photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » , , , » Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

Prolog 

Manusia hidup di atas tanah. Manusia? Kata itu, menunjuk  pada makluk bernalar yang hidup dan melakukan aktivitas, berkembang, mengisi, dan menguasai. Manusia ’terdampar’ di atas tanah dan secara otomatis mempertahankan hidup dengan berbagai aktivitas di atasnya. Tanah menjadi tempat melakukan aktivitas ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2001:1132) tanah adalah (1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; (2) keadaan bumi suatu tempat; (3) permukaan bumi yang diberi batas; (4) permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa…, dan seterusnya. Maka, di atas tanah ada segala sesuatu termasuk manusia. Bagi manusia, tanah menjadi tempat melakukan hubungan dengan segala sesuatu ’lain’ yang ada—lingkungan– dan karenanya dapat hidup.

Dengan demikian, tanah (lingkungan) menjadi bagian hidup dan keber’ada’an— dalam pandangan teologis, manusia diciptakan dari tanah, manusia hidup di atas tanah, manusia akan kembali ke tanah, walaupun tidak mudah dibuktikan (yang jelas, bila manusia mati, tubuhnya akan dikubur atau dibakar dan kemudian terurai menjadi tanah dan gas alam lainnya)– manusia. Berbicara soal tanah adalah juga berbicara soal manusia dan lingkungan hidup. Maka, jika lebih jauh berbicara tentang makna dan fungsi tanah, tidak perlu pula diartikan secara sempit. Berbagai makna dan fungsi tanah sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makluk hidup lainnya.

Mathias Haryadi (tanpa tahun) mengemukakan, tiga arti fundamental dari tanah.  Pertama, tanah adalah tempat manusia mendirikan rumah. Di atas tanah dan dalam rumah ia tinggal, manusia menemukan basis hidupnya. Di sana, ia menemukan identitasnya. Kedua, di atas tanah itu, manusia berhubungan dengan hewan dan tunbuh-tumbuhan (lingkungan—air, udara, dan lainnya). Hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga, karena tanah memiliki arti ekonomis yang sangat kaya, satu-satunya dan tak mungkin tergantikan.

Keterpenuhan sandang, pangan, dan papan menjadi dasar untuk mengartikan makna dan fungsi tanah. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergantung pada tanah (hutan). Menurut Abdon Nababan (2003), dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan (komunitas-komunitas masyarakat adat) populasinya diperkirakan antara 50–70 juta orang masih tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan (tanah) lokalnya. Mereka tergantung pada alam serta memiliki kedekatan, ikatan yang erat dengan alam termasuk tanah. Masyarakat Papua merupakan bagian dari masyarakat adat dunia yang secara turun-temurun hidup dan menghidupi dari dan di atas tanah mereka. Tanah Papua menjadi hak milik yang diatur menurut hukum adat (KBBI, 2001:1132).

Tulisan ini hendak mengulas tentang cara pandang masyarakat adat Papua tentang tanah (– serta isinya) dan ’pemanfaatan’ tanah dan isinya oleh orang luar (pemerintah dan pengusaha). Pemanfaatan tanah (hutan dan kaitannya) dengan perlindungan tanah (hutan)—pelestarian lingkungan hidup– dengan mengakui hak-hak adat dengan sistem pemerintah yang baik dan keterwakilan lembaga yang memikirkan secara serius akan hal ini, ikut dipikirkan secara umum.

Tanah bagi Masyarakat Adat Papua 

Masyarakat adat diakui secara internasional sebagai bagian dari masyarakat dalam komposisi dan konstelasi sosial-politik masyarakat modern (Baca: HAM Masyarakat Adat pasal 1, 2, dan 3– eksistensi dan jati diri Madat).  Mereka tidak masuk ke dalam kelompok Masyarakat Sipil, Masyarakat Ekonomi ataupun Politik.  Maka, jelas Madat berhak menikmati segala hak yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh semua umat manusia di planet bumi ini, termasuk hak untuk menghargai dan mengatur tanah (hutan—lingkungan hidup) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas (Papuapost.com, 19 Juni 2008).

Rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat adat Indonesia dan dunia, sejak awal kehidupan, sudah sangat dekat dengan tanah (alam—lingkungan) mereka. Mereka telah memiliki hak untuk menghargai dan mengatur tanah (hutan) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas mereka. Kedekatan orang Papua dengan alam dapat dipahami melalui tarian, lagu, dan doa. Salah satunya dapat dilihat  dari ungkapan sederhan mama Yosepha Alomang, peraih ”Goldman Enviromental Prize” (Selangkah, September 2006. Tanah Adat, Freeport, dan Warga Sipil” hlm. 26). Atas tanahnya yang direbut oleh negara dan kapitalis, dia mengatakan: ”Tanah ini saya punya tubuh. Gunung Nemangkawi ini jangtungku. Danau wonangon ini saya punya sum-sum. Kali ini saya punya nafas. Tetapi Kao sudah makan saya. Kao tidak punya hati dan perasaan. Freeport dan Pemerintah, kamu sudah makan saya. Tidak sadarkah kamu?”
Ungkapan di atas memperlihatkan mitologi menyangkut manusia sejati (seorang ibu) yang berubah menjadi tanah dan membentang sepanjang daerah Amungsal (tanah Amugme)—daerah keramat wilayah PT Freefort beroperasi sejak 1967 hingga saat ini. Tanah bagi Amugme adalah “seorang ibu” yang baik hati, yang memberikan dan menyediakan semua kebutuhan.

Tidak hanya suku Amugme dan Kamoro. Sekitar 250-an suku yang ada di tanah Papua dengan adat istiadatnya masing-masing memaknai tanah sebagai ibu (mama). Orang Mee misalnya, selalu mengatakan, “maki kouko akoukai” (tanah adalah Ibu—jagalah baik-baik). Orang Mungmen juga mamahami tanah sebagai ibu kadung. Nimboran percaya bahwa tanah diciptakan oleh seorang nenek tua, sedangkan bagi orang Humbuluk tanah dikonotasikan sebagai rahim perempuan.

Masyarakat Napan di Nabire misalnya,  meyakini bahwa hulu sungai Lagari yang dikenal dengan nama ‘Nuba Urigwa’ adalah tempat yang sakral, yang menjadi tempat tinggal Kuri. Keyakinan ini membuat masyarakat dari kelompok budaya Kuri di kawasan Napan-Weinami dan Makimi memahami seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai wilayah yang tidak boleh dirusak karena kehidupan sungai bersumber pada tanah di sekitarnya. Tanah dianggap rahim bagi air sungai dan air laut, sehingga laut dan sungai tidak boleh dicemari (baca: Kuri dan Pasai). Sama juga masyarakat kampung Yaro di Kabupaten Nabire. Mereka memandang tanah sebagai manusia yang harus dijaga.

Pada budaya Suku Ngalum, Kabupaten Pegunungan Bintang, setiap bidang tanah, pohon, rotan, sungai, gunung hingga batu berhubungan erat dengan suku-suku di sekitarnya. Begitu eratnya hubungan ini sehingga dalam pembukan lahan, setiap laki-laki yang terlibat wajib memakan segumpal tanah. Ini mencerminkan bahwa tanah merupakan sumber kesuburan dan kehidupan sehingga masyarakat Ngalum harus mengikatkan dirinya dengan tanah yang tidak lain dianggap sebagai ibu, (Tabloid Jubi, 20 Agustus 2007).

Keyakinan tanah sebagai ibu, diperkuat setelah agama kristen masuk di tanah Papua. “Hormatilah ayah dan ibumu” (baca: Sepuluh Perintah Allah). Ajaran itu semakin mendekatkan suku-suku di tanah Papua yang mayoritas kristen itu bahwa tanah mereka sebagai ibu yang patut untuk dicintai (dijaga).

Tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam memperkuat ikatan mereka dengan segala hal yang berada di permukaan bumi. Tanah dalam stuktur dasar antropologi  di kalangan orang Papua menyatu dengan manusia. Artinya, tanah dipandang sebagai rumah yang memberi kehidupan dan perlindungan. Tanah juga adalah tempat tinggal arwah nenek moyang yang merupakan sumber kekuatan hidup manusia. Dari aspek budaya, tanah adalah mama atau ibu. Ibu yang melahirkan, memberi makan, memelihara, mendidik, membesarkan, hingga sekarang ini. Karena itu bila manusia merusak alam, dengan sendirinya ia merusak dirinya sendiri. Dengan demikian, masyarakat Papua memandang tanah sebagai “tubuh ibu atau mama” orang Papua, sehingga tidak ada orang yang seenaknya mengambil atau merusak.

’Perampasan’ Tanah Adat Papua
 
Tanah Papua merupakan ’mama’ masyarakat adat Papua yang dimiliki secara turun-temurun. Tanah Papua dimiliki oleh suku-suku (baca: 250 suku di Papua). Dan, di lingkup suku dimiliki oleh marga-marga. Tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat itu mulai di’rampas’ sejak  kepentingan bisnis dan politik mulai menapakan tajinya di mana-mana, terutama areal pertambangan, hutan, dan pembangunan jalan trans serta lokasi pemukiman baru termasuk program transmigrasi.

Negara yang ‘baru’ lahir itu secara sengaja menjadikan eksistensi masyarakat adat tidak memunyai kekuatan dan kepastian hukum, karena dikalahkan oleh kepentingan  yang mengatasnamakan negara demi kemakmuran rakyat (Selangkah, Edisi Februari-April 2005). Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3, “Melaksanakan hak ulayat masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, maupun peraturan-peraturann yang lebih tinggi.” Bunyi UUPA 1960 Pasal 3 jelas-jelas menjadikan masyarakat adat tidak punya jaminan hukum dari negara. Dengan berdasar pada pasal itu, negara memperbolehkan dan memberikan HGU, HPH, mupun hak pertambangan kepada perusahaan-perusahaan kayu maupun industri pertambangan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 juga dipakai negara sebagai alasan (surat jalan) untuk menguasai tanah adat.

Secara yuridis kata ’menguasai’ yang terkandung pada pasal 33 ayat 3 UUD 45 memunyai makna; pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Kedua, menentukan dan mengatur hak-hak yang dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang  dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Maka, jelas bahwa negara tidak berhak memiliki. Kata mengatur, menyelenggarakan, menentukan mengisyaratkan makna adminitratif, tetapi seringkali makna tersebut diselewengkan oleh negara untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bab II Pasal 16 diatur tentang  hak atas tanah, sebagaimana tercantum dalam pasal 4 yang meliputi: pertama, hal milik; kedua, hak guna usaha; ketiga, hak guna bangunan; keempat, hak pakai; kelima, hak sewah; keenam, hak membuka tanah, dan ketujuh hak memungut hasil hutan. Pengaturan  atas hak tanah di atas mengalami  penyimpangan, terutama oleh aparat pemerintah sendiri, (baca: R.H. De Haas Engel dalam Pekey, 2007). Semua produk Undang-Undang tentang tanah diterapkan sepihak tanpa rasa hormat  terhadap hukum adat, dan prinsip tentang tanah yang dianut oleh masyarakat adat. Aspek lingkungan yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem yang terkandung di dalamnya terabaikan.

Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengawali  masuknya PT Freeport Indonesia (PTFI) di tanah adat orang Amugme dan Kamoro  misalnya, kontrak dilakukan tanpa rasa hormat  terhadap hukum adat dan prinsip tentang tanah yang dianut oleh masyarakat adat. Kontrak karya pertama ditandatangani pada bulan April  1961 dan mulai beroperasi pada 10 Januari 1967 tanpa pembicaraan dengan pemilik tanah adat (Baca: ‘Travel Feature Itu Menuai Bencana’, Selangkah, edisi September 2006).

Penduduk Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang berada di Mimika  dipaksa merelakan tanah adat mereka yang memiliki nilai sosial budaya, politik dan religius. Gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel di daerah Kabupaten Mimika yang merupakan daerah keramat orang Amungme dan Kamoro harus rela isi perutnya dilubangi karena kepentingan emas, perak dan tembaga demi sebuah investasi. Mereka menyaksikan tanah keramat, tempat arwah leluhur  bersemayam dibongkar tanpa merasa bersalah dan tanpa ada perundingan. Mereka menyaksikan hak-hak adat mereka terhadap tanah adat tercabik-cabik. Mereka menyaksikan sungai-sungai tempat mereka mencari ikan dan berudu diracuni dengan limbah.

Eksploitasi atas tanah adat (emas, kayu, tumbuhan, hewan, dan sebagainya) terus berjalan.
Di wilayah adat Malamoi misalnya, setidaknya ada dua perkebunan kelapa sawit selain eksploitasi kayu.
Kini hutan alam, yang secara turun-temurun menjadi sumber kehidupan, telah menjadi sumber petaka,
yakni banjir dan longsor. Di Biak, hutan dibuka sejak masa Belanda hingga sekarang.
Pembukaan hutan dengan masuknya investasi skala besar di Papua telah merusak struktur masyarakat adat dan
cara pandang mereka terhadap tanah. Semua jenis kayu, (Merbau intria sp, matoa ketapang,
bintangur dan damar) dibabat tanpa reboisasi. Kayu merbau merupakan komoditas yang  penting dan "laris" di pasaran,
maka habitat alam lain (sungai, kayu dan lainnya) diberangus rata dalam rangka mencari merbau, (baca: Papua 2008).
Data Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua tahun 2006 menunjukkan, ada 65 perusahaan HPH di Papua dengan luas konsesi 14,4 juta hektar (ha). Dari 65 perusahaan HPH tersebut, hingga tahun 2006 hanya 15 HPH yang masih aktif. Perusahaan HPH punya tanggung jawab, antara lain adalah program ‘bina desa’. Artinya pemberdayaan masyarakat adat (kampung) pemilik hak ulayat dalam bentuk pembangunan rumah warga, sekolah, gereja atau fasilitas lainnya. Namun, hal ini selalu menjadi keluhan masyarakat adat di berbagai areal HPH di tanah Papua.

Masyarakat adat Mee di distrik Yaro, kabupaten Nabire misalnya, memilki pengalaman buruk dengan perusahaan HPH PT Sesco di wilayah adat mereka. Perusahaan HPH PT Sesco yang beroperasi sejak tahun 1990/1991 hingga saat masih belum membayar sejumlah Rp40 juta dengan hitungan satu kubik Rp1000,00. Ini artinya bahwa kubikasi yang merupakan kewajiban mutlak saja belum membayar, apalagi melaksanakan program ‘bina desa’. Perusahaan HPH yang masuk di daerah Yaro (daerah yang sama) pada tahun 2003, yakni PT Jati Dharma Indah justru mengklaim kayu termasuk segala yang terkandung dalam tanah adalah miliknya. Bahkan dia melarang masyarakat adat untuk mencari ikan, berburu kuskus, di tanah adat mereka. Sementara PT Jati Dharma Indah menghabisi berbagai jenis burung termasuk cenderawasih dengan senapan angin, termasuk kuskus dan kekayaan hutan lainnya.

Pengalaman masyarakat adat Yaro yang digambarkan di atas adalah hanya sekelumit dari kemungkinan kesamaan pengalaman masyarakat adat di 65 areal perusahaan HPH di tanah Papua. Data kemiskinan yang dipaparkan sekretaris eksekutif Foker LSM Papua Septer Manufandu sungguh memprihatinkan. Sebanyak 391.767 keluarga (81 persen) dari total 480.578 keluarga di Papua tergolong miskin.  Data ini menunjukkan bagaimana dampak eksploitasi sumber daya alam Papua bagi warganya. Juga, sekitar 4 juta ha lahan yang telah disiapkan bagi belasan perusahaan perkebunan skala besar, 300.000 ha di antaranya kebun kelapa sawit adalah rencana tragedi masyarakat adat Papua di masa depan. Eksploitasi atas tanah adat Papua terus dilakukan di balik nomine ‘Heroes Environment 2007′ yang dianugerahi kepada Gubernur Suebu dari Majalah Time terbitan Amerika Serikat pada 25 Oktober 2007 di Royal Court of Justice London, Inggris.
Perampasan tanah adat oleh penguasa dan pengusaha ini merupakan ancaman keutuhan hutan dan masyarakat adat. Pengampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, mengatakan, ancaman keutuhan hutan (tanah) Papua bukan hanya dari pengambilan kayu, pertambangan dan kelapa sawit (Kodeco dilaporkan menebangi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah Mamberamo), namun juga rencana pembukaan jalan raya dengan pamrih kayu dan pemekaran daerah. (Kompas, 24 Juni 2008). Belum puas dengan hutan dan tambang, berbagai spesies di atas tanah adat, diramu dan dibawa keluar Papua. Berjuta-juta spesies burung, ikan air tawar, reptil, amfibi, serangga air, kupu-kupu, mamalia kecil dan vegetasinya telah hilang dan masih terus diburu.

Penghancuran lingkungan dan ekosistem termasuk perusakan hutan lindung secara membabi buta ini mengancam eksistensi masyarakat adat Papua. Masalahnya, Jabar Lahaji memprediksikan hutan Papua akan lenyap antara tahun 2013 sampai 2015. Hasil analisa satelit tahun 1998-2000 menunjukkan angka deforestasi yang cukup tinggi, sekitar ,45 jua ha. Kalau hitungannya terus perpanjang sampai tahun ini, laju deforestasi diperkirakan bisa mencapai 2,5 sampai 3 juta ha pertahun.  Kalau hutan di Kalimantan dan Sumatera diduga tahun 2005-2010 akan habis, di Papua, antrian 2013-2015 (baca: Jabar Lahaji, 2008).
Nah, apa yang tersisa sekarang dan 2015 nanti? Yang tersisa adalah persoalan demi persoalan yang terjadi, seperti rusaknya tatanan kehidupan, menyangkut rusaknya (mite) mitologi yang terkait dengan kerusakan lingkungan (obat-obatan dan kebutuhan lainnya), sosial, politik dan sebagainya. Hal-hal itu melahirkan perlawanan masyarakat adat Papua, lalu  dihadapkan pada militer –yang dipiara di areal HPH dan pertambangan– dengan stigma OPM (Organisasi Papua Merdeka). Stigma oposan pemerintah dengan label OPM atau separatis sering digunakan menjadi alat penekan terhadap masyarakat, bahkan sering terjadi kasus penangkapan, pemukulan/penyiksaan dan penculikan.

Melangkah untuk Melingdungi Tanah Adat Papua 

‘Perampasan’ tanah adat telah merusak manusia, tanah dan segala isinya (hubungan manusia dengan alam) serta pranata-pranata sosial-politik dan kultural masyarakat adat. Upaya-upaya pemulihan-perlindungan adalah tantangan yang harus menjadi perioritas.  Dalam konteks ini, melangkah untuk melingdungi berpulang pada penyesuaian  dan penerapan hukum dengan kepastian hak-hak masyarakat adat. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001, Pasal 38 ayat 2 mengatakan, usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pada Pasal 43 ayat 1 menegaskan, pemerintah wajib mengakui, menghormati dan melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat.

Undang-Undang Otsus Papua secara tegas memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak adat. Dalam hal ini, pengakuan atas suatu kawasan SDA yang berada di dalam wilayah masyarakat adat. Berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak adat tersebut, maka UU PSDA perlu menyebutkan: pertama, kawasan SDA yang dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh masyarakat adat maka kegiatan pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan masyarakat adat itu sendiri. Kedua, setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memerhatikan aspek konservasi. Ketiga, setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak luar negeri mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota dengan memerhatikan kepentingan nasional tanpa merugikan masyarakat adat.
Perlu juga memikirkan, pemisahan hak penguasaan dengan hak guna, dan  hak pengelolaan/pengusahaan. Peraturan per-UU-an harus secara jelas membedakan antara “penguasaan kawasan dan SDA yang ada di dalamnya” dengan “penggunaan kawasan dan SDA di dalamnya”. Dengan demkian, status penguasaan/kepemilikan atas kawasan SDA baik yang berstatus milik pribadi, milik kolektif dan hak adat/ulayat, maupun milik publik bisa memiliki fungsi dan tata guna: (a) produksi, yaitu kawasan tertentu yang SDA-nya bisa dikelola dan diusahakan untuk memproduksi; (b) lindung, yaitu kawasan tertentu yang harus dilindungi fungsi ekologis/hidrologis di mana pemanfaatan SDA di dalamnya harus dilakukan secara sangat terbatas; (c) konservasi, yaitu kawasan yang sumberdaya dan keanekaragaman hayati di dalamnya harus dilestarikan.

Pengakuan penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai masyarakat adat, dan juga untuk menentukan batas-batas wilayah dan kawasan hutan adat dari masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, harus jelas mengatur kriteria-kriterianya, yang kemudian secara operational-prosedural diatur lebih terinci dalam suatu aturan—dalam hal ini peraturan daerah khusus (Perdasi) yang mengatur tentang “Hutan Adat”. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyarakat adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak lain, tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat adat yang bersangkutan secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah—antara lain untuk melindungi konflik tingkat masyarakat adat.

Sementara itu, untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumber daya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah.

Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.  Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan” untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.

Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama untuk banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan antarkomunitas dan antarpihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antarpihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokratis.

Epilog 

Akhirnya, mengingat tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam memperkuat ikatan mereka dengan segala hal yang berada di permukaan bumi, maka kemungkinan penerapan hukum adat dalam pengaturan kehidupan masyarakat adat, pengakuan kedaulatan masyarakat adat, dan kepatuhan penguasa dan pengusaha terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia—(banyak yang telah mati, dikubur dan kemudian terurai menjadi tanah dan gas alam lainnya di atas tanah adat mereka)–perlu direnungkan. 

Pemerintah dan pemerintah provinsi Papua perlu mengevaluasi kembali semua undang-undang dan peraturan terkait, termasuk meninjau program transmigrasi—telah berbuah pahit– dan arus migrasi dari luar Papua yang mengancam eksistensi tanah dan masyarakat adat Papua (baca: 6 tahun Otsus Papua).  Hak-hak adat tidak dipikirkan dengan baik,  dapat bermuara pada gugatan masyarakat adat Indonesia—Papua, Kalimantan (Borneo), Sulawesi Utara,  Riau, Maluku dan lainnya terhadap sifat kesatuan negara Indonesia, karena masyarakat adat ada jauh sebelum negara ada.  [Yermias Degei/MS]

Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.
Share this post :