photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » , , , , , , » Suatu Fenomena Perampasan Tanah Milik Masyarakat Adat Papua

Suatu Fenomena Perampasan Tanah Milik Masyarakat Adat Papua

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

MIFEE Datang, Merauke Tenggelam

Suatu Fenomena Perampasan Tanah Milik Masyarakat Adat Papua
Oleh : Ley Hay*)
Tanah beserta segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan bahan tambang/mineral sebagai karunia Allah Sang Pencipta Semesta Alam yang harus dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdayaguna, berhasil guna serta berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Patutlah kita bersyukur bahwa Negara Indonesia mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa dan kekayaan alam itu hampir tersebar merata di seluruh kepulauan nusantara. Setiap pulau di dalam wilayah NKRI memiliki keunikan tersendiri, seperti halnya keanekaragaman hayati yang terdapat di Tanah Papua. Namun, tidaklah berarti bahwa pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara berhak menguasai segala kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah, hutan, laut dan sungai bahkan udara di nusantara ini. Sebab, sejak sebelum adanya Indonesia sebagai sebuah negara, wilayah darat maupun laut di sebuah pulau seperti Tanah Papua sudah ada pemiliknya, yakni orang asli setempat yang disebut sebagai masyarakat adat Papua.

Dalam beberapa literatur, Papua sering dikenal orang sebagai negeri bunga anggrek dan burung Cenderawasih. Bagi para sejarahwan dan ahli geografi, Papua dipandang sebagai kelangsungan Benua Australia yang letaknya di zona tropika dengan berdasarkan pada topografi, alam tumbuh-tumbuhan dan hewannya. Diperkirakan, pada masa purba Papua menjadi satu daratan dengan benua Australia, pada tempat yang sekarang merupakan Selat Torres yang lebarnya kurang lebih 100 Km. Karena dihuni oleh bangsa negroid, maka pulau ini digolongkan pada gugusan Melanesia sebagai induk bangsa yang berkulit hitam atau melanoderm. Dua peneliti Papua terkenal yang berkebangsaan Prancis, yakni Villeminot suami-istri mendefinisikan Papua melalui karyanya yang berjudul : La Nouvelle Guinee, 700.000 Papous Survivant de la Prehistoire (Irian, 700.000 Papua yang Keluar dari Zaman Prasejarah). Walaupun didukung oleh ensiklopedi Grand Larouse Encylopedie, namun Ensiklopedia Indonesia yang didukung oleh Encyclopedia Britannica menyatakan bahwa hanya daerah pesisir Timur Irian yang termasuk Melanesia.

Istilah papua yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada pengertian Tanah Papua yang secara administrative terdiri atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sebagian besar penduduk Papua, terutama di kawasan pedesaan, adalah masyarakat adat yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan. Kebudayaan masyarakat adat di Papua maupun Papua Barat masih kental diwarnai oleh tradisi lisan atau budaya tutur dan ritual adat istiadat. Papua dan Papua Barat bersama dengan Nangroeh Aceh Darussalam adalah propinsi-propinsi di Indonesia yang memiliki kekhususan dalam sistem politik pemerintahan Indonesia dengan status otonomi khusus.

Propinsi Papua dan Papua Barat merupakan kawasan dengan tutupan hutan yang paling luas di Indonesia dengan tingkat keanekaragaman hayati dan keunikan yang tinggi, memiliki potensi fungsi ekologi, sosial dan ekonomi yang tinggi serta berarti penting bagi iklim global. Hutan Indonesia merupakan hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Amazon di Brazil dan Congo Basin di Kongo, dimana hutan yang sebagian besar masih utuh saat ini adalah hutan Papua sebab kondisi terkini dari hutan di Kalimantan, Sumatra, Jawa dan Maluku sebagaian besar telah habis. Dari total luas tutupan hutan Indonesia, 2009: 88,17 juta hektare, persentase total tutupan hutan di Papua adalah 38,72% (tertinggi dari semua daerah di Indonesia).

Fenomena Perampasan Tanah Global

Berita tentang fenomena perampasan tanah (land-grab) muncul dari seluruh dunia. Perampasan tanah dapat digambarkan sebagai suatu proses di mana kepemilikan tanah yang dianggap “kosong”, “tidur” atau “tidak produktif” berpindah tangan dengan transaksi yang menggiurkan, untuk dikembangkan menjadi perkebunan skala besar untuk menghasilkan pangan atau agrofuel, atau keduanya. Jumlah kesepakatan dan luas kawasan yang tercakup meningkat pesat. Berbagai kajian menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini antara 20-80 juta hektare tanah. telah “dirampas”, meskipun sulit dipastikan karena sebagian besar kesepakatan itu dibuat dengan diam-diam.

Pendukung perampasan tanah mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah investasi yang sangat diperlukan di sektor pertanian. Meskipun jelas bahwa investasi diperlukan di daerah pedesaan dan pertanian, pertanyaannya adalah apakah transaksi tanah skala besar seperti ini akan menghasilkan jenis pembangunan yang kemungkinan besar akan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Jika diamati lebih dekat, jelas bahwa yang terjadi bukannya pembangunan pertanian, tetapi pembangunan ‘agribisnis’ terus meningkat. Perbedaan keduanya jelas dan seharusnya tak ada lagi kebingungan mengenai siapa yang akan menerima manfaat dan siapa yang akan dirugikan oleh transaksi-transaksi itu.

Pelaku di balik akuisisi tersebut adalah perusahaan transnasional besar atau pemerintah yang memanfaatkan sumber daya tanah “tidur” untuk mengamankan ketahanan pangan dan energi dalam negeri. Kenyataannya, tanah itu tidaklah “kosong”, melainkan seringkali merupakan tempat tinggal warga setempat atau masyarakat adat yang telah hidup di sana turun-menurun, tetapi hak mereka atas tanah itu tidak diakui atau dihormati.

Terdapat sejumlah faktor yang mendorong perampasan tanah ini. Faktor-faktor ini dapat dianalisis dalam konteks keuangan, pangan, energi dan krisis iklim global. Krisis pangan global 2007-2008, yang mendorong kenaikan harga pangan, menciptakan momentum politik dan ekonomi bagi akuisisi tanah. Demikian juga, perubahan iklim dan krisis energi menciptakan kebutuhan mendesak baru untuk mencari tanah bagi produksi tanaman energi terbarukan.

Semua krisis global ini menumbuhkan persepsi bahwa—karena jumlah penduduk diperkirakan meningkat sementara sumber daya terbatas— permintaan akan pangan dan bioenergi akan terus meningkat. Pada gilirannya, volatilitas harga komoditas menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan pangan dan energi. Meskipun kekhawatiran akan ketahanan pangan mungkin tidak sebesar kekhawatiran ketahanan energi, tetapi keduanya menimbulkan kebutuhan atas tanah.

Ada sejumlah pelaku utama yang tindakannya mendorong kenaikan pangan dan akuisisi tanah. Secara umum mereka berasal dari sektor bisnis, keuangan dan pemerintahan. Krisis keuangan global dan krisis pangan global tahun 2007-2008 yang saling terkait turut menumbuhkan persepsi bahwa tanah dan pangan perlu diamankan dan didapatkan. Kedua krisis itu meningkatkan akuisisi tanah secara dramatis.

Fenomena Perampasan Tanah di Papua

Sejak jaman Orde Baru di bawah pemerintahan rejim Soeharto sampai sekarang ini, Papua (sebelumnya Propinsi Irian Jaya) selalu menjadi target utama proyek-proyek pembangunan skala besar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), perkebunan Sawit, dan pertambangan adalah sejumlah projek pembangunan skala besar yang telah puluhan tahun dikembangkan di seluruh Tanah Papua (mencakup Propinsi Papua dan Papua Barat).

Semua proyek-proyek pembangunan skala besar tersebut terjadi di atas tanah adat milik masyarakat asli papua, disebabkan oleh pemerintah yang berkongsi dengan investor dan didukung oleh kekuatan militer merampas berjuta-juta hektar tanah. Watak ekploitatif yang tertanam dalam otak pemerintahan Rezim Orde Baru menyebabkan hutan dan kekayaan alam papua hampir habis. Papua dijadikan lahan dan pemasok bahan baku untuk industry di Negara maju. Sangat disayangkan, bahwa praktek-praktek seperti itu masih diterapkan hingga kini, seperti hadirnya mega proyek MIFFE di Merauke.

Tren perampasan tanah di papua dan seluruh nusantara menunjukkan bahwa, pemerintah Indonesia lebih condong mengikuti kemauan dan kepentingan kapitalisme global. Pemerintah Indonesia tidak lagi menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Pemerintah tidak lagi mengutamakan kepentingan Negara dan bangsa. Pemerintah secara sadar telah menjadikan dirinya agen “kaki-tangan” kaum pemodal. Kasus Bima dan Mesuji dan beberapa konflik agraria di Indonesia, seharusnya menyadarkan rakyat bahwa, Negara Indonesia secara politik memang telah merdeka dan diakui oleh dunia internasional, namun secara ekonomi belum mandiri karena masih terjajah. Buktinya, rakyat banyak yang miskin, pendidikan tidak merata, gizi kurang, perampasan tanah, pembunuhan, pengusiran komunitas masyarakat adat, merajalelanya korupsi, lemahnya penegakkan hokum, dan sejuta masalah lainnya.

(Integrated Food and Energy Estate, MIFEE)

Salah satu perampasan tanah yang paling kontroversial di Indonesia saat ini adalah Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (Integrated Food and Energy Estate, MIFEE), yang tengah dikembangkan di bagian selatan Papua, di Kabupaten Merauke. MIFEE adalah mega proyek yang meliputi 1,28 juta hektare perkebunan komersial yang diklaim sebagai bagian dari visi Presiden Yudhoyono yang meragukan, yaitu “pangan untuk Indonesia, pangan untuk dunia”.

Sejauh ini paling sedikit 36 investor sudah mendapatkan ijin konsesi. Sebagian besar investor berasal dari Indonesia, tetapi perusahaan Jepang, Korea, Singapura dan Timur Tengah kelihatannya juga terlibat. Komoditas utama yang akan diproduksi oleh MIFEE adalah kayu, sawit, jagung, kedelai dan tebu. Hingga pertengahan 2011, lebih dari setengah lusin investor yang mendapatkan ijin untuk MIFEE tampaknya sudah mulai bekerja di area konsesi mereka, termasuk perusahaan yang terkait dengan Medco dan kelompok Rajawali yang berpengaruh. Meskipun MIFEE masih dalam tahap awal, terdapat kekhawatiran serius akan implikasi sosial dan lingkungan dari proyek ini terhadap penduduk setempat dan penghidupan mereka.

MIFEE digembar-gemborkan sebagai kesempatan pembangunan, yang akan menciptakan lapangan pekerjaan tidak hanya untuk warga Papua setempat, tapi juga pekerja transmigran. Proyek itu juga disebut-sebut akan mendorong ketahanan pangan nasional, serta ketahanan energi. Tetapi pada kenyataannya sebagian besar konsesi tanah dialokasikan untuk perkebunan kayu industri (lebih dari 970.000 ha), sementara sawit (lebih dari 300.000 ha) dan tanaman pangan (69.000 ha) berada pada urutan kedua dan ketiga. Data ini menunjukkan bahwa motivasi utama MIFEE bukanlah demi ketahanan pangan dan energi, tetapi kepentingan ekonomi.

Laporan dari desa-desa yang terimbas selama ini menunjukkan bawa MIFEE merupakan ancaman serius bagi masyarakat setempat. Masyarakat adat yang terlibat dalam kesepakatan dengan perusahaan telah ditipu dengan pembayaran kompensasi yang sangat rendah sebagai ganti rugi ‘penyerahan’ tanah warisan turun-menurun dan menjadi bagian dari warisan budaya mereka. Proses akuisisi tanah bersifat tidak transparan, dengan intimidasi dan ancaman akan keamanan terutama karena kehadiran militer di sana. Informasi mengenai potensi dampak proyek atas hidup mereka dan hak apa saja yang mereka miliki untuk menolak atau menerima tawaran perusahaan hanya sedikit yang sampai ke warga desa. Organisasi masyarakat sipil setempat juga melaporkan bahwa pertemuan untuk meningkatkan kapasitas diwarnai dengan interupsi oleh militer, yang menggunakan keamanan nasional sebagai alasan untuk mengancam warga dan menghentikan pertemuan. Jadi, dalam banyak hal, MIFEE adalah perampasan tanah dengan motivasi politik dan ekonomi dengan lebih banyak ancaman daripada kesempatan bagi masyarakat yang terimbas.

Pertanyaan penting, mengapa tanah papua dijadikan lahan dan target eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran? Apakah semua proyek tersebut mendatangkan manfaat bagi masyarakat adat papua atau justru sebaliknya? Sudah sejahterakah masyarakat papua atau belum? Mengapa praktik kotor yang sarat dengan motivasi ekonomi politik semakin subur terjadi di tanah papua? Bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya alam yang baik dan benar dengan memperhatikan aspek kelanjutan dan kelestarian alam?

Jawaban singkatnya, kehadiran berbagai proyek-proyek pembangunan raksasa di tanah papua selama ini tidak membawa dampak pada kesejahteraan masyarakat adat Papua sebagai kelompok masyarakat yang mewarisi tanah tersebut dari para leluhurnya. Yang terjadi adalah, masyarakat di tipu, di bujuk, di bunuh, di kejar, di rampas tanahnya, di langgar haknya sebagai sesame manusia. Bukan kesejahtetraan yang dinikmati, justru kemisiskinan, gisi yang buruk, pelayanan kesehatan yang minim, dan harapan akan adanya keadilan bagaikan mimpi yang tak pernah nyata.

Salah satu sebab utama dari kenyataan ini adalah hak-hak masyarakat adat Papua terhadap tanah dan sumberdaya alam selalu diabaikan dalam pelaksanaan berbagai proyek tersebut. Akibatnya, di samping merebaknya kemiskinan, timbul berbagai konflik antara masyarakat adat dan pihak perusahaan dan negara (pemerintah). Konflik-konflik tersebut muncul dalam berbagai bentuk dan tingkat keseriusan: mulai dari sekedar demonstrasi, protes ke lembaga pemerintah, sampai konflik yang disertai kekerasan.

Situasi konflik menimbulkan dampak makin berat bagi masyarakat adat Papua di tengah kenyataan tidak diakuinya hak mereka. Bahkan dengan statusnya yang khusus melalui UU Otsus Papua, masyarakat adat Papua tidak kunjung melihat terang harapan akan adanya pengakuan hak mereka sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Akhirnya secara sadar, marilah kita secara bersama melihat sejumlah masalah yang terjadi di seluruh nusantara terkait dengan perampasan tanah milik rakyat. Kita harus yakin, bahwa kekuatan rakyat tak dapat dikalahkan. Sudah saatnya, rakyat harus di didik, di latih dan dibekali dengan sejumlah informasi, pengetahuan, dan skill agar mereka mampu bekerja dan menghidupi dirinya, agar mereka mandiri dan mampu berdiri tegak menjaga, melindung dan memberdayakan hak miliknya kelangsungan hidup mereka kini dan anak cucunya kelak.

Aiansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Jogjakarta
*) Mahasiswi Atma Jaya Jogjakarta, Jurusan Teknik Sipil
Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.
Share this post :