photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label Suara Orang Papua. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label Suara Orang Papua. Tampilkan semua postingan

    Awas Orang Papua Kalau Tetap Ikut NKRI Bisa Haram Hukumnya

    Awas Orang Papua Kalau Tetap Ikut NKRI Bisa Haram Hukumnya

    Situs ini adalah situs online aktivis suara papua merdeka yang dikembangkan oleh Biro Media dan Propaganda Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang. Anda diperkenankan untuk BERBAGI (menyalin dan menyebarluaskan kembali materi ini dalam bentuk atau format apapun) dan ADAPTASI (menggubah, mengubah, dan membuat turunan dari materi ini untuk kepentingan apapun, termasuk kepentingan komersial). Informasi dalam situs ini masih harus dikonfirmasi kepada pengelola situs di melanesiapost@gmail.com (Activis Independence of Papua/Pengembang Situs)

    Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua

    Oleh: Naftali Edoway*)

    Membaca beberapa laporan media yang mengangkat tema Indonesia negara gagal, sangat mengganggu pikiran saya. Bisakah negara yang gagal ini membangun Papua, terutama dengan beberapa kebijakannya belakangan ini? tapi ini juga melegitimasi pikiran rakyat Papua yang selalu menyatakan Indonesia gagal bangun Papua atau yang belakangan Otsus dikembalikan karena dinilai gagal dalam penerapannya.
    Media okezone online pada Rabu 20 Juni 2012, melaporkan bahwa dari 178 negara di dunia Indonesia menempati urutan ke 63 negara gagal di dunia (baca.  Hal yang sama diberitakan juga oleh media Kompas online pada Kamis 21 Juni 2012. Penilaian ini dilakukan oleh The Fund of Peace (FFP). Menurut mereka, pemerintahan SBY-Budiyono gagal memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyatnya. Misalnya, lemahnya pemerintah dalam menjaga kerukunan antar umat beragama, ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan HAM dan menjamurnya korupsi.

    Adalah hal yang tidak logis, jika Jakarta yang dinilai gagal ingin membangun Papua. Lihat saja, Jakarta yang seharusnya menjadi barometer kesejahteraan justru menyimpan seribu satu macam masalah kemiskinan dan penderitaan. Banyak anak-anak jalanan, pengemis, dan preman yang menghiasi kota itu. Progam sentralisasi pembangunan dimasa orde baru yang seharusnya mensejahterakan rakyat yang hidup di ibu kota, justru diabaikan negara, apalagi dengan mereka yang hidup jauh dari ibu kota negara itu.

    Sistem sentralisasi telah benar-benar menguras sumber-sumber hidup rakyat di daerah. Jutaan rakyat menderita dalam kemiskinan. Belum lagi tekanan negara melalui militer yang benar-benar mematikan. Sumber-sumber hidup rakyat dirampas dengan kekuatan militer. Yang melawan jadi tumbal. Akhirnya terjadi jutaan kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan oleh negara hingga hari ini. Korupsi pun tumbuh dengan suburnya bak jamur dimusim hujan. Mungkin benar lelucon ini “mana mungkin maling berteriak maling”. Atau, kalau negara adalah pelakunya mana mungkin ia mengadili dirinya sendiri, malu dong! Kalau pun ada proses hukum, itu hanya rekayasa untuk menutup sedikit rasa malunya.

    Papua yang dianeksasi melalui kebijakan Trikora sejak 1962, telah mengalami penderitaan yang cukup panjang. Penderitaannya barangkali lebih berat dari daerah lain di Indonesia. Banyak pelanggaran HAM yang dilakukan negara di Papua. Para pelakunya dibiarkan bebas oleh negara, karena katanya dilakukan atas nama negara. Banyak kekayaan alam telah dieksploitasi dari daerah ini, namun para pemilik ulayatnya dibiarkan hidup menderita. Tak secuil pun manfaat yang dirasakan oleh orang asli Papua. Mungkin karena perbedaan ras dan agama? atau karena niatan ingin menguras semua kekayaan alam demi kesejahteraan kaum borjuis, imperialis dan neo-kolonialis atas nama negara.

    Memoria passionis telah meninggalkan rasa tidak percaya orang asli Papua terhadap Jakarta. Semua bentuk kebijakan negara pada arasnya tak membangun. Kebijakannya seperti menabur benih diatas batu, tak ada hasilnya. Itulah sebabnya Papua menilai Jakarta gagal membangun Papua. Jakarta gagal mengindonesiakan Papua. Padahal katanya Papua dimasukkan ke dalam NKRI dengan tujuan membangun kesejahteraan seperti yang tertuang dalam isi UUD 1945.

    Setelah Reformasi, pemerintah Jakarta memaksa menerapkan Otsus di Papua. Otsus dihadirkan untuk mematahkan semangat ingin merdeka (pisah dari NKRI) dari Orang asli Papua. Tapi disisi lain Otsus mungkin niat Jakarta untuk membayar lunas dosa-dosanya. Tapi sayang! Ia tidak menjadi obat yang mujarab untuk Papua. Ia justru menjadi semacam racun yang mematikan secara perlahan-lahan. Lihat saja! Pelanggaran HAM masih terus terjadi, Theys Hiyo Eluay adalah salah satu korban dari kebijakan ini. Disisi lain rakyat dikondisikan untuk saling membenci dan membunuh. Perhatikan  kasus di Kwamki Narama Timika yang belum berakhir hingga hari ini sampai kepada konflik Pilkada yang menelan korban jiwa di Ilaga Puncak Papua.

    Kebijakan UP4B yang belakangan dihadirkan di Papua pasca pengembalian Otus oleh OAP pun tak bisa membangun Papua. Katanya, itu adalah unit yang mempercepat pembangunan di Papua. Tapi pada kenyataannya ia menjadi jerat yang membungkam suara-suara nurani rakyat kecil yang merasa diperlakukan tidak adil. Yang merasa mereka dijajah. Akhirnya Musa Mako Tabuni menjadi korban kebijakan ini. Kematiannya dipercepat oleh kebijakan UP4B oleh negara. Negara mencabut nyawanya untuk mematikan bangkitnya semangat protes kaum kecil, kaum yang terjajah yang selalu dilihat sebagai musuh oleh negara. Bahkan dianggap teroris oleh negara belakangan ini. Hal ini diperkuat lagi dengan digantinya Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian yang nota bene mantan Kadensus 88.

    Anehnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono justru mengeluarkan pernyataan bahwa Jakarta tak berencana merubah kebijakan keamanan di Papua. Katanya, “Sejak tujuh tahun yang lalu, segera setelah saya mengemban amanah menjadi Presiden di negeri ini, saya telah melakukan pendekatan untuk penyelesaian masalah Papua. Yang dulu pendekatannya mungkin bersifat kepada keamanan, setelah kita evaluasi nampaknya kita pandang kurang tepat. Oleh karena itulah, kita ubah menjadi pendekatan kesejahteraan demi keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan saudara-saudara kita di Papua dan Papua Barat.” Saya menilai bahwa sikap pemerintah seperti ini justru melegitimasi kelakuan aparat keamanan di Papua yang selama ini bersikap sadis dan geram.

    Dua kebijakan negara diatas (Otsus dan UP4B) tak mampu mengangkat rakyat Papua dari kemiskinan yang melilit hidup mereka. Dalam diskusi yang bertemakan Save Papua Save Indonesia di Campus Center Institut Teknologi Bandung (ITB) Jalan Ganeca, pada Jumat 31 Agustus 2012 lalu, terungkap bahwa 83,3% rumah tangga di Papua masih hidup miskin. Mereka bahkan termiskin di Indonesia. Data yang lain menyebutkan bahwa 966, 76 ribu orang Papua masih hidup dalam kemiskinan. Pertanyaannya, inikah wujud kampaye NKRI di dunia internasional bahwa Papua sedang di bangun? Memalukan.  Jika dalam skala negara ia dinilai gagal, bagaimana mungkin ia bisa membangun Papua. Apalagi proses Pepera saja masih menjadi polemik antara Papua dan Jakarta hingga kini.

    Lalu apa solusinya? Pertanyaan ini penting dan harus dipikirkan secara matang oleh kita semua. Bagi saya sebagai bagian dari kaum kecil yang menderita, jawabannya sangat sederhana, Merdeka (lepas dari NKRI). Alasannya juga sederhana, Indonesia gagal bangun Papua dan akan terus gagal. Tapi saya sadar, untuk mencapai impian itu butuh proses yang panjang. Tidak sesederhana jawaban saya diatas. Sekali lagi, butuh proses, tapi apa prosesnya? Referendum atau dialog. Entalah! Tapi butuh kematangan berpikir kita semua, untuk mengeluarkan rakyat bahkan diri kita dari rasa tertindas yang membelenggu.

    *) Pemerhati masalah sospol di tanah Papua Barat
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Ketua Lembaga Pendidikan Papua: Papua Kekurangan 5000 Guru, TNI Terus Didroping

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Papua Kekurangan 5000 Guru, TNI Terus Didroping

    Oleh: Longginus Pekey*)



    TNI Angkatan Darat Turun Amankan Jayapura Papua 

    Di Papua terdapat 2.400 sekolah swasta dan 1.700 sekolah negeri (SD, SLTP dan SLTA). Papua kekurangan sekitar 5000 guru negeri maupun swasta. Papua membutuhkan 3000 guru SD, 1000 guru SLTP dan 1000 guru SLTA, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). Sementara itu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Muladi meminta pemerintah tidak ragu-ragu menambah jumlah pasukan TNI ke wilayah Papua (baca: Kompas, Kamis, 20 April 2006). Pada hal, “SIANG itu, Kamis 24 November 2005 lalu,  rakyat yang berada di APO dan pusat kota Jayapura tercengang, “Booo…, ada apa lagi,” ucapkan warga Papua menyaksikan dua kapal TNI bernomor lambung 503 dan 514 yang berlabuh di pelabuhan TNI AL medrop 2.000-an TNI non organik. Sepanjang 200 meter di Jalan Raya Ahmad Yani, mulai dari depan Pelabuhan TNI AL hingga ke Kan­tor Pos Jayapura, berjejer 20 truk yang siap mengangkut,”(baca: Tabloid Suara Perempuan Papua, Edisi, 29-11-2005 menulis demikian).

    Tanggal 21 November 2005, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Masya­­rakat Adat, dalam laporannya, seperti yang dilangsir Tabloid Suara Perempuan Papua, disebutkan, di Distrik Namblong, 27 Oktober lalu (2005), Danramil menjelaskan kepada masya­rakat tentang rencana kehadiran ang­gota TNI yang akan ditempatkan di distrik itu untuk membantu masyarakat. Pada tanggal yang sama juga, Danramil Depapre menjelaskan hal itu kepada masyarakat Kampung Wambena. Bah­kan di Kampung ini, Danramil sudah menyebutkan, bahwa ada 15 anggota yang akan ditempatkan di Kampung Wambena. Jumlah pasukan yang akan ditem­patkan ditiap kampung juga diungkap­kan Danramil Demta, Letnan Dua (Letda) Triyono. Dia mengatakan, di kampung Demta Kota, Ambora, Yaugapsa akan ditempatkan pasukan TNI. Katanya, pasukan itu akan tinggal di rumah-rumah penduduk.

    Suara Perempuan Papua melalui www/http:parasindonesia.com menulis, sosialisasi kehadiran pasukan TNI itu berlangsung di Distrik Nimbokrang, Depapre, Kaure dan di seluruh distrik di Papua, termasuk di 195 desa atau kam­pung yang ada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sarmi, Jayapura, dan Kabu­paten Keerom. 

    Katakan saja, kalau pernyataan para Danramil, bahwa setiap kampung ada 15 anggota, maka diperkirakan jumlah pasukan yang didrop di Kabupaten Sarmi, Jayapura dan Keerom sekitar antara 2.925 hingga 3.500 orang,” tulis Suara Perempuan Papua. Nah, kira-kira berapa jumlah keseluruhan tentara/pasukan non organik di Papua? Tiga kabupaten di Jayapura sudah mencapai 3.500-an. Sementara, dengan adanya pemekaran wilayah, kini Papua memiliki lebih dari 17 kabupaten. Andai tiap kabupaten nasifnya sama, berapa keseluruhan pasukan non organik yang dikirim ke Papua ya. Entalah.

    Pendroping pasukan non organik di tanah Papua jelas untuk membantu rakyat. Sementara rakyat mempunyai pengalaman masa lalu yang pahit. Pengalaman itu hingga saat ini masih mereka alami. “…..kehadiran pasukan itu ditolak lantaran banyaknya tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI pada masa lalu,” baca Suara perempuan Papua. Kini Papua kekurangan sekitar 5000 guru baik negeri maupun swasta, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). “Walau begitu,  TNI AD akan membentuk satu divisi Kostrad di Papua,” tulis Suara Perempuan Papua.
    ***

    Seorang guru, pak Ponidi namanya saat ini tinggal di Sleman, Yogyakarta. Dia pernah tugas bersama kakaknya di Papua sebagai guru. Dia menceritakan banyak hal. Dari pembicaraan mengenai pengalaman itu ada tiga hal yang saya petik. Pertama, kondisi pendidikan, katanya, memprihatinkan. Kedua, mengenai guru dalam kacamata orang Papua Barat. Ketiga, rasa keprihatinan terhadap masyarakat yang mengalami kekerasan oleh militer saat itu. Pak guru Poni sempat mempertanyakan mengapa inovasi meiliter lebih didepankan untuk menjadi pengemban hegemoni kekuasaan Indonesia di Papua Barat. Bukankah pendidikan dan guru bisa menjawab, bila punya kepentingan politik mempertahankan integritas bangsa.

    Di Papua sosok guru sangat dikagumi terutama. Menyangkut kehidupannya, seperti tata krama yang patut di ancungi jempol dan menjadi panutan. Guru dianggap sebagai payung “tut wuri handayani”. Guru sebagai orang yang berpengetahuan luas dan punya wawasan akan perubahan. Nilai positif itu, punya tawaran tinggi untuk mejadi guru. Orang tua (keluarga) turut senang bila anaknya mejadi guru, bahkan akan menjadi bua bibir di masyarakat. Secara langsung atau tidak mengangkat nama baik keluarga.

    Dalam konteks itu, ada rasa kebanggaan terhadap kehadiran gereja, karena memberi intensi bagi pembangunan manusia, atau meminjan istilah Driyarkara, SJ sebagai proses pemanusiaan manusia muda. Hal itu telah dilakukan dengan pendirian sekolah katolik dan protestan pada tahun 1855 di Manukuari. Bertolak dari kebutuhan masyarakat, sekolah-sekolah itu mengajarkan tetang menulis, membaca, berhitung, ditambah dengan keterampilan seperti, belajar menjahit, beternak , bertani juga mengurusi rumah tangga. Harus diakui ada makna politis yaitu kristenisasi di Papua Barat (Eropanisasi). Namun, ada makna di balik itu, telah menjadi catatan sejarah bahwa sumbangan besar telah turut dalam peradaban Papua Barat. 

    Berganti zaman, kekuasaan beganti, kebijakan pun berganti. pada tahun 1966 Soeharta tampil sebagai the man of the power hingga 1998. Kekuasaan otoritariannya menghendaki lain tetang pendidikan di Papua Barat. Pada tahun 1980-an mengintrusikan pendirian sekolah Inpres. Sebenarnya inpres itu sangat bertetangan dengan kebutuhan masyarakat. Aspek ilmu pengetahuan lebih diporsir, sesuai kebutuhan politik sebagai pengembang hegemoni kekuasana Jakarta. Aspek kultur sangt berbeda. Pembelajaran yang menghafal Pancasila, UUD 1945, bendera merah putih, gambar presiden Indonesia dan sejarah Indonesia (Jawa sentris). 

    Mata pelajaran utama di Papua sampai saat dalam kerangka nasionalisme. Seperti yang tersurat dalam buku pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah. Sampai saat ini, anak-anak di Papua masih menyodorkan bacaan yang asing dari kehidupannya, misalnya pantai kute, candi Borobudur, Prambanan, ini Budi, ini Rini, Iwan dan sebagainya. Selain muatan lokal, seperti tarian tradisional, bahasa daerah, permainan tradisional tidak medapat perhatian penuh apalagi tetang sejarah daerahnya. Bahkan pada tahun 1961 sampai tahun 1980-an pemerintah melarang publikasi tetang unsur-usur kebudayaan yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme etnis Papua Barat. Ketika kelompok musik mambesak dari mahasiswa Universitas Cendrawasi (Uncen) Jurusan Antropologi mengoleksi dan merekam berbagai lagu daerah dan tarian dari berbagai suku di Papua Barat, mereka harus dikejar-kejar dengan tuduham maker. Pemimpinya Arnol AP dibunuh aparat, kemudian mayatnya dibuang ke laut. Dengan melihat kondisi masa lalu ini, mungkin tidak salah bila mengatakan, ini satu bukti sejarah adanya usaha pelenyapan identitas lokal.

    Papua Barat memberikan devisa terbesar bagi negeri ini, tetapi sangat ironis, jika Papua yang kaya dengan sumber daya alam itu, rakyatnya tidak cerdas mengelola kekayaan alam demi kelangsungan hidup. Kalau demikian, bisakah kita menerimanya bila mengatakan sebagai wujud dari kegagalan pendidikan Indonesia? Seperti, dikemukakan anggota Komisi X DPR bidang pendidikan, Cyprianus Aoer, menanggapi kondisi darurat pendidikan, khususnya masalah guru di Papua Barat. “Kondisi pendidikan di Papua memasuki tahap darurat. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan hal tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah membangun dunia pendidikan dan mencerdaskan rakyat Indonesia, khususnya di Papua Barat. Dalam hal ini, pemerintah gagal bangun dunia pendidikan di Papua Barat. Pemerintah juga tidak memiliki terobosan baru yang bisa membawa perubahan, khususnya di bidang pendidikan di Papua yang selama ini tertinggal,“ (baca: Suara Pembaruan. 22/3/06)). 

    Krisi Guru

    Sekolah Guru Bawahan (SGB), Sekolah Guru Olahraga (SGO) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sudah ditutup sejak tahun 1980-an. Sejak itupula Papua Bara mengalami kekuranga guru. Saat ini guru tamatan sekolah tersebut sudah berkurang, karena mereka tua dan tidak bisa mengajar. Sedangkan, generasi muda Papua kurang berminat menjadi guru. Ada FKIP dan PGSD di Universitas Cenderawasi (Uncen), lagi pula letaknya di Jayapura (ibukota provinsi) yang jauh dari kabupaten lain. Itupun tidak didukung dengan fasilitas dan dosen yang memadai (baca: Papua).

    Sosok guru yang dulu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini suram, guru dipandang sebelah mata dan terjadi degradasi. Apati muncul, karena ada kacamata negatif tetang guru. Bisa jadi benar, karena upah gajinya tidak cukup untuk menjamin hari tua. Menjadi guru sebagai “pilihan” terakhir daripada mengangur. Bisa dibilang ini permasalahan mendasar yang sedang dihadapi negara ini. Terkait dengan itu, guru di kota besar pun saat ini memiliki masalah yang kompleks, bukan hanya masalah kesejahteraan, tetapi juga masalah profesionalitas yang kurang terperhatikan pemerintah maupun pengelola universitas dan sekolah. 

    Krisis guru berdampak pada kualitas pendidikan di negeri ini. Hal ini terjadi karena wajah sekolah yang lebih berpatokan pada ilmu pengetahuna, kurang menggali afeksi dan psikomotori, artinya kurang terciptanya pembelajaran yang holistik. 

    Mengapa Harus Militer?

    Bukankah pendidikan adalah solusi? Mengapa bukan guru yang dikirim banyak-banyak ke Papua Barat? Pertanyaan ini tentu bermakna emisional. Tetapi, barangkali perlu dipahami tetang kultur Papua Barat yang dalam merespon sesuatu cenderung berbicara lansung menunjuk sasaran. Alias tidak nego-nego. Jujur saja, pertanyaan itu tidak mengandung benci dan marah (emosi). Sama dengan manusai lainnya orang Papua Barat punya jiwa baik dan halus. Sangat keliru bila dinilai dari seramnya raut muka. Perlu ada pemahaman bahwa gambaran perjuangan melawan rimba raya, kencangnya arus sungai dan medan yang berat di Papua Barat itu tampak pada raut muka manusia Papua Barat.

    Bangsa beradap seperti Indonesia tentu memahami, bahwa proses memanusiakan manusia, satu-satunya adalah pendidikan. Peran penting itu diembangi guru. dan itu sudah terbukti dalam sejarah umat manusia, bahwa pendidikan punya peran besar dalam membangun suatu perdaban. Alasan itu melatarbelangi pelaksanana pendidikan di Papua Barat. Tetapi, menjadi pertanyaan mengapa harus militer yang dikirim banyak-banyak. Kata mau melayani rakyat. Tetapi, kalau kita bertanya apa yang dilakukan militer di Papua kepada seorang anak kecil di pedalaman Papua, kita akan mendapatkan jawabanya sangat kontra. Dengan polos anak itu bisa mengatakan, “Aparat militer itukan untuk membunuh orang Papua to.” Jawaban itu muncul karena memiliki akar histories yang menyimpan beban psikologis dan traumatis dalam diri generasi anak itu. Memang ini gambaran umum hati kecil orang Papua tentang aparat militer. 

    Pemahaman umum itu terkait dengan stigma separatis dan maker (GPK) yang telah dibangun oleh pemerintah Indonesia yang akhirnya ribuan masyarakat Papua Barat menjadi korban. Banyak anak, termasuk saya kehilangan orang tua, paman. Karena orang tua dan saudara dibunuh dengan sadis oleh aparat militer waktu Papua Barat menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) sekitar tahun 1963 sampai 80-an, masa rezim militeristik Soeharto. Telah terjadi pemaksaan dan kekerasan lainnya kepada masyarakat yang tidak memahami dan tidak menghafalkan symbol-simbol kenegaraan. (bendera, lambang negra, lagu nasional, Undang-undang termasuk bahasa). Upaya peningkatan SDM tidak mendapat porsi. Itulah sebabnya masyarakat Papua terus terpojok. Bagi masyarakat Papua militer hadir bukan sebagai sosok guru yang diharapkan membawa perubahan hidup. 

    Waktu terus berlalu, globalisasi membonceng hadirnya teknologi informasi. Kemajuan itu diikuti dengan kesadaran masyarakat. Papua Barat mulai berubah wajah menjadi sedikit maju, masyarakat seperti terbangaun dari tidur. Sudah mulai ada kesadaran kalau ada pembodohan, ada kekerasan, ada penindasan secara ekonomi (kekayana alam dibawa ke Jakarta), cultural (jawanisasi) dan politik (tuduhan separatis) dan terutama perlakuan hukum yang memihak. Misalkan pada bebarapa kasus HAM berat, seperti peristiwa Abepura I, Pembunuhan terhadap pemimpin besar orang Papua, Theys Hiyo Eluay dan bebarapa yang lainnya tidak ada penyelesaian yang jelas. 

    Orang Kamoro, Amugme (suku di Timika), dan suku lain di pedalaman mulai menyadari. Kehadiran PT Freepot Indonesia (FI) tahun 1969 misalnya, telah merusak lingkungan, melakukan tindakan kejahatan terhadap lingkungan, roh leluhur di gunung Gresberg telah dirusaki. Selain itu FI memiliki akar historis bahwa penyebab konflik antara masyarakat dan militer adalah perpanjangan tangan negara. 

    Namun, entah mengapa tidak ada sulusi yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan problem-problem di Papua Barat. Semakin nampak demokrasi itu mahal bagi orang Papua Barat. Harapan akan terbukanya pintu demokrasi belum juga kunjung terbuka. Mungkin demokrasi di negeri ini harus diperjuangkan lagi, karena sampai era reformasi ini ruang dialog masih tertutup untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua Barat secara bijak. Bagaiman tidak bijak, bila militer terus dijadikan pahlawan untuk menjawab permintaan rakyat akan keadilan, kesejateraan dan kedamaian. Mengapa harus militer, masyarkat tidak punya senjata api. Sudah bisa memahami arti organisasi untuk mengorganisir diri. Dalam hal ini, masyarakat Papua mengaharapkan dialog nasional untuk penyelesaian berbagai persoalan. 

    Untuk menyikapi itu semua ada baiknya kita pikirkan bersama, mencari solusi bersama untuk menjawab kebutuhan masyarakat, kita harus lebih banyak belajar untuk menerima dan mendengarkan suara dan aspirasi orang lain dalam kerangka kemanusiaan yaitu saling menghormati dan menghargai sebagai ciptahan Tuhan. Pintu demokasi itu harus dibuka lebar-lebar, artinya bangsa ini harus membuka diri dan belajar mendengar serta memahami apa yang menjadi aspirasi mereka (masyarakat Papua Barat). Kalau mengakui sebagai bagian darinya, tanpa harus mengedepankan militer. Kita berharap tidak terjadi lagi peristiwa Abepura berdarah yang ketiga kalinya dengan jumlah korban lebih besar, karena akan semakin memperburuk citra bangsa ini di mata masyarakat maupun di dunia internasional yang dapat mengancam keutuhan negara ini.

    *) Ketua Lembaga Pendidikan Papua
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?


    Oleh Naftali Edoway *)
     
    Sejumlah peneliti dari Universitas Yale Amerika Serikat dan para peneliti di Australia pada tahun 2006 lalu telah menyimpulkan bahwa di tanah Papua sedang terjadi GENOSIDA (pembantaian etnis Papua).  Aktornya adalah TNI dan POLRI. Yang dapat menjadi bukti adalah pada tahun 1969 penduduk asli Papua berjumlah  ± 8.000 jiwa dan PNG ± 6000 jiwa. Setelah rakyat Papua bersama NKRI (45 tahun) penduduk asli Papua  ± 1,5 juta jiwa sementara penduduk asli PNG berjumlah ± 7,5 juta jiwa. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa antara tahun 1961-1969 Indonesia membantai orang asli Papua Barat ±10.000 jiwa.

    Pada tahun 2010 BPS Provinsi Papua Barat melaporkan bahwa jumlah orang Asli Papua di propinsi itu sebanyak 51,67% dari total 760.000 jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, (Baca: Kompas.com, selasa 11 Januari 2011).  Artinya jumlah penduduk Papua Barat antara Papua asli dan pendatang adalah fifty-fifty.

    Tahun 2010,  Jim Elmslie seorang akademisi dari Australia dalam laporannya yang berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641. Dalam buku itu dilaporkan bahwa jumlah Orang Asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu, jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425.  Jadi, presentase pertumbuhan penduduk non Papua pertahunnya 10.82%.

    Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah Orang Asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89% . Sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%.  Diakhir tahun 2010,  orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%.  Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%.  Jadi,  jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854  atau 100%.

    Jim Elmslie memperkirakan, tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7,287, 463 atau 100%.  dengan pembagian: jumlah orang Asli Papua 2, 112,681 atau 28.99% dan jumlah non Papua 5,174,782 atau 71.01%. Itu mengindikasikan,  pertumbuhan jumlah orang asli Papua lambat dibandingkan non Papua. Apa  penyebabnya? Jim sendiri mengatakan bahwa selain masalah sosial dan pelanggaran HAM penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar (baca: http://sydney.edu.au/arts/peace conflict/docs/working papers/West Papua Demographics in 2010 Census.pdf).

    Tingginya migrasi di Papua diakui Mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH di hadapan masa rakyat tahun 2010 lalu saat masa rakyat Papua demonstrasi mendukung SK 14 MRP. “ Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahunnya. Padahal normalnya 1%”, koarnya.

    Tahun 2011, tepatnya pada 8 Januari 2011, Barnabas Suebu, SH Gubernur Propinsi Papua dalam sambutannya saat melantik Bupati Merauke kembali mengatakan bahwa orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, khususnya lewat migrasi masuk (baca: Papua Pos, 11 Januari 2011).

    Terakhir, Kepala Bapeda Propinsi Papua, Alex Rumaseb dalam bedah buku, karya Anthonius Ayorbaba dengan judul The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 Tahun Otsus Papua mengatakan, angka  migrasi ke Papua pertahun sebesar 6,39 persen. Sehingga dari data sensus penduduk sebenarnya orang Papua ada 30 persen dan pendatang ada 70 persen (baca: Tabloidjubi.com, 12 Januari 2012 ).
    ***

    Ketika membaca laporan-laporan di atas, kira-kira apa yang terlintas di hati dan pikiran kita? Sebagai orang asli Papua dan yang peduli dengan situasi orang Papua pasti kita tidak menerima keadaan ini.  Luka dalam batin pasti akan semakin tergores. Makian, benci dan marah pasti terlontar dari diri kita. Tapi, apakah kita mau terus berada dalam situasi ini? Apakah kita mau melihat diri kita terus berkurang dan habis di tanah leluhur kita? Apakah kita mau biarkan kisah orang Aborigin di Australia dan kisah orang Indian di Amerika pada masa lampau terulang kembali di tanah Papua?

    Sepertinya, misi kebijakan Otsus untuk menjadikan orang Papua menjadi tuan di atas negerinya terbalik. Bukannya menjadi tuan di negerinya tetapi menjadi hamba, miskin dan musnah. Bukannya mengatur dan memerintah tetapi diatur dan diperintah. Bukannya menjadi produsen, distributor dan konsumen sekaligus tetapi kenyataannya hanya konsumen setia.

    Kemudian, tanah yang diyakini sebagai mama pun beralih tangan dan kita menjadi anak durhaka. Mimpi Papua Baru yang kita inginkan terlihat semakin kabur. Apalagi saat ini pemerintah Pusat menghadirkan UP4B dengan maksud mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat. Ditambah lagi permintaan pemekaran kabupaten kota dan provinsi yang semakin ramai. Lalu,  pertanyaan saya adalah mengapa ini terjadi dan siapa yang menciptakan situasi ini?

    Dari berbagai laporan di atas faktor utama terjadinya penurunan jumlah orang asli Papua adalah migrasi. Namun, dalam refleksi, kita menemukan dua faktor utama yang membuat keadaan ini semakin parah.
    Pertama, faktor luar, yakni (a) sejarah integrasi yang direkayasa pemerintah NKRI yang disusul dengan berbagai pelanggaran HAM; (b) kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat dalam segala bidang yang membingungkan, yang tidak berpihak kepada Papua; (c) sikap apatis negara terhadap semua situasi di Papua, dan lain-lain.

    Kedua, faktor dari dalam, yakni (a) sikap orang Papua terutama para pemimpin yang selalu mau didikte dan menerima dengan mentah-mentah semua keinginan pusat; (b) pemerintah daerah yang kurang bertaring dalam membuat kebijakan memproteksi orang asli Papua; (c) orang Papua yang selalu berpikir utopis (suka mimpi dan berkhayal); (d) orang Papua yang selalu merasa puas dengan apa yang ada sekarang, mengejar kepuasaan hari ini tanpa berpikir ke depan, dan lain-lain.

    Itu artinya,  terjadinya penurunan jumlah orang asli Papua  hingga 30%  pada tahun 2012 ini, penyebabnya bukan hanya pemerintah pusat tapi juga oleh orang Papua sendiri.  Di dalam kasus penderitaan kita di Papua, kedua faktor itu saling bekerja sama. Bahkan faktor dari dalam, Papua sendiri menjadi “jembatan emas” bagi pihak luar untuk melemparkan Papua ke dalam jurang permasalahan. Dengan perkataan lain, orang Papua sendiri, menjadi (faktor dari dalam) menjadi Tim Sukses untuk menghancurkan dirinya sendiri dan masa depannya. 

    Kalau begitu, bagaimana kita keluar dari penderitaan ini?  Papua merdeka? Barangkali itu terlalu jauh tetapi harus terus diperjuangkan. Marilah kita melihat berita terakhir di atas sebagai kairos Tuhan atau jalan dari Tuhan untuk mengubah situasi kita. Mungkin kita harus mulai dengan merefleksi diri kita dan organisasi kita. Sejauh mana saya telah berfungsi baik bagi rakyat saya dan atau sejauh mana organisasi yang saya pimpin atau di dalamnya saya menjadi anggota telah paling sedikit membawa kesembuhan bagi luka batin rakyat selama ini? Lalu,  kita mulai berdialog, berdialog dengan diri kita, dengan organisasi yang lain yang setujuan, dengan prinsip “one people one soul”. Berdialog dengan prinsip kasih dan keprihatinan. Katakan, STOP dengan semua kebiasaan buruk kita yang ujungnya menghancurkan diri, keluarga, dan komunitas kita. Dan,  kita berkomitmen bersama bekerja keras untuk mengubah 30% itu menjadi 100%.  Mari berjuang!!

    *) Pemerhati Masalah Sosial Papua, Tinggal di Jayapura.
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Sinergi Investasi – Ekonomi Kerakyatan

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Sinergi Investasi – Ekonomi Kerakyatan


    Jeffrey Sandra Irawan*)

    GLOBALISASI, sudah menjadi realita yang tidak bisa lagi dielakkan saat ini. Hal ini bukannya tanpa konsekuensi. Era persaingan ketat ini seolah memaksa semua orang yang hidup di zaman ini untuk menjadi kreatif, jika ingin bertahan dalam arus deras globalisasi. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan globalisasi dan modernisasi. Karena ini sesuai dengan sifat manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang dinamis, dan selalu berusaha untuk berinovasi menemukan sesuatu demi kehidupan yang lebih baik.

