photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » , » Otsus Plus Beranak Grasi untuk Tapol Napol Papua

Otsus Plus Beranak Grasi untuk Tapol Napol Papua

Otsus Plus Beranak Grasi untuk Tapol Napol Papua

Dua puluh lima aktivis perjuangan Papua Merdeka menolak dengan tegas adanya informasi yang di usulkan gubernur Papua Lukas Enembe kepada pemerintah pusat terkait status para tahanan di Papua, termasuk mereka yang di jebloskan ke dalam penjara usai melakukan akvitas yang mengarah pada kemerdekaan. Seluruhnya menyatakan menolak ide pemberian pengurangan hukuman dari kepala negara Republik Indonesia.

Kamus grasi tak ada dibenak para aktivis Papua ini. Menurut kalangan pejuang kemanusiaan dan demokrasi, seorang tahanan politik tak bisa di beri grasi, tapi seharusnya apa yang di perjuangkan melekat pada status seseorang. Tahanan politik adalah kalimat yang sering diungkapkan para pendekar rakyat tersebut.
“Kami menolak rencana pemberian Grasi oleh Presiden Republik Indonesia; Kami tidak butuh dibebaskan dari penjara, tapi kami butuh, bebaskan bangsa Papua dari penjajahan kolonial Republik Indonesia”.

Diantara 50-an Napol dan Tapol yang menolak garasi tersebut yakni Filep J.S. Karma, Victor F Yeimo, Selpius Bobii, Makbrawen Sananay Krasar, Dominikus Sarabut, Beni Teno, Alex Makabori, Nico D. Sosomar, Petrus Nerotou, Denny I Hisage, Dago Ronald Gobai, Jefry Wandikbo, Mathan Klembiab, Rendy W. Wetipo, Boas Gombo, Jhon Pekei, Oliken Giyai, Panus Kogoya, Warsel Asso, Yunias Itlay, Timur Waker, Kondison Jikibalom, Serko Itlay, Japrai Murib Yulianus Wenda.

Sebelumnya, kabar adanya grasi mengemuka setelah poin poin yang diajukan Gubernur Papua, Lukas Enembe kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tentang tapol/napol ada pada poin ke dua dari 20 butir usulan.
Telah saya tulis sebelumnya; Zona Dagang Pasifik Peluang Bagi Papua Merdeka?.  Bahwa tujuan politik Enembe dengan konsep otsus plus afiliasi negara federal dalam bingkai NKRI. Sayang, poin poin yang di bawa sang gubernur sebelum menghadap presiden di Istana sudah di cabik-cabik lebih dahulu oleh pembantu presiden Velix Wanggai.
Jubi Papua yang dilansir zonadamai, memuat dua puluh (20) poin usulan pemerintahan otsus Papua. Diantaranya; terakit kewengan hubungan luar negeri yang tak ada pada otsus harus diberikan secara terbatas. Kemudian adanya permintaan bagi pemda otsus untuk urusan perhubungan. Lalu, soal fiscal dan moneter (keuangan) soal Freeport.

Jadi intinya, 20 poin yang dimaksud adalah agar pemerintah menambahkan kewenangan pemerintahan otsus dalam urusan; pertahanan dan keamanan, fiskal dan moneter, perhubungan serta urusan luar negeri.
(1) Otsus Plus,
(2) komunikasi dengan kelompok-kelompok Papua Merdeka, dan amnesty TAPOL/NAPOL,
(3) Pemda ikut dalam Re-Negosiasi PT. Freeport Indonesia,
(4) kewenangan terbatas di bidang luar negeri terutama penguatan hubungan Indonesia-kawasan pasifik,
(5)pembukaan jalur internasional melalui Bandara Frans Kaisepo-Biak,
(6) perlunya rencana tata ruang pertahanan,
(7) penguatan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah,
(8) afirmatif untuk Papua di TNI, Polri, Kementrian, dan BUMN,
(9) perencanangan Trans Papua,
(10) pencanangan landmark jembatan holtekamp, Kota Jayapura.
(11) peningkatan dana tambahan infrastruktur Otsus Papua,
(12) pengajuan Papua sebagai tuan rumah PON XX Tahun 2020,
(13) pembangunan Sport Centre di Papua,
(14) pembangunan patung Kristus Raja di Tanjung Kayu Batu, Kota Jayapura ,
(15) pembangunan RSUD di beberapa simpul di Papua,
(16) pembangunan rumah dan air bersih untuk orang asli Papua,
(17) pembangunan gedung baru MRP,
(18) penanaman pohon trembesi,
(19) permohonan kunjungan Presiden ke Papua, dan
(20) permohonan pertemuan Presiden SBY dan para Bupati/Walikota se-Papua.
Usulan kemudian ditanggapi pemerintah pusat dengan berjanji akan merubah dan merevisi Undang – undang N0.21 Tahun 2001 JO Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang N0. 1 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Bahkan, janjinya akan di genapi pada kunjunganya ke Papua pada perayaan hut kemerdekaan RI.
Suaka politik maupun grasi kewenangan diluar urusan otonomi khusus Papua. Pemerintah daerah sebatas memberi usulan. Langkah Enembe perlu mendapat dukungan dalam gebrakannya menyuarakan permasalahan hukum yang bukan kewenanganya dalam roda otsus. Namun, tindakan sang gubernur tak perlu meniadakan penegakan ham di Papua.
Status tahanan politik maupun narapidana politik tak harus di sederhanakan derajadnya kebawah grasi semata. Tahanan politik Gerakan Aceh Merdeka maupun sejumlah afiliasi GAM mendapat tempat yang lebih adil dari pembebasan mereka. Kenapa soal Papua malah dikerdilkan?
Devinisi Tapol maupun Napol yang di urai Wikipedia Indonesia menyangkut hak dan konteks status sesorang tahanan politik atau pidana biasa. Tahanan politik atau sering disingkat sebagai  tapol adalah seseorang yang ditahan tempat rumah tahanan atau tempat pembuangan (kamp konsentrasi), misalnya dalam kasus tahanan rumah, karena memiliki ide - ide atau pandangan yang dianggap menentang pemerintah atau membahayakan kekuasaannegara. Bentuknya dapat pula berupa tahanan nurani, yaitu penghilangan kemerdekaan berbicara.
Tahanan politik berbeda dengan tahanan kriminal. Tahanan politik ditahan karena tindakanya yang dianggap berlawanan dengan garis-garis pemikiran dan kebijakan pemerintah. Tahanan berbeda dengan narapidana. Tahanan adalah seorang yang ditahan dan belum melalui proses peradilan, sedangkan narapidana telah melalui peradilan final.
Seringkali terjadi para tahanan politik mengalami penahanan tanpa pembelaan hukum, yaitu melalui proses-proses di luar pengadilan (ekstra yudisial).
Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa para tahanan politik ditangkap dan disidangkan melalui pembelaan hukum, akan tetapi mengalami tuduhan - tuduhan kriminal palsu, bukti-bukti yang telah dipersiapkan, serta persidangan yang tidak adil. Dengan demikian tersamarkanlah kenyataan bahwa orang yang disidangkan tersebut sebenarnya adalah tahanan politik.
Hal seperti ini biasa terjadi dalam situasi-situasi yang secara nasional maupun internasional, rentan terhadap tuduhan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan pengekangan perlawanan politik.
Seorang tahanan politik dapat juga merupakan orang yang secara tak adil tidak diperbolehkan memperoleh penjaminan, ditolak pengampunan yang selayaknya diterima untuk tahanan dengan kejahatan yang sebanding, atau dikenakan hukuman melalui kekuasaan khusus pihak kehakiman.
Terutama dalam kasus yang disebut terakhir ini, penilaian bahwa seseorang mengalami tahanan politik atau tidak akan dapat tergantung pada pandanganpolitik yang subyektif, atau pada cara menginterpretasikan bukti-bukti yang ada.
Pemahaman apakah seseorang sebagai tahanan politik atau tahanan biasa pun santer akhir akhir ini di Papua. Pemerintah menolak adanya tahanan politik. Bagi pemerintah, orang orang tersebut terbukti melanggar pasal pasal makar (pidana).
Menanggapi grasi, kepada antara news, Nazarudin Bunas mengatakan Tahanan Politik atau Narapidana politik (Tapol/Napol) di provinsi Papua, sebagian besar menolak untuk mengajukan grasi atau permohonan pengurangan masa hukuman lainnya karena selalu merasa tidak bersalah, padahal telah medapat vonis hakim pengadilan.
Ia menjelaskan, keadaan tersebut telah mnejadi salah satu kendala paling besar yang dihadapi dalam mengusahakan pengurangan hukuman bagi napi bersangkutan.
“Sebab berapapun besarnya peluang seorang tapol/napol mendapatkan pengurangan hukuman dalam hal ini grasi dari presiden, akan tetapi pengajuan permohonan grasi itu harus datang dari mereka sendiri. Jadi bagaimana bisa mendapatkan grasi kalau yang bersangkutan tidak pernah mengajukannya,” terang Nazarudin Bunas.Ia menambahkan, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar saat mengunjungi ke Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, Papua beberapa waktu lalu, telah berjanji akan mencari solusi terbaik bagi tapol/napol di Papua.
Sepertinya devinisi tapol belum dipahami sejatinya oleh pemerintah sehingga dengan mudah mengedepankan grasi bagi penyelesaian masalah. Mentri Hukum dan HAM maupun Gubernur Papua telah mengakui adanya tapol dan napol. Tertulis pada paoin ke-2 usulan gubernur Papua mengindikasikan bahwa dia sendiri akui adanya tapol.
Dasar hukum pemberian grasi oleh Presiden adalah pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Pemberian Grasi diatur juga dalam UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi. Pasal 2 ayat 3 mengatakan; Ketentuan ini (grasi) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif. Bagaimana jika subjek grasi menolaknya?
Seluruh tahanan di Papua yang berjumlah puluhan orang yang ramai ramai mengirim tandatangan menolak rencana pemerintah memberikan grasi dengan dasar mereka adalah pejuang politik tetapi di sederhanakan oleh negara Indonesia sebagai tahanan biasa. Maka itu mereka yang dianggap (tapol/napol) menolak.
Penerapan hukum di negeri ini memang ikut maunya penguasa. Oknum oknum dengan label pejabat negara, hendak menjarah negara hukum keadilan. Jangankan penyederhaan tahanan politik ke tahanan biasa. Polisi di Jakarta melanggar statuta sepak bola dengan melarang supporter Persipura ikut nonton. Padahal aturan sepak bola hanya ada pertandingan tanpa supporter. Bukan pertandingan hanya satu supporter dari klub tertentu.
Begitu juga dengan otsus plus di Papua bisa beranak grasi bagi tapol napol. Padahal, tapol atau napol diampuni tak harus dengan grasi. Dan pelecehan kemanusiaan akibat kekeliruan penerapan hukum dan ham di negri ini menyimak permasalahan kemanusiaan Papua saat ini.
Share this post :