Tampilkan postingan dengan label Suara Orang Papua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suara Orang Papua. Tampilkan semua postingan
Awas Orang Papua Kalau Tetap Ikut NKRI Bisa Haram Hukumnya
Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua

Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua
Oleh: Naftali Edoway*)
Membaca beberapa laporan media yang mengangkat tema Indonesia negara
gagal, sangat mengganggu pikiran saya. Bisakah negara yang gagal ini
membangun Papua, terutama dengan beberapa kebijakannya belakangan ini?
tapi ini juga melegitimasi pikiran rakyat Papua yang selalu menyatakan
Indonesia gagal bangun Papua atau yang belakangan Otsus dikembalikan
karena dinilai gagal dalam penerapannya.
Media okezone online pada Rabu 20 Juni 2012, melaporkan bahwa dari
178 negara di dunia Indonesia menempati urutan ke 63 negara gagal di
dunia (baca.
Hal yang sama diberitakan juga oleh media Kompas online pada Kamis 21
Juni 2012. Penilaian ini dilakukan oleh The Fund of Peace (FFP). Menurut
mereka, pemerintahan SBY-Budiyono gagal memberikan rasa aman dan nyaman
bagi rakyatnya. Misalnya, lemahnya pemerintah dalam menjaga kerukunan
antar umat beragama, ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan HAM dan menjamurnya korupsi.
Adalah hal yang tidak logis, jika Jakarta yang dinilai gagal ingin
membangun Papua. Lihat saja, Jakarta yang seharusnya menjadi barometer
kesejahteraan justru menyimpan seribu satu macam masalah kemiskinan dan
penderitaan. Banyak anak-anak jalanan, pengemis, dan preman yang
menghiasi kota itu. Progam sentralisasi pembangunan dimasa orde baru
yang seharusnya mensejahterakan rakyat yang hidup di ibu kota, justru
diabaikan negara, apalagi dengan mereka yang hidup jauh dari ibu kota
negara itu.
Sistem sentralisasi telah benar-benar menguras sumber-sumber hidup
rakyat di daerah. Jutaan rakyat menderita dalam kemiskinan. Belum lagi
tekanan negara melalui militer yang benar-benar mematikan. Sumber-sumber
hidup rakyat dirampas dengan kekuatan militer. Yang melawan jadi
tumbal. Akhirnya terjadi jutaan kasus pelanggaran HAM yang belum
diselesaikan oleh negara hingga hari ini. Korupsi pun tumbuh dengan
suburnya bak jamur dimusim hujan. Mungkin benar lelucon ini “mana
mungkin maling berteriak maling”. Atau, kalau negara adalah pelakunya
mana mungkin ia mengadili dirinya sendiri, malu dong! Kalau pun ada
proses hukum, itu hanya rekayasa untuk menutup sedikit rasa malunya.
Papua yang dianeksasi melalui kebijakan Trikora sejak 1962, telah
mengalami penderitaan yang cukup panjang. Penderitaannya barangkali
lebih berat dari daerah lain di Indonesia. Banyak pelanggaran HAM yang
dilakukan negara di Papua. Para pelakunya dibiarkan bebas oleh negara,
karena katanya dilakukan atas nama negara. Banyak kekayaan alam telah
dieksploitasi dari daerah ini, namun para pemilik ulayatnya dibiarkan
hidup menderita. Tak secuil pun manfaat yang dirasakan oleh orang asli
Papua. Mungkin karena perbedaan ras dan agama? atau karena niatan ingin
menguras semua kekayaan alam demi kesejahteraan kaum borjuis, imperialis
dan neo-kolonialis atas nama negara.
Memoria passionis telah meninggalkan rasa tidak percaya orang asli Papua terhadap Jakarta. Semua bentuk kebijakan negara pada arasnya tak
membangun. Kebijakannya seperti menabur benih diatas batu, tak ada
hasilnya. Itulah sebabnya Papua menilai Jakarta gagal membangun Papua.
Jakarta gagal mengindonesiakan Papua. Padahal katanya Papua dimasukkan
ke dalam NKRI dengan tujuan membangun kesejahteraan seperti yang
tertuang dalam isi UUD 1945.
Setelah Reformasi, pemerintah Jakarta memaksa menerapkan Otsus di Papua. Otsus dihadirkan untuk mematahkan semangat ingin merdeka (pisah
dari NKRI) dari Orang asli Papua. Tapi disisi lain Otsus mungkin niat
Jakarta untuk membayar lunas dosa-dosanya. Tapi sayang! Ia tidak menjadi
obat yang mujarab untuk Papua. Ia justru menjadi semacam racun yang
mematikan secara perlahan-lahan. Lihat saja! Pelanggaran HAM masih terus
terjadi, Theys Hiyo Eluay adalah salah satu korban dari kebijakan ini.
Disisi lain rakyat dikondisikan untuk saling membenci dan membunuh.
Perhatikan kasus di Kwamki Narama Timika yang belum berakhir hingga
hari ini sampai kepada konflik Pilkada yang menelan korban jiwa di Ilaga
Puncak Papua.
Kebijakan UP4B yang belakangan dihadirkan di Papua pasca pengembalian
Otus oleh OAP pun tak bisa membangun Papua. Katanya, itu adalah unit
yang mempercepat pembangunan di Papua. Tapi pada kenyataannya ia menjadi
jerat yang membungkam suara-suara nurani rakyat kecil yang merasa
diperlakukan tidak adil. Yang merasa mereka dijajah. Akhirnya Musa Mako
Tabuni menjadi korban kebijakan ini. Kematiannya dipercepat oleh
kebijakan UP4B oleh negara. Negara mencabut nyawanya untuk mematikan
bangkitnya semangat protes kaum kecil, kaum yang terjajah yang selalu
dilihat sebagai musuh oleh negara. Bahkan dianggap teroris oleh negara
belakangan ini. Hal ini diperkuat lagi dengan digantinya Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian yang nota bene mantan Kadensus 88.
Anehnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono justru mengeluarkan
pernyataan bahwa Jakarta tak berencana merubah kebijakan keamanan di
Papua. Katanya, “Sejak tujuh tahun yang lalu, segera setelah saya
mengemban amanah menjadi Presiden di negeri ini, saya telah melakukan
pendekatan untuk penyelesaian masalah Papua. Yang dulu pendekatannya
mungkin bersifat kepada keamanan, setelah kita evaluasi nampaknya kita
pandang kurang tepat. Oleh karena itulah, kita ubah menjadi pendekatan
kesejahteraan demi keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan saudara-saudara
kita di Papua dan Papua Barat.”
Saya menilai bahwa sikap pemerintah seperti ini justru melegitimasi
kelakuan aparat keamanan di Papua yang selama ini bersikap sadis dan
geram.
Dua kebijakan negara diatas (Otsus dan UP4B) tak mampu mengangkat
rakyat Papua dari kemiskinan yang melilit hidup mereka. Dalam diskusi
yang bertemakan Save Papua Save Indonesia di Campus Center Institut
Teknologi Bandung (ITB) Jalan Ganeca, pada Jumat 31 Agustus 2012 lalu,
terungkap bahwa 83,3% rumah tangga di Papua masih hidup miskin. Mereka
bahkan termiskin di Indonesia. Data yang lain menyebutkan bahwa 966, 76 ribu orang Papua masih hidup dalam kemiskinan.
Pertanyaannya, inikah wujud kampaye NKRI di dunia internasional bahwa
Papua sedang di bangun? Memalukan. Jika dalam skala negara ia dinilai
gagal, bagaimana mungkin ia bisa membangun Papua. Apalagi proses Pepera
saja masih menjadi polemik antara Papua dan Jakarta hingga kini.
Lalu apa solusinya? Pertanyaan ini penting dan harus dipikirkan
secara matang oleh kita semua. Bagi saya sebagai bagian dari kaum kecil
yang menderita, jawabannya sangat sederhana, Merdeka (lepas dari NKRI).
Alasannya juga sederhana, Indonesia gagal bangun Papua dan akan terus
gagal. Tapi saya sadar, untuk mencapai impian itu butuh proses yang
panjang. Tidak sesederhana jawaban saya diatas. Sekali lagi, butuh
proses, tapi apa prosesnya? Referendum atau dialog. Entalah! Tapi butuh
kematangan berpikir kita semua, untuk mengeluarkan rakyat bahkan diri
kita dari rasa tertindas yang membelenggu.
Ketua Lembaga Pendidikan Papua: Papua Kekurangan 5000 Guru, TNI Terus Didroping

Papua Kekurangan 5000 Guru, TNI Terus Didroping
Oleh: Longginus Pekey*)
Di Papua terdapat 2.400 sekolah swasta dan 1.700 sekolah
negeri (SD, SLTP dan SLTA). Papua kekurangan sekitar 5000 guru negeri
maupun swasta. Papua membutuhkan 3000 guru SD, 1000 guru SLTP dan 1000
guru SLTA, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). Sementara itu,
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Muladi meminta pemerintah tidak
ragu-ragu menambah jumlah pasukan TNI ke wilayah Papua (baca: Kompas,
Kamis, 20 April 2006). Pada hal, “SIANG itu, Kamis 24 November 2005
lalu, rakyat yang berada di APO dan pusat kota Jayapura tercengang,
“Booo…, ada apa lagi,” ucapkan warga Papua menyaksikan dua kapal TNI
bernomor lambung 503 dan 514 yang berlabuh di pelabuhan TNI AL medrop
2.000-an TNI non organik. Sepanjang 200 meter di Jalan Raya Ahmad Yani,
mulai dari depan Pelabuhan TNI AL hingga ke Kantor Pos Jayapura,
berjejer 20 truk yang siap mengangkut,”(baca: Tabloid Suara Perempuan Papua, Edisi, 29-11-2005 menulis demikian).
Tanggal 21 November 2005, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Masyarakat Adat, dalam laporannya, seperti yang dilangsir Tabloid Suara Perempuan Papua,
disebutkan, di Distrik Namblong, 27 Oktober lalu (2005), Danramil
menjelaskan kepada masyarakat tentang rencana kehadiran anggota TNI
yang akan ditempatkan di distrik itu untuk membantu masyarakat. Pada
tanggal yang sama juga, Danramil Depapre menjelaskan hal itu kepada
masyarakat Kampung Wambena. Bahkan di Kampung ini, Danramil sudah
menyebutkan, bahwa ada 15 anggota yang akan ditempatkan di Kampung
Wambena. Jumlah pasukan yang akan ditempatkan ditiap kampung juga
diungkapkan Danramil Demta, Letnan Dua (Letda) Triyono. Dia mengatakan,
di kampung Demta Kota, Ambora, Yaugapsa akan ditempatkan pasukan TNI.
Katanya, pasukan itu akan tinggal di rumah-rumah penduduk.
Suara Perempuan Papua melalui www/http:parasindonesia.com
menulis, sosialisasi kehadiran pasukan TNI itu berlangsung di Distrik
Nimbokrang, Depapre, Kaure dan di seluruh distrik di Papua, termasuk di
195 desa atau kampung yang ada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sarmi,
Jayapura, dan Kabupaten Keerom.
“Katakan
saja, kalau pernyataan para Danramil, bahwa setiap kampung ada 15
anggota, maka diperkirakan jumlah pasukan yang didrop di Kabupaten
Sarmi, Jayapura dan Keerom sekitar antara 2.925 hingga 3.500 orang,”
tulis Suara Perempuan Papua. Nah, kira-kira berapa
jumlah keseluruhan tentara/pasukan non organik di Papua? Tiga kabupaten
di Jayapura sudah mencapai 3.500-an. Sementara, dengan adanya pemekaran
wilayah, kini Papua memiliki lebih dari 17 kabupaten. Andai tiap
kabupaten nasifnya sama, berapa keseluruhan pasukan non organik yang
dikirim ke Papua ya. Entalah.
Pendroping
pasukan non organik di tanah Papua jelas untuk membantu rakyat.
Sementara rakyat mempunyai pengalaman masa lalu yang pahit. Pengalaman
itu hingga saat ini masih mereka alami. “…..kehadiran pasukan itu
ditolak lantaran banyaknya tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI
pada masa lalu,” baca Suara perempuan Papua. Kini Papua kekurangan sekitar 5000 guru baik negeri maupun swasta, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). “Walau begitu, TNI AD akan membentuk satu divisi Kostrad di Papua,” tulis Suara Perempuan Papua.
***
Seorang
guru, pak Ponidi namanya saat ini tinggal di Sleman, Yogyakarta. Dia
pernah tugas bersama kakaknya di Papua sebagai guru. Dia menceritakan
banyak hal. Dari pembicaraan mengenai pengalaman itu ada tiga hal yang
saya petik. Pertama, kondisi pendidikan, katanya, memprihatinkan. Kedua, mengenai guru dalam kacamata orang Papua Barat. Ketiga,
rasa keprihatinan terhadap masyarakat yang mengalami kekerasan oleh
militer saat itu. Pak guru Poni sempat mempertanyakan mengapa inovasi
meiliter lebih didepankan untuk menjadi pengemban hegemoni kekuasaan
Indonesia di Papua Barat. Bukankah pendidikan dan guru bisa menjawab,
bila punya kepentingan politik mempertahankan integritas bangsa.
Di
Papua sosok guru sangat dikagumi terutama. Menyangkut kehidupannya,
seperti tata krama yang patut di ancungi jempol dan menjadi panutan.
Guru dianggap sebagai payung “tut wuri handayani”. Guru sebagai orang
yang berpengetahuan luas dan punya wawasan akan perubahan. Nilai positif
itu, punya tawaran tinggi untuk mejadi guru. Orang tua (keluarga) turut
senang bila anaknya mejadi guru, bahkan akan menjadi bua bibir di
masyarakat. Secara langsung atau tidak mengangkat nama baik keluarga.
Dalam
konteks itu, ada rasa kebanggaan terhadap kehadiran gereja, karena
memberi intensi bagi pembangunan manusia, atau meminjan istilah
Driyarkara, SJ sebagai proses pemanusiaan manusia muda. Hal itu telah
dilakukan dengan pendirian sekolah katolik dan protestan pada tahun 1855
di Manukuari. Bertolak dari kebutuhan masyarakat, sekolah-sekolah itu
mengajarkan tetang menulis, membaca, berhitung, ditambah dengan
keterampilan seperti, belajar menjahit, beternak , bertani juga
mengurusi rumah tangga. Harus diakui ada makna politis yaitu
kristenisasi di Papua Barat (Eropanisasi). Namun, ada makna di balik
itu, telah menjadi catatan sejarah bahwa sumbangan besar telah turut
dalam peradaban Papua Barat.
Berganti zaman, kekuasaan beganti, kebijakan pun berganti. pada tahun 1966 Soeharta tampil sebagai the man of the power hingga
1998. Kekuasaan otoritariannya menghendaki lain tetang pendidikan di
Papua Barat. Pada tahun 1980-an mengintrusikan pendirian sekolah Inpres.
Sebenarnya inpres itu sangat bertetangan dengan kebutuhan masyarakat.
Aspek ilmu pengetahuan lebih diporsir, sesuai kebutuhan politik sebagai
pengembang hegemoni kekuasana Jakarta. Aspek kultur sangt berbeda.
Pembelajaran yang menghafal Pancasila, UUD 1945, bendera merah putih,
gambar presiden Indonesia dan sejarah Indonesia (Jawa sentris).
Mata
pelajaran utama di Papua sampai saat dalam kerangka nasionalisme.
Seperti yang tersurat dalam buku pelajaran yang diajarkan oleh guru di
sekolah. Sampai saat ini, anak-anak di Papua masih menyodorkan bacaan
yang asing dari kehidupannya, misalnya pantai kute, candi Borobudur,
Prambanan, ini Budi, ini Rini, Iwan dan sebagainya. Selain muatan
lokal, seperti tarian tradisional, bahasa daerah, permainan tradisional
tidak medapat perhatian penuh apalagi tetang sejarah daerahnya. Bahkan
pada tahun 1961 sampai tahun 1980-an pemerintah melarang publikasi
tetang unsur-usur kebudayaan yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme
etnis Papua Barat. Ketika kelompok musik mambesak dari mahasiswa
Universitas Cendrawasi (Uncen) Jurusan Antropologi mengoleksi dan
merekam berbagai lagu daerah dan tarian dari berbagai suku di Papua
Barat, mereka harus dikejar-kejar dengan tuduham maker. Pemimpinya Arnol
AP dibunuh aparat, kemudian mayatnya dibuang ke laut. Dengan melihat
kondisi masa lalu ini, mungkin tidak salah bila mengatakan, ini satu
bukti sejarah adanya usaha pelenyapan identitas lokal.
Papua
Barat memberikan devisa terbesar bagi negeri ini, tetapi sangat ironis,
jika Papua yang kaya dengan sumber daya alam itu, rakyatnya tidak
cerdas mengelola kekayaan alam demi kelangsungan hidup. Kalau demikian,
bisakah kita menerimanya bila mengatakan sebagai wujud dari kegagalan
pendidikan Indonesia? Seperti, dikemukakan anggota Komisi X DPR bidang
pendidikan, Cyprianus Aoer, menanggapi kondisi darurat pendidikan,
khususnya masalah guru di Papua Barat. “Kondisi pendidikan di Papua
memasuki tahap darurat. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan hal
tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah membangun dunia pendidikan
dan mencerdaskan rakyat Indonesia, khususnya di Papua Barat. Dalam hal
ini, pemerintah gagal bangun dunia pendidikan di Papua Barat. Pemerintah
juga tidak memiliki terobosan baru yang bisa membawa perubahan,
khususnya di bidang pendidikan di Papua yang selama ini tertinggal,“
(baca: Suara Pembaruan. 22/3/06)).
Krisi Guru
Sekolah
Guru Bawahan (SGB), Sekolah Guru Olahraga (SGO) dan Sekolah Pendidikan
Guru (SPG) sudah ditutup sejak tahun 1980-an. Sejak itupula Papua Bara
mengalami kekuranga guru. Saat ini guru tamatan sekolah tersebut sudah
berkurang, karena mereka tua dan tidak bisa mengajar. Sedangkan,
generasi muda Papua kurang berminat menjadi guru. Ada FKIP dan PGSD di
Universitas Cenderawasi (Uncen), lagi pula letaknya di Jayapura (ibukota
provinsi) yang jauh dari kabupaten lain. Itupun tidak didukung dengan
fasilitas dan dosen yang memadai (baca: Papua).
Sosok
guru yang dulu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini suram, guru
dipandang sebelah mata dan terjadi degradasi. Apati muncul, karena ada
kacamata negatif tetang guru. Bisa jadi benar, karena upah gajinya tidak
cukup untuk menjamin hari tua. Menjadi guru sebagai “pilihan” terakhir
daripada mengangur. Bisa dibilang ini permasalahan mendasar yang sedang
dihadapi negara ini. Terkait dengan itu, guru di kota besar pun saat
ini memiliki masalah yang kompleks, bukan hanya masalah kesejahteraan,
tetapi juga masalah profesionalitas yang kurang terperhatikan pemerintah
maupun pengelola universitas dan sekolah.
Krisis
guru berdampak pada kualitas pendidikan di negeri ini. Hal ini terjadi
karena wajah sekolah yang lebih berpatokan pada ilmu pengetahuna,
kurang menggali afeksi dan psikomotori, artinya kurang terciptanya
pembelajaran yang holistik.
Mengapa Harus Militer?
Bukankah
pendidikan adalah solusi? Mengapa bukan guru yang dikirim banyak-banyak
ke Papua Barat? Pertanyaan ini tentu bermakna emisional. Tetapi,
barangkali perlu dipahami tetang kultur Papua Barat yang dalam merespon
sesuatu cenderung berbicara lansung menunjuk sasaran. Alias tidak
nego-nego. Jujur saja, pertanyaan itu tidak mengandung benci dan marah
(emosi). Sama dengan manusai lainnya orang Papua Barat punya jiwa baik
dan halus. Sangat keliru bila dinilai dari seramnya raut muka. Perlu ada
pemahaman bahwa gambaran perjuangan melawan rimba raya, kencangnya arus
sungai dan medan yang berat di Papua Barat itu tampak pada raut muka
manusia Papua Barat.
Bangsa
beradap seperti Indonesia tentu memahami, bahwa proses memanusiakan
manusia, satu-satunya adalah pendidikan. Peran penting itu diembangi
guru. dan itu sudah terbukti dalam sejarah umat manusia, bahwa
pendidikan punya peran besar dalam membangun suatu perdaban. Alasan itu
melatarbelangi pelaksanana pendidikan di Papua Barat. Tetapi, menjadi
pertanyaan mengapa harus militer yang dikirim banyak-banyak. Kata mau
melayani rakyat. Tetapi, kalau kita bertanya apa yang dilakukan militer
di Papua kepada seorang anak kecil di pedalaman Papua, kita akan
mendapatkan jawabanya sangat kontra. Dengan polos anak itu bisa
mengatakan, “Aparat militer itukan untuk membunuh orang Papua to.”
Jawaban itu muncul karena memiliki akar histories yang menyimpan beban
psikologis dan traumatis dalam diri generasi anak itu. Memang ini
gambaran umum hati kecil orang Papua tentang aparat militer.
Pemahaman
umum itu terkait dengan stigma separatis dan maker (GPK) yang telah
dibangun oleh pemerintah Indonesia yang akhirnya ribuan masyarakat
Papua Barat menjadi korban. Banyak anak, termasuk saya kehilangan orang
tua, paman. Karena orang tua dan saudara dibunuh dengan sadis oleh
aparat militer waktu Papua Barat menjadi Daerah Operasi Militer (DOM)
sekitar tahun 1963 sampai 80-an, masa rezim militeristik Soeharto. Telah
terjadi pemaksaan dan kekerasan lainnya kepada masyarakat yang tidak
memahami dan tidak menghafalkan symbol-simbol kenegaraan. (bendera,
lambang negra, lagu nasional, Undang-undang termasuk bahasa). Upaya
peningkatan SDM tidak mendapat porsi. Itulah sebabnya masyarakat Papua
terus terpojok. Bagi masyarakat Papua militer hadir bukan sebagai sosok
guru yang diharapkan membawa perubahan hidup.
Waktu
terus berlalu, globalisasi membonceng hadirnya teknologi informasi.
Kemajuan itu diikuti dengan kesadaran masyarakat. Papua Barat mulai
berubah wajah menjadi sedikit maju, masyarakat seperti terbangaun dari
tidur. Sudah mulai ada kesadaran kalau ada pembodohan, ada kekerasan,
ada penindasan secara ekonomi (kekayana alam dibawa ke Jakarta),
cultural (jawanisasi) dan politik (tuduhan separatis) dan terutama
perlakuan hukum yang memihak. Misalkan pada bebarapa kasus HAM berat,
seperti peristiwa Abepura I, Pembunuhan terhadap pemimpin besar orang
Papua, Theys Hiyo Eluay dan bebarapa yang lainnya tidak ada penyelesaian
yang jelas.
Orang
Kamoro, Amugme (suku di Timika), dan suku lain di pedalaman mulai
menyadari. Kehadiran PT Freepot Indonesia (FI) tahun 1969 misalnya,
telah merusak lingkungan, melakukan tindakan kejahatan terhadap
lingkungan, roh leluhur di gunung Gresberg telah dirusaki.
Selain itu FI memiliki akar historis bahwa penyebab konflik antara
masyarakat dan militer adalah perpanjangan tangan negara.
Namun,
entah mengapa tidak ada sulusi yang ditawarkan pemerintah untuk
menyelesaikan problem-problem di Papua Barat. Semakin nampak demokrasi
itu mahal bagi orang Papua Barat. Harapan akan terbukanya pintu
demokrasi belum juga kunjung terbuka. Mungkin demokrasi di negeri ini
harus diperjuangkan lagi, karena sampai era reformasi ini ruang dialog
masih tertutup untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua Barat
secara bijak. Bagaiman tidak bijak, bila militer terus dijadikan
pahlawan untuk menjawab permintaan rakyat akan keadilan, kesejateraan
dan kedamaian. Mengapa harus militer, masyarkat tidak punya senjata api.
Sudah bisa memahami arti organisasi untuk mengorganisir diri. Dalam hal
ini, masyarakat Papua mengaharapkan dialog nasional untuk penyelesaian
berbagai persoalan.
Untuk
menyikapi itu semua ada baiknya kita pikirkan bersama, mencari solusi
bersama untuk menjawab kebutuhan masyarakat, kita harus lebih banyak
belajar untuk menerima dan mendengarkan suara dan aspirasi orang lain
dalam kerangka kemanusiaan yaitu saling menghormati dan menghargai
sebagai ciptahan Tuhan. Pintu demokasi itu harus dibuka lebar-lebar,
artinya bangsa ini harus membuka diri dan belajar mendengar serta
memahami apa yang menjadi aspirasi mereka (masyarakat Papua Barat).
Kalau mengakui sebagai bagian darinya, tanpa harus mengedepankan
militer. Kita berharap tidak terjadi lagi peristiwa Abepura berdarah
yang ketiga kalinya dengan jumlah korban lebih besar, karena akan
semakin memperburuk citra bangsa ini di mata masyarakat maupun di dunia
internasional yang dapat mengancam keutuhan negara ini.
*) Ketua Lembaga Pendidikan Papua
Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?

Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?
Oleh Naftali Edoway *)
Sejumlah peneliti dari Universitas Yale Amerika Serikat dan para
peneliti di Australia pada tahun 2006 lalu telah menyimpulkan bahwa di
tanah Papua sedang terjadi GENOSIDA (pembantaian etnis Papua). Aktornya
adalah TNI dan POLRI. Yang dapat menjadi bukti adalah pada tahun 1969
penduduk asli Papua berjumlah ± 8.000 jiwa dan PNG ± 6000 jiwa. Setelah
rakyat Papua bersama NKRI (45 tahun) penduduk asli Papua ± 1,5 juta
jiwa sementara penduduk asli PNG berjumlah ± 7,5 juta jiwa. Para
peneliti juga mengungkapkan bahwa antara tahun 1961-1969 Indonesia
membantai orang asli Papua Barat ±10.000 jiwa.
Pada tahun 2010 BPS Provinsi Papua Barat melaporkan bahwa jumlah
orang Asli Papua di propinsi itu sebanyak 51,67% dari total 760.000
jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, (Baca: Kompas.com, selasa 11
Januari 2011). Artinya jumlah penduduk Papua Barat antara Papua asli
dan pendatang adalah fifty-fifty.
Tahun 2010, Jim Elmslie seorang akademisi dari Australia dalam laporannya yang berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641. Dalam
buku itu dilaporkan bahwa jumlah Orang Asli Papua pada tahun 1971
sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya
pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu, jumlah penduduk
non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi
708,425. Jadi, presentase pertumbuhan penduduk non Papua pertahunnya
10.82%.
Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah Orang Asli Papua mencapai
1,730.336 atau 47.89% . Sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau
52,10%. Diakhir tahun 2010, orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau
48.73%. Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Jadi,
jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854
atau 100%.
Jim Elmslie memperkirakan, tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara
keseluruhan akan mencapai 7,287, 463 atau 100%. dengan pembagian:
jumlah orang Asli Papua 2, 112,681 atau 28.99% dan jumlah non Papua
5,174,782 atau 71.01%. Itu mengindikasikan, pertumbuhan jumlah orang
asli Papua lambat dibandingkan non Papua. Apa penyebabnya? Jim sendiri
mengatakan bahwa selain masalah sosial dan pelanggaran HAM penyebab
utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar
(baca: http://sydney.edu.au/arts/peace conflict/docs/working papers/West
Papua Demographics in 2010 Census.pdf).
Tingginya migrasi di Papua diakui Mantan Gubernur Provinsi Papua,
Barnabas Suebu, SH di hadapan masa rakyat tahun 2010 lalu saat masa
rakyat Papua demonstrasi mendukung SK 14 MRP. “ Kita akui bahwa jumlah
migrasi di Papua cukup tinggi bahkan lebih tinggi di dunia karena
mencapai 5% pertahunnya. Padahal normalnya 1%”, koarnya.
Tahun 2011, tepatnya pada 8 Januari 2011, Barnabas Suebu, SH Gubernur
Propinsi Papua dalam sambutannya saat melantik Bupati Merauke kembali
mengatakan bahwa orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai
akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, khususnya lewat migrasi
masuk (baca: Papua Pos, 11 Januari 2011).
Terakhir, Kepala Bapeda Propinsi Papua, Alex Rumaseb dalam bedah buku, karya Anthonius Ayorbaba dengan judul “The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 Tahun Otsus Papua”
mengatakan, angka migrasi ke Papua pertahun sebesar 6,39 persen.
Sehingga dari data sensus penduduk sebenarnya orang Papua ada 30 persen
dan pendatang ada 70 persen (baca: Tabloidjubi.com, 12 Januari 2012 ).
***
Ketika membaca laporan-laporan di atas, kira-kira apa yang terlintas
di hati dan pikiran kita? Sebagai orang asli Papua dan yang peduli
dengan situasi orang Papua pasti kita tidak menerima keadaan ini. Luka
dalam batin pasti akan semakin tergores. Makian, benci dan marah pasti
terlontar dari diri kita. Tapi, apakah kita mau terus berada dalam
situasi ini? Apakah kita mau melihat diri kita terus berkurang dan habis
di tanah leluhur kita? Apakah kita mau biarkan kisah orang Aborigin di
Australia dan kisah orang Indian di Amerika pada masa lampau terulang
kembali di tanah Papua?
Sepertinya, misi kebijakan Otsus untuk menjadikan orang Papua menjadi
tuan di atas negerinya terbalik. Bukannya menjadi tuan di negerinya
tetapi menjadi hamba, miskin dan musnah. Bukannya mengatur dan
memerintah tetapi diatur dan diperintah. Bukannya menjadi produsen,
distributor dan konsumen sekaligus tetapi kenyataannya hanya konsumen
setia.
Kemudian, tanah yang diyakini sebagai mama pun beralih tangan dan
kita menjadi anak durhaka. Mimpi Papua Baru yang kita inginkan terlihat
semakin kabur. Apalagi saat ini pemerintah Pusat menghadirkan UP4B
dengan maksud mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat. Ditambah
lagi permintaan pemekaran kabupaten kota dan provinsi yang semakin
ramai. Lalu, pertanyaan saya adalah mengapa ini terjadi dan siapa yang
menciptakan situasi ini?
Dari berbagai laporan di atas faktor utama terjadinya penurunan
jumlah orang asli Papua adalah migrasi. Namun, dalam refleksi, kita
menemukan dua faktor utama yang membuat keadaan ini semakin parah.
Pertama, faktor luar, yakni (a) sejarah integrasi yang direkayasa
pemerintah NKRI yang disusul dengan berbagai pelanggaran HAM; (b)
kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat dalam segala bidang yang
membingungkan, yang tidak berpihak kepada Papua; (c) sikap apatis negara
terhadap semua situasi di Papua, dan lain-lain.
Kedua, faktor dari dalam, yakni (a) sikap orang Papua terutama para
pemimpin yang selalu mau didikte dan menerima dengan mentah-mentah semua
keinginan pusat; (b) pemerintah daerah yang kurang bertaring dalam
membuat kebijakan memproteksi orang asli Papua; (c) orang Papua yang
selalu berpikir utopis (suka mimpi dan berkhayal); (d) orang Papua yang
selalu merasa puas dengan apa yang ada sekarang, mengejar kepuasaan hari
ini tanpa berpikir ke depan, dan lain-lain.
Itu artinya, terjadinya penurunan jumlah orang asli Papua hingga
30% pada tahun 2012 ini, penyebabnya bukan hanya pemerintah pusat tapi
juga oleh orang Papua sendiri. Di dalam kasus penderitaan kita di
Papua, kedua faktor itu saling bekerja sama. Bahkan faktor dari dalam,
Papua sendiri menjadi “jembatan emas” bagi pihak luar untuk melemparkan
Papua ke dalam jurang permasalahan. Dengan perkataan lain, orang Papua
sendiri, menjadi (faktor dari dalam) menjadi Tim Sukses untuk menghancurkan dirinya sendiri dan masa depannya.
Kalau begitu, bagaimana kita keluar dari penderitaan ini? Papua
merdeka? Barangkali itu terlalu jauh tetapi harus terus diperjuangkan.
Marilah kita melihat berita terakhir di atas sebagai kairos Tuhan atau
jalan dari Tuhan untuk mengubah situasi kita. Mungkin kita harus mulai
dengan merefleksi diri kita dan organisasi kita. Sejauh mana saya telah
berfungsi baik bagi rakyat saya dan atau sejauh mana organisasi yang
saya pimpin atau di dalamnya saya menjadi anggota telah paling sedikit
membawa kesembuhan bagi luka batin rakyat selama ini? Lalu, kita mulai
berdialog, berdialog dengan diri kita, dengan organisasi yang lain yang
setujuan, dengan prinsip “one people one soul”. Berdialog
dengan prinsip kasih dan keprihatinan. Katakan, STOP dengan semua
kebiasaan buruk kita yang ujungnya menghancurkan diri, keluarga, dan
komunitas kita. Dan, kita berkomitmen bersama bekerja keras untuk
mengubah 30% itu menjadi 100%. Mari berjuang!!
*) Pemerhati Masalah Sosial Papua, Tinggal di Jayapura.
Sinergi Investasi – Ekonomi Kerakyatan

Sinergi Investasi – Ekonomi Kerakyatan
Jeffrey Sandra Irawan*)
GLOBALISASI, sudah menjadi realita yang tidak bisa lagi dielakkan
saat ini. Hal ini bukannya tanpa konsekuensi. Era persaingan ketat ini
seolah memaksa semua orang yang hidup di zaman ini untuk menjadi
kreatif, jika ingin bertahan dalam arus deras globalisasi. Sesungguhnya
tidak ada yang salah dengan globalisasi dan modernisasi. Karena ini
sesuai dengan sifat manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang
dinamis, dan selalu berusaha untuk berinovasi menemukan sesuatu demi
kehidupan yang lebih baik.
Dalam upaya untuk mengimplementasikan gerakan pembaruan ke arah yang
lebih baik, hal yang tidak bisa dipungkiri adalah dibutuhkannya dana.
Dalam hal ini, menggerakkan investasi merupakan salah satu alternatif
untuk memenuhi kebutuhan ini. Namun masalahnya adalah ketika kepentingan
investor malah menjadi semacam parasit yang dirasa merugikan
kepentingan umum (masyarakat sekitar). Bahkan terbentuk opini masyarakat
bahwa investasi telah membunuh ekonomi kerakyatan. Hal ini kemudian
menimbulkan sikap apriori dan antipati masyarakat, dan mengerucut
menjadi resistensi dan penolakan penduduk lokal terhadap pendatang yang
ingin berinvestasi.
Sikap penolakan terhadap segala bentuk investasi seharusnya tidak
perlu terjadi, jika masyarakat memahami benar investasi, dan mampu
membedakan antara investasi yang membawa dampak negatif atau investasi
yang justru membawa kemaslahtan bagi masyarakat luas. Dengan demikian
diharapkan pemerintah selaku regulator dapat konservatif dan selektif
dalam menyetujui proyek investasi pada suatu daerah.
Namun demikian, jika melihat pada apa yang terjadi di Papua, secara
jujur harus diakui bahwa investasi yang berjalan selama ini cenderung
tidak membawa manfaat kepada masyarakat lokal. Ini dapat dilihat dari
bagaimana buruknya kesejahteraan masyarakat, sementara pemodal besar
dengan “liar dan tamak” mengeksploitasi sumber daya Papua yang luar
biasa berlimpah, demi keuntungan pribadi.
Diakui atau tidak, ini akibat dari besarnya keberpihakan pemerintah
(baik pusat maupun daerah) kepada pihak investor sehingga investasi yang
bertamu di tanah Papua, hasilnya tidak terdistribusi secara adil merata
dan hampir tidak dirasakan masyarakat Papua. Masalah lain yang
mendasari adalah pemilihan investasi yang melulu pada proyek eksploitasi
sumber daya di Papua. Padahal jika pemerintah sungguh-sungguh ingin
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan investasi, maka
seharusnya investasi yang perlu digalakkan adalah investasi bidang
infrastuktur. Infrastruktur yang utama adalah bidang pendidikan, baru
kemudian disusul dengan perbaikan di bidang lain, seperti jalan,
instalasi listrik, fasilitas pendanaan bagi usaha kecil dan menengah
(UKM), dan lain-lain, yang nantinya akan mendukung pertumbuahan ekonomi
yang lebih merata di Papua.
Belum siap? Ya Bersiap-siap
Ada yang mengungkapkan bahwa umumnya masyarakat Papua belum siap
menghadapi investasi. Lantas apakah kemudian menerima semua ini dengan
menolak investasi? Jika yang terjadi demikian maka perbaikan tingkat
kesejahteraan hanya bisa menjadi sekedar mimpi indah yang tidak akan
pernah terwujud nyata. BANGKIT! itu kata kunci yang harus dipegang untuk
terbebes dari keterpurukan.
Masyarakat Papua memandang bahwa pendatang lebih makmur daripada
penduduk asli. Kondisi ini seharusnya justru menjadi motivasi bagi
masyarakat untuk berkata “Jika mereka bisa demikian sukses, mengapa saya
tidak bisa? Saya punya jumlah tangan yang sama dengan mereka. Saya pasti bisa”.
Namun memang, sekedar semangat untuk bangkit saja, sama sekali tidak
cukup untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tentu dibutuhkan adanya
dukungan dari pemerintah dalam hal ini. Sebagai langkah awal untuk
memulai hal itu, yang pertama MUTLAK harus diperbaiki adalah pendidikan,
yaitu bagaimana mengusahakan untuk membuka wawasan masyarakat dengan
pendidikan. Ini penting, karena dengan menjadi terdidik, masyarakat
tidak akan dengan mudah dibodohi, dan dapat selalu berinovasi.
Pertanyaannya, pendidikan macam apa? Tidak harus pendidikan formal,
perbaikan pendidikan masyarakat bisa dimulai dengan
penyuluhan-penyuluhan serta pelatihan-pelatihan praktis yang dapat
dipakai langsung, sambil secara bertahap terus memperbaiki pendidikan
formal.
Sebagai contoh pendidikan non formal adalah pelatihan masyarakat
mengenai budi daya kopi atau kakao. Ini harus dilakukan secara serius
dan komprehensif, yaitu dari mulai pemerolehan modal, pembukaan lahan,
pengolahan, hingga pemasaran hasil harus sungguh-sungguh dikuasai oleh
petani sehingga benar-benar dapat dijalankan secara profesional dan
mandiri. Selain itu, tentu ada banyak sektor yang bisa dikembangkan
masyarakat Papua, tanpa harus mengorbankan kelestarian tanah Papua.
Dalam hal ini tentu pemerintah harus menjadi penggerak utama, namun
jika hanya mengandalkan pemerintah, usaha perbaikan sistem pendidikan
tentu tidak akan optimal. Perlu dukungan berbagai pihak seperti
akademisi (universitas), gereja, dan elemen-elemen lain yang bisa
berkontribusi menjadi tenaga pengajar dadakan untuk sesedar membagikan ilmu kepada masyarakat untuk diterapkan.
Setelah masyarakat cukup siap untuk berpraktik, baru kemudian ekonomi
kerakyatan dapat digerakkan secara sehat. Hal ini dapat diawali dengan
menggali potensi-potensi masyarakat untuk mengelola sumber-sumber daya
Papua, baik secara individu atau berkelompok dalam bentuk koperasi.
Sungguh beruntung di Indonesia memiliki sebuah sistem ekonomi kerakyatan
yang dikenal dengan ekonomi koperasi. Sayangnya belakangan koperasi
mulai terlupakan, padahal sistem ini sangat tepat diterapkan untuk
usaha-usaha kecil, para anggota koperasi bekerja sama dengan tujuan yang
sama yaitu kesejahteraan seluruh anggota. Namun demikian, ada hal yang
sangat perlu diperhatikan dalam koperasi yaitu adalah prinsip kejujuran
dan saling percaya antaranggotanya jika tujuan koperasi sungguh ingin
tercapai secara optimal.
Selain koperasi, masyarakat juga dapat memilih bentuk alternatif
usaha lain seperti usaha kecil dan menengah (UKM). Model usaha ini juga
merupakan sistem berkelompok, namun lebih bersifat sentralistik, seorang
yang mendirikan suatu usaha tertentu dan merekrut beberapa orang
sebagai pegawai. Namun, dalam hal ini yang sering menjadi hambatan utama
adalah masalah sulitnya memperoleh modal untuk memulainya. Dalam hal
ini perlu adanya lembaga, baik pemerintah maupun swasta yang bersedia
untuk memenuhi kebutuhan modal UKM.
Mensinergikan Masyarakat dengan Investasi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa investasi tidak seharusnya
menjadi musuh bagi masyarakat, namun seharusnya investasi dapat
diusahakan agar menghasilkan mutual benefit yang menguntungkan semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, dan tentunya para investor.
Untuk mewujudkan hal itu, perlu adanya usaha untuk membangun sebuah
sinergi yang sehat antara kepentingan investasi dan masyarakat, yaitu
dengan mengutamakan investasi yang secara langsung memberi manfaat
kepeda masyarakat setempat. Jika sebelumya disebutkan masalah permodalan
dalam memulai UKM, maka investasi bidang pendanaan seperti lembaga atau
Bank Perkreditan tentu cukup relevan untuk diutamakan, dalam menjawab
masalah ini.
Selain itu, bentuk investasi lain yang perlu diutamakan adalah
proyek-proyek seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, pengolahan
hasil pertanian dan perkebunan, serta bentuk-bentuk investasi lain yang
akhirnya dapat membantu menggerakkan perekonomian secara lebih luas,
tanpa harus dengan proyek investasi yang melulu mengeksploitasi
sumber-sumber alam yang perlahan tapi pasti dapat mengahacurkan tanah
Papua yang indah dan kaya.
Untuk mengimplementasikan hal ini, tentu dibutuhkan waktu yang cukup
pajang. Selain itu, yang sangat dibutuhkan adalah komitmen yang kuat
dari semua pihak untuk bersama-sama terus berusaha agar keselerasan
tujuan investasi dan peningkatan kemakmuran masyarakat sungguh-sungguh
dapat terwujud. _AMDG_
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Jogjakarta
*) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua

Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua
Prolog
Manusia hidup di atas tanah. Manusia? Kata itu, menunjuk pada makluk
bernalar yang hidup dan melakukan aktivitas, berkembang, mengisi, dan
menguasai. Manusia ’terdampar’ di atas tanah dan secara otomatis
mempertahankan hidup dengan berbagai aktivitas di atasnya. Tanah menjadi
tempat melakukan aktivitas ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2001:1132) tanah adalah
(1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; (2) keadaan
bumi suatu tempat; (3) permukaan bumi yang diberi batas; (4) permukaan
bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa…, dan seterusnya. Maka,
di atas tanah ada segala sesuatu termasuk manusia. Bagi manusia, tanah
menjadi tempat melakukan hubungan dengan segala sesuatu ’lain’ yang
ada—lingkungan– dan karenanya dapat hidup.
Dengan demikian, tanah (lingkungan) menjadi bagian hidup dan
keber’ada’an— dalam pandangan teologis, manusia diciptakan dari tanah,
manusia hidup di atas tanah, manusia akan kembali ke tanah, walaupun
tidak mudah dibuktikan (yang jelas, bila manusia mati, tubuhnya akan
dikubur atau dibakar dan kemudian terurai menjadi tanah dan gas alam
lainnya)– manusia. Berbicara soal tanah adalah juga berbicara soal
manusia dan lingkungan hidup. Maka, jika lebih jauh berbicara tentang
makna dan fungsi tanah, tidak perlu pula diartikan secara sempit.
Berbagai makna dan fungsi tanah sangat penting bagi kelangsungan hidup
manusia dan makluk hidup lainnya.
Mathias Haryadi (tanpa tahun) mengemukakan, tiga arti fundamental
dari tanah. Pertama, tanah adalah tempat manusia mendirikan rumah. Di
atas tanah dan dalam rumah ia tinggal, manusia menemukan basis hidupnya.
Di sana, ia menemukan identitasnya. Kedua, di atas tanah itu, manusia
berhubungan dengan hewan dan tunbuh-tumbuhan (lingkungan—air, udara, dan
lainnya). Hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga, karena tanah
memiliki arti ekonomis yang sangat kaya, satu-satunya dan tak mungkin
tergantikan.
Keterpenuhan sandang, pangan, dan papan menjadi dasar untuk
mengartikan makna dan fungsi tanah. Sebagian besar masyarakat Indonesia
masih tergantung pada tanah (hutan). Menurut Abdon Nababan (2003), dalam
kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan (komunitas-komunitas
masyarakat adat) populasinya diperkirakan antara 50–70 juta orang masih
tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat
dengan lingkungan (tanah) lokalnya. Mereka tergantung pada alam serta
memiliki kedekatan, ikatan yang erat dengan alam termasuk tanah.
Masyarakat Papua merupakan bagian dari masyarakat adat dunia yang secara
turun-temurun hidup dan menghidupi dari dan di atas tanah mereka. Tanah
Papua menjadi hak milik yang diatur menurut hukum adat (KBBI,
2001:1132).
Tulisan ini hendak mengulas tentang cara pandang masyarakat adat
Papua tentang tanah (– serta isinya) dan ’pemanfaatan’ tanah dan isinya
oleh orang luar (pemerintah dan pengusaha). Pemanfaatan tanah (hutan dan
kaitannya) dengan perlindungan tanah (hutan)—pelestarian lingkungan
hidup– dengan mengakui hak-hak adat dengan sistem pemerintah yang baik
dan keterwakilan lembaga yang memikirkan secara serius akan hal ini,
ikut dipikirkan secara umum.
Tanah bagi Masyarakat Adat Papua
Masyarakat adat diakui secara internasional sebagai bagian dari
masyarakat dalam komposisi dan konstelasi sosial-politik masyarakat
modern (Baca: HAM Masyarakat Adat pasal 1, 2, dan 3– eksistensi dan jati
diri Madat). Mereka tidak masuk ke dalam kelompok Masyarakat Sipil,
Masyarakat Ekonomi ataupun Politik. Maka, jelas Madat berhak menikmati
segala hak yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh semua umat
manusia di planet bumi ini, termasuk hak untuk menghargai dan mengatur
tanah (hutan—lingkungan hidup) yang merupakan sumber kehidupan dan
identitas (Papuapost.com, 19 Juni 2008).
Rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat adat Indonesia dan dunia,
sejak awal kehidupan, sudah sangat dekat dengan tanah (alam—lingkungan)
mereka. Mereka telah memiliki hak untuk menghargai dan mengatur tanah
(hutan) yang merupakan sumber kehidupan dan identitas mereka. Kedekatan
orang Papua dengan alam dapat dipahami melalui tarian, lagu, dan doa.
Salah satunya dapat dilihat dari ungkapan sederhan mama Yosepha
Alomang, peraih ”Goldman Enviromental Prize” (Selangkah, September 2006. Tanah Adat, Freeport, dan Warga Sipil” hlm. 26). Atas tanahnya yang direbut oleh negara dan kapitalis, dia mengatakan: ”Tanah ini saya punya tubuh. Gunung Nemangkawi ini jangtungku. Danau
wonangon ini saya punya sum-sum. Kali ini saya punya nafas. Tetapi Kao
sudah makan saya. Kao tidak punya hati dan perasaan. Freeport dan
Pemerintah, kamu sudah makan saya. Tidak sadarkah kamu?”
Ungkapan di atas memperlihatkan mitologi menyangkut manusia sejati
(seorang ibu) yang berubah menjadi tanah dan membentang sepanjang daerah
Amungsal (tanah Amugme)—daerah keramat wilayah PT Freefort beroperasi
sejak 1967 hingga saat ini. Tanah bagi Amugme adalah “seorang ibu” yang
baik hati, yang memberikan dan menyediakan semua kebutuhan.
Tidak hanya suku Amugme dan Kamoro. Sekitar 250-an suku yang ada di
tanah Papua dengan adat istiadatnya masing-masing memaknai tanah sebagai
ibu (mama). Orang Mee misalnya, selalu mengatakan, “maki kouko akoukai” (tanah
adalah Ibu—jagalah baik-baik). Orang Mungmen juga mamahami tanah
sebagai ibu kadung. Nimboran percaya bahwa tanah diciptakan oleh seorang
nenek tua, sedangkan bagi orang Humbuluk tanah dikonotasikan sebagai
rahim perempuan.
Masyarakat Napan di Nabire misalnya, meyakini bahwa hulu sungai Lagari yang dikenal dengan nama ‘Nuba Urigwa’
adalah tempat yang sakral, yang menjadi tempat tinggal Kuri. Keyakinan
ini membuat masyarakat dari kelompok budaya Kuri di kawasan
Napan-Weinami dan Makimi memahami seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS)
sebagai wilayah yang tidak boleh dirusak karena kehidupan sungai
bersumber pada tanah di sekitarnya. Tanah dianggap rahim bagi air sungai
dan air laut, sehingga laut dan sungai tidak boleh dicemari (baca: Kuri
dan Pasai). Sama juga masyarakat kampung Yaro di Kabupaten Nabire.
Mereka memandang tanah sebagai manusia yang harus dijaga.
Pada budaya Suku Ngalum, Kabupaten Pegunungan Bintang, setiap bidang
tanah, pohon, rotan, sungai, gunung hingga batu berhubungan erat dengan
suku-suku di sekitarnya. Begitu eratnya hubungan ini sehingga dalam
pembukan lahan, setiap laki-laki yang terlibat wajib memakan segumpal
tanah. Ini mencerminkan bahwa tanah merupakan sumber kesuburan dan
kehidupan sehingga masyarakat Ngalum harus mengikatkan dirinya dengan
tanah yang tidak lain dianggap sebagai ibu, (Tabloid Jubi, 20 Agustus 2007).
Keyakinan tanah sebagai ibu, diperkuat setelah agama kristen masuk di
tanah Papua. “Hormatilah ayah dan ibumu” (baca: Sepuluh Perintah
Allah). Ajaran itu semakin mendekatkan suku-suku di tanah Papua yang
mayoritas kristen itu bahwa tanah mereka sebagai ibu yang patut untuk
dicintai (dijaga).
Tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam memperkuat ikatan
mereka dengan segala hal yang berada di permukaan bumi. Tanah dalam
stuktur dasar antropologi di kalangan orang Papua menyatu dengan
manusia. Artinya, tanah dipandang sebagai rumah yang memberi kehidupan
dan perlindungan. Tanah juga adalah tempat tinggal arwah nenek moyang
yang merupakan sumber kekuatan hidup manusia. Dari aspek budaya, tanah
adalah mama atau ibu. Ibu yang melahirkan, memberi makan, memelihara,
mendidik, membesarkan, hingga sekarang ini. Karena itu bila manusia
merusak alam, dengan sendirinya ia merusak dirinya sendiri. Dengan
demikian, masyarakat Papua memandang tanah sebagai “tubuh ibu atau mama”
orang Papua, sehingga tidak ada orang yang seenaknya mengambil atau
merusak.
’Perampasan’ Tanah Adat Papua
Tanah Papua merupakan ’mama’ masyarakat adat Papua yang dimiliki
secara turun-temurun. Tanah Papua dimiliki oleh suku-suku (baca: 250
suku di Papua). Dan, di lingkup suku dimiliki oleh marga-marga. Tanah
yang dimiliki oleh masyarakat adat itu mulai di’rampas’ sejak
kepentingan bisnis dan politik mulai menapakan tajinya di mana-mana,
terutama areal pertambangan, hutan, dan pembangunan jalan trans serta
lokasi pemukiman baru termasuk program transmigrasi.
Negara yang ‘baru’ lahir itu secara sengaja menjadikan eksistensi
masyarakat adat tidak memunyai kekuatan dan kepastian hukum, karena
dikalahkan oleh kepentingan yang mengatasnamakan negara demi kemakmuran
rakyat (Selangkah, Edisi Februari-April 2005). Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3, “Melaksanakan
hak ulayat masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional, maupun peraturan-peraturann yang lebih tinggi.” Bunyi
UUPA 1960 Pasal 3 jelas-jelas menjadikan masyarakat adat tidak punya
jaminan hukum dari negara. Dengan berdasar pada pasal itu, negara
memperbolehkan dan memberikan HGU, HPH, mupun hak pertambangan kepada
perusahaan-perusahaan kayu maupun industri pertambangan. Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 juga dipakai negara sebagai alasan (surat
jalan) untuk menguasai tanah adat.
Secara yuridis kata ’menguasai’ yang terkandung pada pasal 33 ayat 3
UUD 45 memunyai makna; pertama, mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Kedua, menentukan dan
mengatur hak-hak yang dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga,
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Maka,
jelas bahwa negara tidak berhak memiliki. Kata mengatur,
menyelenggarakan, menentukan mengisyaratkan makna adminitratif, tetapi
seringkali makna tersebut diselewengkan oleh negara untuk kepentingan
penguasa dan pengusaha.
Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bab II Pasal 16 diatur tentang hak
atas tanah, sebagaimana tercantum dalam pasal 4 yang meliputi: pertama,
hal milik; kedua, hak guna usaha; ketiga, hak guna bangunan; keempat,
hak pakai; kelima, hak sewah; keenam, hak membuka tanah, dan ketujuh hak
memungut hasil hutan. Pengaturan atas hak tanah di atas mengalami
penyimpangan, terutama oleh aparat pemerintah sendiri, (baca: R.H. De
Haas Engel dalam Pekey, 2007). Semua produk Undang-Undang tentang tanah
diterapkan sepihak tanpa rasa hormat terhadap hukum adat, dan prinsip
tentang tanah yang dianut oleh masyarakat adat. Aspek lingkungan yang
sangat vital bagi keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem yang
terkandung di dalamnya terabaikan.
Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang
mengawali masuknya PT Freeport Indonesia (PTFI) di tanah adat orang
Amugme dan Kamoro misalnya, kontrak dilakukan tanpa rasa hormat
terhadap hukum adat dan prinsip tentang tanah yang dianut oleh
masyarakat adat. Kontrak karya pertama ditandatangani pada bulan April
1961 dan mulai beroperasi pada 10 Januari 1967 tanpa pembicaraan dengan
pemilik tanah adat (Baca: ‘Travel Feature Itu Menuai Bencana’, Selangkah, edisi September 2006).
Penduduk Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang berada di
Mimika dipaksa merelakan tanah adat mereka yang memiliki nilai sosial
budaya, politik dan religius. Gunung Ertsberg atau Yelsegel Ongopsegel
di daerah Kabupaten Mimika yang merupakan daerah keramat orang Amungme
dan Kamoro harus rela isi perutnya dilubangi karena kepentingan emas,
perak dan tembaga demi sebuah investasi. Mereka menyaksikan tanah
keramat, tempat arwah leluhur bersemayam dibongkar tanpa merasa
bersalah dan tanpa ada perundingan. Mereka menyaksikan hak-hak adat
mereka terhadap tanah adat tercabik-cabik. Mereka menyaksikan
sungai-sungai tempat mereka mencari ikan dan berudu diracuni dengan
limbah.
Eksploitasi atas tanah adat (emas, kayu, tumbuhan, hewan, dan sebagainya) terus berjalan. Di wilayah adat Malamoi misalnya, setidaknya ada dua perkebunan kelapa sawit selain eksploitasi kayu. Kini hutan alam, yang secara turun-temurun menjadi sumber kehidupan, telah menjadi sumber petaka, yakni banjir dan longsor. Di Biak, hutan dibuka sejak masa Belanda hingga sekarang. Pembukaan hutan dengan masuknya investasi skala besar di Papua telah merusak struktur masyarakat adat dan cara pandang mereka terhadap tanah. Semua jenis kayu, (Merbau intria sp, matoa ketapang, bintangur dan damar) dibabat tanpa reboisasi. Kayu merbau merupakan komoditas yang penting dan "laris" di pasaran, maka habitat alam lain (sungai, kayu dan lainnya) diberangus rata dalam rangka mencari merbau, (baca: Papua 2008).
Data Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua tahun 2006 menunjukkan, ada
65 perusahaan HPH di Papua dengan luas konsesi 14,4 juta hektar (ha).
Dari 65 perusahaan HPH tersebut, hingga tahun 2006 hanya 15 HPH yang
masih aktif. Perusahaan HPH punya tanggung jawab, antara lain adalah
program ‘bina desa’. Artinya pemberdayaan masyarakat adat (kampung)
pemilik hak ulayat dalam bentuk pembangunan rumah warga, sekolah, gereja
atau fasilitas lainnya. Namun, hal ini selalu menjadi keluhan
masyarakat adat di berbagai areal HPH di tanah Papua.
Masyarakat adat Mee di distrik Yaro, kabupaten Nabire misalnya,
memilki pengalaman buruk dengan perusahaan HPH PT Sesco di wilayah adat
mereka. Perusahaan HPH PT Sesco yang beroperasi sejak tahun 1990/1991
hingga saat masih belum membayar sejumlah Rp40 juta dengan hitungan satu
kubik Rp1000,00. Ini artinya bahwa kubikasi yang merupakan kewajiban
mutlak saja belum membayar, apalagi melaksanakan program ‘bina desa’.
Perusahaan HPH yang masuk di daerah Yaro (daerah yang sama) pada tahun
2003, yakni PT Jati Dharma Indah justru mengklaim kayu termasuk segala
yang terkandung dalam tanah adalah miliknya. Bahkan dia melarang
masyarakat adat untuk mencari ikan, berburu kuskus, di tanah adat
mereka. Sementara PT Jati Dharma Indah menghabisi berbagai jenis burung
termasuk cenderawasih dengan senapan angin, termasuk kuskus dan kekayaan
hutan lainnya.
Pengalaman masyarakat adat Yaro yang digambarkan di atas adalah hanya
sekelumit dari kemungkinan kesamaan pengalaman masyarakat adat di 65
areal perusahaan HPH di tanah Papua. Data kemiskinan yang dipaparkan
sekretaris eksekutif Foker LSM Papua Septer Manufandu sungguh
memprihatinkan. Sebanyak 391.767 keluarga (81 persen) dari total 480.578
keluarga di Papua tergolong miskin. Data ini menunjukkan bagaimana
dampak eksploitasi sumber daya alam Papua bagi warganya. Juga, sekitar 4
juta ha lahan yang telah disiapkan bagi belasan perusahaan perkebunan
skala besar, 300.000 ha di antaranya kebun kelapa sawit adalah rencana
tragedi masyarakat adat Papua di masa depan. Eksploitasi atas tanah adat
Papua terus dilakukan di balik nomine ‘Heroes Environment 2007′ yang dianugerahi kepada Gubernur Suebu dari Majalah Time terbitan Amerika Serikat pada 25 Oktober 2007 di Royal Court of Justice London, Inggris.
Perampasan tanah adat oleh penguasa dan pengusaha ini merupakan
ancaman keutuhan hutan dan masyarakat adat. Pengampanye hutan Greenpeace
Asia Tenggara, Bustar Maitar, mengatakan, ancaman keutuhan hutan
(tanah) Papua bukan hanya dari pengambilan kayu, pertambangan dan kelapa
sawit (Kodeco dilaporkan menebangi hutan untuk perkebunan kelapa sawit
di wilayah Mamberamo), namun juga rencana pembukaan jalan raya dengan
pamrih kayu dan pemekaran daerah. (Kompas, 24 Juni 2008). Belum
puas dengan hutan dan tambang, berbagai spesies di atas tanah adat,
diramu dan dibawa keluar Papua. Berjuta-juta spesies burung, ikan air
tawar, reptil, amfibi, serangga air, kupu-kupu, mamalia kecil dan
vegetasinya telah hilang dan masih terus diburu.
Penghancuran lingkungan dan ekosistem termasuk perusakan hutan
lindung secara membabi buta ini mengancam eksistensi masyarakat adat
Papua. Masalahnya, Jabar Lahaji memprediksikan hutan Papua akan
lenyap antara tahun 2013 sampai 2015. Hasil analisa satelit tahun
1998-2000 menunjukkan angka deforestasi yang cukup tinggi, sekitar ,45
jua ha. Kalau hitungannya terus perpanjang sampai tahun ini, laju
deforestasi diperkirakan bisa mencapai 2,5 sampai 3 juta ha pertahun.
Kalau hutan di Kalimantan dan Sumatera diduga tahun 2005-2010 akan
habis, di Papua, antrian 2013-2015 (baca: Jabar Lahaji, 2008).
Nah, apa yang tersisa sekarang dan 2015 nanti? Yang tersisa adalah
persoalan demi persoalan yang terjadi, seperti rusaknya tatanan
kehidupan, menyangkut rusaknya (mite) mitologi yang terkait dengan
kerusakan lingkungan (obat-obatan dan kebutuhan lainnya), sosial,
politik dan sebagainya. Hal-hal itu melahirkan perlawanan masyarakat
adat Papua, lalu dihadapkan pada militer –yang dipiara di areal HPH dan
pertambangan– dengan stigma OPM (Organisasi Papua Merdeka). Stigma
oposan pemerintah dengan label OPM atau separatis sering digunakan
menjadi alat penekan terhadap masyarakat, bahkan sering terjadi kasus
penangkapan, pemukulan/penyiksaan dan penculikan.
Melangkah untuk Melingdungi Tanah Adat Papua
‘Perampasan’ tanah adat telah merusak manusia, tanah dan segala
isinya (hubungan manusia dengan alam) serta pranata-pranata
sosial-politik dan kultural masyarakat adat. Upaya-upaya
pemulihan-perlindungan adalah tantangan yang harus menjadi perioritas.
Dalam konteks ini, melangkah untuk melingdungi berpulang pada
penyesuaian dan penerapan hukum dengan kepastian hak-hak masyarakat
adat. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001,
Pasal 38 ayat 2 mengatakan, usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber
daya alam dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat adat,
memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha serta prinsip-prinsip
pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Lebih lanjut,
pada Pasal 43 ayat 1 menegaskan, pemerintah wajib mengakui, menghormati
dan melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat
adat.
Undang-Undang Otsus Papua secara tegas memberikan pengakuan dan
perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak adat. Dalam hal ini,
pengakuan atas suatu kawasan SDA yang berada di dalam wilayah masyarakat
adat. Berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak adat
tersebut, maka UU PSDA perlu menyebutkan: pertama, kawasan SDA yang
dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh masyarakat adat maka kegiatan
pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan masyarakat adat itu sendiri.
Kedua, setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat
dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling
menguntungkan dengan memerhatikan aspek konservasi. Ketiga, setiap
kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak
luar negeri mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota dengan
memerhatikan kepentingan nasional tanpa merugikan masyarakat adat.
Perlu juga memikirkan, pemisahan hak penguasaan dengan hak guna, dan hak pengelolaan/pengusahaan. Peraturan
per-UU-an harus secara jelas membedakan antara “penguasaan kawasan dan
SDA yang ada di dalamnya” dengan “penggunaan kawasan dan SDA di
dalamnya”. Dengan demkian, status penguasaan/kepemilikan atas kawasan
SDA baik yang berstatus milik pribadi, milik kolektif dan hak
adat/ulayat, maupun milik publik bisa memiliki fungsi dan tata guna: (a)
produksi, yaitu kawasan tertentu yang SDA-nya bisa dikelola dan
diusahakan untuk memproduksi; (b) lindung, yaitu kawasan tertentu yang
harus dilindungi fungsi ekologis/hidrologis di mana pemanfaatan SDA di
dalamnya harus dilakukan secara sangat terbatas; (c) konservasi, yaitu
kawasan yang sumberdaya dan keanekaragaman hayati di dalamnya harus
dilestarikan.
Pengakuan penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada
mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai
masyarakat adat, dan juga untuk menentukan batas-batas wilayah dan
kawasan hutan adat dari masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, harus
jelas mengatur kriteria-kriterianya, yang kemudian secara
operational-prosedural diatur lebih terinci dalam suatu aturan—dalam hal
ini peraturan daerah khusus (Perdasi) yang mengatur tentang “Hutan
Adat”. Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyarakat
adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan
pemerintah atau pihak lain, tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat
adat yang bersangkutan secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai
dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah—antara lain untuk
melindungi konflik tingkat masyarakat adat.
Sementara itu, untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan
sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumber daya alam dalam cakupan
wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen
penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan
kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan
flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah
dan konstelasi geo-politik wilayah.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem
budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus
benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi. Dengan pendekatan
ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak
ada lagi “keharusan” untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah
yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan
membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di
wilayah lain.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan
partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses
penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah
ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak
berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih
akomodatif terhadap kepentingan bersama untuk banyak komunitas yang
tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut. Dalam konteks ini maka
membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus
diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan antarkomunitas dan
antarpihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antarpihak yang
berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi
dan politik yang partisipatif demokratis.
Epilog
Akhirnya, mengingat tanah bagi masyarakat adat Papua berperan dalam
memperkuat ikatan mereka dengan segala hal yang berada di permukaan
bumi, maka kemungkinan penerapan hukum adat dalam pengaturan kehidupan
masyarakat adat, pengakuan kedaulatan masyarakat adat, dan kepatuhan
penguasa dan pengusaha terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia—(banyak yang telah mati, dikubur dan kemudian terurai menjadi
tanah dan gas alam lainnya di atas tanah adat mereka)–perlu direnungkan.
Pemerintah dan pemerintah provinsi Papua perlu mengevaluasi kembali
semua undang-undang dan peraturan terkait, termasuk meninjau program
transmigrasi—telah berbuah pahit– dan arus migrasi dari luar Papua yang
mengancam eksistensi tanah dan masyarakat adat Papua (baca: 6 tahun
Otsus Papua). Hak-hak adat tidak dipikirkan dengan baik, dapat
bermuara pada gugatan masyarakat adat Indonesia—Papua, Kalimantan
(Borneo), Sulawesi Utara, Riau, Maluku dan lainnya– terhadap sifat kesatuan negara Indonesia, karena masyarakat adat ada jauh sebelum negara ada. [Yermias Degei/MS]
Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua

Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua
Oleh Jekson Ikomou*)
Pemerintah Indonesia berusaha meredamkan Ideology Papua Merdeka
melalui Otonomi Khusus (OTSUS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001. Namun sayangnya Undang-Undang tersebut Gagal. Nasionalisme Papua
terus tumbuh. Bukan Nasionalisme Indonesia. Orang Papua tidak percaya
dengan Pemerintah Indonesia.
Hal subtansi permasalahan Papua adalah sejarah masa lalu, pelanggaran
HAM, dan kondisi hidup bersama lebih dari 40-an tahun ini. Pelanggaran
misalnya, Negara habiskan Ribuan Orang Papua yang tak berdosa melalui
berbagai Operasi Militer Indonesia di Tanah Papua. Hal ini tidak
mematikan gerakan merdeka.
Jika melihat sejarah, Papua merupakan sebuah Negara. Ia merdeka pada
tanggal 1 Desember 1961. Namun, Pemerintah Indonesia secara paksa
mengklaim Papua sebagai bagi dari Indonesia dengan kekuatan Militer yang
disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA), sehinggah Amerika memanfaatkan
peluang demi kepentingan ekonominya (salah satunya PT. FI).
Dan hinggah kini, Lembaga-Lembaga Peneliti kemukakan, PT. FI
merupakan akar permasalahan di Papua. Bahkan, Rakyat pun mengatakan
bawah Freeport merupakan salah satu perusahan yang memakan ribuan
korban orang Papua. Ribuan orang Papua menuntut PT. Freeport harus
ditutup melalui berbagai aksi damai. Namun, sayangnya pihak Pemerintah
Indonesia menutup ruang Demokrasi bagi Orang Papua melalui kekuatan
Militer Indonesia.
Keadaan ini membuktikakn bahawa Indonesia benar-benar gagal
Indonesiakan orang Papua. Indonesia gagal di semua bidang pembangunan
untuk orang asli Papua. Karena itu, orang Papua berpikir bawah Indonesia
sedang menjajah kita. Jika dibilang orang Papua dijajah memang benar,
karena mengingat permasalah yang terjadi selama ini.
Di Atas Luka Otsus Muncul UP4B
Otsus adalah peluang untuk sejahterakan Orang Papua. Namun Gagal. Lalu, muncul lagi sebuah yang sebut dengan Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Program kerja yang disusun dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua Barat (UP4B) ini seperti dengan Program kerja OTSUS.
UP4B masih bicara sebatas keadilan pembanguna di Papua. Ia bicara
soal pendidikan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur. Ia tidak bicara soal
pelanggaran HAM, tidak bicara soal dialog, tidak bicara soal sejarah
Papua. Orang Papua berpendapat apa bedanya OTSUS dengan UP4B?
Banyak Rakyat Papua mengatakan, “Unit Perepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat (UP4B) bukan solusi untuk perdamaian di Papua, Perdamaian
di Papua adalah Referendum”. Rakyat Papua menilai janji-janji
pembangunan yang mereka temui di Papua adalah operasi-operasi Militer,
pembunuhan sana-sini, perusahaan-perusahaan raksasa yang mengancan
keberadaan masyarakat adat, dan lainya. Semuanya merusak dan menguras.
Nah sekarang, jika Pemerintah Indonesia punya hati untuk membangun
Papua tarik Militer dari Papua baik organik maupun non-organik. Lalu,
adili semua pelaku pelanggaran HAM sejak tahun 1961, gelar dialog damai,
Jakarta-Papua.
Tapi, Indonesia harus ingat bahwa Papua Merdeka itu telah menjadi
darah daging orang Papua. Dengan cara dan pendekatan apapun tidak akan
pernah dipatahkan. Otsus adalah luka. Di atas luka Otsus lahir luka
baru, UP4B. Kemudian, selanjutnya apa? Tunggu hari untuk menuai
Kemerdekaan bagi Bangsa Papua Barat.
*) Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Bandung
Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)
Kehadiran RI di Tanah Papua Mengancam Eksistensi OAP
Oleh Sdr. Antekos *)Latar Belakang
Papua diintegrasikan secara sepihak ke dalam Republik Indonesia (RI),
yaitu melalui penyerahan kedaulatan dari pemerintah Negara Kerajaan
Belanda kepada Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga saat ini; pembangunan yang diselenggarakan di Papua dihadapkan kepada berbagai permasalahan.
Salah satu permasalahan yang terjadi di Papua adalah adanya
pemahaman masyarakat Papua bahwa Integrasi merupakan pengambilalihan
tanah Papua menjadi wilayah NKRI bagi mereka Papua bukan integrasi ke
NKRI. Karena sampai saat ini Bangsa Papua tidak pernah mengakui
integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia.
Bentuk konkret orang Papua tidak mengakui intgrasi itu terwujud
melalui pemberontakkan Organisasi Papua Merdeka ( OPM ), yang dimulai
pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari dan sampai saat ini, kelompok
pro-Merdeka masih menutut keadilan, karena Bangsa Papua telah Merdeka
tahun 1961, yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Namun
dengan kepentingan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB, Negara Papua
yang telah merdeka itu, dimasukan kedalam Negara Indonesia secara paksa.
Motifnya kepentingan ekonomi. Dengan maksud kekayaan alam Papua diambil
oleh mereka misalnya adalah PT. F Reeport, minyak bumi di Sorang , Gas
alam, kekayaan laut dan penembangan hutan oleh pengusaha asing.
Selain itu banyak imigran yang di datangkan dari luar Papua,
transmigrasi dan pemekaran provinsi, pemekaran kabupaten, distrik dan
kampung yang membuat orang Papua semakin termarginal. Akhirnya orang
asli Papua mengalami ketidakadilan, penindasan, kekerasan, perampasan
hak dan kepadatan penduduk. Berbagai persoalan tersebut Organisasi Papua
Merdeka (OPM), berjuang bersama masyarakat sipil di pedalaman Papua,
untuk bangkit bersama menutut haknya, yakni MERDEKA.
Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan satu kebenaran
sehingga sampai sekarang mereka tetap menuntut harga dirinya sebagai
Bangsa Pribumi dan mau MERDEKA. Untuk menutup mata perjuangan tersebut
pemerintah Indonesia memberikan otsus dan UP4B. Indonesia tidak perlu
membodohi mereka dengan OTSUS, UP4B dan pemekaran Provinsi, Kabupaten
dan lain-lain. Karena perjuangan yang dibuat oleh bangsa Papua untuk
memperoleh Kemerdekaan.
Menurut hemat saya Indonesia harus mengerti persoalan, karena rakyat
Papua tidak minta OTSUS,UP4B atau pemekaran yang menghabiskan tenaga,
pikiran dan uang bermiliaran rupiah. Orang Papua masih merasa bahwa
kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua mengancam eksistensi orang
asli Papua. Karena kehadiran Indonesia merupakan sebuah ancaman, maka
orang Papua mau merdeka agar dapat mengatur dirinya sendiri.
Pokok Permasalahan
Sesuai dengan latar belakang permasalahan di atas, terlebih bahwa
secara fisik TPN atau militer OPM tidak memiliki kekuatan yang berarti
bila dibandingkan dengan Tentara Nasional Indoesia atau ABRI, namun
dalam arti “ ideologi masih kuat. Karena soal ideologi tidak bisa
dipadamkan dengan kekuatan militer Indonesia. Ideology tidak bisa
dipadamkan dengan kehadiran OTSUS –UP4B, karena ideologi selalu
diwariskan dalam generasi ke generasi sehingga sulit dipadamkan. Dengan
demikian Papua merdeka sulit dipadamkan dengan pembangunan, pemekaran,
uang Respek dan kekuatan militer.
Jadi sampai kapan pun idealisme Papua Merdeka dari Negara Indonesia
tidak akan pernah memadamkan ideology ini. Kata lain bahwa ideologi
merupakan satu prinsip hidup atau satu sikap yang dibangun oleh
masyarakat Papua sendiri di dalam budaya dan diwariskan dari
turun-temurun sesuai dengan permasalahan, masih tetap berkembang dalam
setiap suku yang ada di Papua. Kalau ideology ini telah berhasil pasti
rakyat Papua merasa bahagia selama-lamanya karena ideologinya dapat
terwujud. Sebelum dicapai mereka terus berjuang dan sampai kapanpun.
Ideologi bagaikan seorang ibu kehilangan anaknya ia terus mencari,
walaupun ada tantangan dan hambatan hidup ia terus mencari sampai dapat,
demikian juga ideologi Papua Merdeka sama prinsipnya.
Papua Kaya dengan Kekayaan Alam
Dengan latar bekang di atas Bangsa Papua samapai saat ini pemerintah
Indonesia kurang memperhatikan yaitu, keadilan dan perlindungan.
Karena negara merasa yang lebih penting adalah sumer daya alam ( SDA )
dari pada manusianya. Hal demikian Papaua yang dahulu damai mejadi
tidak damai menjadi. Sehingga negara datangkan militer dan imigran
tidak sesuai dengan aturan hukum Internasionla,yaitu masyarakat pri bumi
yang harus dibei salvation tidak dibuat, yang terjadi adalah
ketidakadilan, penindasan dan kekerasa militer di seluruh tanah Papua.
Tetapi hanya demi kepentingan ekonomi mereka selalu membuat teror,
pembunuhan secara misterius ( OTK), sebenarnya dibalik semuanya tujuan
utama adalah menguasai wilayah seluruh tanah Papua, mengkuras kekayaan
alam dan popularitas semata. Kalau kita melihat kaca mata Tuhan
merupakan tindakan kejahatan yang tidak manusiawi,yaitu menlangar hukum
10 perintah Allah, yaitu “jangan membunuh dan jangan mencuri ( Kel. 20:
1-17), tetapi sekarang negara Indonesia tidak peduli lagi dengan hukum
Tuhan,maka setiap militer, non militer dan pemimpin Negara yang pernah
terlibat dengan masalah Papua akan diadilih oleh Tuhan sesauai dengan
perbuatannya. Karena ia tidak mampu memberikan jaminan kehidupan bagi
bangsa Papua.
Berangkat dari ini bangsa Papua tidak ada kepercayaan kepada
pemerintah Indonesia, karena sistem yang dipake oleh pemerintah
Indonesia terhadap bangsa Papua tidak sesuai dengan budaya sehingga
inti persoalan tidak pernah selesaikan dengan tuntas. Maka bangsa
Papua semakin mengalami kepunahan secara perlahan-lahan, dan Negara
Indonesia tidak pernah mengakui bahwa kami salah.
Dengan kurangnya kepedulian negara bangsa Papua masih tetap menuntut
haknya yaitu kemerdekaan yang pernah ada. Pada hal dalam UUD 45 alinea
pertama berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu ,maka penjajah an di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Namun kemerdekaan itu telah dipaksakan ke dalam Negara Indonesia
oleh Amerika, Belanda dan PBB, hanya demi kepentingan ekoomi ( sumber
daya alam ), maka sampai sekarang bangsa Papua masih memperjuangkan
haknya agar hak yang diambil itu bisa dikembalikan. Pada hal dalam
UUD-45 di atas sudah ada kebenaran, dan pada tahun 1961 Papua telah
merdeka. Namun hanya demi kepentingan ekonomi, tidak diberikan peluang
untuk membas menentukan nasib sendiri, memang tahun 1969 telah diadakan
Refreedom,namun tidak sesuai dengan hukum Internasional, yaitu terjadi
ketidakadilan dalam refreedom, karena rakya Papua ditodong dengan
senjata sehingga tidak semua orang memilih dan kenyataan adalah
perwakilan saja memilih hak suara.
Oleh karena itu, dari tahun 1961 sampai sekarang bangsa Papua masih
tetap dijajah dan sekarang mereka berjuang untuk merdeka dengan
diplomasi Internasional. Sebab perjuangan bangsa Papua sudah mendunia
dan kemungkinan suatu saat kebenarannya akan dinyatakan melalui kuasa
Tuhan. Biarlah sekarang bangsa Papua mengalami ketidakadilan,
penindasan, kekerasan dan pembunuhan tetapi hatiku mengalami ketengan,
sebab hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku.
Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku,aku tidak
akan goyah” (Mzm 62), dan aku terus berjuang di dalam Tuhan agar Negara
Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dapat memperoleh pengkuan. Atas
kekuatan Mazmur ini, saya percaya Papua pasti merdeka.
Orang lain datang mengambil kekayaan dan dijajah kita jangan
takut,melainkan berani dan setia berjuang bersama Tuhan. Sebab di dalam
Dia ada kemenangan dan kemenangan itu akan terjadi dan jangan kecil
hati. Walaupun orang Papua sekarang menjadi penonton di atas
kekayaannya yang berlimpa-limpa. Kita juga sadar bahwa penderitaan ini
merupakan Salib Tuhan dan harus tetap sabar menerima itu sebagai
penderitaan Kristus. Karena kita minta merdeka negara Indonesia tidak
mau lepas, dengan mengatakan Papua bagian dari NKR. Dengan demikian
pemerintah telah memberikan OTSUS, kemudian UP4B secara paksa, pada
hal rakya Papua mengatakan tidak.
Tujuannya adalah agar rakyat bangsa Papua jangan lagi bicara
Merdeka sehingga Indonesia matian-matian menyakini Dunia dengan
mengatakan Papua bagian dari NKRI tetapi NKRI bukanlah harga mati.
Karena Negara ini suatu saat akan lepas bertubi-tubi,yaitu Papua lepas,
Ambon lepas, Kalimatan lepas, Sulawesi lepas, Bali lepas dan Ace pun
akan lepas, dan yang masih tinggal hanya jawa sendiri. Karena rakyat
lebih pintar untuk menilai kebenaran dan keadilan,bila ke dua hal ini
tidak sesuai dengan hati mereka pasti akan mengatakan merdeka, tetapi
bangsa Papua tidak seperti itu, karena Papua sudah pernah punya Negara
sendiri,tetapi dicapblok ke dalam Indonesia demi kepentingan ekonomi
semata.
Penderitaan bangsa Papua tidak bisa dihapus dengan uang, OTSUS, UP4B,
dan pemekaran provinsi, kabupaten, desa dan keca mata. Bangsa Papua
meminta adalah keadilan karena harga dirinya telah dirampas oleh
penjajah Indonesia. Karena Negara Indonesia kurang peduli dengan rakyat
yang sementara menderita. Di lebih banyak mengkritisi Negara lain
daripada melihat diri sendiri,misalnya masalah Israel dan Palestinan
Indonesia campur tangan. Pada hal terhadap bangsanya sendiri juga
mengalami penindasan, kekerasan dan ketidakadilan. Menurut hemat saya
lebih baik kita mengurus rakyat saya yang menderita.
Dalam kaitan dengan Papua Negara tidak pedulih dengan orang Papua,
namun lebih mencintai kekayaan alam dari pada orang Papua yang
sementara mengalami kepunahan di atas kekayaan alamnya sendiri (
Genosida), kalau Negara tidak pedulih,maka tidak sampai 2020 orang Papua
akan habis dari tanah Papua, yang ada hanya tinggal nama.
Jadi, saya harapkan orang-orang Papua harus menyadarinya dan jangan
tinggal ikut-ikutan dengan orang lain, dan buanglah sikap minum -mabuk,
korupsi dan seks bebas. Karena tidak lama lagi orang Papua akan habis,
bila ditawarkan kepentingan Indonesia harap jangan terima,mislanya
pemekaran dan pertambangan tanpa melalui dewan adat. Karena saya melihat
Negara ini, tidak menghargai manusia Papua, tetapi ia melihat diri
kita seperti babi rusa di hutan, sehingga dia selalu membantai tanpa
takut nilai kemanusiaan.
Menurut hemat saya sebenarnya orang Papua juga adalah manusia bukan
babi rusa yang ditembang setiap hari. Karena orang Papua dan orang
Jawa, orang Makasar, orang Sumatra, orang Ambon dan semua merupakan
ciptaan Allah yang harus diberikan hak yang sama lalu dilindunginya.
Karena itu, bukan membantai dan menindas tetapi menyelamatkan mereka
dengan memberikan hidup yang layak seperti dirinya sendiri, bukan sikap
otoriter dan mileteristik terhadap mereka yang ditindas.
Dengan kondisi ini saya sebagai anak negeri; hari ke hari dan tahun
ke tahun air mata mengalir terus menerus dengan melihat orang-orangku
menderita. Selain manusia Papua, alam Papua juga ikut hancur demi
kepentingan kolonial Indonesia dan Amerika. Aduh saya kasihan tidak
punya tempat tinggal lagi untuk meletakan kaki, karena semua kekayaan
diambil orang dan hutan hancur, ke mana saya harus pergi?.
Saya dahuluh merasa menikmati dengan kekayaan alamku, tetapi kini
ternyata menjadi miskin di atas tanah yang kaya raya. Saya hanya
menjadi penonton seperti pendatang jawa tinggal jauh-jauh. Aduh sedih
hatiku. Akan ke manakah anak cucuku ke depan? Karena kekayaan alam
Papua telah dirampas semuanya, dari kolonial Indonesia. Pada hal saya
belum pernah menikmati satu pun kekayaan alam yang telah diwariskan
oleh Allah leluhurku.
Apa alasannya mereka bisa datang merampas hak saya?. Sebenarnya
semua bangsa di dunia ini, Allah telah memberikan haknya masing
–masing sesuai dengan kebutuhannya. Karena saya kekayaan yang sama
juga kolonial Indonesia, Allah telah berikan segala kekayaan alam,
yaitu kekayaan yang sama Tuhan telah memberikan,yaitu tanah, hutan, air,
batu dan segala isinya, tetapi ia masih merampas juga hak saya,
sangat memalukan dan tidak adil. Saya sekarang semakin disingkirkan dan
tidak dihargai sebagai hak miliknya. Di manakah hak saya Pak SBY ?
Aduh, pak di mana keadilanmu?, saya tidak membutuhkan uang, OTSUS, UP4B
dan Pemekaran. Sedangkan yang saya butuhkan dari pak adalah
mengembalikan kedaulatan kami. Bukan mendatangkan TNI-POLRI di tanah
Papua. Karena orang Papua semakin dibunuh oleh TNI-POLRI.
Solusi
Dengan konteks demikian saya mau katakana bahwa “ Kehadiran Negara
Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang Asli Papua semakin mengancam”.
Oleh karena itu, solusi dari saya bagi rakyat bangsa Papua adalah
mengembalikan kedaulatannya yang telah dirampas tahun 1961. Kalau memang
Negara ini punya hati nurani lebih baik memberikan tuntutan rakyat
Papua.
Walaupun Negara Indonesia hati berat untuk memberikan haknya, tetapi
bangsa Papua pasti terus berjuang sampai akhir hayat karena ideologi
tidak mungkin mati bersama manusia karena ia selalu berkembang dalam
perkembangan zaman. Sebenarnya yang dituntut oleh orang Papua
adalah kemerdekaan tahun 1961 , yaitu Pengakuan. Walaupun Negara
Indonesia masih keras kepala,tetapi keputusan sudah di depan pintu,
Indonesia tidak bisa buat apa-apa dan secara paksa harus diberikan
pengakuan. Karena dalam Kongres ketiga di Lapangan Sakeus, Jayapura, 19 Oktober 2011, kita sudah mendeklarasikan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB).
Kongres selama tiga hari sejak 17 Oktober itu sudah membentuk Dewan
Nasional Papua Barat yang sudah memilih Presiden Republik Federal Papua
Barat Forkorus Yaboisembut dan Perdana Menteri Edison Warumi.
Deklarasi itu didukung oleh tujuh wilayah adat di Papua. Kongres
tersebut sah dan tidak illegal, karena yang diselenggarakan adalah
rakyat Papua yang punya negeri ini. Kongres menurut hemat saya Kongres
merupakan solusi terbaik bagi rakyat Papua untuk mau mengakhiri
penderitaan mereka. Sehingga sekarang rakyat Papua sedang mendorong di
Makah Umum PBB agar Negara baru tersebut dapat diakui oleh masyarakat
Internaonal, Amerika, Belanda, Indonesia, PBB, dan Negara-negara dunia
lain sebagai sahabat dengan Negara Republik Federal Papua Barat (
NRFPB). Walaupun Negara Indonesia tidak mau pusing, lalu memberikan
pembangunan kepada rakyat Papua dengan anggaran miliran rupiah , tetapi
menurut saya itu bukan solusinya.
Sesuai dengan pendapat Menteri luar negeri Negara Republik Federal
Papua Barat (NRFPB) bapak Jacob Rumbiak sesumbar mengatakan bahwa mereka
bisa merdeka dan berdaulat paling lambat dua tahun lagi. Karena menurut
beliau ada 111 Negara telah mendapat dukungan, misalnya dari 111
Negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang.
dan akan kemungkinan mereka juga akan memberikan pengakuan. Jadi sekarang bagaiman Negara Indonesia memberikan pengakuan sebelum negara lain memberikan pengakuan terhadap Negara Papua, karena Indonesia adalah colonial terhadap Bangsa Papua.
Kalau air sudah meluap dia tidak bisa mempertahankan. Karena politik
Papua sudah mendunia dan bahkan Negara-negara sahabat Papua mendukung
untuk Papua lepas dari NKRI. Sudah terjadi pengakuan; Indonesia tidak
punya hak lagi mengambil kekayaan alam Papua dan otomatis angkat kaki
dari tanah Papua. Kami duluh dipandang sebagai orang tidak mampu
dan budaya primitive, tetapi kami sekarang lebih pintar
berpolitik Internasional dari pada Indonesia, karena buktinya adalah
masalah Papua menjadi masalah Internasional, sehingga kita jangan
menutup diri terhadap penderitaan bangsa Papua. Sebab Dunia luar lebih
peduli masalah Papua.
Menurut saya NKRI TIDAK selamanya harus jadi satu dan kalau selalu
sebut NKRI harga mati saya kira tidak tepat. Karena Bangsa Papua punya
harapan diberikan pengakuan dan kita tungguh hari saja. Indonesia
jangan merasa remeh perjuangan bangsa Papua dan sekarang bangaiman
engkau memberikan pengakuan kepada Negara Papua secepatnya, sebelum air
ombak dibatang lehermu.
Penutup
Orang Papua merupakan bangsa negoroid dan ras Melanesia. Mereka
memilihki kemampuan untuk mengenali situasi perkembangan politik di
Papua dan jangan diam seperti ibu hamil, tetapi bangkit dan bersatu
semua elemen masyarakat, pemuda, mahasiswa dan organ. Karena kehadiran
Negara Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang aslih Papua semakin
diancama, dan hari ke hari dibunuh secara misterius oleh oknum tertentu
(orang tak dikenal), sampai sekarang TNI-POLRI tidak mampu
mengungkapkan pelaku,maka kita harus tahu bahwa negara ini tidak punya
kemanusiaan dan kebenaran hukum untuk ditegakan. Sehingga dengan
situasi seperti ini, jalas-jelas eksistensi kita sedang diancam,jadi
kita harus bersatu mendorong Negara Republik Federal Papua Barat (
NRFPB) dapat diberi pengakuan. Jadi saya harapan pengakuan menjadi
solusi untuk mengakhiri penderitaan rakyat kita.
Oleh karena itu, kita jangan terus tidur tetapi mari kita bangkit
bersama memperjuangkan harga diri kita lebih cepat lebih baik. Agar
Negara colonial Indonesia jangan membuat kita dijajah terus. Harta
kekayaan kita semakin habis, orang Papua juga semakin hari mati ditembak
oleh TNI-POLRI, karena mereka tidak memperhitungkan nilai kita sebagai
manusia yang sama di hadapan Tuhan.
Apakah saya sadar Saudara saya sedang dibunuh? Ataukah saya tidak
mau pusing dengan penderitaan sesama saya, karena saya juga mendukung
kolonial Indonesia untuk membunuh dan merampas harga diri orang Papua?
“Marilah kita mulai lagi karena kita belum buat apa-apa”, dengan
bergandengan tangan bersama. Karena perjuangan kita ini, berjalan tanpa
persatuan dan kesatuan,apa yang kita perjauangkan menjadi sia-sia.
Demkian juga alam perjuangan jangan mengatasnamakan organ, karena
yang mau Merdeka bukan organ atau kelompok,melainkan Bangsa Papua,jadi
kita harus bersatu teguh , demi Papua merdeka. Kalau lambat Bangsa
Papua yang sedikit ini, akan habis dan tinggal nama saja,lalu orang lain
merampas kekayaan kita dan tanah leluhur nenekmoyang kita akan
dikuasai oleh orang lain, jika kalau kita terlambat langkah pasti
habis total yang tinggal hanya kenangan saja.
*) Mahasiswa Sekolah Tinggih Filsafat Teologi- Fajar Timur (STFT- F T )
Label:
Artikel,
OAP,
Orang Asli Papua,
Orang Papua,
Suara Orang Papua