photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label napol. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label napol. Tampilkan semua postingan

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

    *Zely Ariane
    Pada Selasa, 11 Juni 2013, serombongan orang2 atas nama Front Pemuda Merah Putih mendatangi kantor KontraS, di Borobudur 14, menuntut pembubaran lembaga itu atas kegiatannya yang dituduh sebagai membela separatisme di Papua. Dua orang diantara mereka berorasi, sambil dua orang lainnya tampak memberi instruksi. Sementara orang-orang yang ikut tampak enggan merapat walau telah diperintah berkali-kali oleh orator. Yang maju dalam barisanpun tampak tak bersemangat dan ogah-ogahan.
    Orator mengatakan, di satu sisi, bahwa perjuangan penegakan HAM itu penting seperti yang diperjuangkan alm. Munir, sementara di sisi lain ia mencaci maki KontraS sebagai antek asing dan pro separatisme OPM. Ia mengatakan NKRI adalah harga mati dan perjuangan HAM tidak boleh menawarnya. KontraS diminta berjanji dan membuktikan bahwa mereka tidak pro separatisme.

    Motivasi

    Ada tiga motivasi yang memberi landasan berlangsungnya aksi semacam ini, dan logika berpikir demikian masih bersemayam setelah 15 tahun Reformasi Indonesia.

    Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannya pun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok para militer seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.

    Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiri pun samasekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.

    NKRI harga mati ini adalah tameng ideologi Orde Baru untuk meredam perlawanan rakyat ditengah penggadaian kedaulatan bumi dan air milik rakyat ke tangan para korporasi oleh pemerintahnya sendiri, yang padahal telah mengobrak-abrik kedaulatan negeri itu sendiri. Tentu saja NKRI harga mati tak pernah mempersoalkannya, bahkan mempromosikan jual murah negerinya pertama kali melalui UU PMA No.1 1967 dimana PT.Freeport pertama kali mendapat kontak karya di Papua bahkan sebelum Papua terintegrasi secara hukum ke Republik Indonesia. Dan Soehartolah yang juga mendalanginya.

    Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada dihadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.

    Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan bahwa: "bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta, sehingga Indonesia akan jadi bubar". Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.

    Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya: gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.

    NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki: kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

    * Zely Ariane, koordinator NAPAS

    Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua

    Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta ampmalangraya.tk

    Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua

    Gustaf Kawer (kiri) dan Olga Hamadi (kanan), dua pengacara HAM Papua. 

    Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.

    Tuduhan pidana terhadap  pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena  mengabaikan permintaannya agar  sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu. Akan tetapi hakim Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.

    Tuduhan pidana terhadap  pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena  mengabaikan permintaannya agar  sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu.tidak mengubris surat permohonan/permintaan penundaan sidang dan masih tetap melaksakan sidang pada tanggal 12 juni 2014. Oleh karena itu hakim menjatuhkan hukuman pidana karena saudara Kawer dianggap telah melakukan 'bentuk perlawanan dan tidak  menghargai sistem hukum di indonesia.

    Gustaf Kawer adalah seorang pengacara independen dari Papua yang telah bekerja dalam berbagai kasus Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2012, Tuan Kawer ditunjuk sebagai pengacara bagi lima tersangka yang di kenal dengan Jayapura 5. Saat itu ia juga mendapat ancaman dari pihak militer. Pada tahun 2013, bersama dengan teman pengacaranya yang bernama Olga Hamadi, Gustaf Kawer terpilih sebagai Pengacara Internasional dan memperoleh Award untuk dedikasinya terhadap hak asasi manusia di Papua.


    Kami sangat percaya bahwa investigasi kriminal ini merupakan respon yang berlebihan dan sangat tidak wajar ditujukan kepada Gustaf,dan jelas dirancang untuk mengintimidasi dirinya. Kami percaya bahwa tindakan penyelidikan ini dilakukan untuk menghambat Gustaf melakukan perkerjaanya sebagai pengacara hak asasi manusia di Papua. Kami juga sangat  prihatin dengan adanya investigasi ini, maka pasti akan memiliki dampak memperkecil ruang gerak dalam upaya pembelaan kasus-kasus hak asasi manusia yang terjadi di Papua.

    Oleh karena itu kami meminta campur tangan masyrakat luas dalam kasus ini. Yaitu dengan mendesak polisi Indonesia untuk menghentikan penyelidikan pidana terhadap Gustaf Kawer.

    Rincian

    Gustaf Kawer menerima surat panggilan pada tanggal 22 Agustus 2014 yang menyatakan kaitannya dengan kasus pelanggaran dan tidak mematuhi pasal 211 dan 212 KUHP. Dalam surat panggilan tersebut gagal memberikan keterangan tentang tuduhan yang ditujukan kepadanya.

    Panggilan kedua menjelaskan bahwa Gustaf Kawer telah dilaporkan oleh seorang hakim PTUN bernama Warisman Sotaronggal. Laporan itu mengenai protes Kawer terhadap para hakim dalam sidang pada sengketa tanah adat melawan pemerintah, yang diadakan pada tanggal 12 Juni, 2014.

    Dia protes karena hakim mengabaikan permintaannya untuk penundaan sidang dan tetap melaksanakan sidang tanpa kehadirannya. Akhirnya ia diminta untuk meninggalkan ruang sidang. Saat ia pergi, ia melihat bahwa seorang perwira polisi merekam insiden tersebut.

    Instrumen nasional dan internasional

    Pasal 211 dan 212 KUHP di Indonesia digunakan oleh pihak kepolisian untuk menjerat semua masyarakat yang melawan petugas negara menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan. Keputusan polisi menggunakan kedua pasal itu untuk melakukan penyelidikan terhadap Gustaf Kawer karenanya sangatlah tidak masuk akal, karena belum ada kekerasan yang dilakukan atau ancaman yang ditimbulkan oleh Gustaf Kawer selama proses persidangan tanggal 12 Juni 2014.

    Selain itu, UU Advokat Indonesia Nomor 18/2003 menetapkan bahwa advokat hukum tidak akan dikenakan tindakan pidana atau perdata dalam kaitannya dengan kinerja itikad baik tugas profesionalnya dalam membela klien di pengadilan. Ketentuan ini baru-baru ini ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 26 / PUU-XI / 2013.

    Beberapa instrumen HAM

    Dunia internasional juga secara eksplisit telah menyerukan negara-negara untuk memberikan perlindungan bagi pengacara dan pembela hak asasi manusia. Berbagai artikel Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara. untuk memastikan bahwa pengacara 'dapat melakukan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, halangan, pelecehan atau gangguan yang tidak benar' dan 'memperoleh kebebasan, baik sipil dan pidana untuk laporan yang relevan dibuat dengan itikad baik dalam pembelaan tertulis atau lisan. Ataupun dalam penampilan profesional mereka di depan pengadilan, otoritas hukum atau administratif hukum lainya.

    Pasal 12 (2) dari Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia juga jelas menyerukan negara-negara untuk 'mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan oleh pejabat yang berwenang dari setiap orang, secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain, menentang kekerasan apapun, ancaman, pembalasan, de facto atau de jure diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari latihan yang sah nya hak sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi ini '.

    Petisi

    Kami prihatin tentang keselamatan Gustaf Kawer, dan dampak yang lebih luas dari intimidasi dan investigasi terhadap dirinya. Silakan menulis kepada pihak berwenang yang tercantum di bawah ini.
    • Mendesak dan menjamin keamanan juga melindungi pengacara HAM Gustaf Kawer.
    • Mengakhiri intimidasi terhadap Gustaf Kawer
    • Menginvestigasi percobaan kriminalisasi terhadap dirinya
    • Perlindungan terhadap pejuang HAM Papua
    Jangan ragu untuk menghubungi kami jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut.
    Hormat saya,
    The International Coalition for Papua, Germany
    TAPOL, United Kingdom
    Urgent Action Targets
    Gen. Sutarman
    Chief of the Indonesian National Police
    Jl. Trunojoyo No. 3
    Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
    INDONESIA
    Tel: +62 21 384 8537, 726 0306
    Fax: +62 21 720 7277
    E-mail: 
    humas.pmj@gmail.com
    Mr Yotje Mende
    Chief of the Papua Regional Police
    Jl. Samratulangi No. 8 Jayapura
    INDONESIA
    Tel: + 62 0967 531014
    Fax: +62 0967 533763
    Dr. H. Muhammad Hatta Ali
    Chief Justice of the Indonesian Supreme Court
    Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
    INDONESIA
    Tel: +62 21 384 3348
    Fax: +62 21 381 0356
    E-mail: 
    info@ma-ri.go.id
    Mr Suparman Marzuki
    Chairperson of the Judicial Commission
    Jl. Kramat Raya No. 57
    Jakarta Pusat
    INDONESIA
    Tel: +62 21 390 5876
    Fax: +62 21 390 6215
    Mr Hafids Abbas
    National Human Rights Commission
    Jl. Latuharhary No. 4-B
    Jakarta 10310
    INDONESIA
    Tel: +62 21 392 5230
    Fax:  +62 21 392 5227
    Mr Ismail Baturante
    Chairperson
    Makassar High Administrative Court
    Jl. A.P Pettarani No. 45
    Makassar, 90231
    INDONESIA
    Tel. +62 411 420679, 452016
    Fax. +62 411 452016
    Website : 
    www.pttun-makassar.go.id
    Email : 
    pttun.makassar@gmail.com,  pt.makassar@ptun.org
    Mr Sudiwardono
    Jayapura High Court
    Jl. Tanjung Ria No. 98, Base'G
    Jayapura, Papua
    INDONESIA
    Tel: +62 967 541248
    Fax: +62 967 541045
    Mr Kasim, SH, MH
    Chairman of the Administrative Court of Jayapura
    Jalan Raya Sentani – Waena
    Jayapura 99358
    INDONESIA
    Tel-fax: +62 967 571639 / 571216
    cc :
    Dr. Otto Hasibuan, SH., MM
    Chair of the Indonesian Bar Association (PERADI)
    Grand Slipi Tower, Lantai 11
    Jl. S.Parman Kav. 22-24
    Jakarta Barat 11480
    INDONESIA
    Tel: +62 21 2594 5192  / +62 21 2594 5193  / +62 21 2594 5195 / +62 21 2594 5196
    Fax: +62 21 2594 5173
    Budi Setyanto, S.H.
    Chair of the Jayapura branch of the Indonesian Bar Association (PERADI)
    Jl. Karang N0. 8, Kel. Waena, Distrik Seram Kota
    Jayapura, Papua
    INDONESIA
    Tel/Fax: +62 967 573970
    E.S. Maruli Hutagalung, SH. MH
    Head of the Papua High Prosecutor’s Office
    Kepala Kejaksaan Tinggi Papua di Jayapura
     Jl. Anggrek No.6 Tanjung Ria
    Jayapura, Papua
    INDONESIA
    Tel +62 967 542764 / 541130 

    Mengapa Tapol Papua Tolak Grasi?


    "Kami tidak butuh dibebaskan dari Penjara, tetapi butuh dan tuntut BEBASKAN Bangsa Papua dari Penjajahan Negara Kolonial Republik Indonesia," demikianlah pernyataan sikap tawanan Politik Papua Merdeka dalam Penjara Negara Kolonial Indonesia, yang dikeluarkan pada hari Jumat, 24 Mei 2013.

    Pernyataan itu dikeluarkan oleh 26 Tawanan Politik Papua Merdeka (TAPOL PM) yang mendekam di LP Abepura setelah membaca di media cetak Cepos dan Bintang Papua edisi Kamis 23 Mei 2013 bahwa presiden RI akan bebaskan Tapol Papua melalui pemberian grasi.
    Berita itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda. Menurut Yunus dalam pertemuan dengan SBY bersama DPRP, MRP, Gubernur Papua dan Menteri Dalam Negeri RI, pada 29 April 2013, SBY berjanji akan bebaskan Tapol Napol Papua di saat SBY berkunjung ke Papua pada bulan Agustus 2013.  
    Menyikapi itu,  26 Tawanan Politik Papua merdeka menyatakan menolak rencana pemberian Grasi oleh Presiden RI. Mengapa para Tapol Papua Merdeka menolak rencana pemberian grasi dari presiden RI?

    Apa Itu Grasi, Amnesti, Abolisi, Rehablitasi dan Remisi? 

    GRASI artinya pengampunan.  Presiden memiliki hak perogratif untuk memberikan grasi. Grasi adalah hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Grasi bukanlah upaya hukum, karena upaya hukum sampai pada Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Grasi merupakan upaya non hukum dan diputuskan secara subyektif oleh Presiden.
    Pemberian grasi bukan berarti menghilangkan kesalahan, bukan juga merehablitasi hukuman terhadap terpidana (lihat penjelasan dalam UU nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi).
    Dalam hal pemberian grasi, Presiden tidak mengintervensi pihak yudikatif, tetapi itu hak perogatif presiden sesuai amanat UUD 1945.
    Pengajuan permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana atau penasehat hukum atau oleh keluarga atas persetujuan terpidana, kecuali terpidana mati, permohonan dapat diajukan oleh keluarga tanpa persetujuan terpidana (lih. Pasal 6 UU nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi). Permohonan grasi diajukan bagi terpidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling rendah 2 tahun.

    AMNESTI artinya pengampunan. Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu.
    Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah atau pun belum dijatuhi hukuman, yang sudah atau pun belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Tentang amnesti dan abolisi diatur dalam UU nomor 11 tahun 1954.
    Pemberian amnesti yang pernah diberikan terhadap delik yang bersifat seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat terhadap kepentingan negara.
     
    ABOLISI artinya menghapuskan, mengakhiri, meniadakan. Abolisi bukan merupakan pengampunan, tetapi tindakan penghentian proses pemeriksaan dan tuntutan pidana terhadap tersangka dengan pertimbangan tertentu oleh kepala negara.

    REHABLITASI
    artinya pemulihan dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya, seperti pemulihan nama baik.
    Rehablitasi merupakan suatu tindakan presiden, dalam rangka mengembalikan hak seseorang, yang telah hilang karena suatu keputusan hakim, yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seseorang tersangka, tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali.
    Fokus rehablitasi ini terletak pada nilai kehormatannya diperoleh kembali dan hak itu tidak tergantung kepada undang-undang, tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.

    REMISI artinya pengurangan.  Remisi merupakan pembatalan lengkap atau sebagian dari hukuman pidana, sementara masih dianggap bersalah karena melakukan kejahatan. Dengan kata lain pemotongan masa tahanan.

    Pemberian grasi, amnesti, abolisi, rehablitasi adalah hak prerogatif Presiden. Dalam memberikan grasi dan rehablitasi, presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkama Agung (lih. Amandemen UUD 1945 pasal 14 ayat 1). Sedangkan dalam pemberian amnesti dan abolisi presiden memperhatikan pertimbangan DPR, (lih. Amandemen UUD 1945 pasal 14 ayat 2).

    Mengapa Para Tapol Pm Tolak Grasi?

    Dasar penolakan rencana pemberian grasi adalah: "Tawanan Politik Papua Merdeka tidak pernah dan tidak akan pernah mengajukan permohonan pengampunan berupa grasi dari kepala negara Kolonial Republik Indonesia, karena KAMI TIDAK BERSALAH; Justru sebaliknya kami tuntut Negara Kolonial Republik Indonesia: 1) Meminta maaf kepada bangsa Papua atas aneksasi bangsa Papua ke dalam NKRI, di mana akibat dari aneksasi itu telah melahirkan: diskriminasi, marginalisasi, minoritas dan menuju kepunahan etnis Papua; 2) RI mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua". 

    Penolakan rencana pemberian grasi ini dilatar-belakangi delapan point di bawah ini:
    Pertama, kemerdekaan (Penentuan Nasib sendiri) adalah hak segala bangsa, sebagaimana diatur juga dalam Deklarasi Umum PBB dan kovenan-kovenan Internasional, antara lain: kovenan internasional tentang hak hak sipil dan politik; Kovenan Internasional tentang hak hak ekonomi dan sosial budaya, dan deklarasi hak-hak masyarakat pribumi; dan juga sebagaimana amanat konstitusi NKRI dalam pembukaan UUD 1945 pragraf pertama. 
    Kedua, bangsa Papua juga memiliki hak yang sama untuk berdaulat penuh. Maka pada 19 Oktober 1961 dalam Kongres Papua I oleh Komite Nasional Papua menyatakan "Manifesto Politik Kemerdekaan Bangsa Papua" sebagai dasar mendapatkan status kedaulatan penuh, yang selanjutnya dirayakan pada 1 Desember 1961 di Hollandia (kini Jayapura) dan di seluruh ibu kota afdeling di Tanah Papua.
    Ketiga, Namun bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI melalui maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961. Yang dilanjutkan dengan invasi politik dan militer pada tahun 1962.
    Keempat, Invasi Politik diwujudkan melalui perjanjian antara Belanda dan RI dengan mediasi PBB atas settingan Amerika Serikat, yang disebut "Perjanjian New York" secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua pada 15 Agustus 1962.
    Kelima, Penentuan Pendapat Rakyat tidak dilaksanakan sesuai ketentuan hukum Internasional sebagaimana diatur dalam perjanjian New York. "Act of free voice" (tindakan pemilihan bebas) diubah oleh RI menjadi "Act of no free voice" (tindakan pemilihan tidak bebas). Atau dapat pula disebut Pemaksaan Pendapat Rakyat, bukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), maka PEPERA 1969 itu cacat hukum dan cacat moral.
    Keenam, Bangsa Papua tidak pernah terlibat berjuang untuk mendirikan NKRI dan bangsa Papua tidak pernah sepakat dengan bebas untuk bergabung dalam NKRI.
    Ketujuh, karena itu pendudukan NKRI di tanah Papua adalah illegal, baik secara hukum dan morat cacat. 
    Kedelapan, bangsa Papua secara budaya dan letak geografis sangat berbeda dengan Ras Melayu. Rakyat bangsa Papua adalah ras negroid, rumpun Melanesia.

    Apakah Ideologi Mabruk Dapat Digadaikan dengan Grasi?

    Jawabkum, grasi tidak bisa digadaikan dengan perjuangan kebebasan bangsa Papua. Ideologi mabruk tetap akan dipertahankan sampai kapan pun. Ideologi mabruk memberi motivasi bagi gerakan pembebasan nasional Papua. Ideologi mabruk mengalir dalam pembulu nadi setiap orang Papua yang merindukan kebebasan total.

    Papua Merdeka adalah HARGA HIDUP karena itu Papua Merdeka tidak dapat digadaikan dalam bentuk tawaran apa pun dari RI; Papua Merdeka adalah API HIDUP karena itu api revolusi tetap akan hidup dan tidak akan pernah dipadamkan oleh siapa pun dan dengan cara serta kekuatan apa pun. 

    Tekad Tawanan Politik Papua Merdeka sudah bulat yaitu "Berjuang sampai titik darah penghabisan dan tidak akan pernah menyerah kepada rezim penjajah Indonesia". Mengajukan permohonan grasi berarti meminta pengampunan dari presiden. Siapa yang bersalah, jadi presiden SBY mau berikan pengampunan?
    Tapol Papua Merdeka tidak bersalah, maka kami tidak butuh pengampunan dari kepala negara kolonial Indonesia. Kami Tapol Papua Merdeka tidak pernah mengajukan permohonan grasi kepada presiden RI.
    Kami tidak pernah minta keluarga dan penasehat hukum kami untuk mengajukan permohonan grasi kepada presiden RI. Kami menolak tegas jika ada pihak lain yang ajukan permohonan grasi ke presiden RI.

    Kami tahu proses mengajukan grasi dan tahu syarat yang harus dipenuhi dalam surat permohonan grasi.  Mengajukan permohonan grasi berarti mengakui bersalah, menyesal, mengakui Papua dalam NKRI dan memohon pengampunan kepada presiden RI.
    Menerima grasi berarti menyerah kepada rezim penjajah RI dan itu tidak akan pernah terjadi pada kami. Mengajukan grasi berarti tanda menyerah dan itu suatu kekejian bagi kami. Dan menyerah berarti pengkhianat.

    Saya memiliki pengalaman dengan seorang Tapol Papua pada tahun 2009. Ia pernah mengajukan permohonan grasi. Syarat utama dalam surat permohonan grasi kepada presiden, khususnya bagi terpidana "makar", saat itu ia buat adalah membuat surat pernyataan dan permohonan grasi yang berisi: pertama, ia mengaku bersalah; kedua, ia menyatakan penyesalan atas kasus yang dibuatnya; ketiga, ia menyatakan tidak akan mengulangi perbuatan pidana yang sama; keempat, ia mengakui Papua dalam NKRI; kelima, karena itu ia memohon pengampunan dari Presiden RI. Surat pernyataan itu ia tanda-tangan di atas meterai 6.000.
    Surat permohonan grasi saat itu, ia dibantu pihak Penjara, diajukan ke presiden RI melalui pengadilan negeri yang telah mengadili dan memutuskan perkara pidana nya. Presiden bisa mengabulkan dan juga menolak setelah mendapat pertimbangan dari Mahkama Agung. Setelah satu tahun empat bulan kemudian, barulah permohonan grasi yang ia ajukan dikabulkan oleh Presiden RI, SBY.

    Dalam sejarah perjuangan bangsa Papua, hanya satu orang dugaan makar yang pernah mengajukan permohonan grasi. Bagi kami Tapol Papua Merdeka yang lain, pemberian grasi dari presiden RI itu sebagai bentuk penghinaan / pelecehan terhadap perjuangan bangsa Papua.
    Ingat: Tapol Papua Merdeka tidak butuh Grasi; tetapi Tapol Papua Merdeka butuh dan tuntut kembalikan hak kemerdekaan bangsa Papua yang telah dianeksasi melalui invasi politik dan militer.
    Apa Sikap Tapol   Jika Ada Pemberian Amnesti?
    Amnesi diberikan oleh presiden tanpa mengajukan permohonan amnesti oleh terpidana atau keluarga atau penasehat hukum kepada presiden RI. Amnesti diberikan oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR.
    Amnesti berbeda dengan grasi. Amnesti adalah pernyataan ampunan dari presiden tanpa diminta oleh para tapol, keluarga maupun penasehat hukum. Amnesti diberikan bukan karena kemauan baik dari kepala negara, tetapi demi kepentingan Negara, demi selamatkan Negara dari sorotan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. 

    Bangsa Papua memiliki pengalaman, pada tahun 1999 para Tapol Papua dibebaskan oleh presiden RI melalui pemberian amnesti. Pembebasan Tapol Papua saat itu dapat terjadi karena adanya desakan dari masyarakat Internasional dan juga dari berapa kalangan di Indonesia. Saat itu bagi yang masih dalam proses hukum, presiden memberikan abolisi. Amnesti adalah pembebasan tanpa syarat. Sedangkan grasi adalah pembebasan bersyarat. Pada tahun 1999 Tapol Papua dibebaskan tanpa syarat (amnesti).

    Jika kemudian presiden RI berencana berikan amnesti bagi para Tapol Papua Merdeka, maka amnesti itu akan dipertimbangkan oleh para Tapol Papua Merdeka: apakah diterima atau tidak. Karena pada tahun 1999 para Tapol Papua Merdeka pernah dibebaskan, tetapi setelah Tapol dibebaskan, pemerintah Indonesia tidak memiliki niat yang tulus untuk selesaikan masalah-masalah Papua, tetapi justru UU Otsus Papua dipaksakan oleh RI secara sepihak untuk diterapkan di tanah Papua.
    RI memandang UU Otsus Papua solusi final, namun ternyata sudah 12 tahun era Otsus Papua, tidak mengalami perubahan signifikan. Perubahan yang terjadi di era Implementasi UU Otsus Papua adalah makin meningkatnya diskriminasi, marginalisasi, minoritas dan kepunahan etnis Papua.

    Bersamaan dengan wacana pemberian grasi oleh presiden RI kepada Tapol, kami sudah ikuti melalui media cetak bahwa Jakarta sedang paksakan rekonstruksi UU Otsus, yang dinamakan Otsus Plus Papua atau disebut UU Pemerintahan Papua.
    Kami sudah tahu bahwa Tapol Papua Merdeka dibebaskan dalam rangka melegitimasi RUU Pemerintahan Papua yang sedang digodok di Jakarta untuk diterapkan di Papua. Maka itu, para Tapol Papua Merdeka tidak akan mengulangi nasib yang sama seperti pembebasan para Tapol Papua terdahulu pada akhir tahun 1999, di mana pembebasan Tapol saat itu disambut dengan pemaksaan penerapan UU Nomor 21 tentang Otsus Papua.

    Apa Pra Syarat Menerima Amnesti?
    Kami menolak tegas UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua. Negara Indonesia segera berhenti menerapkan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua secara sepihak. Karena upaya itu bukan selesaikan masalah-masalah Papua. Kami tapol Papua akan menerima amnesti, jika ada langkah-langkah nyata menuju pemulihan bangsa Papua melalui dua opsi yaitu:
    Opsi pertama adalah Negara Indonesia mengakui dan mengembalikan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI; Opsi kedua adalah antara dua bangsa dan dua negara siap dan sudah memulai berunding/dialog untuk membicarakan masa depan dua bangsa dan dua negara yang setara yang dimediasi PBB atau pihak ketiga (negara) yang netral.

    Itulah pra syarat dari para Tapol Papua Merdeka untuk menerima amnesti dari Kepala Negara Kolonial RI.  Jika pra syarat ini tidak dilakukan oleh Negara kolonial Indonesia sebagai langkah nyata menuju pemulihan atau rehablitasi bagi bangsa Papua, maka amnesti yang akan ditawarkan kepada para tapol Papua merdeka akan sia-sia karena sulit diterima tanpa adanya komitmen tulus dari RI untuk selesaikan masalah-masalah Papua.

    Tanpa selesaikan masalah utama yakni sejarah politik bangsa Papua yang kini berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan tetapi pasti, pembebasan para tapol Papua merdeka dari penjara, bukanlah penyelesaian masalah. Kami bisa dibebaskan dari penjara, tetapi jika RI tidak selesaikan masalah Utama Papua, maka pembebasan tapol Papua merdeka tidak akan memberi arti apa-apa bagi perjuangan bangsa Papua. Lebih baik bertahan di dalam Penjara, dari pada menerima amnesti.
    Kami akan menanti RI memilih opsi yang mana: Apakah mengakui kemerdekaan bangsa Papua? Atau selesaikan masalah-masalah Papua melalui perundingan yang setara dan bermartabat yang dimediasi oleh PBB atau pihak ketiga (negara) yang netral untuk melahirkan solusi dua bangsa dan dua negara untuk mengakhiri penjajahan Indonesia di Tanah Papua.

    Pesan kepada Semua Pihak yang Peduli dengan Tapol 
    Penolakan atas rencana pemberian grasi dari presiden RI, yang telah dikeluarkan para Tapol Papua Merdeka, bukan untuk melemahkan atau melecehkan perjuangan dari semua pihak yang peduli dengan para Tapol.
    Kami mengapresiasi upaya Anda semua dalam bentuk advokasi dan kampanye untuk pembebasan para Tapol tanpa syarat. Pernyataan sikap Tapol Papua Merdeka itu, pada prinsipnya memboboti advokasi dan kampanye pembebasan yang didorong oleh Anda semua yang peduli dengan Papua, agar para Tapol ke luar (bebas) melalui pintu penjara menuju kebebasan bangsa Papua dari penjajahan RI.

    Melalui pernyataan sikap itu, kami Tapol Papua Merdeka mau sampaikan bahwa Perjuangan Anda semua tidak sampai pada pembebasan Tapol Papua merdeka dari penjara kecil. Perjuangan utama kita semua adalah perjuangan untuk bebaskan bangsa Papua dari penjara besar yakni bangsa Papua bebas (merdeka penuh) dari penjajahan negara kolonial Indonesia.

    Pembebasan Tapol Papua merdeka dari Penjara, tidak akan pernah selesaikan masalah utama yakni masalah sejarah politik bangsa Papua.
    Sumber utama konflik di tanah Papua berawal dari aneksasi Papua ke dalam NKRI melalui invasi politik dan militer, maka itu kita semua satukan barisan untuk menyentuh masalah mendasar ini, dengan menempuh langkah-langkah nyata untuk mengakhiri dararut kemanusian secara terselubung yang amat mengerikan yang menimpa rakyat bangsa Papua.
    Semua pihak yang peduli dengan Papua, memiliki tanggung jawab untuk selamatkan bangsa Papua dari: marginalisasi, diskriminasi, minoritas dan kepunahan etnis Papua.

    Selpius Bobii adalah Ketua umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat; yang juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura. 

    Otsus Plus Beranak Grasi untuk Tapol Napol Papua

    Otsus Plus Beranak Grasi untuk Tapol Napol Papua

    Dua puluh lima aktivis perjuangan Papua Merdeka menolak dengan tegas adanya informasi yang di usulkan gubernur Papua Lukas Enembe kepada pemerintah pusat terkait status para tahanan di Papua, termasuk mereka yang di jebloskan ke dalam penjara usai melakukan akvitas yang mengarah pada kemerdekaan. Seluruhnya menyatakan menolak ide pemberian pengurangan hukuman dari kepala negara Republik Indonesia.

    Kamus grasi tak ada dibenak para aktivis Papua ini. Menurut kalangan pejuang kemanusiaan dan demokrasi, seorang tahanan politik tak bisa di beri grasi, tapi seharusnya apa yang di perjuangkan melekat pada status seseorang. Tahanan politik adalah kalimat yang sering diungkapkan para pendekar rakyat tersebut.
    “Kami menolak rencana pemberian Grasi oleh Presiden Republik Indonesia; Kami tidak butuh dibebaskan dari penjara, tapi kami butuh, bebaskan bangsa Papua dari penjajahan kolonial Republik Indonesia”.

    Diantara 50-an Napol dan Tapol yang menolak garasi tersebut yakni Filep J.S. Karma, Victor F Yeimo, Selpius Bobii, Makbrawen Sananay Krasar, Dominikus Sarabut, Beni Teno, Alex Makabori, Nico D. Sosomar, Petrus Nerotou, Denny I Hisage, Dago Ronald Gobai, Jefry Wandikbo, Mathan Klembiab, Rendy W. Wetipo, Boas Gombo, Jhon Pekei, Oliken Giyai, Panus Kogoya, Warsel Asso, Yunias Itlay, Timur Waker, Kondison Jikibalom, Serko Itlay, Japrai Murib Yulianus Wenda.

    Sebelumnya, kabar adanya grasi mengemuka setelah poin poin yang diajukan Gubernur Papua, Lukas Enembe kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tentang tapol/napol ada pada poin ke dua dari 20 butir usulan.
    Telah saya tulis sebelumnya; Zona Dagang Pasifik Peluang Bagi Papua Merdeka?.  Bahwa tujuan politik Enembe dengan konsep otsus plus afiliasi negara federal dalam bingkai NKRI. Sayang, poin poin yang di bawa sang gubernur sebelum menghadap presiden di Istana sudah di cabik-cabik lebih dahulu oleh pembantu presiden Velix Wanggai.
    Jubi Papua yang dilansir zonadamai, memuat dua puluh (20) poin usulan pemerintahan otsus Papua. Diantaranya; terakit kewengan hubungan luar negeri yang tak ada pada otsus harus diberikan secara terbatas. Kemudian adanya permintaan bagi pemda otsus untuk urusan perhubungan. Lalu, soal fiscal dan moneter (keuangan) soal Freeport.

    Jadi intinya, 20 poin yang dimaksud adalah agar pemerintah menambahkan kewenangan pemerintahan otsus dalam urusan; pertahanan dan keamanan, fiskal dan moneter, perhubungan serta urusan luar negeri.
    (1) Otsus Plus,
    (2) komunikasi dengan kelompok-kelompok Papua Merdeka, dan amnesty TAPOL/NAPOL,
    (3) Pemda ikut dalam Re-Negosiasi PT. Freeport Indonesia,
    (4) kewenangan terbatas di bidang luar negeri terutama penguatan hubungan Indonesia-kawasan pasifik,
    (5)pembukaan jalur internasional melalui Bandara Frans Kaisepo-Biak,
    (6) perlunya rencana tata ruang pertahanan,
    (7) penguatan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah,
    (8) afirmatif untuk Papua di TNI, Polri, Kementrian, dan BUMN,
    (9) perencanangan Trans Papua,
    (10) pencanangan landmark jembatan holtekamp, Kota Jayapura.
    (11) peningkatan dana tambahan infrastruktur Otsus Papua,
    (12) pengajuan Papua sebagai tuan rumah PON XX Tahun 2020,
    (13) pembangunan Sport Centre di Papua,
    (14) pembangunan patung Kristus Raja di Tanjung Kayu Batu, Kota Jayapura ,
    (15) pembangunan RSUD di beberapa simpul di Papua,
    (16) pembangunan rumah dan air bersih untuk orang asli Papua,
    (17) pembangunan gedung baru MRP,
    (18) penanaman pohon trembesi,
    (19) permohonan kunjungan Presiden ke Papua, dan
    (20) permohonan pertemuan Presiden SBY dan para Bupati/Walikota se-Papua.
    Usulan kemudian ditanggapi pemerintah pusat dengan berjanji akan merubah dan merevisi Undang – undang N0.21 Tahun 2001 JO Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang N0. 1 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Bahkan, janjinya akan di genapi pada kunjunganya ke Papua pada perayaan hut kemerdekaan RI.
    Suaka politik maupun grasi kewenangan diluar urusan otonomi khusus Papua. Pemerintah daerah sebatas memberi usulan. Langkah Enembe perlu mendapat dukungan dalam gebrakannya menyuarakan permasalahan hukum yang bukan kewenanganya dalam roda otsus. Namun, tindakan sang gubernur tak perlu meniadakan penegakan ham di Papua.
    Status tahanan politik maupun narapidana politik tak harus di sederhanakan derajadnya kebawah grasi semata. Tahanan politik Gerakan Aceh Merdeka maupun sejumlah afiliasi GAM mendapat tempat yang lebih adil dari pembebasan mereka. Kenapa soal Papua malah dikerdilkan?
    Devinisi Tapol maupun Napol yang di urai Wikipedia Indonesia menyangkut hak dan konteks status sesorang tahanan politik atau pidana biasa. Tahanan politik atau sering disingkat sebagai  tapol adalah seseorang yang ditahan tempat rumah tahanan atau tempat pembuangan (kamp konsentrasi), misalnya dalam kasus tahanan rumah, karena memiliki ide - ide atau pandangan yang dianggap menentang pemerintah atau membahayakan kekuasaannegara. Bentuknya dapat pula berupa tahanan nurani, yaitu penghilangan kemerdekaan berbicara.
    Tahanan politik berbeda dengan tahanan kriminal. Tahanan politik ditahan karena tindakanya yang dianggap berlawanan dengan garis-garis pemikiran dan kebijakan pemerintah. Tahanan berbeda dengan narapidana. Tahanan adalah seorang yang ditahan dan belum melalui proses peradilan, sedangkan narapidana telah melalui peradilan final.
    Seringkali terjadi para tahanan politik mengalami penahanan tanpa pembelaan hukum, yaitu melalui proses-proses di luar pengadilan (ekstra yudisial).
    Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa para tahanan politik ditangkap dan disidangkan melalui pembelaan hukum, akan tetapi mengalami tuduhan - tuduhan kriminal palsu, bukti-bukti yang telah dipersiapkan, serta persidangan yang tidak adil. Dengan demikian tersamarkanlah kenyataan bahwa orang yang disidangkan tersebut sebenarnya adalah tahanan politik.
    Hal seperti ini biasa terjadi dalam situasi-situasi yang secara nasional maupun internasional, rentan terhadap tuduhan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan pengekangan perlawanan politik.
    Seorang tahanan politik dapat juga merupakan orang yang secara tak adil tidak diperbolehkan memperoleh penjaminan, ditolak pengampunan yang selayaknya diterima untuk tahanan dengan kejahatan yang sebanding, atau dikenakan hukuman melalui kekuasaan khusus pihak kehakiman.
    Terutama dalam kasus yang disebut terakhir ini, penilaian bahwa seseorang mengalami tahanan politik atau tidak akan dapat tergantung pada pandanganpolitik yang subyektif, atau pada cara menginterpretasikan bukti-bukti yang ada.
    Pemahaman apakah seseorang sebagai tahanan politik atau tahanan biasa pun santer akhir akhir ini di Papua. Pemerintah menolak adanya tahanan politik. Bagi pemerintah, orang orang tersebut terbukti melanggar pasal pasal makar (pidana).
    Menanggapi grasi, kepada antara news, Nazarudin Bunas mengatakan Tahanan Politik atau Narapidana politik (Tapol/Napol) di provinsi Papua, sebagian besar menolak untuk mengajukan grasi atau permohonan pengurangan masa hukuman lainnya karena selalu merasa tidak bersalah, padahal telah medapat vonis hakim pengadilan.
    Ia menjelaskan, keadaan tersebut telah mnejadi salah satu kendala paling besar yang dihadapi dalam mengusahakan pengurangan hukuman bagi napi bersangkutan.
    “Sebab berapapun besarnya peluang seorang tapol/napol mendapatkan pengurangan hukuman dalam hal ini grasi dari presiden, akan tetapi pengajuan permohonan grasi itu harus datang dari mereka sendiri. Jadi bagaimana bisa mendapatkan grasi kalau yang bersangkutan tidak pernah mengajukannya,” terang Nazarudin Bunas.Ia menambahkan, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar saat mengunjungi ke Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, Papua beberapa waktu lalu, telah berjanji akan mencari solusi terbaik bagi tapol/napol di Papua.
    Sepertinya devinisi tapol belum dipahami sejatinya oleh pemerintah sehingga dengan mudah mengedepankan grasi bagi penyelesaian masalah. Mentri Hukum dan HAM maupun Gubernur Papua telah mengakui adanya tapol dan napol. Tertulis pada paoin ke-2 usulan gubernur Papua mengindikasikan bahwa dia sendiri akui adanya tapol.
    Dasar hukum pemberian grasi oleh Presiden adalah pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Pemberian Grasi diatur juga dalam UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
    UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi. Pasal 2 ayat 3 mengatakan; Ketentuan ini (grasi) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif. Bagaimana jika subjek grasi menolaknya?
    Seluruh tahanan di Papua yang berjumlah puluhan orang yang ramai ramai mengirim tandatangan menolak rencana pemerintah memberikan grasi dengan dasar mereka adalah pejuang politik tetapi di sederhanakan oleh negara Indonesia sebagai tahanan biasa. Maka itu mereka yang dianggap (tapol/napol) menolak.
    Penerapan hukum di negeri ini memang ikut maunya penguasa. Oknum oknum dengan label pejabat negara, hendak menjarah negara hukum keadilan. Jangankan penyederhaan tahanan politik ke tahanan biasa. Polisi di Jakarta melanggar statuta sepak bola dengan melarang supporter Persipura ikut nonton. Padahal aturan sepak bola hanya ada pertandingan tanpa supporter. Bukan pertandingan hanya satu supporter dari klub tertentu.
    Begitu juga dengan otsus plus di Papua bisa beranak grasi bagi tapol napol. Padahal, tapol atau napol diampuni tak harus dengan grasi. Dan pelecehan kemanusiaan akibat kekeliruan penerapan hukum dan ham di negri ini menyimak permasalahan kemanusiaan Papua saat ini.

    Diskusi Interaktif "Pembebasan Tahanan Politik sebagai Agenda Damai Papua"

    Diskusi Interaktif "Pembebasan Tahanan Politik sebagai Agenda Damai Papua"

    Ayo dukung dan hadiri acara diskusi interaktif sekaligus aksi damai mendukung pembebasan tapol-napol Papua. Diskusi ini akan berlansung: 
    16 Mei 2013 11:00 - 15:00 WIB, di Jl. Borobudur No. 14 Menteng, 10320
    Tidak ada demokrasi di Indonesia, tanpa kebebasan berekspresi dan berposisi di Papua | Tak boleh ada pemenjaraan atas dasar sikap politik.

    Acara:
    11.00 - 11.05: Pembukaan dan lagu 'Satu Papua';

    11.05 - 11:20: Perkenalan dan demo website orang-orang Papua dalam jeruji http://www.papuansbehindbars.org/; penyerahan buletin orang-orang Papua dalam jeruji pada anak tapol Papua dan mantan tapol Indonesia.

    11.20 - 11.25: Lagu Jeruji

    11.25 - 13.15: Diskusi interaktif bersama Albert Hasibuan (Dewan Pertimbangan Presiden bid. Hukum & HAM); Denny Indrayana (Wakil Menteri Hukum dan HAM); Haris Azhar (Koordinator KONTRAS); Peneas Lokbere (Koordinator Bersatu untuk Kebenaran-BUK), dan Dirjen Lapas.

    13.15 - 13.30: Penutup

    13.30 - 14.30: Makan Siang

    14:30 - 15.30: Aksi solidaritas pembebasan TAPOL-NAPOL

    15.30 - 17.o0: Aksi Kamisan bersama jaringan Solidaritas Keluarga Korban
    ___________

    Latar Belakang

    Keberadaan Tapol merupakan kendala utama untuk membangun saling percaya antara warga Papua dengan pemerintah di Jakarta. Penelitian LIPI dalam buku Road Map Papua memberi rekomendasi bahwa pembebasan Tapol/Napol adalah sebuah prasyarat untuk dialog damai dan membangun kepercayaan diantara kedua belah pihak. Namun pemerintah justru menolak keberadaan Tapol/Napol di Papua dan menganggapnya sebagai tahanan kriminal. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin saat melakukan kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) Abepura Jayapura, 5 Maret 2011, menyatakan bahwa tidak ada tahanan politik di Papua, hal tersebut juga dipertegas oleh pernyataan menteri Koordinator Politik dan hukum dan Keamanan Djoko Suyanto.

    Padahal keberadaan Para Tapol tersebut telah menjadi sorotan masyarakat International. Dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) pada 23/5/2012 di Jenewa, keberadaan para Tapol/napol Papua juga menjadi sorotan dalam forum tersebut.

    Selain proses politik dan hukum, perlakuan kemanusiaan atas para Tapol dalam tahanan juga sangat memprihatinkan. Beberapa Tapol/Napol yang sakit tidak mendapat perhatian dari pemerintah seperti yang dialami oleh Kimanus Wenda, seorang Tapol yang divonis 20 tahun dalam kasus Wamena. Menurut dokter, Kimanus menderita Tumor pada perut sehingga dirujuk ke Rumah Sakit Jayapura. KontraS dan perwakilan dari Papua bertemu Wakil Menteri Hukum dan HAM agar Kimanus mendapatkan perawatan yang layak. Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM, “Kimanus Wenda akan dibiayai Pemerintah, Negara punya dana, apalagi tahanan Politik. Saya akan berupaya”. Namun pernyataan pejabat pemerintah itu ternyata tidak terbukti dilapangan.

    Menyikapi agenda damai Papua, Amnesty/Pembebasan Tapol/Napol bisa menjadi pintu masuk untuk membangun kepercayaan dan menjadi bagian dari dialog damai antara Papua dan pemerintah. Dalam kerangka itu National Papua Solidarity (NAPAS) dan KontraS akan mengadakan sebuah diskusi bertemakan:

    ”Pembebasan Tahanan Politik Sebagai Agenda Damai Papua ”.

    Acara ini juga sebagai bagian dari launching situs http://www.papuansbehindbars.org/ sebuah situs untuk mengampanyekan situasi dan kondisi para Tapol dan Napol Papua yang jauh dari pemberitaan media. Dengan situs ini diharapkan publik dapat menaruh perhatian pada nasib Tapol/Napol Papua dan meminta pemerintah Indonesia untuk berdialog untuk membebaskan semua Tapol/Napol tanpa syarat, sebagai pertanda komitmen pemerintah pada HAM dan reformasi.

    25 Tapol/Napol Papua Tolak Grasi

    25 Tapol/Napol Papua Tolak Grasi

    25 Tapol/Napol Papua Tolak Grasi Ilustrasi: Aktivis Papua Merdeka di persidangan. Foto: Khatarina Lita


     


    KBR68H, Jayapura- Sebanyak 25 tahanan politik dan narapidana politik (tapol/napol) di Penjara Abepura menolak grasi yang akan diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Agustus mendatang.

    Dalam rilis yang diterima KBR68H, sebanyak 25 tapol/napol menandatangani surat pernyataan tentang penolakan grasi tersebut. Salah satu tahanan politik Filep Karma menuliskan bahwa Napi menolak grasi tersebut karena tidak membutuhkan dibebaskan dari penjara, tetapi menuntut pembebasan bangsa Papua dari penjajahan negera kolonial Republik Indonesia.

    Sebelumnya DPR Papua menyebutkan, Agustus mendatang sebanyak 50-an tapol/napol akan mendapatkan grasi dari pemerintah pusat. Grasi tersebut merupakan salah satu poin dari 20 point tentang Otsus plus dibawah kepemimpinan Lukas Enembe-Klemen Tinal. 

    Diantara 50-an Napol dan Tapol yang menolak garasi tersebut yakni Filep J.S. Karma, Victor F Yeimo, Selpius Bobii, Makbrawen Sananay Krasar, Dominikus Sarabut, Beni Teno, Alex Makabori, Nico D. Sosomar, Petrus Nerotou, Denny I Hisage, Dago Ronald Gobai, Jefry Wandikbo, Mathan Klembiab, Rendy W. Wetipo, Boas Gombo, Jhon Pekei, Oliken Giyai, Panus Kogoya, Warsel Asso, Yunias Itlay, Timur Waker, Kondison Jikibalom, Serko Itlay, Japrai Murib Yulianus Wenda.(Khatarina Lita)

    Editor: Anto Sidharta

    Daftar Tapol dan Napol Papua Merdeka versi Media Sosial

    Daftar Tapol dan Napol Papua Merdeka versi Media Sosial

    ilustrasi : indonesia.ucanews.com
    ilustrasi : indonesia.ucanews.com
    Zona Damai : Jumlah tahanan politik dan narapidana politik (tapol/napol) Papua merdeka saat ini ada dua versi. Versi Pemerintah (Kemenkumham) menybeutkan, jumlah tapol/napol Papua merdeka sekitar 25 orang.
    Namun data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan sekitar 40-an orang, yang tersebar di berbagai Lapas, baik di Papua maupun di wilayah Indonesia lainnya.
    Dari beberapa situs tidak resmi seperti papuansbehindbars.org dan http://netarumtelebe.wordpress.com ditemukan sedikitnya ada 22 orang, yaitu :
    No
    N a m a  Terpidana
    Kasus
    Vonis
    1 FORKORUS YOBOISEMBUT,S.Pd Kongres Papua III,
    Lapangan Zakheus Padang bulan 9 Oktober 2011
    3 tahun
    2 EDISON WARONI Kasus kongres Papua III,
    Lapangan Zakheus padang bulan 9 Oktober 2011
    3 tahun
    3 SELPIUS BOBII Kongres Papua III,
    Lapangan Zakheus Padang bulan 9 Oktober 2011
    3 tahun
    4 AUGUS SANANAI KRAAR,Sip Kongres Papua III,
    Lapangan Zakheus Padang bulan 9 Oktober 2011
    3 tahun
    5 DOMINIKUS SORABUT Kongres Papua III,
    Lapangan Zakheus Padang bulan 9 Oktober 2011
    3 tahun
    6 FILEP KARMA Kibarkan Bendera bintang kejora 9 Oktober 2011 15 tahun
    7 FERDINAND PAKAGE   Insiden 16 Maret 2006
    Universitas Cendrawasih
    15 tahun
    8 LUIS GEDY Insiden 16 Maret 2006 Universitas Cendrawasih 15 tahun
    9 APOTNALOLIK ENOS LOKOBAL  Insiden  pembongkaran senjata Kodim Wamena 04 April 2003 Seumur hidup
    10 JEFRAY MURIP  Insiden  pembongkaran senjata Kodim Wamena 04 April 2003 Seumur hidup
    11 NUMBUNGGA TELENGGEN  Insiden  pembongkaran senjata Kodim Wamena 04 April 2003 Seumur hidup
    12 KANIUS MURIP  Insiden  pembongkaran senjata Kodim Wamena 04 April 2003 Seumur hidup
    13 MENASE TELENGGAN Penyerangan Gedung SD
    Di  karubaya 30 April 2004
    20 tahun
    14 WEWANUS WENDA Penyerangan Gedung SD di Karubaya 30 April 2004 7 tahun
    15 YOIMIN WEYA Penyerangan Gedung SD di Karubaya 30 April 2004 7 tahun
    16 YOHAN HILUKA Penyerangan Gedung SD di Karubaya 30 April 2004 7 tahun
    17 YUS WENDA Penyerangan Gedung SD di Karubaya 30 April 2004 7 tahun
    18 TIMILES TABUNI Penyerangan Gedung SD di Karubaya 30 April 2004 7 tahun
    19 LINUS HIEL HILUKA  Insiden pembongkaran senjata
    Kodim Wamena 04 april 2003
     20 tahun
    20 KIMANUS WENDA  Insiden pembongkaran senjata
    Kodim Wamena 04 april 2003
     20 tahun
    21 BUCTAR TABUNI  perusakan LP Abepura,
    Tahun 2010
    Dalam proses persidangan
    22  MARKUS YENU Demonstrasi anarkis di Manokwari  17 Januari 2013 Dalam proses persidangan

    Tapol Napol Papua Barat

    Papuans Behind Bars 
    Papua Behind Bars yang diluncurkan pada bulan April 2013, adalah sumber online tentang para tahanan politik di Papua Barat. Tujuan dari situs ini adalah untuk meningkatan kesadaran tentang tapol Papua agar tidak ada yang terlupakan. Banyak dari para tahanan telah mengalami penangkapan sewenang-wenang, kekerasan, pelecehan, penyiksaan, pengadilan yang tidak adil, intimidasi, dan peterlantaran.


    Tapol Napol Papua Barat


    Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakat Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.
    Situs ini berusaha untuk menyediakan data yang akurat dan transparan dipublikasikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia untuk mendorong debat, kampanye dan perubahan kebijakan guna mendukung peningkatan ruang demokrasi di Papua Barat.

    Termasuk adalah daftar tahanan politik yang sedang di dalam penjara, serta para mantan tapol, dan Update bulanan tentang penangkapan politik, pembebasan tahanan dan persidangan. Profil-profil individual bisa dibaca dengan klik di nama dalam daftar tahanan, atau di foto mereka. Untuk informasi lebih lanjut tentang data yang diterbitkan oleh Papua Behind Bars silahkan kunjungi Tentang Data.


     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif