Orang Papua Harus Mengerti dan Sadar: Kunci Papua Merdeka ada "di Tanah Papua!" dan "di Tangan Orang Papua!"
Ya, betul, "di Tanah Papua!" artinya di pulau New Guinea, dari Sorong sampai Samarai, bukan di London, bukan di New York, bukan di Canberra, bukan di Port Vila, bukan di Suva, bukan, dan bukan, dan bukan. Kuncinya ada di Port Numbay dan Port Moresby. Kuncinya ada di Manokwari dan Raja Ampat, kuncinya ada di Biak dan Serui, Mbadlima dan Maroke, Kaimana dan Numbay Raya, di dalam, di atas Tanah Papua.
Jaringan Damai Papua mendesak Jakarta, Canberra dan Wellington perlu terlibat mencari "win-win solution". Makanya mereka "insist", dialogue damai ialah satu-satunya jalan bagi penyelesaian masalah Papua. Aliran pendapat ini sangat mainstream, didukung oleh semua organisasi dan lembaga keagamaan, sebagian besar tokoh agama dan LSM penegak HAM di Tanah Papua juga mendukung agenda dialgoue. Demikian juga sejumlah organisasi dan pemerhati HAM di Indonesia.
Ada yang menghambakan diri dengan Amerika Serikat, karena mereka melihat urutan pertama ada Tuhan di atas, setelah itu Amerika Serikat. Apa yang diputuskan Amerika Serikat sama dengan keputusan Allah, karena akan diterima Australia dan Selandia Baru, Inggris dan Belanda, dan lainnya.
Ada lagi yang secara murni percaya, "Yesus akan turun mendirikan Kerajaan Allah di Tanah Papua, jadi orang Papua tidak perlu buat apa-apa." Kata mereka orang Papua hanya perlu berdoa, berpuasa. Menurut mereka pula, begitu orang Papua membunuh orang Indonesia, maka kemerdekaan Papua tertunda 10 tahun, jadi satu nyawa orang Indonesia sama dengan 10 tahun perjuangan. Pertanyaan buat mereka, berapa harga nyawa orang Papua, 10 tahun atau tidak ada nilaninya? HItung kematian orang Papua di tangan NKRI, berapa lama lagi harus kita tunggu?
Kalau saya mau terus terang, saya harus katakan bahwa cara berpikir "melihat keluar" ialah pertama utama dan petunjuk pertama bahwa bangsa ini tidak punya jatidiri, tidak bermartabat, dan karena itu tidak percaya diri. Karena tidak percaya diri, maka harus mendasarkan kepercayaannya kepada orang lain, bangsa lain, organiassi lain, negara lain.
Tidak salah lagi Dr. Benny Giay selalu katakan, "Orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah" karena mentalitas budak masih sangat kental. Para budak tidak percaya diri, bimbang, ragu, dan bergantung sepenuhya kepada apa dikata tuannya.
Yang mau merdeka bukan Australia, bukan Amerika Serikat, bukan Allah. Bukan dan bukan. Yang mau merdeka ialah orang Papua, yaitu orang di pulau New Guinea.
Masalah sekarang orang New Guinea sendiri yang harus jelas, "Apakah mau merdeka atau mau Otsus Plus?", "Mau berjuang serius dengan kemajuan yang jelas atau berjuang berputar-putar seperti lemon nipis dan yosim pancar?", "Percaya diri bahwa dia sendiri yang mau merdeka dan karena itu dia sendiri yang harus mengakhirinya atau berharap, berdoa dan berpuasa, agar bangsa lain, makhluk dan oknum lain, organisasi lain, negara lain turun tangan?" "Sampai kapan bangsa ini cengeng, minta dialogue, minta dukungan, minta ini dan minta itu?
Perjuangan ini ada di Tanah Papua, di Tangan Orang Papua. Tetapi kenapa orang Papua sendiri tidak percaya dirinya, tidak percaya solusi ada di pulau ini, tidak percaya bangsa bahwa sanggup merampungkan perjuangan ini?
Saya tahu, bukan dari mimpi, tetapi dari realitas, bahwa Powes Parkop dan Peter O'Neil akan setuju dengan saya. Selama ini orang Papua di Papua Barat justru menjagokan, mengharapkan, berdoa kepada pihak lain untuk terlibat menyelesaikan masalah Papua, tanpa melihat kemampuan dirinya sendiri, -di sebelah barat sebagai bangsa terjajah, dan pada saat yang sama di sebelah timur sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Ya, betul, "di Tanah Papua!" artinya di pulau New Guinea, dari Sorong sampai Samarai, bukan di London, bukan di New York, bukan di Canberra, bukan di Port Vila, bukan di Suva, bukan, dan bukan, dan bukan. Kuncinya ada di Port Numbay dan Port Moresby. Kuncinya ada di Manokwari dan Raja Ampat, kuncinya ada di Biak dan Serui, Mbadlima dan Maroke, Kaimana dan Numbay Raya, di dalam, di atas Tanah Papua.
Jaringan Damai Papua mendesak Jakarta, Canberra dan Wellington perlu terlibat mencari "win-win solution". Makanya mereka "insist", dialogue damai ialah satu-satunya jalan bagi penyelesaian masalah Papua. Aliran pendapat ini sangat mainstream, didukung oleh semua organisasi dan lembaga keagamaan, sebagian besar tokoh agama dan LSM penegak HAM di Tanah Papua juga mendukung agenda dialgoue. Demikian juga sejumlah organisasi dan pemerhati HAM di Indonesia.
- Pertanyaan saya ialah, "Urus masalah apa? Kasus apa? Perkara apa?" Lebih tepat lagi, "Apa ada masalah antara NKRI dan West Papua?" Kalau ada, mana masalahnya? Pepera yang tidak demokratis? Pelanggaran HAM selama Orde Lama dan Orde Baru? Perlakuan tidak adil dalam pembangunan NKRI selama ini? Keberpihakan yang kurang saat ini? Siapa yang tidak tahu semua ini? Siapa yang menyangkal semua ini?
- Bukanlah semua orang mengaku bahwa Pepera 1969 di West Irian tidak demokratis, tetapi telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan oleh karena itu sah demi hukum?
- Bukanlah pelanggaran HAM di Tanah Papua oleh Orla dan Orba ialah sebuah pelanggaran dan oleh karena itu pemerintahan reformasi sekarang tidak akan melakukan demikian lagi, dan sebagai bukti komitmen telah diberlakukan Otsus I, II dan III, dan masih diperjuangkan Otsus Plus?
- Bukankah keberpihakan terhadap orang Papua di era otsus sudah nampak?
Ada yang menghambakan diri dengan Amerika Serikat, karena mereka melihat urutan pertama ada Tuhan di atas, setelah itu Amerika Serikat. Apa yang diputuskan Amerika Serikat sama dengan keputusan Allah, karena akan diterima Australia dan Selandia Baru, Inggris dan Belanda, dan lainnya.
Ada lagi yang secara murni percaya, "Yesus akan turun mendirikan Kerajaan Allah di Tanah Papua, jadi orang Papua tidak perlu buat apa-apa." Kata mereka orang Papua hanya perlu berdoa, berpuasa. Menurut mereka pula, begitu orang Papua membunuh orang Indonesia, maka kemerdekaan Papua tertunda 10 tahun, jadi satu nyawa orang Indonesia sama dengan 10 tahun perjuangan. Pertanyaan buat mereka, berapa harga nyawa orang Papua, 10 tahun atau tidak ada nilaninya? HItung kematian orang Papua di tangan NKRI, berapa lama lagi harus kita tunggu?
Kalau saya mau terus terang, saya harus katakan bahwa cara berpikir "melihat keluar" ialah pertama utama dan petunjuk pertama bahwa bangsa ini tidak punya jatidiri, tidak bermartabat, dan karena itu tidak percaya diri. Karena tidak percaya diri, maka harus mendasarkan kepercayaannya kepada orang lain, bangsa lain, organiassi lain, negara lain.
Tidak salah lagi Dr. Benny Giay selalu katakan, "Orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah" karena mentalitas budak masih sangat kental. Para budak tidak percaya diri, bimbang, ragu, dan bergantung sepenuhya kepada apa dikata tuannya.
Yang mau merdeka bukan Australia, bukan Amerika Serikat, bukan Allah. Bukan dan bukan. Yang mau merdeka ialah orang Papua, yaitu orang di pulau New Guinea.
Masalah sekarang orang New Guinea sendiri yang harus jelas, "Apakah mau merdeka atau mau Otsus Plus?", "Mau berjuang serius dengan kemajuan yang jelas atau berjuang berputar-putar seperti lemon nipis dan yosim pancar?", "Percaya diri bahwa dia sendiri yang mau merdeka dan karena itu dia sendiri yang harus mengakhirinya atau berharap, berdoa dan berpuasa, agar bangsa lain, makhluk dan oknum lain, organisasi lain, negara lain turun tangan?" "Sampai kapan bangsa ini cengeng, minta dialogue, minta dukungan, minta ini dan minta itu?
Perjuangan ini ada di Tanah Papua, di Tangan Orang Papua. Tetapi kenapa orang Papua sendiri tidak percaya dirinya, tidak percaya solusi ada di pulau ini, tidak percaya bangsa bahwa sanggup merampungkan perjuangan ini?
Saya tahu, bukan dari mimpi, tetapi dari realitas, bahwa Powes Parkop dan Peter O'Neil akan setuju dengan saya. Selama ini orang Papua di Papua Barat justru menjagokan, mengharapkan, berdoa kepada pihak lain untuk terlibat menyelesaikan masalah Papua, tanpa melihat kemampuan dirinya sendiri, -di sebelah barat sebagai bangsa terjajah, dan pada saat yang sama di sebelah timur sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.