photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label NAPAS in Action. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label NAPAS in Action. Tampilkan semua postingan

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    *Zely Ariane
    Pada Selasa, 11 Juni 2013, serombongan orang2 atas nama Front Pemuda Merah Putih mendatangi kantor KontraS, di Borobudur 14, menuntut pembubaran lembaga itu atas kegiatannya yang dituduh sebagai membela separatisme di Papua. Dua orang diantara mereka berorasi, sambil dua orang lainnya tampak memberi instruksi. Sementara orang-orang yang ikut tampak enggan merapat walau telah diperintah berkali-kali oleh orator. Yang maju dalam barisanpun tampak tak bersemangat dan ogah-ogahan.
    Orator mengatakan, di satu sisi, bahwa perjuangan penegakan HAM itu penting seperti yang diperjuangkan alm. Munir, sementara di sisi lain ia mencaci maki KontraS sebagai antek asing dan pro separatisme OPM. Ia mengatakan NKRI adalah harga mati dan perjuangan HAM tidak boleh menawarnya. KontraS diminta berjanji dan membuktikan bahwa mereka tidak pro separatisme.

    Motivasi

    Ada tiga motivasi yang memberi landasan berlangsungnya aksi semacam ini, dan logika berpikir demikian masih bersemayam setelah 15 tahun Reformasi Indonesia.

    Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannya pun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok para militer seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.

    Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiri pun samasekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.

    NKRI harga mati ini adalah tameng ideologi Orde Baru untuk meredam perlawanan rakyat ditengah penggadaian kedaulatan bumi dan air milik rakyat ke tangan para korporasi oleh pemerintahnya sendiri, yang padahal telah mengobrak-abrik kedaulatan negeri itu sendiri. Tentu saja NKRI harga mati tak pernah mempersoalkannya, bahkan mempromosikan jual murah negerinya pertama kali melalui UU PMA No.1 1967 dimana PT.Freeport pertama kali mendapat kontak karya di Papua bahkan sebelum Papua terintegrasi secara hukum ke Republik Indonesia. Dan Soehartolah yang juga mendalanginya.

    Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada dihadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.

    Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan bahwa: "bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta, sehingga Indonesia akan jadi bubar". Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.

    Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya: gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.

    NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki: kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

    * Zely Ariane, koordinator NAPAS

    NAPAS : aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Rilis NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

    Kita butuh pemerintahan dan legislatif baru yang berani menjamin kebebasan berekspresi dan membebaskan tahanan politik di Papua
    Setelah 15 tahun, hampir 16 tahun, reformasi Indonesia, yang pernah membebaskan tahanan politik di masa Orde Baru, orang-orang Papua yang menjadi tahanan politik justru bertambah. Ditengah hiruk pikuk pemilu 2014 di Indonesia, represi terus meningkat di Papua sehingga menambah banyak orang-orang yang ditahan atas dasar motivasi politik. Tidak adanya ruang berekspresi dan beraspirasi secara bebas di Papua, serta penambahan jumlah tahanan politik tersebut, belum satupun menjadi perhatian para calon legislatif dan calon-calon presiden dalam pemilu 2014.

    Saat ini sebanyak 76 orang-orang Papua menjadi tahanan politik di berbagai penjara Papua*. Dalam waktu hanya setahun, sejak April 2013, website orang-orang Papua di balik jeruji telah mencatat penambahan tahanan politik di Papua sebanyak dua kali lipat. Per 31 Maret 2013 sebanyak 40 orang tahanan politik ada dalam penjara Manokwari, Sarmi, Timika, Serui, Abepura, Biak, Wamena, dan Nabire. Per Februari 2014 setidaknya bertambah sebanyak 36 tahanan politik, yang tersebar di berbagai lokasi tahanan kepolisian seperti di Yapen, Jayapura, Puncak Jaya, Polda Papua, dan Sarmi, selain di tempat-tempat yang sama dimana tahanan politik sebelumnya berada.

    Hentikan stigma, perbaiki layanan, dan tegakkan HAM

    Rakyat Indonesia dan semua lembaga yang mau membuka hati dan pikirannya perlu mengetahui keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, yang disiksa, ditolak akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan segala macam bentuk pelanggaran HAM lainnya. Keberadaan para tahanan politik ini tidaklah mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku tindak pidana yang menjalani pembinaan.

    Pada diskusi yang diselenggarakan NAPAS terkait keberadaan dan situasi Tapol di Papua, tahun lalu, Dirjen Lapas Kemenkumham, melalui biro komunikasinya Akbar Hadi, menyatakan bahwa pihak Lapas di Papua memiliki prosedur memadai dalam memperlakukan para tahanan. Menurutnya, mereka tidak kenal istilah kategori tapol dan yang lainnya, dan hanya berkewajiban memberi layanan memadai. Namun Akbar Hadi juga mengakui bahwa layanan kesehatan adalah persoalan paling serius di Lapas karena kurangnya dana.

    Memang alasan yang klise karena kita tahu dana yang mengalir melalui otsus ataupun UP4B seharusnya bisa dipergunakan untuk memperbaiki layanan. Masalahnya ada pada stigma separatis yang terus dicitrakan oleh pemerintah Indonesia sehingga memperburuk situasi dan kondisi tahanan politik di Papua. Seperti ada kesengajaan membiarkan tahanan politik ini sakit-sakitan, bahkan meninggal tanpa pengobatan.

    Sebetulnya pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005, termasuk pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5/1998. Namun seluruh kasus makar yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di Papua, tetap saja menggunakan KUHP Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang bernuansa pidana. Status para tersangka, maupun mereka yang menjalani masa hukuman di penjara dalam kasus-kasus makar, tak ada bedanya dengan para narapidana lain yang melakukan tindak kriminal lainnya seperti pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya.

    Ubah pendekatan

    Sudah terbukti bahwa kebijakan apapun yang diputuskan oleh pemerintah pusat di Jakarta dan di Papua tidak menyelesaikan persoalan kemanusiaan di Papua selama pendekatannya tidak diubah. Pendekatan  yang terus dipertahankan saat ini adalah represi dan anti dialog. Ruang demokrasi untuk berkumpul dan menyatakan pendapat tidak diberikan, bahkan akses untuk pemberitaan dan pemantauan internasional juga dihambat.

    Bila pendekatan seperti ini terus yang dipertahankan, maka akan semakin banyak jatuh korban, semakin tinggi angka pelanggaran HAM dan semakin sulit meyakinkan rakyat Papua untuk percaya pada pemerintahan di Indonesia. Sesungguhnya pendekatan seperti inilah yang membuat semakin berkembang kehendak rakyat Papua, khususnya yang merasakan langsung penindasan ini, untuk memisahkan diri.

    Tekanan internasional

    Dalam hearing dengan Sub Komite HAM Parlemen Eropa, 23 Januari 2014, NAPAS menghimbau dihadapan duta besar Indonesia untuk Uni Eropa agar pemerintah Indonesia mengakui bahwa keadaan HAM di Papua sangat serius. Keberadaan Tapol, tidak adanya kebebasan berkumpul dan berekspresi serta pembatasan akses jurnalis adalah indikator utama.

    Sebanyak 16 anggota Parlemen Eropa membuat pernyataan sikap dan rekomendasi kepada CATHERINE ASHTON, pejabat yang bertanggung jawab atas Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, terkait kemendesakan situasi di Papua. Salah satu rekomendasinya terkait keberadaan tahanan politik adalah: menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan politik dan menghentikan penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas politik damai dengan tuduhan kriminal seperti pasal makar 106 dalam KUHP.

    Tapol Inggris, suatu lembaga yang mendukung demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia menyerukan aksi solidaritas serentak internasional menuntut pembebasan Tapol Papua. Aksi dilakukan tanggal 2 April bersama-sama dengan Amnesty International UK, Survival Internasional dan Free West Papua Campaign di depan Kedubes Indonesia. London Inggris. Napas mendukung seruan ini dengan melakukan dialog dengan Palang Merah Internasional (ICRC) wilayah Indonesia dan Yimor Leste di waktu yang sama. 

    Jika kita menghendaki perubahan yang lebih baik di Indonesia, maka wajah Papua harus dibersihkan dari duka, dendam, darah dan air mata. Apa lagi yang kita tunggu? Saatnya semua pihak yang pro perubahan, dan para politisi serta aktivis yang hendak mencalokan diri menjadi anggota legislatif dan presiden, memasukkan agenda ini ke dalam cakrawala pikiran dan program perjuangan mereka:
    • Membebaskan semua tahanan politik yang berada di penjara-penjara di Papua serta membuka kembali peluang upaya dialog damai dengan rakyat Papua.
    • Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan dan pelayanan hukum.

    Jakarta, 2 April 2014

    National Papua Solidarity (NAPAS)
    Zely Ariane
    Koordinator

    Aksi NAPAS 16 Mei 2013 di depan istana negara


    *Lihat update tahanan politik Papua bulan Februari 2014 di papuabehindbars.org

     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif