photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » , , , , , » Fanny Quinea Kogoya: Problematika Perempuan Papua dalam Bermasyarakat

Fanny Quinea Kogoya: Problematika Perempuan Papua dalam Bermasyarakat

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

Problematika Perempuan Papua dalam Bermasyarakat

Sejarah Papua menceriterakan, perempuan Papua sesungguhnya adalah
“roh” yang memberikan kehidupan bagi bangsa Papua.
 
Oleh Fanny Quinea Kogoya*)

Sebagaimana kehidupan yang berlaku di sejumlah komunitas suku-bangsa di dunia, di mana sistem kekerabatan patrineal juga dikenal dalam kalangan masyarakat Papua.  Sistem patrineal yang dipahami umum adalah dominasi peran para kaum lelaki di dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Pandangan yang memengaruhi sistem ini adalah paternalisme. Paternalisme menempatkan posisi kaum Hawa tidak lebih dari sekedar pelengkap kaum Adam.

Contoh yang paling jelas terlihat dalam sistem perkawinan di Papua. Marga sang istri dilebur ke dalam marga suami. Tidak hanya itu. Posisi perempuan sendiri di mata laki-laki Papua secara turun-temurun, telah menjadi sebuah sistem yang baku. Hal itu sulit terhapus begitu saja tanpa melalui proses perkembangan kebudayaan.
Pandangan ini diyakini masyarakat tradisional sebagai takdir, sehingga tidak diakuinya sebagai sebuah penindasan. Sementara dalam masyarakat modern, sistem seperti itu dilihat sebagai bentuk kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Dengan demikian, banyak organisasi pemerintah maupun non pemerintah melakukan upaya penghapusan dominasi peran laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek di setiap negara.

Simone de Beauvoir, seorang perempuan Perancis, dalam bukunya “The Second Sex“ menegaskan, bahwa ”sejak masa patriakal, perempuan secara umum telah ditempatkan pada posisi kelas kedua di dunia yang ada kaitannya dengan laki-laki”.

Kondisi itu lebih didasarkan pada kekuatan lingkungan pendidikan dan budaya yang secara sengaja dikontrol dan dikuasai oleh laki-laki. Keberadaan ini mengakibatkan kegagalan perempuan dalam upaya menempati kedudukan terhormat sebagai manusia yang bebas dan merdeka sebagai relasinya dengan kaum laki-laki.

Teori di atas bila dikaitkan dengan relasi perempuan dan laki-laki Papua, maka keberadaan laki-laki Papua masih dominan dalam mengatur nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini diperkuat dengan adanya realita di dalam kehidupan masyarakat tradisional di Papua yang menempatkan laki-laki sebagai penopang keluarga. Seorang laki-laki bertanggungjawab dalam menyediakan kebutuhan hidup keluarga.

Pandangan kehidupan masyarakat tradisional Papua terhadap laki-laki sebagai superpower dapat dilihat dari kekuatan fisik dan kemampuan laki-laki dalam menghadapi musuh (pada saat perang antar suku). Padahal, dalam realita kehidupan masyarakat tradisional Papua, laki-laki bukanlah segalanya dalam menghidupi keluarga.

Contohnya, seperti beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan perempuan suku Dani di Wamena. Biasanya, perempuan memiliki waktu kerja lebih banyak dibandingkan kaum laki-laki. Mulai dari mengasuh anak, memelihara ternak (babi), menggelola dan menyediakan bahan makanan dikerjakan perempuan.

Sementara itu, hak kebebasan perempuan untuk melakukan segala-sesuatu dibatasi oleh pihak keluarga (sang ayah), misalnya hak untuk sekolah dihentikan dengan alasan perempuan tidak wajar untuk sekolah. Perempuan dianggap lahir sebagai pekerja atau penyedia harta bagi keluarga. Termasuk juga dalam dalam pembagian warisan, laki-laki cenderung diberikan warisan dari sang ayah, sedangkan anak perempuan tidak punya hak mendapatkan warisan milik ayah atau warisan peninggalan nenek moyang.

Kondisi kehidupan masyarakat Papua seperti di atas ini tentunya tidak wajar dipertahankan atau dilestarikan di zaman ini. Sebagai bahan renungan bagi laki-laki Papua: “Apalah arti laki-laki Papua tanpa perempuan Papua? Sungguh tidak berarti apa-apa! Ibarat kepala tanpa badan! Atau layak dikatakan: “Hidup tanpa bernafas”.

Karena itu, dalam menghadapi zaman ini, tentunya akan mengharapkan persiapan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan siap dipakai –dalam kondisi apa pun. Maka, untuk menghadapi tuntutan zaman seperti ini, SDM perempuan Papua harus menjadi perhatian utama oleh pemerintah maupun keluarga. Sebab, kesuksesan perempuan Papua di dunia globalisasi akan memengaruhi maju mundurnya kelangsungan hidup bagi masyarakat Papua dalam semua aspek kehidupan.

Setelah melihat beberapa catatan di atas, perlu ada suatu agenda perjuangan dalam mengangkat posisi perempuan Papua yang setara dengan kaum laki-laki Papua. Tentunya dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh aktivis perempuan Papua seperti Mama Yosepha Alomang di Timika. Dengan segala kesederhanaannya, Mama Yosepha bangkit dan mempertanyakan posisi perempuan Papua sebagai orang yang merdeka dan bebas, melalui perjuangannya melawan PT Freeport Indonesia. Ia melawan Freeport yang menghancurkan seluruh ekosistem kehidupan masyakat Papua yang hidup di areal pertambangan perusahaan raksasa itu.

Karena itu, sudah saatnya kaum perempuan diberikan hak sepenuhnya untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan. Mereka bukan lagi manusia kedua. Mereka bukan lagi selalu berada di dapur. Seberat apa pun sebuah pekerjaan yang dilakukan kaum laki-laki Papua, perempuan Papua pun sanggup melaksanakannya.

Kehidupan kaum pria tanpa kaum perempuan jelas tidaklah lengkap. Dalam banyak hal, perempuan sangat dibutuhkan lelaki. Itu sebabnya, sejarah Papua menceritakan, perempuan Papua sesungguhnya adalah “roh” yang memberikan kehidupan bagi bangsa Papua.

Oleh sebab itu, pandangan sempit dari kalangan laki-laki hendaknya diubah. Lantaran pandangan seperti itu membuat perempuan Papua selalu dianggap kaum lemah yang tugasnya melahirkan dan menyiapkan makanan di dapur. Intinya, mereka tidak boleh lebih dari laki-laki.

Inilah gugatan perempuan Papua saat ini. Perempuan Papua menggugat terhadap cara pandang dan penempatan mereka dalam budaya Papua yang begitu menyiksa dan bahkan melanggar hak asasinya itu.

*) Aktivis Perempuan Papua Barat.

Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.
Share this post :