photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label HAM Papua. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label HAM Papua. Tampilkan semua postingan

    Orang Papua Harus Mengerti dan Sadar: Kunci Papua Merdeka ada "di Tanah Papua!" dan "di Tangan Orang Papua!"

    Orang Papua Harus Mengerti dan Sadar: Kunci Papua Merdeka ada "di Tanah Papua!" dan "di Tangan Orang Papua!"


    Ya, betul, "di Tanah Papua!" artinya di pulau New Guinea, dari Sorong sampai Samarai, bukan di London, bukan di New York, bukan di Canberra, bukan di Port Vila, bukan di Suva, bukan, dan bukan, dan bukan. Kuncinya ada di Port Numbay dan Port Moresby. Kuncinya ada di Manokwari dan Raja Ampat, kuncinya ada di Biak dan Serui, Mbadlima dan Maroke, Kaimana dan Numbay Raya, di dalam, di atas Tanah Papua.

    Jaringan Damai Papua mendesak Jakarta, Canberra dan Wellington perlu terlibat mencari "win-win solution". Makanya mereka "insist", dialogue damai ialah satu-satunya jalan bagi penyelesaian masalah Papua. Aliran pendapat ini sangat mainstream, didukung oleh semua organisasi dan lembaga keagamaan, sebagian besar tokoh agama dan LSM penegak HAM di Tanah Papua juga mendukung agenda dialgoue. Demikian juga sejumlah organisasi dan pemerhati HAM di Indonesia.

    • Pertanyaan saya ialah, "Urus masalah apa? Kasus apa? Perkara apa?" Lebih tepat lagi, "Apa ada masalah antara NKRI dan West Papua?" Kalau ada, mana masalahnya? Pepera yang tidak demokratis? Pelanggaran HAM selama Orde Lama dan Orde Baru? Perlakuan tidak adil dalam pembangunan NKRI selama ini? Keberpihakan yang kurang saat ini? Siapa yang tidak tahu semua ini? Siapa yang menyangkal semua ini?

    • Bukanlah semua orang mengaku bahwa Pepera 1969 di West Irian tidak demokratis, tetapi telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan oleh karena itu sah demi hukum?
    • Bukanlah pelanggaran HAM di Tanah Papua oleh Orla dan Orba ialah sebuah pelanggaran dan oleh karena itu pemerintahan reformasi sekarang tidak akan melakukan demikian lagi, dan sebagai bukti komitmen telah diberlakukan Otsus I, II dan III, dan masih diperjuangkan Otsus Plus?
    • Bukankah keberpihakan terhadap orang Papua di era otsus sudah nampak?
    Berpagai organisasi perjuangan Papua Merdeka selalu mengagung-agungkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, katanya Sidang PBB sudah mengagendakan masalah Papua Barat dan akan segera dibahas di Sidang Umum PBB. Bendera PBB dipajang ke mana-mana.

    Ada yang menghambakan diri dengan Amerika Serikat, karena mereka melihat urutan pertama ada Tuhan di atas, setelah itu Amerika Serikat. Apa yang diputuskan Amerika Serikat sama dengan keputusan Allah, karena akan diterima Australia dan Selandia Baru, Inggris dan Belanda, dan lainnya.

    Ada lagi yang secara murni percaya, "Yesus akan turun mendirikan Kerajaan Allah di Tanah Papua, jadi orang Papua tidak perlu buat apa-apa." Kata mereka orang Papua hanya perlu berdoa, berpuasa. Menurut mereka pula, begitu orang Papua membunuh orang Indonesia, maka kemerdekaan Papua tertunda 10 tahun, jadi satu nyawa orang Indonesia sama dengan 10 tahun perjuangan. Pertanyaan buat mereka, berapa harga nyawa orang Papua, 10 tahun atau tidak ada nilaninya? HItung kematian orang Papua di tangan NKRI, berapa lama lagi harus kita tunggu?

    Kalau saya mau terus terang, saya harus katakan bahwa cara berpikir "melihat keluar" ialah pertama utama dan petunjuk pertama bahwa bangsa ini tidak punya jatidiri, tidak bermartabat, dan karena itu tidak percaya diri. Karena tidak percaya diri, maka harus mendasarkan kepercayaannya kepada orang lain, bangsa lain, organiassi lain, negara lain.

    Tidak salah lagi Dr. Benny Giay selalu katakan, "Orang Papua memenuhi syarat untuk dijajah" karena mentalitas budak masih sangat kental. Para budak tidak percaya diri, bimbang, ragu, dan bergantung sepenuhya kepada apa dikata tuannya.

    Yang mau merdeka bukan Australia, bukan Amerika Serikat, bukan Allah. Bukan dan bukan. Yang mau merdeka ialah orang Papua, yaitu orang di pulau New Guinea.

    Masalah sekarang orang New Guinea sendiri yang harus jelas, "Apakah mau merdeka atau mau Otsus Plus?", "Mau berjuang serius dengan kemajuan yang jelas atau berjuang berputar-putar seperti lemon nipis dan yosim pancar?", "Percaya diri bahwa dia sendiri yang mau merdeka dan karena itu dia sendiri yang harus mengakhirinya atau berharap, berdoa dan berpuasa, agar bangsa lain, makhluk dan oknum lain, organisasi lain, negara lain turun tangan?" "Sampai kapan bangsa ini cengeng, minta dialogue, minta dukungan, minta ini dan minta itu?

    Perjuangan ini ada di Tanah Papua, di Tangan Orang Papua. Tetapi kenapa orang Papua sendiri tidak percaya dirinya, tidak percaya solusi ada di pulau ini, tidak percaya bangsa bahwa sanggup merampungkan perjuangan ini?

    Saya tahu, bukan dari mimpi, tetapi dari realitas, bahwa Powes Parkop dan Peter O'Neil akan setuju dengan saya. Selama ini orang Papua di Papua Barat justru menjagokan, mengharapkan, berdoa kepada pihak lain untuk terlibat menyelesaikan masalah Papua, tanpa melihat kemampuan dirinya sendiri, -di sebelah barat sebagai bangsa terjajah, dan pada saat yang sama di sebelah timur sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

    Pernyataan Sikap AMP Peringati Hari HAM Sedunia

     

    Tuntutan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)

    Press Release AMP Menyikapi Hari HAM se-Dunia
    Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Orang Asli Papua
    Adalah Solusi Demokratis



    Kronologis Paniai Berdarah


    Pada subuh Senin, 08 Desember 2014, kira-kira pukul 02.10 WP. Seorang anak laki-laki bersama beberapa orang lainnya menjaga pondok Natal yang didirikan oleh warga di pinggir jalan yang melintas Jalan Raya Enarotali-Madi.

    Saat itu, sebuah mobil patroli Polres Paniai dari arah Enarotali melintas menuju Madi. Mobil itu tidak menyalahkan lampu sebagai penerangan jalan.

    Anak laki-laki yang menjaga pondok Natal itu menegur, "woee, kalau jalan malam itu harus nyalakan lampu," kata anak laki-laki itu. Ternyata mobil itu ditumpangi Polisi. Tulis majalahselangkah.com edisi 8 Desember 2014.

    Polisi yang sedang berpatroli tak menerima ungkapan tersebut. Mereka menuruni mobil dan mengejeknya dengan bahasa yang tak sedap didengar. Anak tersebut dipukul dengan popor senjata. Anak itu pingsan.

    Besoknya, Senin (08/12/2014), sekitar pukul 07:30 WP, warga Ipakiye melakukan aksi menuju Polres Paniai di Madi. Dalam perjalanan itu, dihadang oleh aparat Polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tim Khusus 753 yang bertugas di Paniai Papua.

    Sebagian warga telah berkumpul di lapangan sepakbola Karel Gobay, Enarotali. Mereka mulai berkomunikasi dengan aparat kepolisian dan brigadir mobil yang ada di situ. Tetapi, tidak ditanggapi.

    Karena kecewa, warga yang berkumpul di lapangan sepak bola Karel Gobay mengambil batu di sekitar mereka dan melempari kantor Koramil yang letaknya depan lapangan. Juga mobil Dalmas yang dikemudikan para petugas patroli tanpa lampu penerang tersebut dihancurkan massa.

    Aparat gabungan Tim Khusus 753, Brimob dan polisi menyikapi ekspresi kekecewaan warga dan menembak ke arah massa aksi yang berkumpul di lapangan Karel Gobay, Enarotali. Tindak aparat ini menewaskan empat (4) warga sipil dan sebelas (11) warga lainnya mengalami luka berat.

    Wakil Bupati Kabupaten Paniai, Yohanis You, S.Ag, M.Si, yang mendatangi tempat kejadian peristiwa (TKP) untuk bernegosiasi dengan gabungan militer, ditodong dengan senjata. Wakil Bupati pun pulang tanpa mampu berbuat apa-apa.

    Sekitar pukul 09: 00 WP, korban tembak mati bertambah dua, sehingga seluruhnya ada enam.

    Salah satu dari korban tembak, Yulian Yeimo, akhirnya meninggal dari rumah sakit saat menjalani perawatan medis.

    Keluarga korban bersepakat untuk tidak mengubur 6 mayat hasil penembakan gabungan TNI 753, Brimob dan Polisi. Mereka memutuskan menunggu kedatangan Kapolda dan Kodam Papua untuk mempertanggungjawabkan tindakan anggotanya. Mayat dijejer di lapangan Karel Gobai.

    5 orang yang ditembak mati dan sudah bisa dipastikan, oleh gabungan militer Indonesia, 17 orang lainnya luka tembak dan kritis.

    SATU: Simon Degei berusia 18 Tahun. Ia sekolah siswa di SMA Negeri I Paniai dan saat ini berada di kelas III. Ia di tembak mati ditempat dan saat ini masih dijejer bersama mayat lainnya di lapangan sepak bola, Karel Gobai.

    DUA:
    Otianus Gobai. Ia berusia 18 Tahun. Ia siswa SMA Negeri I Paniai kelas III, mengenakan baju sekolah, OSIS. Ia ditembak mati di tempat.

    TIGA:
    Alpius Youw berusia 17 Tahun. Ia juga adalah siswa SMA Negeri I Paniai kelas III. Tampak di foto, dia menggunakan baju olahraga biru. Bersama tiga korban lainya, dia ditembak mati ditempat.

    EMPAT: Yulian Yeimo berusia 17 Tahun. Ia siswa SMA Negeri Paniai. Saat ini, berada di kelas I. ia meningga di RSUD Paniai.

    KELIMA:
    Abia Gobai berumur 17 tahun. Ia juga siswa SMA Negeri Paniai. Seperti 3 rekan yang lainnya, ia berada di kelas III. Abia ditemukan tewas di kampung Kogekotu, sebelah lapangan terbang, sekitar 400 meter dari kantor Polres Paniai. Mayat Abian Gobai telah dibawa ke rumah oleh keluarga. Mayatnya tidak dijejer bersama mayat empat rekannya di lapangan sepakbola Karel Gobay.

    KEENAM:
    Ada penambahan korban. Dua mayat, baru ditemukan. Jasatnya belum dipastikan. Dikarenakan, jaringan Telkomsel yang tidak aktif, sehingga tidak bisa berkomunikasi.

    Sementara 17 orang luka-luka kritis oleh karena, pukulan dari popor senjata dan tembakan. Yaitu:
      1.  Oni Yeimo (Pemuda), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
      2.  Yulian Mote (25 Tahun, PNS), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
      3.  Oktovianus Gobai (Siswa SMP kelas I), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
      4.  Noak Gobai (Mahasiswa di STIKIP Semester V), dirawat di RSUD di Madi.
      5.  Bernadus Magai Yogi (Siswa SD kelas IV), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
      6.  Akulian Degei (Siswa SMP kelas I), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
      7.  Agusta Degei (28 Tahun, Ibu Rumah Tangga), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
      8.  Andarias Dogopia (Pemuda), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
      9.  Abenardus Bunai (Siswa SD kelas IV), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    10. Neles Gobai (PNS), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    11. Jerry Gobai (Siswa SD kelas V), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    12. Marice Yogi (52 Tahun, Ibu rumah tangga), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    13. Oktovianus Gobai (Siswa SD kelas V), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    14. Yulian Tobai (Satpam RSUD), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    15. Yuliana Edowai (Ibu rumah tangga), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    16. Jermias Kayame (48 Tahun, Kepala Kampung Awabutu), dirawat di RSUD Paniai di Madi.
    17. Selpi Dogopia (34 Tahun), dirawat di RSUD Paniai di Madi.

    Pernyataan Sikap:
    Peristiwa Papua berdarah berawal dari 19 Desember 1961 saat Operasi Trikora. Dimana, telah melakukan pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan kepada rakyat Papua Barat yang pro-kemerdekaan Papua Barat.

    Peristiwa, tragedi atau gejolak Papua terus berlanjut hingga 1 Mei 1963 saat penyerahan administrasi Papua Barat kepada Indonesia melalui Badan Perwakilan PBB, UNTEA. Sejak itulah operasi demi operasi militer guna mensituasikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) telah melakukan genosida, pelanggaran HAM berat kepada orang asli Papua.

    Hingga hari ini terus terjadi. Terbukti dengan situasi yang dibuat, dipicu oleh Militer Indonesia.

    Dua bulan terakhir ini tercatat bahwa tiga orang warga sipil di Dogiyai yang ditembak di kaki hingga mengalami lumpuh. 10 orang aktivis dipenjarakan di Polres Nabire hanya karena menyuarakan kebenaran dan dikenakan Pasal 160, 106, dan 55 secara sepihak tanpa ada koordinasi seimbang dari korban. Hal yang sama, enam orang aktivis di Kaimana ditahan, yang sebelumnya sekertariat KNPB digrebek oleh Polisi Indonesia. Rumah warga sipil dibakar, beberapa warga sipil ditahan, hanya karena tidak mampu mengejar TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat). Tragedi Paniai Berdarah, seperti pada materi di atas. Dan delapan orang aktivis ditahan tanpa alasan di Dok VIII, Jayapura, pada tanggal 9 Desember 2014 waktu sore Papua.

    Dengan demikian, kami Aliansi Mahasiswa Papua Komite Pusat menuntut:
    1. Rezim Jokowi-JK HARUS bertanggungjawab atas tindakan pelanggaran HAM Berat oleh TNI/POLRI di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai yang telah menembak mati 6 warga sipil dan 17 belas luka-luka.
    2. Tarik Militer Organik dan Non-organik dari seluruh Tanah Papua. Karena, ada sebagai pelaku Pelanggaran HAM di Tanah Papua.
    3. STOP Pengiriman TNI/POLRI ke Tanah Papua dan penambahan Kodam, Pos-pos Militer lainnya.
    4. STOP Pengejaran dan Penangkapan tanpa nukti fakta pelanggaran.
    5. HAPUS UU Penanaman Modal Asing di Tanah Papua. Karena, awal mula malapetaka pelanggaran HAM di Tanah Papua.
    6. Melalui Jokowi-JK, Indonesia STOP menutupi dan mengalihkan persoalan HAM dengan pendekatan-pendekatan Nasionalis-Sosialis, Penipuan Publik.
    7. STOP Penipuan kepada Rakyat Papua Barat melalui paket/produk kebijakan Indonesia yang sepihak, HAPUS UU. Nomor 21 Tahun 2001 tentang Kebijakan Otonomi Khusus.
    8. Buka Ruang Demokrasi di Tanah Papua dan berikan akses Jurnalis Internasional seluas-luasnya   untuk melakukan kegiatan Jurnalistik di Tanah Papua.
    9. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Orang Asli Papua sebagai Solusi Demokratis.

    Demikian pernyataan sikap kami, secara tegas dan terus akan kami tuntut, mohon pantauan semua pihak dan kerja samanya yang baik, kami ucapkan terima kasih.

    Kolonialisme, Hapuskan!
    Militerisme Kolonial, Lawan!
    Imperialisme, Akhiri!


    Salam Pembebasan!
    Salam Revolusi!

    Tanah Kolonial Indonesia, 10 Desember 2014

    Mengetahui Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua, Biro Politik

    Telah Terjadi Pelanggaran HAM Kepada Massa AMP Yang Dilakukan Oleh FKPM dan Polisi Indonesia

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta WPNews - SPMNews Group Online

    Yogyakarta: Telah Terjadi Pelanggaran HAM Kepada Massa AMP Yang Dilakukan Oleh FKPM dan Polisi Indonesia

    Foto: Pembacaan pernyataan sikap AMP di titik nol kilometer/Dok. AMP
    "Demo Damai, Satu Negosiator Aksi dan Tiga Massa AMP Luka – Luka Dilakukan oleh FKPM dan Polisi Indonesia."

    Ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi demontrasi damai mendukung pernyataan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) mengenai “peringatan, stop! Pemekaran “ dan menolak hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), 02 Agustus 1969, penutupan hari Pepera, sabtu (02/08/2014) waktu siang.

    Demo Damai dimulai Pukul 09:00 Waktu Yogyakarta (WY), Long March dari Rumah Adat, Asrama Papua menuju titik nol kilometer Yogyakarta. Kamis, 6 Agustus 2014.

    Pada Pukul 09:30 WY, AMP dihadang oleh Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) di depan Taman Makam Pahlawan Kolonial Indonesia, tepatnya di pertigaan lampu merah, butuh sekitar belasan menit untuk tiba dari Rumah Adat.

    Sebelumnya, Negosiator aksi demo melakukan negosiasi kepada kepolisian. Dan kepolisian bernegosiasi kepada FKPM. Hasilnya, FKPM tidak bisa membubarkan barisan yang sedang memblokade jalan.

    “Sebagaimana sesuai aturan main negara yang berlandaskan Hukum dan berdemokrasi, AMP telah memberikan surat izin dan Polisi pun membalas, meresponi baik. Jadi, kami minta! Apakah ada dasar hukum dari FKPM? Tunjukkan ke kami,” kata Negosiator aksi demo, Roy Karoba dan disusul Aldy Uaga.

    Pihak kepolisian menanggapi dan menyuruh AMP untuk tidak melanjutkan aksi Long Marchmenuju titik nol kilometer. Namun, menyuruh AMP agar gelar aksi damai di tempat pem-blokade-an oleh FKPM dan Polisi sendiri.

    “Kami telah melakukan negosiasi dengan Pimpinan FKPM dan mereka tidak bisa bubarkan diri,” kata Pihak Kepolisian.

    Lanjut Polisi, mereka juga sedang melakukan sebuah kegiatan dan bertepatan dengan Mahasiswa Papua.

    Tim negosiator dari AMP memberikan waktu lima menit untuk pihak kepolisian segera bubarkan penghadangan FKPM. FKPM pun menolak dan tetap memblokade.

    Pukul 10:00 WY, AMP menabrak pemblokadean FKPM dan Polisi.

    Sesaat setelah menabrak pemblokadean, FKPM melepaskan beberapa pukulan, memicu perkelahian. Sekitar 30 menit lamanya perkelahian antar gabungan FKPM dan Polisi dengan massa AMP.

    Gabungan FKPM dan Polisi berhasil memukul, menusuk, menembak, dan hampir menabrak massa AMP dengan menggunakan Motor Sabara. AMP pun melakukan perlindungan demi menuju titik nol kilometer.

    Terlihat tiga truk Polisi, dua mobil Polisi jenis kijang dan belasan Motor Sabara Polisi berlalu-lalang mengiringi perjalanan AMP. Polisi di Motor Sabara membawa; Karet Mati, Pistol peluru karet, dan Tembakan Gas Air Mata. Sedangkan, FKPM membawa; Batu, Besi dan piso.

    Kendaraan yang digunakan Polisi awalnya diparkir di depan Rumah Adat hingga sepanjang jalan menuju titik nol.

    Tiga massa aksi dan satu negosiator aksi AMP mengalamai luka – luka yang dilakukan oleh FKPM dan Polisi.

    Nama-nama Korban
    1  1. Agustina Batangga, Perempuan (21 Tahun), mahasiswa papua.
    FKPM memukulnya dengan besi berukuran: Diameter, sekitar 10 cm. Dan panjang, sekitar 1,5 m. Di bahu kiri dan korban mengalami luka bengkak, memerah.

        2. Roy Karoba, Laki-laki (24 Tahun), negosiator aksi.
    FKPM membacok dengan piso di Leher. Luka tusukan mendekati urat nadi.

        3. Yanto Tebai, Laki-laki (19 Tahun), mahasiswa papua.
    Polisi menginjak tangannya ketika hendak jatuh dengan laras. Luka injak di Jari tengah bagian kiri.

        4. Tenus Waker, Laki-laki (22 Tahun), mahasiswa papua.
    Polisi hendak melepaskan dua tembakan dari pistol dengan menggunakan peluru karet. Tembakan ke-2  mengarah ke Tenus dan mengikis di Testa, Kepala.

    Penghadangan FKPM yang didukung Polisi pun berhasil ditabrak massa AMP. AMP melanjutkan aksi Long March menuju titik nol setelah melakukan perlindungan atas bentrok yang dipicu oleh FKPM. Sekitar satu jam, AMP berjalan dan tiba di titik nol.

    Pukul 11:30 WY, AMP tiba di titik nol kilometer dan melakukan Orasi-orasi Politik yang diangkat berdasarkan fakta. Orasi-orasi tersebut, tidak terlepas dari Sejarah Bangsa Papua Barat, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pembunuhan terhadap TPN-PB, Tokoh Papua Merdeka, dan Aktivis Papua Merdeka. Perampasan Hak Orang Papua, Pemerkosaan, Pemecahan, Pembungkaman demokrasi, dan lainnya.

    Tentunya, AMP menolak hasil PEPERA 1969, bertepatan dengan hari terakhir, 02 Agustus 2014. AMP juga menolak Militer Organik dan non-Organik Indonesia di Tanah papua, Menutup Perusahaan Asing di Tanah Papua, dan AMP juga mendukung pernyataan TPN-PB di web-nya Komnas TPN-PB.

    Tuntutan AMP adalah Penentuan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua Barat di Tanah Papua Sebagai Solusi Demokratis Melalui Mekanisme Referendum. Karena, sebenarnya momen PEPERA itu adalah REFERENDUM bagi rakyat Papua Barat. Namun karena, Amerika Serikat dengan kepentingan Ekonomi-Politik dan Indonesia dengan kepentingan perluasan wilayah jajahannya.

    Pukul 13:30 WY, AMP selesai aksi demo damai. Pukul 14:00 WY, Massa yang tergabung di AMP tiba di Rumah Adat.


     Foto - Foto Korban, Sesuai Susunan Dalam Nama-nama Korban Di Atas.
     
    Foto: Agustina Batangga (P/21), Korban Pelanggaran HAM.
    Baju putih, posisi di tengah
     
    Foto: Roy Karoba (L/24), Negosiator Aksi, Korban Pelanggaran HAM

    Foto: Yanto Tebai (L/19), Korban Pelanggaran HAM


    Foto: Tenus Waker (L/22), Korban Pelanggaran HAM


    *) Oleh Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Yogyakarta, 6 Agustus 2014.

    Potret politik stigma yang dimainkan di Papua

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Potret politik stigma yang dimainkan di Papua


    Katanya negara Indonesi negara hukum. Katanya Negara Indonesia Negara demokrasi. Katanya Negara Indonesia bercita-cita menegakkan HAM. Katanya Negara Indonesia mau mencerdaskan bangsa.

    Dan banyak ‘katanya', saya sendiri tidak tahu, karena ternyata itu semua bukan untuk orang Papua. Bahkan, pada suatu titik saya malah bertanya "Adakah kehidupan untuk orang Papua di Negara Oligarki ini?" Hukum di negara ini telah dikebiri atas dasar kompromi kepentingan setiap pihak yang melibatkan penguasa dan kapitalis. Tidak ada hukum bagi Orang Papua, tidak ada demokrasi bagi orang Papua, tidak ada HAM bagi orang Papua, tidak ada pendidikan bagi orang Papua.

    Yang ada adalah stigma separatis bagi orang Papua di negeri ini. Bukankah justru Jakarta yang selalu mempermainkan Papua itulah yang sebenarnya separatis. Tanya kenapa? Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa perlakuan situasi masyarakat Papua saat ini adalah tantangan kemanusiaan kita, bukan saja dalam lingkup Indonesia, melainkan juga dunia. Sampai sekarang, secara tidak sadar, kita terseret pada potret politik stigma yang dimainkan di Papua.

    Papua hanya dilihat dengan mata curiga, atau lebih keras lagi, dilakukan dengan cara demonisasi cap dan tekanan psiko-sosial yang berulang-ulang. Begitu sistematisnya demonisasi ini sampai-sampai tidak sedikit orang yang menganggap adalah lumrah melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua: karena mereka "separatis" karena mereka ras melanesia.bukan ras melayu

    By : Wendakilungga on NAPAS

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    *Zely Ariane
    Pada Selasa, 11 Juni 2013, serombongan orang2 atas nama Front Pemuda Merah Putih mendatangi kantor KontraS, di Borobudur 14, menuntut pembubaran lembaga itu atas kegiatannya yang dituduh sebagai membela separatisme di Papua. Dua orang diantara mereka berorasi, sambil dua orang lainnya tampak memberi instruksi. Sementara orang-orang yang ikut tampak enggan merapat walau telah diperintah berkali-kali oleh orator. Yang maju dalam barisanpun tampak tak bersemangat dan ogah-ogahan.
    Orator mengatakan, di satu sisi, bahwa perjuangan penegakan HAM itu penting seperti yang diperjuangkan alm. Munir, sementara di sisi lain ia mencaci maki KontraS sebagai antek asing dan pro separatisme OPM. Ia mengatakan NKRI adalah harga mati dan perjuangan HAM tidak boleh menawarnya. KontraS diminta berjanji dan membuktikan bahwa mereka tidak pro separatisme.

    Motivasi

    Ada tiga motivasi yang memberi landasan berlangsungnya aksi semacam ini, dan logika berpikir demikian masih bersemayam setelah 15 tahun Reformasi Indonesia.

    Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannya pun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok para militer seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.

    Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiri pun samasekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.

    NKRI harga mati ini adalah tameng ideologi Orde Baru untuk meredam perlawanan rakyat ditengah penggadaian kedaulatan bumi dan air milik rakyat ke tangan para korporasi oleh pemerintahnya sendiri, yang padahal telah mengobrak-abrik kedaulatan negeri itu sendiri. Tentu saja NKRI harga mati tak pernah mempersoalkannya, bahkan mempromosikan jual murah negerinya pertama kali melalui UU PMA No.1 1967 dimana PT.Freeport pertama kali mendapat kontak karya di Papua bahkan sebelum Papua terintegrasi secara hukum ke Republik Indonesia. Dan Soehartolah yang juga mendalanginya.

    Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada dihadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.

    Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan bahwa: "bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta, sehingga Indonesia akan jadi bubar". Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.

    Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya: gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.

    NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki: kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

    * Zely Ariane, koordinator NAPAS
     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif