OPM
ada atas dasar; Harga Diri, Hak, Budaya, Latar belakang sejarah,
Realitas sekarang, dan Dampak kedepannya. BUKAN merupakan Gerakan
Separatis. Melainkan, jiwa kemanusiaan.
Operasi Trikora konflik
selama 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah
Papua Barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden
Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara
Yogyakarta.
Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor
Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah
merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk
menggabungkan Papua Barat ke Indonesia.
Saat Operasi Trikora
berjalan, di saat itu lah ada perlawanan. Dan sampai saat ini masih ada
sikap Perlawanan dari rakyat Papua Barat secara umum. Stigma yang
dibangun oleh rezim Republik Indonesia adalah OPM itu Separatis. Apakah
betul? TIDAK.
Sikap Perlawanan inilah yang dikatakan Separatis.
Mengapa Masih Ada Sikap Perlawanan?
Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda dan Jepang, kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebagai berikut:
Pertama; Sebelum adanya penjajahan
asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari
50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders).
Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis
sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara
turun-temurun.
Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan
tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai contoh, seorang
Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi
masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai.
Dari
dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat
garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika
itu.
Kedua; Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang.
Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun
1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki
garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu.
Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita
Manufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk
memerdekakan diri di luar penjajahan asing.
Ketiga; Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat.
Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir
ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64
tahun (1898-1962).
Keempat; Batas negara Indonesia menurut
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh
sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«.
Mohammed Hatta
(almarhum), wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang
dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I,
pokok Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).
Kelima; Pada
Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag
(Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia
bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Keenam; Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah
pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national
»Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama negara
»Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea
Raad / NGR (Dewan New Guinea).
NGR didirikan pada tanggal 5 April
1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan
pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah
diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh; Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan
daerah perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan
daerah perselisihan internasional (international dispute region).
Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik
internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan
sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan
sejarah.
Kedelapan; Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun
1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum
PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa
pemerintah Indonesia (P.J. Drooglever, 2005).
Adanya masalah
Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai
sejarah Papua Barat di dunia politik internasional.
Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima
hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali
memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar
prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat lebih lanjut pokok tentang
Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Kesembilan; Rakyat
Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah
menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian
dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada
konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas
bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Johan Ariks (alm.),
tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara
tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia
(Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat
yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya
penjajahan asing di Papua Barat.
Kesepuluh; Pada bulan Desember
1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka
sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua
bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah
Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak.
HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI ADALAH SOLUSI DEMOKRASI BANGSA PAPUA BARAT MELALUI MEKANISME "REFERENDUM"