Otsus Plus Beranak Grasi untuk Tapol Napol Papua
Dua puluh lima aktivis perjuangan Papua Merdeka
menolak dengan tegas adanya informasi yang di usulkan gubernur Papua
Lukas Enembe kepada pemerintah pusat terkait status para tahanan di
Papua, termasuk mereka yang di jebloskan ke dalam penjara usai melakukan
akvitas yang mengarah pada kemerdekaan. Seluruhnya menyatakan menolak
ide pemberian pengurangan hukuman dari kepala negara Republik Indonesia.
Kamus grasi tak ada dibenak para aktivis Papua ini.
Menurut kalangan pejuang kemanusiaan dan demokrasi, seorang tahanan
politik tak bisa di beri grasi, tapi seharusnya apa yang di perjuangkan
melekat pada status seseorang. Tahanan politik adalah kalimat yang
sering diungkapkan para pendekar rakyat tersebut.
“Kami menolak rencana pemberian Grasi oleh Presiden
Republik Indonesia; Kami tidak butuh dibebaskan dari penjara, tapi kami
butuh, bebaskan bangsa Papua dari penjajahan kolonial Republik
Indonesia”.
Diantara 50-an Napol dan Tapol yang menolak garasi
tersebut yakni Filep J.S. Karma, Victor F Yeimo, Selpius Bobii,
Makbrawen Sananay Krasar, Dominikus Sarabut, Beni Teno, Alex Makabori,
Nico D. Sosomar, Petrus Nerotou, Denny I Hisage, Dago Ronald Gobai,
Jefry Wandikbo, Mathan Klembiab, Rendy W. Wetipo, Boas Gombo, Jhon
Pekei, Oliken Giyai, Panus Kogoya, Warsel Asso, Yunias Itlay, Timur
Waker, Kondison Jikibalom, Serko Itlay, Japrai Murib Yulianus Wenda.
Sebelumnya, kabar adanya grasi mengemuka setelah
poin poin yang diajukan Gubernur Papua, Lukas Enembe kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, tentang tapol/napol ada pada poin ke dua dari
20 butir usulan.
Telah saya tulis sebelumnya; Zona Dagang Pasifik Peluang Bagi Papua Merdeka?.
Bahwa tujuan politik Enembe dengan konsep otsus plus afiliasi negara
federal dalam bingkai NKRI. Sayang, poin poin yang di bawa sang gubernur
sebelum menghadap presiden di Istana sudah di cabik-cabik lebih dahulu
oleh pembantu presiden Velix Wanggai.
Jubi Papua yang dilansir zonadamai,
memuat dua puluh (20) poin usulan pemerintahan otsus Papua.
Diantaranya; terakit kewengan hubungan luar negeri yang tak ada pada
otsus harus diberikan secara terbatas. Kemudian adanya permintaan bagi
pemda otsus untuk urusan perhubungan. Lalu, soal fiscal dan moneter
(keuangan) soal Freeport.
Jadi intinya, 20 poin yang dimaksud adalah agar
pemerintah menambahkan kewenangan pemerintahan otsus dalam urusan;
pertahanan dan keamanan, fiskal dan moneter, perhubungan serta urusan
luar negeri.
(1) Otsus Plus,
(2) komunikasi dengan kelompok-kelompok Papua Merdeka, dan amnesty TAPOL/NAPOL,
(3) Pemda ikut dalam Re-Negosiasi PT. Freeport Indonesia,
(4) kewenangan terbatas di bidang luar negeri terutama penguatan hubungan Indonesia-kawasan pasifik,
(5)pembukaan jalur internasional melalui Bandara Frans Kaisepo-Biak,
(6) perlunya rencana tata ruang pertahanan,
(7) penguatan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah,
(8) afirmatif untuk Papua di TNI, Polri, Kementrian, dan BUMN,
(9) perencanangan Trans Papua,
(10) pencanangan landmark jembatan holtekamp, Kota Jayapura.
(11) peningkatan dana tambahan infrastruktur Otsus Papua,
(12) pengajuan Papua sebagai tuan rumah PON XX Tahun 2020,
(13) pembangunan Sport Centre di Papua,
(14) pembangunan patung Kristus Raja di Tanjung Kayu Batu, Kota Jayapura ,
(15) pembangunan RSUD di beberapa simpul di Papua,
(16) pembangunan rumah dan air bersih untuk orang asli Papua,
(17) pembangunan gedung baru MRP,
(18) penanaman pohon trembesi,
(19) permohonan kunjungan Presiden ke Papua, dan
(20) permohonan pertemuan Presiden SBY dan para Bupati/Walikota se-Papua.
Usulan kemudian ditanggapi pemerintah pusat dengan
berjanji akan merubah dan merevisi Undang – undang N0.21 Tahun 2001 JO
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang N0. 1 Tahun 2008 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Bahkan,
janjinya akan di genapi pada kunjunganya ke Papua pada perayaan hut
kemerdekaan RI.
Suaka politik maupun grasi kewenangan diluar urusan
otonomi khusus Papua. Pemerintah daerah sebatas memberi usulan. Langkah
Enembe perlu mendapat dukungan dalam gebrakannya menyuarakan
permasalahan hukum yang bukan kewenanganya dalam roda otsus. Namun,
tindakan sang gubernur tak perlu meniadakan penegakan ham di Papua.
Status tahanan politik maupun narapidana politik
tak harus di sederhanakan derajadnya kebawah grasi semata. Tahanan
politik Gerakan Aceh Merdeka maupun sejumlah afiliasi GAM mendapat
tempat yang lebih adil dari pembebasan mereka. Kenapa soal Papua malah
dikerdilkan?
Devinisi Tapol maupun Napol yang di urai Wikipedia
Indonesia menyangkut hak dan konteks status sesorang tahanan politik
atau pidana biasa. Tahanan politik atau sering disingkat sebagai tapol
adalah seseorang yang ditahan tempat rumah tahanan atau tempat
pembuangan (kamp konsentrasi), misalnya dalam kasus tahanan rumah,
karena memiliki ide - ide atau pandangan yang dianggap menentang
pemerintah atau membahayakan kekuasaannegara. Bentuknya dapat pula
berupa tahanan nurani, yaitu penghilangan kemerdekaan berbicara.
Tahanan politik berbeda dengan tahanan kriminal.
Tahanan politik ditahan karena tindakanya yang dianggap berlawanan
dengan garis-garis pemikiran dan kebijakan pemerintah. Tahanan berbeda
dengan narapidana. Tahanan adalah seorang yang ditahan dan belum melalui
proses peradilan, sedangkan narapidana telah melalui peradilan final.
Seringkali terjadi para tahanan politik mengalami
penahanan tanpa pembelaan hukum, yaitu melalui proses-proses di luar
pengadilan (ekstra yudisial).
Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa para tahanan
politik ditangkap dan disidangkan melalui pembelaan hukum, akan tetapi
mengalami tuduhan - tuduhan kriminal palsu, bukti-bukti yang telah
dipersiapkan, serta persidangan yang tidak adil. Dengan demikian
tersamarkanlah kenyataan bahwa orang yang disidangkan tersebut
sebenarnya adalah tahanan politik.
Hal seperti ini biasa terjadi dalam situasi-situasi
yang secara nasional maupun internasional, rentan terhadap tuduhan
pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan pengekangan perlawanan
politik.
Seorang tahanan politik dapat juga merupakan orang
yang secara tak adil tidak diperbolehkan memperoleh penjaminan, ditolak
pengampunan yang selayaknya diterima untuk tahanan dengan kejahatan yang
sebanding, atau dikenakan hukuman melalui kekuasaan khusus pihak
kehakiman.
Terutama dalam kasus yang disebut terakhir ini,
penilaian bahwa seseorang mengalami tahanan politik atau tidak akan
dapat tergantung pada pandanganpolitik yang subyektif, atau pada cara
menginterpretasikan bukti-bukti yang ada.
Pemahaman apakah seseorang sebagai tahanan politik
atau tahanan biasa pun santer akhir akhir ini di Papua. Pemerintah
menolak adanya tahanan politik. Bagi pemerintah, orang orang tersebut
terbukti melanggar pasal pasal makar (pidana).
Menanggapi grasi, kepada antara news,
Nazarudin Bunas mengatakan Tahanan Politik atau Narapidana politik
(Tapol/Napol) di provinsi Papua, sebagian besar menolak untuk mengajukan
grasi atau permohonan pengurangan masa hukuman lainnya karena selalu
merasa tidak bersalah, padahal telah medapat vonis hakim pengadilan.
Ia menjelaskan, keadaan tersebut telah mnejadi
salah satu kendala paling besar yang dihadapi dalam mengusahakan
pengurangan hukuman bagi napi bersangkutan.
“Sebab berapapun besarnya peluang seorang
tapol/napol mendapatkan pengurangan hukuman dalam hal ini grasi dari
presiden, akan tetapi pengajuan permohonan grasi itu harus datang dari
mereka sendiri. Jadi bagaimana bisa mendapatkan grasi kalau yang
bersangkutan tidak pernah mengajukannya,” terang Nazarudin Bunas.Ia
menambahkan, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar saat
mengunjungi ke Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, Papua beberapa waktu
lalu, telah berjanji akan mencari solusi terbaik bagi tapol/napol di
Papua.
Sepertinya devinisi tapol belum dipahami sejatinya
oleh pemerintah sehingga dengan mudah mengedepankan grasi bagi
penyelesaian masalah. Mentri Hukum dan HAM maupun Gubernur Papua telah
mengakui adanya tapol dan napol. Tertulis pada paoin ke-2 usulan
gubernur Papua mengindikasikan bahwa dia sendiri akui adanya tapol.
Dasar hukum pemberian grasi oleh Presiden adalah
pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Presiden memberi grasi
dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pemberian Grasi diatur juga dalam UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan
UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan UU No 22 Tahun
2002 Tentang Grasi. Pasal 2 ayat 3 mengatakan; Ketentuan ini (grasi)
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan
permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif. Bagaimana
jika subjek grasi menolaknya?
Seluruh tahanan di Papua yang berjumlah puluhan
orang yang ramai ramai mengirim tandatangan menolak rencana pemerintah
memberikan grasi dengan dasar mereka adalah pejuang politik tetapi di
sederhanakan oleh negara Indonesia sebagai tahanan biasa. Maka itu
mereka yang dianggap (tapol/napol) menolak.
Penerapan hukum di negeri ini memang ikut maunya
penguasa. Oknum oknum dengan label pejabat negara, hendak menjarah
negara hukum keadilan. Jangankan penyederhaan tahanan politik ke tahanan
biasa. Polisi di Jakarta melanggar statuta sepak bola dengan melarang
supporter Persipura ikut nonton. Padahal aturan sepak bola hanya ada
pertandingan tanpa supporter. Bukan pertandingan hanya satu supporter
dari klub tertentu.
Begitu juga dengan otsus plus di Papua bisa beranak
grasi bagi tapol napol. Padahal, tapol atau napol diampuni tak harus
dengan grasi. Dan pelecehan kemanusiaan akibat kekeliruan penerapan
hukum dan ham di negri ini menyimak permasalahan kemanusiaan Papua saat
ini.