photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label NAPAS. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label NAPAS. Tampilkan semua postingan

    Kekerasan Perempuan Papua Dan Jalan Pembebasannya

    Kekerasan Perempuan Papua Dan Jalan Pembebasannya

    Ditulis oleh : 
    Heni Lani
    Perlawanan Mama Mama pedagang pasar di Jayapura

    Rubrik: Perempuan Papua

    Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 02/2013

    Perempuan Papua adalah korban kekerasan ganda negara. Dalam lapis pertama perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) serta percobaan perkosaan. Dalam lapis kedua, perempuan mengalami kekerasan non seksual seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan perampasan harta benda. Kekerasan yang dilakukan berbentuk fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau didukung oleh aparat negara.



    Kekerasan oleh negara sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, Pemerintah Belanda dan aneksasi pemerintah Indonesia melalui operasi militer sejak tahun 1961 hingga sekarang. Sejak tahun 1963-2009, negara telah melakukan kekerasan terhadap 138 perempuan Papua dengan 52 kasus perkosaan, 24 kasus pengungsian saat operasi militer dan kelaparan, 21 kasus penganiayaan, 18 kasus penahanan sewenang-wenang. Sisanya mengalami penyiksaan, pembunuhan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Sebanyak 133 perempuan mengaku mengalami kekerasan dari militer, 20 kasus kekerasan dari polisi, 6 kasus kekerasan dari militer dan polisi (gabungan) dan 5 kasus kekerasan dari aparat negara lain. Sejak tahun 1963-2004, berdasarkan nama operasi militer, telah terjadi sedikitnya 24 Operasi Militer di Papua.



    Perempuan juga bisa ditangkap karena dituduh mengibarkan bendera Bintang Kejora seperti yang dialami, Mama Persila Yakadewa dan tiga perempuan lainnya pada tahun 1980. Tahun 1994, Mama Yosepha Alomang dan Yuliana Magal ditangkap karena membelikan pakaian dan jaring ikan untuk komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), Kelly Kwalik.



    Kaum perempuan juga menjadi sasaran kekerasan dalam demonstrasi damai. Mei 2005 Marike Kotouki ditikam di kepala dengan sangkur oleh seorang anggota Brimob. Penangkapan dengan kekerasan juga menimpa Milka Siep, Debora Penggu, Raga Kogoya dan penulis yang ditangkap polisi dalam aksi damai menuntut “Bebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage Tanpa Syarat” di Pengadilan Negeri Jayapura.



    Mama-mama Papua yang ulet berdagang diemperan pasar dan jalan juga menjadi sasaran kekerasan penggusuran Satpol PP sepert kejadian di pasar Ampera, Jayapura. Perempuan di wilayah adat Anim-Ha (Merauke) juga harus tergusur dari tanahnya, dusun-dusun sagu, sungai dan hewan buruan karena tanah adatnya dirampas oleh negara untuk proyek raksasa MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Perempuan di wilayah adat Mamberamo-Tami (Keerom, Jayapura) juga kehilangan tanah, dusun-dusun sagu serta hutan sumber daging dan sayur genemo, karena dirampas oleh negara dan disulap menjadi jutaan hektar lahan kelapa sawit milik PT. PN (Perkebunan Negara) dan sekarang telah menjadi milik PT. Sinar Mas.



    Kekerasan negara menjelaskan bahwa aparat keamanan, telah melakukan tindakan-yang militeristik terhadap perempuan dan rakyat Papua. Karena itu militerisme berkiat dengan kepentingan kaum perempuan Papua. Negara juga telah melakukan kontrol atas tubuh perempuan, mengeksploitasi perempuan secara gender dan ekonomi-politik. Karena itu Patriarki juga menjadi musuh utama perempuan Papua. Kekerasan negara juga membuktikan keterkaitan antara kekerasan di Papua dan kepentingan negara kapitalis untuk mengeksploitasi rakyat Indonesia dan Papua. Militer dan polisi pelaku kekerasan dididik dan dilatih oleh negara-negara kapitalis. Persenjataan juga diproduksi oleh industri kapitalis dan dikirim berdasarkan kerja sama dengan pemerintah RI. Karena itu,perempuan Papua sangat berkepentingan untuk juga menghubungkan perjuangannya dengan tuntutan anti Kapitalisme.



    Perempuan harus mencari jalan keluar dari penindasanya sebagai perjuangan melawan penindasan yang lebih luas sebagai sebuah bangsa dan sebagai sebuah kelas. Perempuan harus membangun organisasi perempuan yang progresif dan militan untuk terus mendiskusikan, menganalisa dan menyimpulkan persoalan-persoalan penindasan dan eksploitasi perempuan secara ekonomi politik sebagai bagian dari pembebasan nasional Papua. Kaum perempuan juga harus membangun solidaritas dengan gerakan pembebasan perempuan di Papua, Indonesia dan Internasional.



    Dalam tubuh gerakan pembebasan nasional Papua juga harus memiliki perspektif pembebasan perempuan. Perjuangan pembebasan nasional Papua sejalan dengan perjuangan pembebasan perempuan Papua. Tidak ada pembebasan nasional Papua tanpa pembebasan perempuan. Karena pembebasan perempuan adalah syarat bagi pembebasan nasional Papua itu sendiri.




    Heni Lani, Staf Divisi Kampanye NAPAS

    Situs ini adalah situs online aktivis suara papua merdeka yang dikembangkan oleh Biro Media dan Propaganda Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang-Surabaya. Anda diperkenankan untuk BERBAGI (menyalin dan menyebarluaskan kembali materi ini dalam bentuk atau format apapun) dan ADAPTASI (menggubah, mengubah, dan membuat turunan dari materi ini untuk kepentingan apapun, termasuk kepentingan komersial). Informasi dalam situs ini masih harus dikonfirmasi kepada pengelola situs di melanesiapost@gmail.com (Activis Independence of Papua/Pengembang Situs)

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    *Zely Ariane
    Pada Selasa, 11 Juni 2013, serombongan orang2 atas nama Front Pemuda Merah Putih mendatangi kantor KontraS, di Borobudur 14, menuntut pembubaran lembaga itu atas kegiatannya yang dituduh sebagai membela separatisme di Papua. Dua orang diantara mereka berorasi, sambil dua orang lainnya tampak memberi instruksi. Sementara orang-orang yang ikut tampak enggan merapat walau telah diperintah berkali-kali oleh orator. Yang maju dalam barisanpun tampak tak bersemangat dan ogah-ogahan.
    Orator mengatakan, di satu sisi, bahwa perjuangan penegakan HAM itu penting seperti yang diperjuangkan alm. Munir, sementara di sisi lain ia mencaci maki KontraS sebagai antek asing dan pro separatisme OPM. Ia mengatakan NKRI adalah harga mati dan perjuangan HAM tidak boleh menawarnya. KontraS diminta berjanji dan membuktikan bahwa mereka tidak pro separatisme.

    Motivasi

    Ada tiga motivasi yang memberi landasan berlangsungnya aksi semacam ini, dan logika berpikir demikian masih bersemayam setelah 15 tahun Reformasi Indonesia.

    Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannya pun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok para militer seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.

    Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiri pun samasekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.

    NKRI harga mati ini adalah tameng ideologi Orde Baru untuk meredam perlawanan rakyat ditengah penggadaian kedaulatan bumi dan air milik rakyat ke tangan para korporasi oleh pemerintahnya sendiri, yang padahal telah mengobrak-abrik kedaulatan negeri itu sendiri. Tentu saja NKRI harga mati tak pernah mempersoalkannya, bahkan mempromosikan jual murah negerinya pertama kali melalui UU PMA No.1 1967 dimana PT.Freeport pertama kali mendapat kontak karya di Papua bahkan sebelum Papua terintegrasi secara hukum ke Republik Indonesia. Dan Soehartolah yang juga mendalanginya.

    Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada dihadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.

    Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan bahwa: "bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta, sehingga Indonesia akan jadi bubar". Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.

    Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya: gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.

    NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki: kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

    * Zely Ariane, koordinator NAPAS

    Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua

    Gustaf Kawer (kiri) dan Olga Hamadi (kanan), dua pengacara HAM Papua. 

    Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.

    Tuduhan pidana terhadap  pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena  mengabaikan permintaannya agar  sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu. Akan tetapi hakim Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.

    Tuduhan pidana terhadap  pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena  mengabaikan permintaannya agar  sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu.tidak mengubris surat permohonan/permintaan penundaan sidang dan masih tetap melaksakan sidang pada tanggal 12 juni 2014. Oleh karena itu hakim menjatuhkan hukuman pidana karena saudara Kawer dianggap telah melakukan 'bentuk perlawanan dan tidak  menghargai sistem hukum di indonesia.

    Gustaf Kawer adalah seorang pengacara independen dari Papua yang telah bekerja dalam berbagai kasus Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2012, Tuan Kawer ditunjuk sebagai pengacara bagi lima tersangka yang di kenal dengan Jayapura 5. Saat itu ia juga mendapat ancaman dari pihak militer. Pada tahun 2013, bersama dengan teman pengacaranya yang bernama Olga Hamadi, Gustaf Kawer terpilih sebagai Pengacara Internasional dan memperoleh Award untuk dedikasinya terhadap hak asasi manusia di Papua.


    Kami sangat percaya bahwa investigasi kriminal ini merupakan respon yang berlebihan dan sangat tidak wajar ditujukan kepada Gustaf,dan jelas dirancang untuk mengintimidasi dirinya. Kami percaya bahwa tindakan penyelidikan ini dilakukan untuk menghambat Gustaf melakukan perkerjaanya sebagai pengacara hak asasi manusia di Papua. Kami juga sangat  prihatin dengan adanya investigasi ini, maka pasti akan memiliki dampak memperkecil ruang gerak dalam upaya pembelaan kasus-kasus hak asasi manusia yang terjadi di Papua.

    Oleh karena itu kami meminta campur tangan masyrakat luas dalam kasus ini. Yaitu dengan mendesak polisi Indonesia untuk menghentikan penyelidikan pidana terhadap Gustaf Kawer.

    Rincian

    Gustaf Kawer menerima surat panggilan pada tanggal 22 Agustus 2014 yang menyatakan kaitannya dengan kasus pelanggaran dan tidak mematuhi pasal 211 dan 212 KUHP. Dalam surat panggilan tersebut gagal memberikan keterangan tentang tuduhan yang ditujukan kepadanya.

    Panggilan kedua menjelaskan bahwa Gustaf Kawer telah dilaporkan oleh seorang hakim PTUN bernama Warisman Sotaronggal. Laporan itu mengenai protes Kawer terhadap para hakim dalam sidang pada sengketa tanah adat melawan pemerintah, yang diadakan pada tanggal 12 Juni, 2014.

    Dia protes karena hakim mengabaikan permintaannya untuk penundaan sidang dan tetap melaksanakan sidang tanpa kehadirannya. Akhirnya ia diminta untuk meninggalkan ruang sidang. Saat ia pergi, ia melihat bahwa seorang perwira polisi merekam insiden tersebut.

    Instrumen nasional dan internasional

    Pasal 211 dan 212 KUHP di Indonesia digunakan oleh pihak kepolisian untuk menjerat semua masyarakat yang melawan petugas negara menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan. Keputusan polisi menggunakan kedua pasal itu untuk melakukan penyelidikan terhadap Gustaf Kawer karenanya sangatlah tidak masuk akal, karena belum ada kekerasan yang dilakukan atau ancaman yang ditimbulkan oleh Gustaf Kawer selama proses persidangan tanggal 12 Juni 2014.

    Selain itu, UU Advokat Indonesia Nomor 18/2003 menetapkan bahwa advokat hukum tidak akan dikenakan tindakan pidana atau perdata dalam kaitannya dengan kinerja itikad baik tugas profesionalnya dalam membela klien di pengadilan. Ketentuan ini baru-baru ini ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 26 / PUU-XI / 2013.

    Beberapa instrumen HAM

    Dunia internasional juga secara eksplisit telah menyerukan negara-negara untuk memberikan perlindungan bagi pengacara dan pembela hak asasi manusia. Berbagai artikel Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara. untuk memastikan bahwa pengacara 'dapat melakukan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, halangan, pelecehan atau gangguan yang tidak benar' dan 'memperoleh kebebasan, baik sipil dan pidana untuk laporan yang relevan dibuat dengan itikad baik dalam pembelaan tertulis atau lisan. Ataupun dalam penampilan profesional mereka di depan pengadilan, otoritas hukum atau administratif hukum lainya.

    Pasal 12 (2) dari Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia juga jelas menyerukan negara-negara untuk 'mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan oleh pejabat yang berwenang dari setiap orang, secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain, menentang kekerasan apapun, ancaman, pembalasan, de facto atau de jure diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari latihan yang sah nya hak sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi ini '.

    Petisi

    Kami prihatin tentang keselamatan Gustaf Kawer, dan dampak yang lebih luas dari intimidasi dan investigasi terhadap dirinya. Silakan menulis kepada pihak berwenang yang tercantum di bawah ini.
    • Mendesak dan menjamin keamanan juga melindungi pengacara HAM Gustaf Kawer.
    • Mengakhiri intimidasi terhadap Gustaf Kawer
    • Menginvestigasi percobaan kriminalisasi terhadap dirinya
    • Perlindungan terhadap pejuang HAM Papua
    Jangan ragu untuk menghubungi kami jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut.
    Hormat saya,
    The International Coalition for Papua, Germany
    TAPOL, United Kingdom
    Urgent Action Targets
    Gen. Sutarman
    Chief of the Indonesian National Police
    Jl. Trunojoyo No. 3
    Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
    INDONESIA
    Tel: +62 21 384 8537, 726 0306
    Fax: +62 21 720 7277
    E-mail: 
    humas.pmj@gmail.com
    Mr Yotje Mende
    Chief of the Papua Regional Police
    Jl. Samratulangi No. 8 Jayapura
    INDONESIA
    Tel: + 62 0967 531014
    Fax: +62 0967 533763
    Dr. H. Muhammad Hatta Ali
    Chief Justice of the Indonesian Supreme Court
    Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
    INDONESIA
    Tel: +62 21 384 3348
    Fax: +62 21 381 0356
    E-mail: 
    info@ma-ri.go.id
    Mr Suparman Marzuki
    Chairperson of the Judicial Commission
    Jl. Kramat Raya No. 57
    Jakarta Pusat
    INDONESIA
    Tel: +62 21 390 5876
    Fax: +62 21 390 6215
    Mr Hafids Abbas
    National Human Rights Commission
    Jl. Latuharhary No. 4-B
    Jakarta 10310
    INDONESIA
    Tel: +62 21 392 5230
    Fax:  +62 21 392 5227
    Mr Ismail Baturante
    Chairperson
    Makassar High Administrative Court
    Jl. A.P Pettarani No. 45
    Makassar, 90231
    INDONESIA
    Tel. +62 411 420679, 452016
    Fax. +62 411 452016
    Website : 
    www.pttun-makassar.go.id
    Email : 
    pttun.makassar@gmail.com,  pt.makassar@ptun.org
    Mr Sudiwardono
    Jayapura High Court
    Jl. Tanjung Ria No. 98, Base'G
    Jayapura, Papua
    INDONESIA
    Tel: +62 967 541248
    Fax: +62 967 541045
    Mr Kasim, SH, MH
    Chairman of the Administrative Court of Jayapura
    Jalan Raya Sentani – Waena
    Jayapura 99358
    INDONESIA
    Tel-fax: +62 967 571639 / 571216
    cc :
    Dr. Otto Hasibuan, SH., MM
    Chair of the Indonesian Bar Association (PERADI)
    Grand Slipi Tower, Lantai 11
    Jl. S.Parman Kav. 22-24
    Jakarta Barat 11480
    INDONESIA
    Tel: +62 21 2594 5192  / +62 21 2594 5193  / +62 21 2594 5195 / +62 21 2594 5196
    Fax: +62 21 2594 5173
    Budi Setyanto, S.H.
    Chair of the Jayapura branch of the Indonesian Bar Association (PERADI)
    Jl. Karang N0. 8, Kel. Waena, Distrik Seram Kota
    Jayapura, Papua
    INDONESIA
    Tel/Fax: +62 967 573970
    E.S. Maruli Hutagalung, SH. MH
    Head of the Papua High Prosecutor’s Office
    Kepala Kejaksaan Tinggi Papua di Jayapura
     Jl. Anggrek No.6 Tanjung Ria
    Jayapura, Papua
    INDONESIA
    Tel +62 967 542764 / 541130 

    NAPAS : aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Rilis NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

    Kita butuh pemerintahan dan legislatif baru yang berani menjamin kebebasan berekspresi dan membebaskan tahanan politik di Papua
    Setelah 15 tahun, hampir 16 tahun, reformasi Indonesia, yang pernah membebaskan tahanan politik di masa Orde Baru, orang-orang Papua yang menjadi tahanan politik justru bertambah. Ditengah hiruk pikuk pemilu 2014 di Indonesia, represi terus meningkat di Papua sehingga menambah banyak orang-orang yang ditahan atas dasar motivasi politik. Tidak adanya ruang berekspresi dan beraspirasi secara bebas di Papua, serta penambahan jumlah tahanan politik tersebut, belum satupun menjadi perhatian para calon legislatif dan calon-calon presiden dalam pemilu 2014.

    Saat ini sebanyak 76 orang-orang Papua menjadi tahanan politik di berbagai penjara Papua*. Dalam waktu hanya setahun, sejak April 2013, website orang-orang Papua di balik jeruji telah mencatat penambahan tahanan politik di Papua sebanyak dua kali lipat. Per 31 Maret 2013 sebanyak 40 orang tahanan politik ada dalam penjara Manokwari, Sarmi, Timika, Serui, Abepura, Biak, Wamena, dan Nabire. Per Februari 2014 setidaknya bertambah sebanyak 36 tahanan politik, yang tersebar di berbagai lokasi tahanan kepolisian seperti di Yapen, Jayapura, Puncak Jaya, Polda Papua, dan Sarmi, selain di tempat-tempat yang sama dimana tahanan politik sebelumnya berada.

    Hentikan stigma, perbaiki layanan, dan tegakkan HAM

    Rakyat Indonesia dan semua lembaga yang mau membuka hati dan pikirannya perlu mengetahui keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, yang disiksa, ditolak akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan segala macam bentuk pelanggaran HAM lainnya. Keberadaan para tahanan politik ini tidaklah mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku tindak pidana yang menjalani pembinaan.

    Pada diskusi yang diselenggarakan NAPAS terkait keberadaan dan situasi Tapol di Papua, tahun lalu, Dirjen Lapas Kemenkumham, melalui biro komunikasinya Akbar Hadi, menyatakan bahwa pihak Lapas di Papua memiliki prosedur memadai dalam memperlakukan para tahanan. Menurutnya, mereka tidak kenal istilah kategori tapol dan yang lainnya, dan hanya berkewajiban memberi layanan memadai. Namun Akbar Hadi juga mengakui bahwa layanan kesehatan adalah persoalan paling serius di Lapas karena kurangnya dana.

    Memang alasan yang klise karena kita tahu dana yang mengalir melalui otsus ataupun UP4B seharusnya bisa dipergunakan untuk memperbaiki layanan. Masalahnya ada pada stigma separatis yang terus dicitrakan oleh pemerintah Indonesia sehingga memperburuk situasi dan kondisi tahanan politik di Papua. Seperti ada kesengajaan membiarkan tahanan politik ini sakit-sakitan, bahkan meninggal tanpa pengobatan.

    Sebetulnya pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005, termasuk pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5/1998. Namun seluruh kasus makar yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di Papua, tetap saja menggunakan KUHP Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang bernuansa pidana. Status para tersangka, maupun mereka yang menjalani masa hukuman di penjara dalam kasus-kasus makar, tak ada bedanya dengan para narapidana lain yang melakukan tindak kriminal lainnya seperti pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya.

    Ubah pendekatan

    Sudah terbukti bahwa kebijakan apapun yang diputuskan oleh pemerintah pusat di Jakarta dan di Papua tidak menyelesaikan persoalan kemanusiaan di Papua selama pendekatannya tidak diubah. Pendekatan  yang terus dipertahankan saat ini adalah represi dan anti dialog. Ruang demokrasi untuk berkumpul dan menyatakan pendapat tidak diberikan, bahkan akses untuk pemberitaan dan pemantauan internasional juga dihambat.

    Bila pendekatan seperti ini terus yang dipertahankan, maka akan semakin banyak jatuh korban, semakin tinggi angka pelanggaran HAM dan semakin sulit meyakinkan rakyat Papua untuk percaya pada pemerintahan di Indonesia. Sesungguhnya pendekatan seperti inilah yang membuat semakin berkembang kehendak rakyat Papua, khususnya yang merasakan langsung penindasan ini, untuk memisahkan diri.

    Tekanan internasional

    Dalam hearing dengan Sub Komite HAM Parlemen Eropa, 23 Januari 2014, NAPAS menghimbau dihadapan duta besar Indonesia untuk Uni Eropa agar pemerintah Indonesia mengakui bahwa keadaan HAM di Papua sangat serius. Keberadaan Tapol, tidak adanya kebebasan berkumpul dan berekspresi serta pembatasan akses jurnalis adalah indikator utama.

    Sebanyak 16 anggota Parlemen Eropa membuat pernyataan sikap dan rekomendasi kepada CATHERINE ASHTON, pejabat yang bertanggung jawab atas Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, terkait kemendesakan situasi di Papua. Salah satu rekomendasinya terkait keberadaan tahanan politik adalah: menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan politik dan menghentikan penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas politik damai dengan tuduhan kriminal seperti pasal makar 106 dalam KUHP.

    Tapol Inggris, suatu lembaga yang mendukung demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia menyerukan aksi solidaritas serentak internasional menuntut pembebasan Tapol Papua. Aksi dilakukan tanggal 2 April bersama-sama dengan Amnesty International UK, Survival Internasional dan Free West Papua Campaign di depan Kedubes Indonesia. London Inggris. Napas mendukung seruan ini dengan melakukan dialog dengan Palang Merah Internasional (ICRC) wilayah Indonesia dan Yimor Leste di waktu yang sama. 

    Jika kita menghendaki perubahan yang lebih baik di Indonesia, maka wajah Papua harus dibersihkan dari duka, dendam, darah dan air mata. Apa lagi yang kita tunggu? Saatnya semua pihak yang pro perubahan, dan para politisi serta aktivis yang hendak mencalokan diri menjadi anggota legislatif dan presiden, memasukkan agenda ini ke dalam cakrawala pikiran dan program perjuangan mereka:
    • Membebaskan semua tahanan politik yang berada di penjara-penjara di Papua serta membuka kembali peluang upaya dialog damai dengan rakyat Papua.
    • Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan dan pelayanan hukum.

    Jakarta, 2 April 2014

    National Papua Solidarity (NAPAS)
    Zely Ariane
    Koordinator

    Aksi NAPAS 16 Mei 2013 di depan istana negara


    *Lihat update tahanan politik Papua bulan Februari 2014 di papuabehindbars.org

     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif