Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta WPNews - SPMNews Group Online
Tampilkan postingan dengan label National Papua Solidarity. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label National Papua Solidarity. Tampilkan semua postingan
Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati
Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk
Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati
![]() |
*Zely Ariane |
Pada Selasa, 11 Juni 2013, serombongan orang2 atas nama Front Pemuda
Merah Putih mendatangi kantor KontraS, di Borobudur 14, menuntut
pembubaran lembaga itu atas kegiatannya yang dituduh sebagai membela
separatisme di Papua. Dua orang diantara mereka berorasi, sambil dua
orang lainnya tampak memberi instruksi. Sementara orang-orang yang ikut
tampak enggan merapat walau telah diperintah berkali-kali oleh orator.
Yang maju dalam barisanpun tampak tak bersemangat dan ogah-ogahan.
Orator mengatakan, di satu sisi, bahwa perjuangan penegakan HAM itu
penting seperti yang diperjuangkan alm. Munir, sementara di sisi lain ia
mencaci maki KontraS sebagai antek asing dan pro separatisme OPM. Ia
mengatakan NKRI adalah harga mati dan perjuangan HAM tidak boleh
menawarnya. KontraS diminta berjanji dan membuktikan bahwa mereka tidak
pro separatisme.
Motivasi
Ada tiga motivasi yang memberi landasan berlangsungnya aksi semacam ini, dan logika berpikir demikian masih bersemayam setelah 15 tahun Reformasi Indonesia.
Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannya pun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok para militer seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.
Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiri pun samasekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.
NKRI harga mati ini adalah tameng ideologi Orde Baru untuk meredam perlawanan rakyat ditengah penggadaian kedaulatan bumi dan air milik rakyat ke tangan para korporasi oleh pemerintahnya sendiri, yang padahal telah mengobrak-abrik kedaulatan negeri itu sendiri. Tentu saja NKRI harga mati tak pernah mempersoalkannya, bahkan mempromosikan jual murah negerinya pertama kali melalui UU PMA No.1 1967 dimana PT.Freeport pertama kali mendapat kontak karya di Papua bahkan sebelum Papua terintegrasi secara hukum ke Republik Indonesia. Dan Soehartolah yang juga mendalanginya.
Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada dihadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.
Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan bahwa: "bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta, sehingga Indonesia akan jadi bubar". Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.
Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya: gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.
NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki: kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
* Zely Ariane, koordinator NAPAS
Motivasi
Ada tiga motivasi yang memberi landasan berlangsungnya aksi semacam ini, dan logika berpikir demikian masih bersemayam setelah 15 tahun Reformasi Indonesia.
Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannya pun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok para militer seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.
Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiri pun samasekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.
NKRI harga mati ini adalah tameng ideologi Orde Baru untuk meredam perlawanan rakyat ditengah penggadaian kedaulatan bumi dan air milik rakyat ke tangan para korporasi oleh pemerintahnya sendiri, yang padahal telah mengobrak-abrik kedaulatan negeri itu sendiri. Tentu saja NKRI harga mati tak pernah mempersoalkannya, bahkan mempromosikan jual murah negerinya pertama kali melalui UU PMA No.1 1967 dimana PT.Freeport pertama kali mendapat kontak karya di Papua bahkan sebelum Papua terintegrasi secara hukum ke Republik Indonesia. Dan Soehartolah yang juga mendalanginya.
Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada dihadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.
Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan bahwa: "bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta, sehingga Indonesia akan jadi bubar". Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.
Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya: gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.
NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki: kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
* Zely Ariane, koordinator NAPAS
Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua
Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk
Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.
Tuduhan pidana terhadap pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena mengabaikan permintaannya agar sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu. Akan tetapi hakim Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.
Tuduhan pidana terhadap pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena mengabaikan permintaannya agar sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu.tidak mengubris surat permohonan/permintaan penundaan sidang dan masih tetap melaksakan sidang pada tanggal 12 juni 2014. Oleh karena itu hakim menjatuhkan hukuman pidana karena saudara Kawer dianggap telah melakukan 'bentuk perlawanan dan tidak menghargai sistem hukum di indonesia.
Gustaf Kawer adalah seorang pengacara independen dari Papua yang telah bekerja dalam berbagai kasus Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2012, Tuan Kawer ditunjuk sebagai pengacara bagi lima tersangka yang di kenal dengan Jayapura 5. Saat itu ia juga mendapat ancaman dari pihak militer. Pada tahun 2013, bersama dengan teman pengacaranya yang bernama Olga Hamadi, Gustaf Kawer terpilih sebagai Pengacara Internasional dan memperoleh Award untuk dedikasinya terhadap hak asasi manusia di Papua.
Kami sangat percaya bahwa investigasi kriminal ini merupakan respon yang berlebihan dan sangat tidak wajar ditujukan kepada Gustaf,dan jelas dirancang untuk mengintimidasi dirinya. Kami percaya bahwa tindakan penyelidikan ini dilakukan untuk menghambat Gustaf melakukan perkerjaanya sebagai pengacara hak asasi manusia di Papua. Kami juga sangat prihatin dengan adanya investigasi ini, maka pasti akan memiliki dampak memperkecil ruang gerak dalam upaya pembelaan kasus-kasus hak asasi manusia yang terjadi di Papua.
Oleh karena itu kami meminta campur tangan masyrakat luas dalam kasus ini. Yaitu dengan mendesak polisi Indonesia untuk menghentikan penyelidikan pidana terhadap Gustaf Kawer.
Rincian
Gustaf Kawer menerima surat panggilan pada tanggal 22 Agustus 2014 yang menyatakan kaitannya dengan kasus pelanggaran dan tidak mematuhi pasal 211 dan 212 KUHP. Dalam surat panggilan tersebut gagal memberikan keterangan tentang tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Panggilan kedua menjelaskan bahwa Gustaf Kawer telah dilaporkan oleh seorang hakim PTUN bernama Warisman Sotaronggal. Laporan itu mengenai protes Kawer terhadap para hakim dalam sidang pada sengketa tanah adat melawan pemerintah, yang diadakan pada tanggal 12 Juni, 2014.
Dia protes karena hakim mengabaikan permintaannya untuk penundaan sidang dan tetap melaksanakan sidang tanpa kehadirannya. Akhirnya ia diminta untuk meninggalkan ruang sidang. Saat ia pergi, ia melihat bahwa seorang perwira polisi merekam insiden tersebut.
Instrumen nasional dan internasional
Pasal 211 dan 212 KUHP di Indonesia digunakan oleh pihak kepolisian untuk menjerat semua masyarakat yang melawan petugas negara menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan. Keputusan polisi menggunakan kedua pasal itu untuk melakukan penyelidikan terhadap Gustaf Kawer karenanya sangatlah tidak masuk akal, karena belum ada kekerasan yang dilakukan atau ancaman yang ditimbulkan oleh Gustaf Kawer selama proses persidangan tanggal 12 Juni 2014.
Selain itu, UU Advokat Indonesia Nomor 18/2003 menetapkan bahwa advokat hukum tidak akan dikenakan tindakan pidana atau perdata dalam kaitannya dengan kinerja itikad baik tugas profesionalnya dalam membela klien di pengadilan. Ketentuan ini baru-baru ini ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 26 / PUU-XI / 2013.
Beberapa instrumen HAM
Dunia internasional juga secara eksplisit telah menyerukan negara-negara untuk memberikan perlindungan bagi pengacara dan pembela hak asasi manusia. Berbagai artikel Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara. untuk memastikan bahwa pengacara 'dapat melakukan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, halangan, pelecehan atau gangguan yang tidak benar' dan 'memperoleh kebebasan, baik sipil dan pidana untuk laporan yang relevan dibuat dengan itikad baik dalam pembelaan tertulis atau lisan. Ataupun dalam penampilan profesional mereka di depan pengadilan, otoritas hukum atau administratif hukum lainya.
Pasal 12 (2) dari Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia juga jelas menyerukan negara-negara untuk 'mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan oleh pejabat yang berwenang dari setiap orang, secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain, menentang kekerasan apapun, ancaman, pembalasan, de facto atau de jure diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari latihan yang sah nya hak sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi ini '.
Petisi
Kami prihatin tentang keselamatan Gustaf Kawer, dan dampak yang lebih luas dari intimidasi dan investigasi terhadap dirinya. Silakan menulis kepada pihak berwenang yang tercantum di bawah ini.
Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua
![]() |
Gustaf Kawer (kiri) dan Olga Hamadi (kanan), dua pengacara HAM Papua. |
Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.
Tuduhan pidana terhadap pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena mengabaikan permintaannya agar sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu. Akan tetapi hakim Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.
Tuduhan pidana terhadap pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena mengabaikan permintaannya agar sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu.tidak mengubris surat permohonan/permintaan penundaan sidang dan masih tetap melaksakan sidang pada tanggal 12 juni 2014. Oleh karena itu hakim menjatuhkan hukuman pidana karena saudara Kawer dianggap telah melakukan 'bentuk perlawanan dan tidak menghargai sistem hukum di indonesia.
Gustaf Kawer adalah seorang pengacara independen dari Papua yang telah bekerja dalam berbagai kasus Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2012, Tuan Kawer ditunjuk sebagai pengacara bagi lima tersangka yang di kenal dengan Jayapura 5. Saat itu ia juga mendapat ancaman dari pihak militer. Pada tahun 2013, bersama dengan teman pengacaranya yang bernama Olga Hamadi, Gustaf Kawer terpilih sebagai Pengacara Internasional dan memperoleh Award untuk dedikasinya terhadap hak asasi manusia di Papua.
Kami sangat percaya bahwa investigasi kriminal ini merupakan respon yang berlebihan dan sangat tidak wajar ditujukan kepada Gustaf,dan jelas dirancang untuk mengintimidasi dirinya. Kami percaya bahwa tindakan penyelidikan ini dilakukan untuk menghambat Gustaf melakukan perkerjaanya sebagai pengacara hak asasi manusia di Papua. Kami juga sangat prihatin dengan adanya investigasi ini, maka pasti akan memiliki dampak memperkecil ruang gerak dalam upaya pembelaan kasus-kasus hak asasi manusia yang terjadi di Papua.
Oleh karena itu kami meminta campur tangan masyrakat luas dalam kasus ini. Yaitu dengan mendesak polisi Indonesia untuk menghentikan penyelidikan pidana terhadap Gustaf Kawer.
Rincian
Gustaf Kawer menerima surat panggilan pada tanggal 22 Agustus 2014 yang menyatakan kaitannya dengan kasus pelanggaran dan tidak mematuhi pasal 211 dan 212 KUHP. Dalam surat panggilan tersebut gagal memberikan keterangan tentang tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Panggilan kedua menjelaskan bahwa Gustaf Kawer telah dilaporkan oleh seorang hakim PTUN bernama Warisman Sotaronggal. Laporan itu mengenai protes Kawer terhadap para hakim dalam sidang pada sengketa tanah adat melawan pemerintah, yang diadakan pada tanggal 12 Juni, 2014.
Dia protes karena hakim mengabaikan permintaannya untuk penundaan sidang dan tetap melaksanakan sidang tanpa kehadirannya. Akhirnya ia diminta untuk meninggalkan ruang sidang. Saat ia pergi, ia melihat bahwa seorang perwira polisi merekam insiden tersebut.
Instrumen nasional dan internasional
Pasal 211 dan 212 KUHP di Indonesia digunakan oleh pihak kepolisian untuk menjerat semua masyarakat yang melawan petugas negara menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan. Keputusan polisi menggunakan kedua pasal itu untuk melakukan penyelidikan terhadap Gustaf Kawer karenanya sangatlah tidak masuk akal, karena belum ada kekerasan yang dilakukan atau ancaman yang ditimbulkan oleh Gustaf Kawer selama proses persidangan tanggal 12 Juni 2014.
Selain itu, UU Advokat Indonesia Nomor 18/2003 menetapkan bahwa advokat hukum tidak akan dikenakan tindakan pidana atau perdata dalam kaitannya dengan kinerja itikad baik tugas profesionalnya dalam membela klien di pengadilan. Ketentuan ini baru-baru ini ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 26 / PUU-XI / 2013.
Beberapa instrumen HAM
Dunia internasional juga secara eksplisit telah menyerukan negara-negara untuk memberikan perlindungan bagi pengacara dan pembela hak asasi manusia. Berbagai artikel Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara. untuk memastikan bahwa pengacara 'dapat melakukan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, halangan, pelecehan atau gangguan yang tidak benar' dan 'memperoleh kebebasan, baik sipil dan pidana untuk laporan yang relevan dibuat dengan itikad baik dalam pembelaan tertulis atau lisan. Ataupun dalam penampilan profesional mereka di depan pengadilan, otoritas hukum atau administratif hukum lainya.
Pasal 12 (2) dari Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia juga jelas menyerukan negara-negara untuk 'mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan oleh pejabat yang berwenang dari setiap orang, secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain, menentang kekerasan apapun, ancaman, pembalasan, de facto atau de jure diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari latihan yang sah nya hak sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi ini '.
Petisi
Kami prihatin tentang keselamatan Gustaf Kawer, dan dampak yang lebih luas dari intimidasi dan investigasi terhadap dirinya. Silakan menulis kepada pihak berwenang yang tercantum di bawah ini.
- Mendesak
dan menjamin keamanan juga melindungi pengacara HAM Gustaf Kawer.
- Mengakhiri
intimidasi terhadap Gustaf Kawer
- Menginvestigasi
percobaan kriminalisasi terhadap dirinya
- Perlindungan
terhadap pejuang HAM Papua
Jangan
ragu untuk menghubungi kami jika Anda memerlukan informasi lebih
lanjut.
Hormat saya,
Hormat saya,
The
International Coalition for Papua, Germany
TAPOL,
United Kingdom
Urgent
Action Targets
Gen.
Sutarman
Chief of the Indonesian National Police
Jl. Trunojoyo No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Chief of the Indonesian National Police
Jl. Trunojoyo No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Tel:
+62 21 384 8537, 726 0306
Fax: +62 21 720 7277
E-mail: humas.pmj@gmail.com
Fax: +62 21 720 7277
E-mail: humas.pmj@gmail.com
Mr
Yotje Mende
Chief
of the Papua Regional Police
Jl. Samratulangi No. 8 Jayapura
INDONESIA
Tel: + 62 0967 531014
Fax: +62 0967 533763
Jl. Samratulangi No. 8 Jayapura
INDONESIA
Tel: + 62 0967 531014
Fax: +62 0967 533763
Dr.
H. Muhammad Hatta Ali
Chief Justice of the Indonesian Supreme Court
Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
INDONESIA
Chief Justice of the Indonesian Supreme Court
Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
INDONESIA
Tel:
+62 21 384 3348
Fax: +62 21 381 0356
E-mail: info@ma-ri.go.id
Fax: +62 21 381 0356
E-mail: info@ma-ri.go.id
Mr
Suparman Marzuki
Chairperson
of the Judicial Commission
Jl.
Kramat Raya No. 57
Jakarta
Pusat
INDONESIA
Tel:
+62 21 390 5876
Fax:
+62 21 390 6215
Email: kyri@komisiyudisial.go.id
Mr
Hafids Abbas
National
Human Rights Commission
Jl.
Latuharhary No. 4-B
Jakarta
10310
INDONESIA
Tel:
+62 21 392 5230
Fax:
+62 21 392 5227
Mr
Ismail Baturante
Chairperson
Makassar
High Administrative Court
Jl.
A.P Pettarani No. 45
Makassar,
90231
INDONESIA
Tel. +62 411 420679, 452016
Fax. +62 411 452016
Website : www.pttun-makassar.go.id
Email : pttun.makassar@gmail.com, pt.makassar@ptun.org
Tel. +62 411 420679, 452016
Fax. +62 411 452016
Website : www.pttun-makassar.go.id
Email : pttun.makassar@gmail.com, pt.makassar@ptun.org
Mr
Sudiwardono
Jayapura
High Court
Jl.
Tanjung Ria No. 98, Base'G
Jayapura,
Papua
INDONESIA
Tel:
+62 967 541248
Fax:
+62 967 541045
Email: ptjayapura@yahoo.co.id
Mr
Kasim, SH, MH
Chairman
of the Administrative Court of Jayapura
Jalan
Raya Sentani – Waena
Jayapura
99358
INDONESIA
Tel-fax:
+62 967 571639 / 571216
Email ptun.jayapura@gmail.com
cc
:
Dr.
Otto Hasibuan, SH., MM
Chair
of the Indonesian Bar Association (PERADI)
Grand
Slipi Tower, Lantai 11
Jl.
S.Parman Kav. 22-24
Jakarta
Barat 11480
INDONESIA
Tel:
+62 21 2594 5192 / +62 21 2594 5193 / +62 21 2594 5195 /
+62 21 2594 5196
Fax:
+62 21 2594 5173
Budi
Setyanto, S.H.
Chair
of the Jayapura branch of the Indonesian Bar Association (PERADI)
Jl.
Karang N0. 8, Kel. Waena, Distrik Seram Kota
Jayapura,
Papua
INDONESIA
Tel/Fax:
+62 967 573970
E.S.
Maruli Hutagalung, SH. MH
Head
of the Papua High Prosecutor’s Office
Kepala
Kejaksaan Tinggi Papua di Jayapura
Jl.
Anggrek No.6 Tanjung Ria
Jayapura,
Papua
INDONESIA
Tel
+62 967 542764 / 541130
Label:
NAPAS,
napol,
National Papua Solidarity,
Seruan dan Himbauan,
tapol
NAPAS : aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua
Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk
Rilis NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua
Kita butuh pemerintahan dan legislatif baru
yang berani menjamin kebebasan berekspresi dan membebaskan tahanan politik di
Papua
Setelah 15 tahun, hampir 16 tahun, reformasi
Indonesia, yang pernah membebaskan tahanan politik di masa Orde Baru,
orang-orang Papua yang menjadi tahanan politik justru bertambah. Ditengah hiruk
pikuk pemilu 2014 di Indonesia, represi terus meningkat di Papua sehingga menambah
banyak orang-orang yang ditahan atas dasar motivasi politik. Tidak adanya ruang
berekspresi dan beraspirasi secara bebas di Papua, serta penambahan jumlah
tahanan politik tersebut, belum satupun menjadi perhatian para calon legislatif
dan calon-calon presiden dalam pemilu 2014.
Saat ini sebanyak 76 orang-orang Papua
menjadi tahanan politik di berbagai penjara Papua*. Dalam waktu hanya setahun,
sejak April 2013, website orang-orang Papua di balik jeruji telah mencatat
penambahan tahanan politik di Papua sebanyak dua kali lipat. Per 31 Maret 2013
sebanyak 40 orang tahanan politik ada dalam penjara Manokwari, Sarmi, Timika,
Serui, Abepura, Biak, Wamena, dan Nabire. Per Februari 2014 setidaknya bertambah
sebanyak 36 tahanan politik, yang tersebar di berbagai lokasi tahanan kepolisian
seperti di Yapen, Jayapura, Puncak Jaya, Polda Papua, dan Sarmi, selain di
tempat-tempat yang sama dimana tahanan politik sebelumnya berada.
Hentikan stigma, perbaiki layanan,
dan tegakkan HAM
Rakyat Indonesia dan semua lembaga yang mau
membuka hati dan pikirannya perlu mengetahui keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, yang
disiksa, ditolak akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan
segala macam bentuk pelanggaran HAM lainnya. Keberadaan para tahanan politik
ini tidaklah mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku
tindak pidana yang menjalani pembinaan.
Pada diskusi yang diselenggarakan NAPAS terkait keberadaan dan situasi Tapol
di Papua, tahun lalu, Dirjen
Lapas Kemenkumham, melalui biro komunikasinya Akbar Hadi, menyatakan bahwa
pihak Lapas di Papua memiliki prosedur memadai dalam memperlakukan para
tahanan. Menurutnya, mereka tidak kenal istilah kategori tapol dan yang lainnya,
dan hanya berkewajiban memberi layanan memadai. Namun Akbar Hadi juga mengakui bahwa
layanan kesehatan adalah persoalan paling serius di Lapas karena kurangnya
dana.
Memang alasan yang klise karena kita
tahu dana yang mengalir melalui otsus ataupun UP4B seharusnya bisa dipergunakan
untuk memperbaiki layanan. Masalahnya ada pada stigma separatis yang terus dicitrakan
oleh pemerintah Indonesia sehingga memperburuk situasi dan kondisi tahanan
politik di Papua. Seperti ada kesengajaan membiarkan tahanan politik ini
sakit-sakitan, bahkan meninggal tanpa pengobatan.
Sebetulnya pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005, termasuk
pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain
Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5/1998.
Namun seluruh kasus makar yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di
Papua, tetap saja menggunakan KUHP
Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang bernuansa pidana.
Status para tersangka, maupun mereka yang menjalani masa hukuman di penjara
dalam kasus-kasus makar, tak ada bedanya dengan para narapidana lain yang
melakukan tindak kriminal lainnya seperti pencurian, pemerkosaan dan lain
sebagainya.
Ubah pendekatan
Sudah terbukti bahwa kebijakan apapun yang diputuskan oleh pemerintah pusat
di Jakarta dan di Papua tidak menyelesaikan persoalan kemanusiaan di Papua selama
pendekatannya tidak diubah. Pendekatan yang
terus dipertahankan saat ini adalah represi dan anti dialog. Ruang demokrasi
untuk berkumpul dan menyatakan pendapat tidak diberikan, bahkan akses untuk
pemberitaan dan pemantauan internasional juga dihambat.
Bila pendekatan seperti ini terus yang dipertahankan, maka akan semakin
banyak jatuh korban, semakin tinggi angka pelanggaran HAM dan semakin sulit
meyakinkan rakyat Papua untuk percaya pada pemerintahan di Indonesia.
Sesungguhnya pendekatan seperti inilah yang membuat semakin berkembang kehendak
rakyat Papua, khususnya yang merasakan langsung penindasan ini, untuk
memisahkan diri.
Tekanan internasional
Dalam hearing dengan Sub Komite
HAM Parlemen Eropa, 23 Januari 2014, NAPAS menghimbau dihadapan duta besar Indonesia
untuk Uni Eropa agar pemerintah Indonesia mengakui bahwa keadaan HAM di Papua
sangat serius. Keberadaan Tapol, tidak adanya kebebasan berkumpul dan
berekspresi serta pembatasan akses jurnalis adalah indikator utama.
Sebanyak 16 anggota Parlemen Eropa membuat pernyataan sikap dan rekomendasi
kepada CATHERINE ASHTON, pejabat yang bertanggung jawab atas
Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, terkait kemendesakan
situasi di Papua. Salah satu rekomendasinya terkait keberadaan tahanan politik
adalah: menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan
politik dan menghentikan penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas
politik damai dengan tuduhan kriminal seperti pasal makar 106 dalam KUHP.
Tapol Inggris, suatu lembaga
yang mendukung demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia menyerukan aksi
solidaritas serentak internasional menuntut pembebasan Tapol Papua. Aksi
dilakukan tanggal 2 April bersama-sama dengan Amnesty International UK,
Survival Internasional dan Free West Papua Campaign di depan Kedubes
Indonesia. London Inggris. Napas mendukung seruan ini dengan melakukan
dialog dengan Palang Merah Internasional (ICRC) wilayah Indonesia dan
Yimor Leste di waktu yang sama.
Jika kita menghendaki
perubahan yang lebih baik di Indonesia, maka wajah Papua harus
dibersihkan dari duka, dendam, darah dan air mata. Apa lagi yang kita
tunggu? Saatnya semua pihak yang pro perubahan, dan para
politisi serta aktivis yang hendak mencalokan diri menjadi anggota legislatif
dan presiden, memasukkan agenda ini ke dalam cakrawala pikiran dan program
perjuangan mereka:
- Membebaskan semua tahanan politik yang berada di penjara-penjara di Papua serta membuka kembali peluang upaya dialog damai dengan rakyat Papua.
- Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan dan pelayanan hukum.
Jakarta, 2 April 2014
National Papua Solidarity (NAPAS)
Zely Ariane
Koordinator![]() |
Aksi NAPAS 16 Mei 2013 di depan istana negara |
*Lihat update tahanan politik Papua bulan Februari 2014 di papuabehindbars.org
Label:
NAPAS,
NAPAS in Action,
National Papua Solidarity,
SPMNews