah. Buktinya, rakyat banyak yang miskin, pendidikan tidak merata, gizi kurang, perampasan tanah, pembunuhan, pengusiran komunitas masyarakat adat, merajalelanya korupsi, lemahnya penegakkan hokum, dan sejuta masalah lainnya.

    (Integrated Food and Energy Estate, MIFEE)

    Salah satu perampasan tanah yang paling kontroversial di Indonesia saat ini adalah Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (Integrated Food and Energy Estate, MIFEE), yang tengah dikembangkan di bagian selatan Papua, di Kabupaten Merauke. MIFEE adalah mega proyek yang meliputi 1,28 juta hektare perkebunan komersial yang diklaim sebagai bagian dari visi Presiden Yudhoyono yang meragukan, yaitu “pangan untuk Indonesia, pangan untuk dunia”.

    Sejauh ini paling sedikit 36 investor sudah mendapatkan ijin konsesi. Sebagian besar investor berasal dari Indonesia, tetapi perusahaan Jepang, Korea, Singapura dan Timur Tengah kelihatannya juga terlibat. Komoditas utama yang akan diproduksi oleh MIFEE adalah kayu, sawit, jagung, kedelai dan tebu. Hingga pertengahan 2011, lebih dari setengah lusin investor yang mendapatkan ijin untuk MIFEE tampaknya sudah mulai bekerja di area konsesi mereka, termasuk perusahaan yang terkait dengan Medco dan kelompok Rajawali yang berpengaruh. Meskipun MIFEE masih dalam tahap awal, terdapat kekhawatiran serius akan implikasi sosial dan lingkungan dari proyek ini terhadap penduduk setempat dan penghidupan mereka.

    MIFEE digembar-gemborkan sebagai kesempatan pembangunan, yang akan menciptakan lapangan pekerjaan tidak hanya untuk warga Papua setempat, tapi juga pekerja transmigran. Proyek itu juga disebut-sebut akan mendorong ketahanan pangan nasional, serta ketahanan energi. Tetapi pada kenyataannya sebagian besar konsesi tanah dialokasikan untuk perkebunan kayu industri (lebih dari 970.000 ha), sementara sawit (lebih dari 300.000 ha) dan tanaman pangan (69.000 ha) berada pada urutan kedua dan ketiga. Data ini menunjukkan bahwa motivasi utama MIFEE bukanlah demi ketahanan pangan dan energi, tetapi kepentingan ekonomi.

    Laporan dari desa-desa yang terimbas selama ini menunjukkan bawa MIFEE merupakan ancaman serius bagi masyarakat setempat. Masyarakat adat yang terlibat dalam kesepakatan dengan perusahaan telah ditipu dengan pembayaran kompensasi yang sangat rendah sebagai ganti rugi ‘penyerahan’ tanah warisan turun-menurun dan menjadi bagian dari warisan budaya mereka. Proses akuisisi tanah bersifat tidak transparan, dengan intimidasi dan ancaman akan keamanan terutama karena kehadiran militer di sana. Informasi mengenai potensi dampak proyek atas hidup mereka dan hak apa saja yang mereka miliki untuk menolak atau menerima tawaran perusahaan hanya sedikit yang sampai ke warga desa. Organisasi masyarakat sipil setempat juga melaporkan bahwa pertemuan untuk meningkatkan kapasitas diwarnai dengan interupsi oleh militer, yang menggunakan keamanan nasional sebagai alasan untuk mengancam warga dan menghentikan pertemuan. Jadi, dalam banyak hal, MIFEE adalah perampasan tanah dengan motivasi politik dan ekonomi dengan lebih banyak ancaman daripada kesempatan bagi masyarakat yang terimbas.

    Pertanyaan penting, mengapa tanah papua dijadikan lahan dan target eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran? Apakah semua proyek tersebut mendatangkan manfaat bagi masyarakat adat papua atau justru sebaliknya? Sudah sejahterakah masyarakat papua atau belum? Mengapa praktik kotor yang sarat dengan motivasi ekonomi politik semakin subur terjadi di tanah papua? Bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya alam yang baik dan benar dengan memperhatikan aspek kelanjutan dan kelestarian alam?

    Jawaban singkatnya, kehadiran berbagai proyek-proyek pembangunan raksasa di tanah papua selama ini tidak membawa dampak pada kesejahteraan masyarakat adat Papua sebagai kelompok masyarakat yang mewarisi tanah tersebut dari para leluhurnya. Yang terjadi adalah, masyarakat di tipu, di bujuk, di bunuh, di kejar, di rampas tanahnya, di langgar haknya sebagai sesame manusia. Bukan kesejahtetraan yang dinikmati, justru kemisiskinan, gisi yang buruk, pelayanan kesehatan yang minim, dan harapan akan adanya keadilan bagaikan mimpi yang tak pernah nyata.

    Salah satu sebab utama dari kenyataan ini adalah hak-hak masyarakat adat Papua terhadap tanah dan sumberdaya alam selalu diabaikan dalam pelaksanaan berbagai proyek tersebut. Akibatnya, di samping merebaknya kemiskinan, timbul berbagai konflik antara masyarakat adat dan pihak perusahaan dan negara (pemerintah). Konflik-konflik tersebut muncul dalam berbagai bentuk dan tingkat keseriusan: mulai dari sekedar demonstrasi, protes ke lembaga pemerintah, sampai konflik yang disertai kekerasan.

    Situasi konflik menimbulkan dampak makin berat bagi masyarakat adat Papua di tengah kenyataan tidak diakuinya hak mereka. Bahkan dengan statusnya yang khusus melalui UU Otsus Papua, masyarakat adat Papua tidak kunjung melihat terang harapan akan adanya pengakuan hak mereka sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

    Akhirnya secara sadar, marilah kita secara bersama melihat sejumlah masalah yang terjadi di seluruh nusantara terkait dengan perampasan tanah milik rakyat. Kita harus yakin, bahwa kekuatan rakyat tak dapat dikalahkan. Sudah saatnya, rakyat harus di didik, di latih dan dibekali dengan sejumlah informasi, pengetahuan, dan skill agar mereka mampu bekerja dan menghidupi dirinya, agar mereka mandiri dan mampu berdiri tegak menjaga, melindung dan memberdayakan hak miliknya kelangsungan hidup mereka kini dan anak cucunya kelak.

    Aiansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Jogjakarta
    *) Mahasiswi Atma Jaya Jogjakarta, Jurusan Teknik Sipil
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Orang Papua Harus Mengerti dan Sadar: Kunci Papua Merdeka ada "di Tanah Papua!" dan "di Tangan Orang Papua!"

    Orang Papua Harus Mengerti dan Sadar: Kunci Papua Merdeka ada "di Tanah Papua!" dan "di Tangan Orang Papua!"


    Ya, betul, "di Tanah Papua!" artinya di pulau New Guinea, dari Sorong sampai Samarai, bukan di London, bukan di New York, bukan di Canberra, bukan di Port Vila, bukan di Suva, bukan, dan bukan, dan bukan. Kuncinya ada di Port Numbay dan Port Moresby. Kuncinya ada di Manokwari dan Raja Ampat, kuncinya ada di Biak dan Serui, Mbadlima dan Maroke, Kaimana dan Numbay Raya, di dalam, di atas Tanah Papua.

    Jaringan Damai Papua mendesak Jakarta, Canberra dan Wellington perlu terlibat mencari "win-win solution". Makanya mereka "insist", dialogue damai ialah satu-satunya jalan bagi penyelesaian masalah Papua. Aliran pendapat ini sangat mainstream, didukung oleh semua organisasi dan lembaga keagamaan, sebagian besar tokoh agama dan LSM penegak HAM di Tanah Papua juga mendukung agenda dialgoue. Demikian juga sejumlah organisasi dan pemerhati HAM di Indonesia.

    • Pertanyaan saya ialah, "Urus masalah apa? Kasus apa? Perkara apa?" Lebih tepat lagi, "Apa ada masalah antara NKRI dan West Papua?" Kalau ada, mana masalahnya? Pepera yang tidak demokratis? Pelanggaran HAM selama Orde Lama dan Orde Baru? Perlakuan tidak adil dalam pembangunan NKRI selama ini? Keberpihakan yang kurang saat ini? Siapa yang tidak tahu semua ini? Siapa yang menyangkal semua ini?

    • Bukanlah semua orang mengaku bahwa Pepera 1969 di West Irian tidak demokratis, tetapi telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan oleh karena itu sah demi hukum?
    • Bukanlah pelanggaran HAM di Tanah Papua oleh Orla dan Orba ialah sebuah pelanggaran dan oleh karena itu pemerintahan reformasi sekarang tidak akan melakukan demikian lagi, dan sebagai bukti komitmen telah diberlakukan Otsus I, II dan III, dan masih diperjuangkan Otsus Plus?
    • Bukankah keberpihakan terhadap orang Papua di era otsus sudah nampak?
    Berpagai organisasi perjuangan Papua Merdeka selalu mengagung-agungkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, katanya Sidang PBB sudah mengagendakan masalah Papua Barat dan akan segera dibahas di Sidang Umum PBB. Bendera PBB dipajang ke mana-mana.

    Ada yang menghambakan diri dengan Amerika Serikat, karena mereka melihat urutan pertama ada Tuhan di atas, setelah itu Amerika Serikat. Apa yang diputuskan Amerika Serikat sama dengan keputusan Allah, karena akan diterima Australia dan Selandia Baru, Inggris dan Belanda, dan lainnya.

    Ada lagi yang secara murni percaya, "Yesus akan turun mendirikan Kerajaan Allah di Tanah Papua, jadi orang Papua tidak perlu buat apa-apa." Kata mereka orang Papua hanya perlu berdoa, berpuasa. Menurut mereka pula, begitu orang Papua membunuh orang Indonesia, maka kemerdekaan Papua tertunda 10 tahun, jadi satu nyawa orang Indonesia sama dengan 10 tahun perjuangan. Pertanyaan buat mereka, berapa harga nyawa orang Papua, 10 tahun atau tidak ada nilaninya? HItung kematian orang Papua di tangan NKRI, berapa lama lagi harus kita tunggu?

    Kalau saya mau terus terang, saya harus katakan bahwa cara berpikir "melihat keluar" ialah pertama utama dan petunjuk pertama bahwa bangsa ini tidak punya jatidiri, tidak bermartabat, dan karena itu tidak percaya diri. Karena tidak percaya diri, maka harus mendasarkan kepercayaannya kepada orang lain, bangsa lain, organiassi lain, negara lain.

    Tidak salah lagi Dr. Benny Giay selalu katakan, "Orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah" karena mentalitas budak masih sangat kental. Para budak tidak percaya diri, bimbang, ragu, dan bergantung sepenuhya kepada apa dikata tuannya.

    Yang mau merdeka bukan Australia, bukan Amerika Serikat, bukan Allah. Bukan dan bukan. Yang mau merdeka ialah orang Papua, yaitu orang di pulau New Guinea.

    Masalah sekarang orang New Guinea sendiri yang harus jelas, "Apakah mau merdeka atau mau Otsus Plus?", "Mau berjuang serius dengan kemajuan yang jelas atau berjuang berputar-putar seperti lemon nipis dan yosim pancar?", "Percaya diri bahwa dia sendiri yang mau merdeka dan karena itu dia sendiri yang harus mengakhirinya atau berharap, berdoa dan berpuasa, agar bangsa lain, makhluk dan oknum lain, organisasi lain, negara lain turun tangan?" "Sampai kapan bangsa ini cengeng, minta dialogue, minta dukungan, minta ini dan minta itu?

    Perjuangan ini ada di Tanah Papua, di Tangan Orang Papua. Tetapi kenapa orang Papua sendiri tidak percaya dirinya, tidak percaya solusi ada di pulau ini, tidak percaya bangsa bahwa sanggup merampungkan perjuangan ini?

    Saya tahu, bukan dari mimpi, tetapi dari realitas, bahwa Powes Parkop dan Peter O'Neil akan setuju dengan saya. Selama ini orang Papua di Papua Barat justru menjagokan, mengharapkan, berdoa kepada pihak lain untuk terlibat menyelesaikan masalah Papua, tanpa melihat kemampuan dirinya sendiri, -di sebelah barat sebagai bangsa terjajah, dan pada saat yang sama di sebelah timur sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

    Orang Papua Berjuang KARENA Kebenaran, Bukti dan Saksi Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat

    Orang Papua mati karena persoalan ideologi perjuangan kemerdekaan papua barat. Dan rakyat papua masih mengalami penderitaan, pembantaian dan pembunuhan sadis dari negara sahabat penjajah selama ini juga menjadi perenungan bagi bangsa papua barat.

    Namun kaum penjajah mati karena akibat dari fenomena alam tanpa ada efek apapun yang menggangunya. oleh karenanya, jangan melakukan berbagai tindakan secara tidak manusiawi sesama masia didunia ini, karena setiap tindakan dan kekerasan tentu akan ada imbalan berupa fenomena alam maupun kehilangan asset tanpa ada jejak.

    Maka dapat katakan bahwa, Indonesia seharusnya mengakui penderitaan dan pembantaian yang dialami dan dirasakan oleh kami rakyat papua, diatas negeri Papua Barat. Karena sesuatu yang terjadi berupa bencana alam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi kutukan dari pencipta manusia. Jadi dalam kehidupan suatu bangsa yang masih dibawa penjajahan tentu akan ada imbalan sesuai perbuatan, tindakan dan kenafsuhan dari negara itu sendiri. 

    Fenomena alam berupa musiba dan hilang kontak asset pemerintah terjadi dimana-mana merupakan kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pergumulan anak negeri dengan tangisan dan ratapan diatas negerinya merupakan proses menujuh penentuan nasib sendiri, dengan kekuatan dari Allah/Aula bagi bangsa papua barat. Dan Sang Revolusioner senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri diatas Tanah Air West Papua,.

    TNI Harus Berani Ubah Hasrat Membunuh dan Membatai Menjadi Hasrat Membangun Orang Papua

    TNI Harus Berani Ubah Hasrat Membunuh dan Membatai Menjadi Hasrat Membangun Orang Papua, 

    Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus berani mengubah hasrat membunuh dan membantai orang Papua menjadi hasrat membangun orang Papua.

    “Sudah terlalu lama laras senjata aparat Indonesia mengarah ke rakyat papua. Sudah puluhan ribu nyawa melayang karena kejahatan internal ini. Panglima TNI harus berani alihkan hasrat bunuh orang Papua berubah menjadi hasrat membangun orang Papua,” 

    TNI agar lebih mengedepankan pendekatan terirorial daripada pendekatan militer dalam membangun Papua. “TNI harus kedepankan pendekatan teritorial. Berhenti dengan gaya film Rambo, siap tempur. Siap bantai rakyat,”

    TNI akan dicintai dan menjadi bagian integral yang sama menderita bersama rakyat, tersenyum dan bahagian bersama rakyat kalau lebih mengedepankan pendekatan membangun.

    “Itulah TNI yang reformis dan professional. Saya percaya TNI memiliki seluruh persyaratan untuk mengubah dirinya kearah itu,” kami meminta agar aparat tidak membunuh umat Tuhan di Tanah Papua.

    “Pemerintah dan aparat militer baik TNI mapun Polri, tolong jangan lakukan penembakan terhadap umat saya. Tidak lama ini aparat sudah menembak mati lima anak muda yang menjadi harapan bangsa ini. Itu terjadi di kampung saya. Saya minta jangan lagi melakukan penembakan terhadap umat bangsa melanesia papua,”

    Upacara Pengibaran Bendera Bintang Kejora HUT West Papua oleh Suku Walak Wilayah DEMAK Walak

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online
    Upacara Pengibaran Bendera Bintang Kejora HUT West Papua  oleh Suku Walak Wilayah DEMAK, Veteran OPM  dan Anggota Prajurit TRPB Ilugwa Selatan. Upacara dilakukan resmi secara adat (DEMAK Walak). Mulai dari Pembukaan, Pengibaran Bendera, Pidato sampai penutupan dilaksanakan dengan bahasa dan budaya suku walak di Wilayah LA PAGO - jantung papua.
     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif