Kekerasan Perempuan Papua Dan Jalan Pembebasannya
Ditulis oleh :Heni Lani
Perlawanan Mama Mama pedagang pasar di Jayapura |
Rubrik: Perempuan Papua
Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 02/2013
Perempuan Papua adalah korban kekerasan ganda negara. Dalam lapis pertama perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) serta percobaan perkosaan. Dalam lapis kedua, perempuan mengalami kekerasan non seksual seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan perampasan harta benda. Kekerasan yang dilakukan berbentuk fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau didukung oleh aparat negara.
Kekerasan oleh negara sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, Pemerintah Belanda dan aneksasi pemerintah Indonesia melalui operasi militer sejak tahun 1961 hingga sekarang. Sejak tahun 1963-2009, negara telah melakukan kekerasan terhadap 138 perempuan Papua dengan 52 kasus perkosaan, 24 kasus pengungsian saat operasi militer dan kelaparan, 21 kasus penganiayaan, 18 kasus penahanan sewenang-wenang. Sisanya mengalami penyiksaan, pembunuhan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Sebanyak 133 perempuan mengaku mengalami kekerasan dari militer, 20 kasus kekerasan dari polisi, 6 kasus kekerasan dari militer dan polisi (gabungan) dan 5 kasus kekerasan dari aparat negara lain. Sejak tahun 1963-2004, berdasarkan nama operasi militer, telah terjadi sedikitnya 24 Operasi Militer di Papua.
Perempuan juga bisa ditangkap karena dituduh mengibarkan bendera Bintang Kejora seperti yang dialami, Mama Persila Yakadewa dan tiga perempuan lainnya pada tahun 1980. Tahun 1994, Mama Yosepha Alomang dan Yuliana Magal ditangkap karena membelikan pakaian dan jaring ikan untuk komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), Kelly Kwalik.
Kaum perempuan juga menjadi sasaran kekerasan dalam demonstrasi damai. Mei 2005 Marike Kotouki ditikam di kepala dengan sangkur oleh seorang anggota Brimob. Penangkapan dengan kekerasan juga menimpa Milka Siep, Debora Penggu, Raga Kogoya dan penulis yang ditangkap polisi dalam aksi damai menuntut “Bebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage Tanpa Syarat” di Pengadilan Negeri Jayapura.
Mama-mama Papua yang ulet berdagang diemperan pasar dan jalan juga menjadi sasaran kekerasan penggusuran Satpol PP sepert kejadian di pasar Ampera, Jayapura. Perempuan di wilayah adat Anim-Ha (Merauke) juga harus tergusur dari tanahnya, dusun-dusun sagu, sungai dan hewan buruan karena tanah adatnya dirampas oleh negara untuk proyek raksasa MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Perempuan di wilayah adat Mamberamo-Tami (Keerom, Jayapura) juga kehilangan tanah, dusun-dusun sagu serta hutan sumber daging dan sayur genemo, karena dirampas oleh negara dan disulap menjadi jutaan hektar lahan kelapa sawit milik PT. PN (Perkebunan Negara) dan sekarang telah menjadi milik PT. Sinar Mas.
Kekerasan negara menjelaskan bahwa aparat keamanan, telah melakukan tindakan-yang militeristik terhadap perempuan dan rakyat Papua. Karena itu militerisme berkiat dengan kepentingan kaum perempuan Papua. Negara juga telah melakukan kontrol atas tubuh perempuan, mengeksploitasi perempuan secara gender dan ekonomi-politik. Karena itu Patriarki juga menjadi musuh utama perempuan Papua. Kekerasan negara juga membuktikan keterkaitan antara kekerasan di Papua dan kepentingan negara kapitalis untuk mengeksploitasi rakyat Indonesia dan Papua. Militer dan polisi pelaku kekerasan dididik dan dilatih oleh negara-negara kapitalis. Persenjataan juga diproduksi oleh industri kapitalis dan dikirim berdasarkan kerja sama dengan pemerintah RI. Karena itu,perempuan Papua sangat berkepentingan untuk juga menghubungkan perjuangannya dengan tuntutan anti Kapitalisme.
Perempuan harus mencari jalan keluar dari penindasanya sebagai perjuangan melawan penindasan yang lebih luas sebagai sebuah bangsa dan sebagai sebuah kelas. Perempuan harus membangun organisasi perempuan yang progresif dan militan untuk terus mendiskusikan, menganalisa dan menyimpulkan persoalan-persoalan penindasan dan eksploitasi perempuan secara ekonomi politik sebagai bagian dari pembebasan nasional Papua. Kaum perempuan juga harus membangun solidaritas dengan gerakan pembebasan perempuan di Papua, Indonesia dan Internasional.
Dalam tubuh gerakan pembebasan nasional Papua juga harus memiliki perspektif pembebasan perempuan. Perjuangan pembebasan nasional Papua sejalan dengan perjuangan pembebasan perempuan Papua. Tidak ada pembebasan nasional Papua tanpa pembebasan perempuan. Karena pembebasan perempuan adalah syarat bagi pembebasan nasional Papua itu sendiri.
Heni Lani, Staf Divisi Kampanye NAPAS