    Dalam upaya untuk mengimplementasikan gerakan pembaruan ke arah yang lebih baik, hal yang tidak bisa dipungkiri adalah dibutuhkannya dana. Dalam hal ini, menggerakkan investasi merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan ini. Namun masalahnya adalah ketika kepentingan investor malah menjadi semacam parasit yang dirasa merugikan kepentingan umum (masyarakat sekitar). Bahkan terbentuk opini masyarakat bahwa investasi telah membunuh ekonomi kerakyatan. Hal ini kemudian menimbulkan sikap apriori dan antipati masyarakat, dan mengerucut menjadi resistensi dan penolakan penduduk lokal terhadap pendatang yang ingin berinvestasi.

    Sikap penolakan terhadap segala bentuk investasi seharusnya tidak perlu terjadi, jika masyarakat memahami benar investasi, dan mampu membedakan antara investasi yang membawa dampak negatif atau investasi yang justru membawa kemaslahtan bagi masyarakat luas. Dengan demikian diharapkan pemerintah selaku regulator dapat konservatif dan selektif dalam menyetujui proyek investasi pada suatu daerah.

    Namun demikian, jika melihat pada apa yang terjadi di Papua, secara jujur harus diakui bahwa investasi yang berjalan selama ini cenderung tidak membawa manfaat kepada masyarakat lokal. Ini dapat dilihat dari bagaimana buruknya kesejahteraan masyarakat, sementara pemodal besar dengan “liar dan tamak” mengeksploitasi sumber daya Papua yang luar biasa berlimpah, demi keuntungan pribadi.

    Diakui atau tidak, ini akibat dari besarnya keberpihakan pemerintah (baik pusat maupun daerah) kepada pihak investor sehingga investasi yang bertamu di tanah Papua, hasilnya tidak terdistribusi secara adil merata dan hampir tidak dirasakan masyarakat Papua. Masalah lain yang mendasari adalah pemilihan investasi yang melulu pada proyek eksploitasi sumber daya di Papua. Padahal jika pemerintah sungguh-sungguh ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan investasi, maka seharusnya investasi yang perlu digalakkan adalah investasi bidang infrastuktur. Infrastruktur yang utama adalah bidang pendidikan, baru kemudian disusul dengan perbaikan di bidang lain, seperti jalan, instalasi listrik, fasilitas pendanaan bagi usaha kecil dan menengah (UKM), dan lain-lain, yang nantinya akan mendukung pertumbuahan ekonomi yang lebih merata di Papua.

    Belum siap? Ya Bersiap-siap

    Ada yang mengungkapkan bahwa umumnya masyarakat Papua belum siap menghadapi investasi. Lantas apakah kemudian menerima semua ini dengan menolak investasi? Jika yang terjadi demikian maka perbaikan tingkat kesejahteraan hanya bisa menjadi sekedar mimpi indah yang tidak akan pernah terwujud nyata. BANGKIT! itu kata kunci yang harus dipegang untuk terbebes dari keterpurukan.

    Masyarakat Papua memandang bahwa pendatang lebih makmur daripada penduduk asli. Kondisi ini seharusnya justru menjadi motivasi bagi masyarakat untuk berkata “Jika mereka bisa demikian sukses, mengapa saya tidak bisa? Saya punya jumlah tangan yang sama dengan mereka. Saya pasti bisa”.

    Namun memang, sekedar semangat untuk bangkit saja, sama sekali tidak cukup untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tentu dibutuhkan adanya dukungan dari pemerintah dalam hal ini. Sebagai langkah awal untuk memulai hal itu, yang pertama MUTLAK harus diperbaiki adalah pendidikan, yaitu bagaimana mengusahakan untuk membuka wawasan masyarakat dengan pendidikan. Ini penting, karena dengan menjadi terdidik, masyarakat tidak akan dengan mudah dibodohi, dan dapat selalu berinovasi. Pertanyaannya, pendidikan macam apa? Tidak harus pendidikan formal, perbaikan pendidikan masyarakat bisa dimulai dengan penyuluhan-penyuluhan serta pelatihan-pelatihan praktis yang dapat dipakai langsung, sambil secara bertahap terus memperbaiki pendidikan formal.

    Sebagai contoh pendidikan non formal adalah pelatihan masyarakat mengenai budi daya kopi atau kakao. Ini harus dilakukan secara serius dan komprehensif, yaitu dari mulai pemerolehan modal, pembukaan lahan, pengolahan, hingga pemasaran hasil harus sungguh-sungguh dikuasai oleh petani sehingga benar-benar dapat dijalankan secara profesional dan mandiri. Selain itu, tentu ada banyak sektor yang bisa dikembangkan masyarakat Papua, tanpa harus mengorbankan kelestarian tanah Papua.

    Dalam hal ini tentu pemerintah harus menjadi penggerak utama, namun jika hanya mengandalkan pemerintah, usaha perbaikan sistem pendidikan tentu tidak akan optimal. Perlu dukungan berbagai pihak seperti akademisi (universitas), gereja, dan elemen-elemen lain yang bisa berkontribusi menjadi tenaga pengajar dadakan untuk sesedar membagikan ilmu kepada masyarakat untuk diterapkan.

    Setelah masyarakat cukup siap untuk berpraktik, baru kemudian ekonomi kerakyatan dapat digerakkan secara sehat. Hal ini dapat diawali dengan menggali potensi-potensi masyarakat untuk mengelola sumber-sumber daya Papua, baik secara individu atau berkelompok dalam bentuk koperasi. Sungguh beruntung di Indonesia memiliki sebuah sistem ekonomi kerakyatan yang dikenal dengan ekonomi koperasi. Sayangnya belakangan koperasi mulai terlupakan, padahal sistem ini sangat tepat diterapkan untuk usaha-usaha kecil, para anggota koperasi bekerja sama dengan tujuan yang sama yaitu kesejahteraan seluruh anggota. Namun demikian, ada hal yang sangat perlu diperhatikan dalam koperasi yaitu adalah prinsip kejujuran dan saling percaya antaranggotanya jika tujuan koperasi sungguh ingin tercapai secara optimal.

    Selain koperasi, masyarakat juga dapat memilih bentuk alternatif usaha lain seperti usaha kecil dan menengah (UKM). Model usaha ini juga merupakan sistem berkelompok, namun lebih bersifat sentralistik, seorang yang mendirikan suatu usaha tertentu dan merekrut beberapa orang sebagai pegawai. Namun, dalam hal ini yang sering menjadi hambatan utama adalah masalah sulitnya memperoleh modal untuk memulainya. Dalam hal ini perlu adanya lembaga, baik pemerintah maupun swasta yang bersedia untuk memenuhi kebutuhan modal UKM.

    Mensinergikan Masyarakat dengan Investasi
    Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa investasi tidak seharusnya menjadi musuh bagi masyarakat, namun seharusnya investasi dapat diusahakan agar menghasilkan mutual benefit yang menguntungkan semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, dan tentunya para investor.

    Untuk mewujudkan hal itu, perlu adanya usaha untuk membangun sebuah sinergi yang sehat antara kepentingan investasi dan masyarakat, yaitu dengan mengutamakan investasi yang secara langsung memberi manfaat kepeda masyarakat setempat. Jika sebelumya disebutkan masalah permodalan dalam memulai UKM, maka investasi bidang pendanaan seperti lembaga atau Bank Perkreditan tentu cukup relevan untuk diutamakan, dalam menjawab masalah ini.

    Selain itu, bentuk investasi lain yang perlu diutamakan adalah proyek-proyek seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, pengolahan hasil pertanian dan perkebunan, serta bentuk-bentuk investasi lain yang akhirnya dapat membantu menggerakkan perekonomian secara lebih luas, tanpa harus dengan proyek investasi yang melulu mengeksploitasi sumber-sumber alam yang perlahan tapi pasti dapat mengahacurkan tanah Papua yang indah dan kaya.

    Untuk mengimplementasikan hal ini, tentu dibutuhkan waktu yang cukup pajang. Selain itu, yang sangat dibutuhkan adalah komitmen yang kuat dari semua pihak untuk bersama-sama terus berusaha agar keselerasan tujuan investasi dan peningkatan kemakmuran masyarakat sungguh-sungguh dapat terwujud. _AMDG_
    Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Jogjakarta
    *) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan  Akuntansi Universitas  Sanata Dharma Yogyakarta
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

    Prolog 

    Manusia hidup di atas tanah. Manusia? Kata itu, menunjuk  pada makluk bernalar yang hidup dan melakukan aktivitas, berkembang, mengisi, dan menguasai. Manusia ’terdampar’ di atas tanah dan secara otomatis mempertahankan hidup dengan berbagai aktivitas di atasnya. Tanah menjadi tempat melakukan aktivitas ekonomi, politik, sosial dan budaya.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2001:1132) tanah adalah (1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; (2) keadaan bumi suatu tempat; (3) permukaan bumi yang diberi batas; (4) permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa…, dan seterusnya. Maka, di atas tanah ada segala sesuatu termasuk manusia. Bagi manusia, tanah menjadi tempat melakukan hubungan dengan segala sesuatu ’lain’ yang ada—lingkungan– dan karenanya dapat hidup.

    Dengan demikian, tanah (lingkungan) menjadi bagian hidup dan keber’ada’an— dalam pandangan teologis, manusia diciptakan dari tanah, manusia hidup di atas tanah, manusia akan kembali ke tanah, walaupun tidak mudah dibuktikan (yang jelas, bila manusia mati, tubuhnya akan dikubur atau dibakar dan kemudian terurai menjadi tanah dan gas alam lainnya)– manusia. Berbicara soal tanah adalah juga berbicara soal manusia dan lingkungan hidup. Maka, jika lebih jauh berbicara tentang makna dan fungsi tanah, tidak perlu pula diartikan secara sempit. Berbagai makna dan fungsi tanah sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makluk hidup lainnya.

    Mathias Haryadi (tanpa tahun) mengemukakan, tiga arti fundamental dari tanah.  Pertama, tanah adalah tempat manusia mendirikan rumah. Di atas tanah dan dalam rumah ia tinggal, manusia menemukan basis hidupnya. Di sana, ia menemukan identitasnya. Kedua, di atas tanah itu, manusia berhubungan dengan hewan dan tunbuh-tumbuhan (lingkungan—air, udara, dan lainnya). Hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga, karena tanah memiliki arti ekonomis yang sangat kaya, satu-satunya dan tak mungkin tergantikan.

    Keterpenuhan sandang, pangan, dan papan menjadi dasar untuk mengartikan makna dan fungsi tanah. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergantung pada tanah (hutan). Menurut Abdon Nababan (2003), dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan (komunitas-komunitas masyarakat adat) populasinya diperkirakan antara 50–70 juta orang masih tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan (tanah) lokalnya. Mereka tergantung pada alam serta memiliki kedekatan, ikatan yang erat dengan alam termasuk tanah. Masyarakat Papua merupakan bagian dari masyarakat adat dunia yang secara turun-temurun hidup dan menghidupi dari dan di atas tanah mereka. Tanah Papua menjadi hak milik yang diatur menurut hukum adat (KBBI, 2001:1132).

    Tulisan ini hendak mengulas tentang cara pandang masyarakat adat Papua tentang tanah (– serta isinya) dan ’pemanfaatan’ tanah dan isinya oleh orang luar (pemerintah dan pengusaha). Pemanfaatan tanah (hutan dan kaitannya) dengan perlindungan tanah (hutan)—pelestarian lingkungan hidup– dengan mengakui hak-hak adat dengan sistem pemerintah yang baik dan keterwakilan lembaga yang memikirkan secara serius akan hal ini, ikut dipikirkan secara umum.

    Tanah bagi Masyarakat Adat Papua 

    Masyarakat adat diakui secara internasional sebagai bagian dari masyarakat dalam komposisi dan konstelasi sosial-politik masyarakat modern (Baca: HAM Masyarakat Adat pasal 1, 2, dan 3– eksistensi dan jati diri Madat).  Mereka tidak masuk ke dalam kelompok Masyarakat Sipil, Masyarakat Ekonomi ataupun Politik.  Maka, jelas Madat berhak menikmati segala hak yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh semua umat manusia di planet bumi ini, termasuk hak untuk menghargai dan mengatur tanah (hutan—lingkungan hidup) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas (Papuapost.com, 19 Juni 2008).

    Rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat adat Indonesia dan dunia, sejak awal kehidupan, sudah sangat dekat dengan tanah (alam—lingkungan) mereka. Mereka telah memiliki hak untuk menghargai dan mengatur tanah (hutan) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas mereka. Kedekatan orang Papua dengan alam dapat dipahami melalui tarian, lagu, dan doa. Salah satunya dapat dilihat  dari ungkapan sederhan mama Yosepha Alomang, peraih ”Goldman Enviromental Prize” (Selangkah, September 2006. Tanah Adat, Freeport, dan Warga Sipil” hlm. 26). Atas tanahnya yang direbut oleh negara dan kapitalis, dia mengatakan: ”Tanah ini saya punya tubuh. Gunung Nemangkawi ini jangtungku. Danau wonangon ini saya punya sum-sum. Kali ini saya punya nafas. Tetapi Kao sudah makan saya. Kao tidak punya hati dan perasaan. Freeport dan Pemerintah, kamu sudah makan saya. Tidak sadarkah kamu?”
    Ungkapan di atas memperlihatkan mitologi menyangkut manusia sejati (seorang ibu) yang berubah menjadi tanah dan membentang sepanjang daerah Amungsal (tanah Amugme)—daerah keramat wilayah PT Freefort beroperasi sejak 1967 hingga saat ini. Tanah bagi Amugme adalah “seorang ibu” yang baik hati, yang memberikan dan menyediakan semua kebutuhan.

    Tidak hanya suku Amugme dan Kamoro. Sekitar 250-an suku yang ada di tanah Papua dengan adat istiadatnya masing-masing memaknai tanah sebagai ibu (mama). Orang Mee misalnya, selalu mengatakan, “maki kouko akoukai” (tanah adalah Ibu—jagalah baik-baik). Orang Mungmen juga mamahami tanah sebagai ibu kadung. Nimboran percaya bahwa tanah diciptakan oleh seorang nenek tua, sedangkan bagi orang Humbuluk tanah dikonotasikan sebagai rahim perempuan.

    Masyarakat Napan di Nabire misalnya,  meyakini bahwa hulu sungai Lagari yang dikenal dengan nama ‘Nuba Urigwa’ adalah tempat yang sakral, yang menjadi tempat tinggal Kuri. Keyakinan ini membuat masyarakat dari kelompok budaya Kuri di kawasan Napan-Weinami dan Makimi memahami seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai wilayah yang tidak boleh dirusak karena kehidupan sungai bersumber pada tanah di sekitarnya. Tanah dianggap rahim bagi air sungai dan air laut, sehingga laut dan sungai tidak boleh dicemari (baca: Kuri dan Pasai). Sama juga masyarakat kampung Yaro di Kabupaten Nabire. Mereka memandang tanah sebagai manusia yang harus dijaga.

    Pada budaya Suku Ngalum, Kabupaten Pegunungan Bintang, setiap bidang tanah, pohon, rotan, sungai, gunung hingga batu berhubungan erat dengan suku-suku di sekitarnya. Begitu eratnya hubungan ini sehingga dalam pembukan lahan, setiap laki-laki yang terlibat wajib memakan segumpal tanah. Ini mencerminkan bahwa tanah merupakan sumber kesuburan dan kehidupan sehingga masyarakat Ngalum harus mengikatkan dirinya dengan tanah yang tidak lain dianggap sebagai ibu, (Tabloid Jubi, 20 Agustus 2007).

    Keyakinan tanah sebagai ibu, diperkuat setelah agama kristen masuk di tanah Papua. “Hormatilah ayah dan ibumu” (baca: Sepuluh Perintah Allah). Ajaran itu semakin mendekatkan suku-suku di tanah Papua yang mayoritas kristen itu bahwa tanah mereka sebagai ibu yang patut untuk dicintai (dijaga).

    Tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam memperkuat ikatan mereka dengan segala hal yang berada di permukaan bumi. Tanah dalam stuktur dasar antropologi  di kalangan orang Papua menyatu dengan manusia. Artinya, tanah dipandang sebagai rumah yang memberi kehidupan dan perlindungan. Tanah juga adalah tempat tinggal arwah nenek moyang yang merupakan sumber kekuatan hidup manusia. Dari aspek budaya, tanah adalah mama atau ibu. Ibu yang melahirkan, memberi makan, memelihara, mendidik, membesarkan, hingga sekarang ini. Karena itu bila manusia merusak alam, dengan sendirinya ia merusak dirinya sendiri. Dengan demikian, masyarakat Papua memandang tanah sebagai “tubuh ibu atau mama” orang Papua, sehingga tidak ada orang yang seenaknya mengambil atau merusak.

    ’Perampasan’ Tanah Adat Papua
     
    Tanah Papua merupakan ’mama’ masyarakat adat Papua yang dimiliki secara turun-temurun. Tanah Papua dimiliki oleh suku-suku (baca: 250 suku di Papua). Dan, di lingkup suku dimiliki oleh marga-marga. Tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat itu mulai di’rampas’ sejak  kepentingan bisnis dan politik mulai menapakan tajinya di mana-mana, terutama areal pertambangan, hutan, dan pembangunan jalan trans serta lokasi pemukiman baru termasuk program transmigrasi.

    Negara yang ‘baru’ lahir itu secara sengaja menjadikan eksistensi masyarakat adat tidak memunyai kekuatan dan kepastian hukum, karena dikalahkan oleh kepentingan  yang mengatasnamakan negara demi kemakmuran rakyat (Selangkah, Edisi Februari-April 2005). Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3, “Melaksanakan hak ulayat masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, maupun peraturan-peraturann yang lebih tinggi.” Bunyi UUPA 1960 Pasal 3 jelas-jelas menjadikan masyarakat adat tidak punya jaminan hukum dari negara. Dengan berdasar pada pasal itu, negara memperbolehkan dan memberikan HGU, HPH, mupun hak pertambangan kepada perusahaan-perusahaan kayu maupun industri pertambangan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 juga dipakai negara sebagai alasan (surat jalan) untuk menguasai tanah adat.

    Secara yuridis kata ’menguasai’ yang terkandung pada pasal 33 ayat 3 UUD 45 memunyai makna; pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Kedua, menentukan dan mengatur hak-hak yang dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang  dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Maka, jelas bahwa negara tidak berhak memiliki. Kata mengatur, menyelenggarakan, menentukan mengisyaratkan makna adminitratif, tetapi seringkali makna tersebut diselewengkan oleh negara untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

    Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bab II Pasal 16 diatur tentang  hak atas tanah, sebagaimana tercantum dalam pasal 4 yang meliputi: pertama, hal milik; kedua, hak guna usaha; ketiga, hak guna bangunan; keempat, hak pakai; kelima, hak sewah; keenam, hak membuka tanah, dan ketujuh hak memungut hasil hutan. Pengaturan  atas hak tanah di atas mengalami  penyimpangan, terutama oleh aparat pemerintah sendiri, (baca: R.H. De Haas Engel dalam Pekey, 2007). Semua produk Undang-Undang tentang tanah diterapkan sepihak tanpa rasa hormat  terhadap hukum adat, dan prinsip tentang tanah yang dianut oleh masyarakat adat. Aspek lingkungan yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem yang terkandung di dalamnya terabaikan.

    Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengawali  masuknya PT Freeport Indonesia (PTFI) di tanah adat orang Amugme dan Kamoro  misalnya, kontrak dilakukan tanpa rasa hormat  terhadap hukum adat dan prinsip tentang tanah yang dianut oleh masyarakat adat. Kontrak karya pertama ditandatangani pada bulan April  1961 dan mulai beroperasi pada 10 Januari 1967 tanpa pembicaraan dengan pemilik tanah adat (Baca: ‘Travel Feature Itu Menuai Bencana’, Selangkah, edisi September 2006).

    Penduduk Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang berada di Mimika  dipaksa merelakan tanah adat mereka yang memiliki nilai sosial budaya, politik dan religius. Gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel di daerah Kabupaten Mimika yang merupakan daerah keramat orang Amungme dan Kamoro harus rela isi perutnya dilubangi karena kepentingan emas, perak dan tembaga demi sebuah investasi. Mereka menyaksikan tanah keramat, tempat arwah leluhur  bersemayam dibongkar tanpa merasa bersalah dan tanpa ada perundingan. Mereka menyaksikan hak-hak adat mereka terhadap tanah adat tercabik-cabik. Mereka menyaksikan sungai-sungai tempat mereka mencari ikan dan berudu diracuni dengan limbah.

    Eksploitasi atas tanah adat (emas, kayu, tumbuhan, hewan, dan sebagainya) terus berjalan.
    Di wilayah adat Malamoi misalnya, setidaknya ada dua perkebunan kelapa sawit selain eksploitasi kayu.
    Kini hutan alam, yang secara turun-temurun menjadi sumber kehidupan, telah menjadi sumber petaka,
    yakni banjir dan longsor. Di Biak, hutan dibuka sejak masa Belanda hingga sekarang.
    Pembukaan hutan dengan masuknya investasi skala besar di Papua telah merusak struktur masyarakat adat dan
    cara pandang mereka terhadap tanah. Semua jenis kayu, (Merbau intria sp, matoa ketapang,
    bintangur dan damar) dibabat tanpa reboisasi. Kayu merbau merupakan komoditas yang  penting dan "laris" di pasaran,
    maka habitat alam lain (sungai, kayu dan lainnya) diberangus rata dalam rangka mencari merbau, (baca: Papua 2008).
    Data Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua tahun 2006 menunjukkan, ada 65 perusahaan HPH di Papua dengan luas konsesi 14,4 juta hektar (ha). Dari 65 perusahaan HPH tersebut, hingga tahun 2006 hanya 15 HPH yang masih aktif. Perusahaan HPH punya tanggung jawab, antara lain adalah program ‘bina desa’. Artinya pemberdayaan masyarakat adat (kampung) pemilik hak ulayat dalam bentuk pembangunan rumah warga, sekolah, gereja atau fasilitas lainnya. Namun, hal ini selalu menjadi keluhan masyarakat adat di berbagai areal HPH di tanah Papua.

    Masyarakat adat Mee di distrik Yaro, kabupaten Nabire misalnya, memilki pengalaman buruk dengan perusahaan HPH PT Sesco di wilayah adat mereka. Perusahaan HPH PT Sesco yang beroperasi sejak tahun 1990/1991 hingga saat masih belum membayar sejumlah Rp40 juta dengan hitungan satu kubik Rp1000,00. Ini artinya bahwa kubikasi yang merupakan kewajiban mutlak saja belum membayar, apalagi melaksanakan program ‘bina desa’. Perusahaan HPH yang masuk di daerah Yaro (daerah yang sama) pada tahun 2003, yakni PT Jati Dharma Indah justru mengklaim kayu termasuk segala yang terkandung dalam tanah adalah miliknya. Bahkan dia melarang masyarakat adat untuk mencari ikan, berburu kuskus, di tanah adat mereka. Sementara PT Jati Dharma Indah menghabisi berbagai jenis burung termasuk cenderawasih dengan senapan angin, termasuk kuskus dan kekayaan hutan lainnya.

    Pengalaman masyarakat adat Yaro yang digambarkan di atas adalah hanya sekelumit dari kemungkinan kesamaan pengalaman masyarakat adat di 65 areal perusahaan HPH di tanah Papua. Data kemiskinan yang dipaparkan sekretaris eksekutif Foker LSM Papua Septer Manufandu sungguh memprihatinkan. Sebanyak 391.767 keluarga (81 persen) dari total 480.578 keluarga di Papua tergolong miskin.  Data ini menunjukkan bagaimana dampak eksploitasi sumber daya alam Papua bagi warganya. Juga, sekitar 4 juta ha lahan yang telah disiapkan bagi belasan perusahaan perkebunan skala besar, 300.000 ha di antaranya kebun kelapa sawit adalah rencana tragedi masyarakat adat Papua di masa depan. Eksploitasi atas tanah adat Papua terus dilakukan di balik nomine ‘Heroes Environment 2007′ yang dianugerahi kepada Gubernur Suebu dari Majalah Time terbitan Amerika Serikat pada 25 Oktober 2007 di Royal Court of Justice London, Inggris.
    Perampasan tanah adat oleh penguasa dan pengusaha ini merupakan ancaman keutuhan hutan dan masyarakat adat. Pengampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, mengatakan, ancaman keutuhan hutan (tanah) Papua bukan hanya dari pengambilan kayu, pertambangan dan kelapa sawit (Kodeco dilaporkan menebangi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah Mamberamo), namun juga rencana pembukaan jalan raya dengan pamrih kayu dan pemekaran daerah. (Kompas, 24 Juni 2008). Belum puas dengan hutan dan tambang, berbagai spesies di atas tanah adat, diramu dan dibawa keluar Papua. Berjuta-juta spesies burung, ikan air tawar, reptil, amfibi, serangga air, kupu-kupu, mamalia kecil dan vegetasinya telah hilang dan masih terus diburu.

    Penghancuran lingkungan dan ekosistem termasuk perusakan hutan lindung secara membabi buta ini mengancam eksistensi masyarakat adat Papua. Masalahnya, Jabar Lahaji memprediksikan hutan Papua akan lenyap antara tahun 2013 sampai 2015. Hasil analisa satelit tahun 1998-2000 menunjukkan angka deforestasi yang cukup tinggi, sekitar ,45 jua ha. Kalau hitungannya terus perpanjang sampai tahun ini, laju deforestasi diperkirakan bisa mencapai 2,5 sampai 3 juta ha pertahun.  Kalau hutan di Kalimantan dan Sumatera diduga tahun 2005-2010 akan habis, di Papua, antrian 2013-2015 (baca: Jabar Lahaji, 2008).
    Nah, apa yang tersisa sekarang dan 2015 nanti? Yang tersisa adalah persoalan demi persoalan yang terjadi, seperti rusaknya tatanan kehidupan, menyangkut rusaknya (mite) mitologi yang terkait dengan kerusakan lingkungan (obat-obatan dan kebutuhan lainnya), sosial, politik dan sebagainya. Hal-hal itu melahirkan perlawanan masyarakat adat Papua, lalu  dihadapkan pada militer –yang dipiara di areal HPH dan pertambangan– dengan stigma OPM (Organisasi Papua Merdeka). Stigma oposan pemerintah dengan label OPM atau separatis sering digunakan menjadi alat penekan terhadap masyarakat, bahkan sering terjadi kasus penangkapan, pemukulan/penyiksaan dan penculikan.

    Melangkah untuk Melingdungi Tanah Adat Papua 

    ‘Perampasan’ tanah adat telah merusak manusia, tanah dan segala isinya (hubungan manusia dengan alam) serta pranata-pranata sosial-politik dan kultural masyarakat adat. Upaya-upaya pemulihan-perlindungan adalah tantangan yang harus menjadi perioritas.  Dalam konteks ini, melangkah untuk melingdungi berpulang pada penyesuaian  dan penerapan hukum dengan kepastian hak-hak masyarakat adat. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001, Pasal 38 ayat 2 mengatakan, usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pada Pasal 43 ayat 1 menegaskan, pemerintah wajib mengakui, menghormati dan melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat.

    Undang-Undang Otsus Papua secara tegas memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak adat. Dalam hal ini, pengakuan atas suatu kawasan SDA yang berada di dalam wilayah masyarakat adat. Berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak adat tersebut, maka UU PSDA perlu menyebutkan: pertama, kawasan SDA yang dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh masyarakat adat maka kegiatan pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan masyarakat adat itu sendiri. Kedua, setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memerhatikan aspek konservasi. Ketiga, setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak luar negeri mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota dengan memerhatikan kepentingan nasional tanpa merugikan masyarakat adat.
    Perlu juga memikirkan, pemisahan hak penguasaan dengan hak guna, dan  hak pengelolaan/pengusahaan. Peraturan per-UU-an harus secara jelas membedakan antara “penguasaan kawasan dan SDA yang ada di dalamnya” dengan “penggunaan kawasan dan SDA di dalamnya”. Dengan demkian, status penguasaan/kepemilikan atas kawasan SDA baik yang berstatus milik pribadi, milik kolektif dan hak adat/ulayat, maupun milik publik bisa memiliki fungsi dan tata guna: (a) produksi, yaitu kawasan tertentu yang SDA-nya bisa dikelola dan diusahakan untuk memproduksi; (b) lindung, yaitu kawasan tertentu yang harus dilindungi fungsi ekologis/hidrologis di mana pemanfaatan SDA di dalamnya harus dilakukan secara sangat terbatas; (c) konservasi, yaitu kawasan yang sumberdaya dan keanekaragaman hayati di dalamnya harus dilestarikan.

    Pengakuan penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai masyarakat adat, dan juga untuk menentukan batas-batas wilayah dan kawasan hutan adat dari masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, harus jelas mengatur kriteria-kriterianya, yang kemudian secara operational-prosedural diatur lebih terinci dalam suatu aturan—dalam hal ini peraturan daerah khusus (Perdasi) yang mengatur tentang “Hutan Adat”. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyarakat adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak lain, tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat adat yang bersangkutan secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah—antara lain untuk melindungi konflik tingkat masyarakat adat.

    Sementara itu, untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumber daya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah.

    Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.  Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan” untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.

    Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama untuk banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan antarkomunitas dan antarpihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antarpihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokratis.

    Epilog 

    Akhirnya, mengingat tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam memperkuat ikatan mereka dengan segala hal yang berada di permukaan bumi, maka kemungkinan penerapan hukum adat dalam pengaturan kehidupan masyarakat adat, pengakuan kedaulatan masyarakat adat, dan kepatuhan penguasa dan pengusaha terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia—(banyak yang telah mati, dikubur dan kemudian terurai menjadi tanah dan gas alam lainnya di atas tanah adat mereka)–perlu direnungkan. 

    Pemerintah dan pemerintah provinsi Papua perlu mengevaluasi kembali semua undang-undang dan peraturan terkait, termasuk meninjau program transmigrasi—telah berbuah pahit– dan arus migrasi dari luar Papua yang mengancam eksistensi tanah dan masyarakat adat Papua (baca: 6 tahun Otsus Papua).  Hak-hak adat tidak dipikirkan dengan baik,  dapat bermuara pada gugatan masyarakat adat Indonesia—Papua, Kalimantan (Borneo), Sulawesi Utara,  Riau, Maluku dan lainnya terhadap sifat kesatuan negara Indonesia, karena masyarakat adat ada jauh sebelum negara ada.  [Yermias Degei/MS]

    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua

    Oleh Jekson Ikomou*)

    Pemerintah Indonesia berusaha meredamkan Ideology Papua  Merdeka melalui Otonomi Khusus (OTSUS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun sayangnya Undang-Undang tersebut Gagal.  Nasionalisme Papua terus tumbuh. Bukan Nasionalisme Indonesia. Orang Papua tidak percaya dengan Pemerintah Indonesia.

    Hal subtansi permasalahan Papua adalah sejarah masa lalu, pelanggaran HAM, dan kondisi hidup bersama lebih dari 40-an tahun ini. Pelanggaran misalnya, Negara habiskan  Ribuan Orang Papua yang tak berdosa melalui berbagai Operasi Militer Indonesia di Tanah Papua. Hal ini tidak mematikan gerakan merdeka.
    Jika melihat sejarah, Papua merupakan sebuah Negara. Ia  merdeka pada tanggal 1 Desember 1961. Namun, Pemerintah Indonesia secara paksa mengklaim Papua sebagai bagi dari Indonesia dengan kekuatan Militer yang disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA), sehinggah Amerika memanfaatkan peluang demi kepentingan ekonominya  (salah satunya PT. FI).

    Dan hinggah kini, Lembaga-Lembaga Peneliti kemukakan, PT. FI merupakan akar permasalahan di Papua. Bahkan, Rakyat pun mengatakan bawah Freeport  merupakan salah satu perusahan yang memakan ribuan korban orang Papua. Ribuan orang Papua  menuntut PT. Freeport  harus ditutup melalui berbagai aksi damai. Namun, sayangnya pihak Pemerintah Indonesia menutup ruang Demokrasi bagi Orang Papua melalui kekuatan Militer Indonesia.

    Keadaan ini membuktikakn bahawa Indonesia benar-benar gagal Indonesiakan orang Papua. Indonesia gagal di semua bidang pembangunan untuk orang asli Papua. Karena itu, orang Papua berpikir bawah Indonesia sedang menjajah kita. Jika dibilang orang Papua dijajah memang benar, karena mengingat permasalah yang terjadi selama ini.

    Di Atas Luka Otsus Muncul  UP4B

    Otsus adalah peluang untuk sejahterakan Orang Papua. Namun Gagal. Lalu, muncul lagi  sebuah yang sebut dengan Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Program kerja yang disusun dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua Barat (UP4B) ini seperti dengan Program kerja OTSUS.

    UP4B masih bicara sebatas keadilan pembanguna di Papua. Ia bicara soal pendidikan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur. Ia tidak bicara soal pelanggaran HAM, tidak bicara soal dialog, tidak bicara soal sejarah Papua. Orang Papua berpendapat apa bedanya OTSUS dengan UP4B?

    Banyak Rakyat Papua mengatakan, “Unit Perepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) bukan solusi untuk perdamaian di Papua, Perdamaian di Papua adalah Referendum”. Rakyat Papua menilai janji-janji pembangunan yang mereka temui di Papua adalah operasi-operasi Militer, pembunuhan sana-sini, perusahaan-perusahaan raksasa yang mengancan keberadaan masyarakat adat, dan lainya. Semuanya merusak dan menguras.

    Nah sekarang, jika Pemerintah Indonesia punya hati untuk membangun Papua tarik Militer dari Papua baik organik maupun non-organik. Lalu, adili semua pelaku pelanggaran HAM sejak tahun 1961, gelar dialog damai, Jakarta-Papua.

    Tapi, Indonesia harus ingat bahwa Papua Merdeka itu telah menjadi darah daging orang Papua. Dengan cara dan pendekatan apapun tidak akan pernah dipatahkan. Otsus adalah luka. Di atas luka Otsus lahir luka baru, UP4B. Kemudian, selanjutnya apa? Tunggu hari untuk menuai Kemerdekaan bagi Bangsa Papua Barat.

    *) Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Bandung
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)

    Kehadiran RI di Tanah Papua Mengancam Eksistensi OAP

    Oleh Sdr. Antekos *)


    Latar Belakang

    Papua diintegrasikan secara sepihak ke dalam Republik Indonesia (RI), yaitu melalui penyerahan kedaulatan dari pemerintah Negara Kerajaan  Belanda  kepada Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963  melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga saat ini; pembangunan yang diselenggarakan di Papua dihadapkan kepada berbagai permasalahan.

    Salah satu permasalahan yang terjadi di Papua adalah   adanya pemahaman masyarakat Papua bahwa Integrasi merupakan pengambilalihan tanah Papua menjadi wilayah NKRI bagi mereka Papua bukan integrasi ke NKRI. Karena sampai saat ini Bangsa Papua tidak pernah mengakui integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia.

    Bentuk konkret orang Papua tidak mengakui intgrasi itu terwujud melalui pemberontakkan Organisasi Papua Merdeka ( OPM ), yang dimulai pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari dan sampai saat ini, kelompok pro-Merdeka  masih menutut  keadilan, karena Bangsa Papua telah Merdeka tahun 1961, yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Namun dengan kepentingan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB, Negara Papua yang telah merdeka itu, dimasukan kedalam Negara Indonesia secara paksa. Motifnya kepentingan ekonomi. Dengan maksud kekayaan alam Papua diambil oleh mereka misalnya adalah PT. F Reeport, minyak bumi di Sorang , Gas alam, kekayaan laut dan penembangan hutan oleh pengusaha asing.
    Selain itu banyak imigran yang di datangkan dari luar Papua, transmigrasi dan pemekaran provinsi, pemekaran kabupaten, distrik dan kampung yang membuat orang Papua semakin termarginal. Akhirnya orang asli Papua mengalami ketidakadilan, penindasan, kekerasan, perampasan hak dan kepadatan penduduk. Berbagai persoalan tersebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), berjuang bersama masyarakat sipil di pedalaman Papua, untuk bangkit bersama menutut haknya, yakni MERDEKA.

    Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan satu kebenaran sehingga sampai sekarang mereka tetap menuntut harga dirinya sebagai Bangsa Pribumi dan mau MERDEKA. Untuk menutup mata perjuangan tersebut pemerintah Indonesia memberikan otsus dan UP4B. Indonesia tidak perlu membodohi mereka dengan OTSUS, UP4B dan pemekaran Provinsi, Kabupaten dan lain-lain. Karena perjuangan yang dibuat oleh bangsa Papua untuk memperoleh Kemerdekaan.

    Menurut hemat saya Indonesia harus mengerti persoalan, karena rakyat Papua tidak minta OTSUS,UP4B atau pemekaran yang menghabiskan tenaga, pikiran dan uang bermiliaran rupiah. Orang Papua masih merasa bahwa kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua mengancam eksistensi orang asli Papua. Karena kehadiran Indonesia merupakan sebuah ancaman, maka orang Papua mau merdeka agar dapat mengatur dirinya sendiri.

    Pokok  Permasalahan

    Sesuai dengan latar belakang  permasalahan di atas, terlebih bahwa secara fisik TPN  atau militer OPM tidak memiliki kekuatan yang berarti bila dibandingkan dengan Tentara Nasional Indoesia atau ABRI, namun dalam arti “ ideologi masih kuat.  Karena soal ideologi tidak bisa dipadamkan dengan kekuatan militer Indonesia.  Ideology tidak bisa dipadamkan dengan kehadiran OTSUS –UP4B, karena ideologi selalu diwariskan dalam generasi ke generasi sehingga sulit dipadamkan. Dengan demikian Papua merdeka sulit dipadamkan dengan pembangunan, pemekaran, uang Respek dan kekuatan militer.

    Jadi sampai kapan pun idealisme Papua Merdeka dari Negara Indonesia tidak akan pernah  memadamkan ideology ini. Kata lain bahwa ideologi merupakan satu prinsip hidup atau satu  sikap yang dibangun oleh masyarakat Papua sendiri di dalam budaya dan diwariskan dari turun-temurun sesuai dengan permasalahan, masih tetap berkembang dalam setiap suku yang ada di Papua. Kalau ideology ini telah berhasil pasti  rakyat Papua merasa bahagia selama-lamanya karena ideologinya dapat terwujud. Sebelum dicapai mereka terus berjuang dan sampai kapanpun. Ideologi bagaikan seorang ibu  kehilangan anaknya ia terus mencari, walaupun ada tantangan dan hambatan hidup ia terus mencari sampai dapat, demikian juga ideologi Papua Merdeka sama prinsipnya.

    Papua Kaya dengan Kekayaan Alam

    Dengan latar bekang di atas Bangsa Papua samapai saat ini pemerintah Indonesia  kurang  memperhatikan yaitu, keadilan dan perlindungan. Karena negara merasa yang lebih penting adalah sumer daya alam ( SDA ) dari pada manusianya.  Hal demikian Papaua yang dahulu damai  mejadi tidak  damai menjadi. Sehingga negara datangkan militer dan imigran tidak sesuai dengan aturan hukum Internasionla,yaitu masyarakat pri bumi yang harus dibei salvation tidak dibuat, yang terjadi adalah ketidakadilan, penindasan dan kekerasa militer di seluruh tanah Papua.

    Tetapi hanya demi kepentingan ekonomi mereka selalu membuat teror, pembunuhan secara misterius ( OTK), sebenarnya dibalik semuanya tujuan utama adalah menguasai wilayah seluruh tanah Papua, mengkuras kekayaan alam dan popularitas semata. Kalau kita melihat kaca mata Tuhan merupakan tindakan kejahatan yang tidak manusiawi,yaitu menlangar hukum 10 perintah Allah, yaitu “jangan membunuh dan jangan mencuri ( Kel. 20: 1-17), tetapi sekarang negara Indonesia tidak peduli lagi dengan hukum  Tuhan,maka setiap militer, non militer dan pemimpin Negara yang pernah terlibat dengan masalah Papua akan diadilih oleh Tuhan sesauai dengan perbuatannya. Karena  ia tidak mampu memberikan jaminan kehidupan bagi bangsa Papua.

    Berangkat dari ini bangsa Papua tidak ada kepercayaan kepada pemerintah Indonesia,  karena  sistem yang dipake oleh pemerintah Indonesia  terhadap bangsa Papua tidak sesuai dengan budaya sehingga inti persoalan tidak pernah selesaikan  dengan tuntas.  Maka bangsa Papua semakin mengalami kepunahan secara perlahan-lahan, dan Negara Indonesia tidak pernah mengakui bahwa kami salah.

    Dengan kurangnya kepedulian negara bangsa Papua masih tetap menuntut haknya yaitu kemerdekaan yang pernah ada. Pada hal dalam UUD 45 alinea pertama berbunyi “bahwa   sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa  dan  oleh sebab itu ,maka  penjajah an  di atas dunia  harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

    Namun kemerdekaan itu telah  dipaksakan ke dalam  Negara Indonesia oleh Amerika, Belanda dan PBB, hanya demi kepentingan ekoomi ( sumber daya alam ), maka sampai sekarang  bangsa Papua masih  memperjuangkan haknya agar hak yang diambil itu bisa  dikembalikan. Pada hal dalam UUD-45 di atas sudah ada kebenaran, dan pada tahun 1961 Papua telah merdeka. Namun hanya demi  kepentingan ekonomi, tidak diberikan peluang untuk membas menentukan nasib sendiri, memang tahun 1969 telah diadakan Refreedom,namun tidak sesuai dengan hukum Internasional, yaitu terjadi ketidakadilan dalam refreedom, karena rakya Papua ditodong dengan senjata sehingga tidak semua orang  memilih dan kenyataan adalah perwakilan saja memilih hak suara.

    Oleh karena itu, dari tahun 1961 sampai sekarang bangsa Papua masih tetap dijajah dan sekarang mereka berjuang untuk merdeka dengan diplomasi Internasional. Sebab perjuangan bangsa Papua sudah mendunia dan kemungkinan suatu saat  kebenarannya akan dinyatakan melalui kuasa Tuhan. Biarlah sekarang bangsa Papua mengalami ketidakadilan, penindasan, kekerasan dan pembunuhan tetapi hatiku mengalami ketengan, sebab hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku,aku tidak akan goyah” (Mzm 62), dan aku terus berjuang di dalam Tuhan agar Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dapat memperoleh pengkuan. Atas kekuatan Mazmur ini, saya percaya Papua pasti merdeka.

    Orang lain datang mengambil kekayaan dan dijajah kita jangan takut,melainkan berani  dan setia berjuang bersama Tuhan. Sebab di dalam Dia ada kemenangan dan kemenangan itu akan terjadi dan jangan kecil hati. Walaupun orang  Papua sekarang menjadi penonton di atas kekayaannya yang berlimpa-limpa. Kita juga sadar bahwa penderitaan ini merupakan Salib Tuhan  dan harus tetap sabar menerima itu sebagai penderitaan Kristus. Karena kita minta merdeka  negara Indonesia  tidak mau lepas, dengan mengatakan Papua bagian dari NKR. Dengan demikian   pemerintah telah  memberikan OTSUS, kemudian UP4B secara paksa, pada hal rakya Papua mengatakan tidak.

    Tujuannya adalah  agar rakyat bangsa Papua jangan lagi  bicara Merdeka sehingga Indonesia matian-matian menyakini Dunia dengan mengatakan Papua bagian dari NKRI tetapi NKRI bukanlah harga mati. Karena Negara ini suatu saat akan lepas bertubi-tubi,yaitu Papua lepas, Ambon lepas, Kalimatan lepas, Sulawesi lepas, Bali lepas dan Ace pun akan lepas, dan  yang  masih  tinggal  hanya jawa sendiri. Karena rakyat lebih pintar untuk menilai kebenaran dan keadilan,bila ke dua hal ini tidak sesuai dengan hati mereka pasti akan mengatakan merdeka, tetapi bangsa Papua tidak seperti itu, karena Papua sudah pernah punya Negara sendiri,tetapi dicapblok  ke dalam Indonesia demi kepentingan ekonomi semata.

    Penderitaan bangsa Papua tidak bisa dihapus dengan uang, OTSUS, UP4B, dan pemekaran provinsi, kabupaten, desa dan keca mata. Bangsa Papua meminta adalah keadilan karena harga dirinya telah dirampas oleh penjajah Indonesia. Karena Negara Indonesia kurang peduli dengan rakyat yang sementara menderita. Di lebih banyak mengkritisi Negara lain daripada melihat diri sendiri,misalnya masalah Israel dan Palestinan Indonesia campur tangan. Pada hal terhadap bangsanya sendiri juga mengalami penindasan, kekerasan dan ketidakadilan. Menurut hemat saya lebih baik kita mengurus rakyat saya yang menderita.

    Dalam kaitan dengan Papua Negara tidak pedulih dengan  orang Papua, namun lebih  mencintai kekayaan alam dari pada orang Papua yang sementara mengalami kepunahan di atas kekayaan alamnya sendiri ( Genosida), kalau Negara tidak pedulih,maka tidak sampai 2020 orang Papua akan habis dari tanah Papua, yang ada hanya tinggal nama.

    Jadi,  saya harapkan orang-orang Papua harus menyadarinya dan jangan tinggal ikut-ikutan dengan orang lain, dan buanglah sikap minum -mabuk, korupsi dan seks bebas. Karena tidak lama lagi orang Papua akan habis, bila ditawarkan kepentingan Indonesia harap jangan terima,mislanya pemekaran dan pertambangan tanpa melalui dewan adat. Karena saya melihat  Negara ini, tidak menghargai  manusia Papua, tetapi  ia melihat diri kita  seperti babi rusa di hutan,  sehingga dia  selalu membantai tanpa takut nilai kemanusiaan.
    Menurut hemat saya sebenarnya orang Papua juga adalah manusia bukan babi rusa yang ditembang setiap hari. Karena  orang Papua dan orang Jawa, orang Makasar, orang Sumatra,  orang Ambon dan semua merupakan ciptaan Allah yang harus diberikan hak yang sama lalu dilindunginya. Karena itu, bukan  membantai dan menindas tetapi  menyelamatkan mereka dengan memberikan hidup  yang layak seperti dirinya sendiri, bukan sikap otoriter dan mileteristik terhadap mereka yang ditindas.

    Dengan kondisi ini saya sebagai anak negeri; hari ke hari dan tahun ke tahun air mata mengalir terus menerus dengan melihat orang-orangku menderita. Selain manusia Papua, alam Papua juga ikut hancur demi kepentingan  kolonial Indonesia dan Amerika.  Aduh saya kasihan  tidak punya tempat tinggal lagi untuk meletakan kaki, karena semua kekayaan diambil orang dan hutan hancur, ke mana saya harus pergi?.
    Saya dahuluh merasa menikmati dengan kekayaan alamku, tetapi kini ternyata menjadi miskin di atas tanah  yang kaya raya. Saya hanya menjadi penonton seperti pendatang jawa tinggal jauh-jauh. Aduh sedih hatiku. Akan ke manakah anak cucuku  ke depan?  Karena kekayaan alam Papua telah dirampas semuanya, dari kolonial Indonesia. Pada hal  saya belum pernah menikmati  satu pun kekayaan alam  yang telah diwariskan oleh Allah leluhurku.

    Apa alasannya  mereka bisa datang merampas  hak saya?. Sebenarnya semua bangsa  di dunia ini, Allah telah memberikan haknya  masing –masing  sesuai dengan kebutuhannya.  Karena   saya kekayaan yang sama juga  kolonial Indonesia, Allah telah berikan   segala kekayaan alam, yaitu kekayaan yang sama Tuhan telah memberikan,yaitu tanah, hutan, air, batu  dan segala isinya, tetapi ia masih merampas juga  hak saya, sangat memalukan dan tidak adil. Saya sekarang  semakin disingkirkan dan tidak dihargai sebagai hak miliknya. Di manakah hak saya Pak SBY ?  Aduh, pak di mana keadilanmu?, saya tidak membutuhkan uang, OTSUS, UP4B dan Pemekaran. Sedangkan yang saya butuhkan dari pak  adalah mengembalikan kedaulatan kami. Bukan mendatangkan TNI-POLRI  di tanah Papua. Karena orang Papua semakin dibunuh oleh TNI-POLRI.

    Solusi

    Dengan konteks demikian saya mau katakana bahwa “ Kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang Asli Papua semakin mengancam”. Oleh karena itu, solusi dari saya bagi rakyat bangsa Papua adalah mengembalikan kedaulatannya yang telah dirampas tahun 1961. Kalau memang Negara ini punya hati nurani lebih baik memberikan tuntutan rakyat Papua.

    Walaupun Negara Indonesia hati berat untuk memberikan haknya,  tetapi bangsa Papua pasti  terus berjuang sampai akhir hayat karena ideologi tidak mungkin mati bersama manusia karena ia selalu berkembang dalam perkembangan zaman. Sebenarnya   yang   dituntut oleh  orang Papua adalah kemerdekaan tahun 1961 , yaitu Pengakuan. Walaupun Negara Indonesia masih keras kepala,tetapi keputusan sudah di depan pintu, Indonesia tidak bisa buat apa-apa dan secara paksa harus diberikan pengakuan. Karena dalam Kongres ketiga di Lapangan Sakeus, Jayapura, 19 Oktober 2011, kita sudah mendeklarasikan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB). Kongres selama tiga hari sejak 17 Oktober itu sudah membentuk Dewan Nasional Papua Barat yang sudah memilih Presiden Republik Federal Papua Barat Forkorus Yaboisembut dan Perdana Menteri Edison Warumi.

    Deklarasi itu didukung oleh  tujuh wilayah adat di Papua. Kongres tersebut sah dan tidak illegal, karena yang diselenggarakan adalah rakyat Papua yang punya negeri ini. Kongres menurut hemat saya Kongres merupakan solusi terbaik bagi rakyat Papua untuk mau mengakhiri penderitaan mereka. Sehingga sekarang rakyat Papua sedang mendorong di Makah Umum PBB agar Negara baru tersebut dapat diakui oleh masyarakat Internaonal, Amerika, Belanda, Indonesia, PBB, dan Negara-negara dunia lain sebagai sahabat dengan Negara Republik Federal Papua Barat ( NRFPB). Walaupun Negara Indonesia tidak mau pusing, lalu memberikan pembangunan kepada rakyat Papua dengan anggaran miliran rupiah , tetapi menurut saya itu bukan solusinya.

    Sesuai dengan pendapat Menteri luar negeri Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) bapak Jacob Rumbiak sesumbar mengatakan bahwa mereka bisa merdeka dan berdaulat paling lambat dua tahun lagi. Karena menurut beliau ada 111 Negara telah  mendapat  dukungan, misalnya dari 111 Negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang.

    dan akan kemungkinan mereka juga akan  memberikan pengakuan. Jadi sekarang bagaiman Negara Indonesia memberikan pengakuan sebelum negara lain memberikan pengakuan terhadap Negara Papua, karena  Indonesia adalah  colonial  terhadap Bangsa Papua.

    Kalau air sudah meluap dia tidak bisa mempertahankan. Karena politik Papua sudah mendunia dan bahkan Negara-negara sahabat Papua mendukung untuk Papua lepas dari NKRI. Sudah terjadi pengakuan; Indonesia tidak punya hak lagi mengambil kekayaan alam Papua dan otomatis angkat kaki dari tanah Papua. Kami duluh dipandang  sebagai  orang  tidak mampu  dan  budaya primitive, tetapi kami sekarang lebih pintar berpolitik Internasional dari pada Indonesia, karena buktinya adalah masalah Papua menjadi masalah Internasional, sehingga kita jangan menutup diri terhadap penderitaan bangsa Papua. Sebab Dunia luar lebih peduli masalah Papua.

    Menurut saya NKRI TIDAK selamanya harus jadi satu dan kalau selalu sebut NKRI harga mati saya kira tidak tepat. Karena Bangsa Papua punya harapan diberikan pengakuan dan kita tungguh hari saja.  Indonesia jangan merasa remeh perjuangan bangsa Papua dan sekarang bangaiman engkau memberikan pengakuan  kepada Negara Papua secepatnya, sebelum air ombak  dibatang lehermu.

    Penutup 

    Orang Papua merupakan bangsa negoroid dan ras Melanesia. Mereka memilihki  kemampuan untuk mengenali situasi perkembangan politik di Papua dan jangan diam seperti ibu hamil, tetapi bangkit dan bersatu semua elemen masyarakat, pemuda, mahasiswa dan organ. Karena kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang aslih Papua semakin diancama, dan hari ke hari  dibunuh secara misterius oleh oknum tertentu (orang tak dikenal), sampai sekarang TNI-POLRI tidak mampu mengungkapkan pelaku,maka kita harus tahu  bahwa negara ini tidak punya kemanusiaan dan kebenaran hukum untuk  ditegakan. Sehingga dengan situasi seperti ini, jalas-jelas eksistensi kita sedang diancam,jadi kita harus bersatu mendorong Negara Republik Federal Papua Barat ( NRFPB) dapat diberi pengakuan. Jadi saya harapan pengakuan menjadi solusi untuk mengakhiri penderitaan rakyat kita.

    Oleh karena itu, kita jangan terus tidur tetapi mari kita bangkit bersama memperjuangkan harga diri kita lebih cepat lebih baik. Agar Negara colonial Indonesia jangan membuat kita dijajah terus. Harta kekayaan kita semakin habis, orang Papua juga semakin hari mati ditembak oleh TNI-POLRI, karena mereka tidak memperhitungkan nilai  kita sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan.

    Apakah saya sadar Saudara saya   sedang dibunuh? Ataukah saya tidak mau pusing dengan penderitaan sesama saya, karena saya juga mendukung kolonial Indonesia untuk membunuh dan merampas harga diri orang Papua? “Marilah kita mulai lagi karena kita belum buat apa-apa”, dengan bergandengan tangan bersama. Karena perjuangan kita ini, berjalan tanpa persatuan dan kesatuan,apa yang kita perjauangkan  menjadi sia-sia.

    Demkian juga alam perjuangan jangan mengatasnamakan organ, karena yang mau Merdeka bukan organ atau kelompok,melainkan Bangsa Papua,jadi kita harus  bersatu teguh , demi Papua merdeka. Kalau lambat Bangsa Papua yang sedikit ini, akan habis dan tinggal nama saja,lalu orang lain merampas kekayaan kita  dan tanah leluhur nenekmoyang kita akan dikuasai oleh orang lain, jika  kalau kita terlambat langkah pasti  habis total yang tinggal hanya kenangan saja.

    *)  Mahasiswa  Sekolah Tinggih  Filsafat Teologi- Fajar Timur (STFT- F T )

     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif