photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg
Marilah Berjuang Dengan Sunguh-Sunguh Dan Serius, Setia, Jujur, Bijaksana, Aktif Serta Kontinuitas. Diberdayakan oleh Blogger.
     photo aktifmenulis_zps397205a9.jpg

    ★★★Berita Duka ★★★

     photo Banner2_zps5035c662.jpg

    ★★★Radar Malang★★★

    Tampilkan postingan dengan label OAP. Tampilkan semua postingan
    Tampilkan postingan dengan label OAP. Tampilkan semua postingan

    Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua

    Oleh: Naftali Edoway*)

    Membaca beberapa laporan media yang mengangkat tema Indonesia negara gagal, sangat mengganggu pikiran saya. Bisakah negara yang gagal ini membangun Papua, terutama dengan beberapa kebijakannya belakangan ini? tapi ini juga melegitimasi pikiran rakyat Papua yang selalu menyatakan Indonesia gagal bangun Papua atau yang belakangan Otsus dikembalikan karena dinilai gagal dalam penerapannya.
    Media okezone online pada Rabu 20 Juni 2012, melaporkan bahwa dari 178 negara di dunia Indonesia menempati urutan ke 63 negara gagal di dunia (baca.  Hal yang sama diberitakan juga oleh media Kompas online pada Kamis 21 Juni 2012. Penilaian ini dilakukan oleh The Fund of Peace (FFP). Menurut mereka, pemerintahan SBY-Budiyono gagal memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyatnya. Misalnya, lemahnya pemerintah dalam menjaga kerukunan antar umat beragama, ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan HAM dan menjamurnya korupsi.

    Adalah hal yang tidak logis, jika Jakarta yang dinilai gagal ingin membangun Papua. Lihat saja, Jakarta yang seharusnya menjadi barometer kesejahteraan justru menyimpan seribu satu macam masalah kemiskinan dan penderitaan. Banyak anak-anak jalanan, pengemis, dan preman yang menghiasi kota itu. Progam sentralisasi pembangunan dimasa orde baru yang seharusnya mensejahterakan rakyat yang hidup di ibu kota, justru diabaikan negara, apalagi dengan mereka yang hidup jauh dari ibu kota negara itu.

    Sistem sentralisasi telah benar-benar menguras sumber-sumber hidup rakyat di daerah. Jutaan rakyat menderita dalam kemiskinan. Belum lagi tekanan negara melalui militer yang benar-benar mematikan. Sumber-sumber hidup rakyat dirampas dengan kekuatan militer. Yang melawan jadi tumbal. Akhirnya terjadi jutaan kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan oleh negara hingga hari ini. Korupsi pun tumbuh dengan suburnya bak jamur dimusim hujan. Mungkin benar lelucon ini “mana mungkin maling berteriak maling”. Atau, kalau negara adalah pelakunya mana mungkin ia mengadili dirinya sendiri, malu dong! Kalau pun ada proses hukum, itu hanya rekayasa untuk menutup sedikit rasa malunya.

    Papua yang dianeksasi melalui kebijakan Trikora sejak 1962, telah mengalami penderitaan yang cukup panjang. Penderitaannya barangkali lebih berat dari daerah lain di Indonesia. Banyak pelanggaran HAM yang dilakukan negara di Papua. Para pelakunya dibiarkan bebas oleh negara, karena katanya dilakukan atas nama negara. Banyak kekayaan alam telah dieksploitasi dari daerah ini, namun para pemilik ulayatnya dibiarkan hidup menderita. Tak secuil pun manfaat yang dirasakan oleh orang asli Papua. Mungkin karena perbedaan ras dan agama? atau karena niatan ingin menguras semua kekayaan alam demi kesejahteraan kaum borjuis, imperialis dan neo-kolonialis atas nama negara.

    Memoria passionis telah meninggalkan rasa tidak percaya orang asli Papua terhadap Jakarta. Semua bentuk kebijakan negara pada arasnya tak membangun. Kebijakannya seperti menabur benih diatas batu, tak ada hasilnya. Itulah sebabnya Papua menilai Jakarta gagal membangun Papua. Jakarta gagal mengindonesiakan Papua. Padahal katanya Papua dimasukkan ke dalam NKRI dengan tujuan membangun kesejahteraan seperti yang tertuang dalam isi UUD 1945.

    Setelah Reformasi, pemerintah Jakarta memaksa menerapkan Otsus di Papua. Otsus dihadirkan untuk mematahkan semangat ingin merdeka (pisah dari NKRI) dari Orang asli Papua. Tapi disisi lain Otsus mungkin niat Jakarta untuk membayar lunas dosa-dosanya. Tapi sayang! Ia tidak menjadi obat yang mujarab untuk Papua. Ia justru menjadi semacam racun yang mematikan secara perlahan-lahan. Lihat saja! Pelanggaran HAM masih terus terjadi, Theys Hiyo Eluay adalah salah satu korban dari kebijakan ini. Disisi lain rakyat dikondisikan untuk saling membenci dan membunuh. Perhatikan  kasus di Kwamki Narama Timika yang belum berakhir hingga hari ini sampai kepada konflik Pilkada yang menelan korban jiwa di Ilaga Puncak Papua.

    Kebijakan UP4B yang belakangan dihadirkan di Papua pasca pengembalian Otus oleh OAP pun tak bisa membangun Papua. Katanya, itu adalah unit yang mempercepat pembangunan di Papua. Tapi pada kenyataannya ia menjadi jerat yang membungkam suara-suara nurani rakyat kecil yang merasa diperlakukan tidak adil. Yang merasa mereka dijajah. Akhirnya Musa Mako Tabuni menjadi korban kebijakan ini. Kematiannya dipercepat oleh kebijakan UP4B oleh negara. Negara mencabut nyawanya untuk mematikan bangkitnya semangat protes kaum kecil, kaum yang terjajah yang selalu dilihat sebagai musuh oleh negara. Bahkan dianggap teroris oleh negara belakangan ini. Hal ini diperkuat lagi dengan digantinya Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian yang nota bene mantan Kadensus 88.

    Anehnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono justru mengeluarkan pernyataan bahwa Jakarta tak berencana merubah kebijakan keamanan di Papua. Katanya, “Sejak tujuh tahun yang lalu, segera setelah saya mengemban amanah menjadi Presiden di negeri ini, saya telah melakukan pendekatan untuk penyelesaian masalah Papua. Yang dulu pendekatannya mungkin bersifat kepada keamanan, setelah kita evaluasi nampaknya kita pandang kurang tepat. Oleh karena itulah, kita ubah menjadi pendekatan kesejahteraan demi keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan saudara-saudara kita di Papua dan Papua Barat.” Saya menilai bahwa sikap pemerintah seperti ini justru melegitimasi kelakuan aparat keamanan di Papua yang selama ini bersikap sadis dan geram.

    Dua kebijakan negara diatas (Otsus dan UP4B) tak mampu mengangkat rakyat Papua dari kemiskinan yang melilit hidup mereka. Dalam diskusi yang bertemakan Save Papua Save Indonesia di Campus Center Institut Teknologi Bandung (ITB) Jalan Ganeca, pada Jumat 31 Agustus 2012 lalu, terungkap bahwa 83,3% rumah tangga di Papua masih hidup miskin. Mereka bahkan termiskin di Indonesia. Data yang lain menyebutkan bahwa 966, 76 ribu orang Papua masih hidup dalam kemiskinan. Pertanyaannya, inikah wujud kampaye NKRI di dunia internasional bahwa Papua sedang di bangun? Memalukan.  Jika dalam skala negara ia dinilai gagal, bagaimana mungkin ia bisa membangun Papua. Apalagi proses Pepera saja masih menjadi polemik antara Papua dan Jakarta hingga kini.

    Lalu apa solusinya? Pertanyaan ini penting dan harus dipikirkan secara matang oleh kita semua. Bagi saya sebagai bagian dari kaum kecil yang menderita, jawabannya sangat sederhana, Merdeka (lepas dari NKRI). Alasannya juga sederhana, Indonesia gagal bangun Papua dan akan terus gagal. Tapi saya sadar, untuk mencapai impian itu butuh proses yang panjang. Tidak sesederhana jawaban saya diatas. Sekali lagi, butuh proses, tapi apa prosesnya? Referendum atau dialog. Entalah! Tapi butuh kematangan berpikir kita semua, untuk mengeluarkan rakyat bahkan diri kita dari rasa tertindas yang membelenggu.

    *) Pemerhati masalah sospol di tanah Papua Barat
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?


    Oleh Naftali Edoway *)
     
    Sejumlah peneliti dari Universitas Yale Amerika Serikat dan para peneliti di Australia pada tahun 2006 lalu telah menyimpulkan bahwa di tanah Papua sedang terjadi GENOSIDA (pembantaian etnis Papua).  Aktornya adalah TNI dan POLRI. Yang dapat menjadi bukti adalah pada tahun 1969 penduduk asli Papua berjumlah  ± 8.000 jiwa dan PNG ± 6000 jiwa. Setelah rakyat Papua bersama NKRI (45 tahun) penduduk asli Papua  ± 1,5 juta jiwa sementara penduduk asli PNG berjumlah ± 7,5 juta jiwa. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa antara tahun 1961-1969 Indonesia membantai orang asli Papua Barat ±10.000 jiwa.

    Pada tahun 2010 BPS Provinsi Papua Barat melaporkan bahwa jumlah orang Asli Papua di propinsi itu sebanyak 51,67% dari total 760.000 jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, (Baca: Kompas.com, selasa 11 Januari 2011).  Artinya jumlah penduduk Papua Barat antara Papua asli dan pendatang adalah fifty-fifty.

    Tahun 2010,  Jim Elmslie seorang akademisi dari Australia dalam laporannya yang berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641. Dalam buku itu dilaporkan bahwa jumlah Orang Asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu, jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425.  Jadi, presentase pertumbuhan penduduk non Papua pertahunnya 10.82%.

    Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah Orang Asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89% . Sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%.  Diakhir tahun 2010,  orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%.  Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%.  Jadi,  jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854  atau 100%.

    Jim Elmslie memperkirakan, tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7,287, 463 atau 100%.  dengan pembagian: jumlah orang Asli Papua 2, 112,681 atau 28.99% dan jumlah non Papua 5,174,782 atau 71.01%. Itu mengindikasikan,  pertumbuhan jumlah orang asli Papua lambat dibandingkan non Papua. Apa  penyebabnya? Jim sendiri mengatakan bahwa selain masalah sosial dan pelanggaran HAM penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar (baca: http://sydney.edu.au/arts/peace conflict/docs/working papers/West Papua Demographics in 2010 Census.pdf).

    Tingginya migrasi di Papua diakui Mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH di hadapan masa rakyat tahun 2010 lalu saat masa rakyat Papua demonstrasi mendukung SK 14 MRP. “ Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahunnya. Padahal normalnya 1%”, koarnya.

    Tahun 2011, tepatnya pada 8 Januari 2011, Barnabas Suebu, SH Gubernur Propinsi Papua dalam sambutannya saat melantik Bupati Merauke kembali mengatakan bahwa orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, khususnya lewat migrasi masuk (baca: Papua Pos, 11 Januari 2011).

    Terakhir, Kepala Bapeda Propinsi Papua, Alex Rumaseb dalam bedah buku, karya Anthonius Ayorbaba dengan judul The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 Tahun Otsus Papua mengatakan, angka  migrasi ke Papua pertahun sebesar 6,39 persen. Sehingga dari data sensus penduduk sebenarnya orang Papua ada 30 persen dan pendatang ada 70 persen (baca: Tabloidjubi.com, 12 Januari 2012 ).
    ***

    Ketika membaca laporan-laporan di atas, kira-kira apa yang terlintas di hati dan pikiran kita? Sebagai orang asli Papua dan yang peduli dengan situasi orang Papua pasti kita tidak menerima keadaan ini.  Luka dalam batin pasti akan semakin tergores. Makian, benci dan marah pasti terlontar dari diri kita. Tapi, apakah kita mau terus berada dalam situasi ini? Apakah kita mau melihat diri kita terus berkurang dan habis di tanah leluhur kita? Apakah kita mau biarkan kisah orang Aborigin di Australia dan kisah orang Indian di Amerika pada masa lampau terulang kembali di tanah Papua?

    Sepertinya, misi kebijakan Otsus untuk menjadikan orang Papua menjadi tuan di atas negerinya terbalik. Bukannya menjadi tuan di negerinya tetapi menjadi hamba, miskin dan musnah. Bukannya mengatur dan memerintah tetapi diatur dan diperintah. Bukannya menjadi produsen, distributor dan konsumen sekaligus tetapi kenyataannya hanya konsumen setia.

    Kemudian, tanah yang diyakini sebagai mama pun beralih tangan dan kita menjadi anak durhaka. Mimpi Papua Baru yang kita inginkan terlihat semakin kabur. Apalagi saat ini pemerintah Pusat menghadirkan UP4B dengan maksud mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat. Ditambah lagi permintaan pemekaran kabupaten kota dan provinsi yang semakin ramai. Lalu,  pertanyaan saya adalah mengapa ini terjadi dan siapa yang menciptakan situasi ini?

    Dari berbagai laporan di atas faktor utama terjadinya penurunan jumlah orang asli Papua adalah migrasi. Namun, dalam refleksi, kita menemukan dua faktor utama yang membuat keadaan ini semakin parah.
    Pertama, faktor luar, yakni (a) sejarah integrasi yang direkayasa pemerintah NKRI yang disusul dengan berbagai pelanggaran HAM; (b) kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat dalam segala bidang yang membingungkan, yang tidak berpihak kepada Papua; (c) sikap apatis negara terhadap semua situasi di Papua, dan lain-lain.

    Kedua, faktor dari dalam, yakni (a) sikap orang Papua terutama para pemimpin yang selalu mau didikte dan menerima dengan mentah-mentah semua keinginan pusat; (b) pemerintah daerah yang kurang bertaring dalam membuat kebijakan memproteksi orang asli Papua; (c) orang Papua yang selalu berpikir utopis (suka mimpi dan berkhayal); (d) orang Papua yang selalu merasa puas dengan apa yang ada sekarang, mengejar kepuasaan hari ini tanpa berpikir ke depan, dan lain-lain.

    Itu artinya,  terjadinya penurunan jumlah orang asli Papua  hingga 30%  pada tahun 2012 ini, penyebabnya bukan hanya pemerintah pusat tapi juga oleh orang Papua sendiri.  Di dalam kasus penderitaan kita di Papua, kedua faktor itu saling bekerja sama. Bahkan faktor dari dalam, Papua sendiri menjadi “jembatan emas” bagi pihak luar untuk melemparkan Papua ke dalam jurang permasalahan. Dengan perkataan lain, orang Papua sendiri, menjadi (faktor dari dalam) menjadi Tim Sukses untuk menghancurkan dirinya sendiri dan masa depannya. 

    Kalau begitu, bagaimana kita keluar dari penderitaan ini?  Papua merdeka? Barangkali itu terlalu jauh tetapi harus terus diperjuangkan. Marilah kita melihat berita terakhir di atas sebagai kairos Tuhan atau jalan dari Tuhan untuk mengubah situasi kita. Mungkin kita harus mulai dengan merefleksi diri kita dan organisasi kita. Sejauh mana saya telah berfungsi baik bagi rakyat saya dan atau sejauh mana organisasi yang saya pimpin atau di dalamnya saya menjadi anggota telah paling sedikit membawa kesembuhan bagi luka batin rakyat selama ini? Lalu,  kita mulai berdialog, berdialog dengan diri kita, dengan organisasi yang lain yang setujuan, dengan prinsip “one people one soul”. Berdialog dengan prinsip kasih dan keprihatinan. Katakan, STOP dengan semua kebiasaan buruk kita yang ujungnya menghancurkan diri, keluarga, dan komunitas kita. Dan,  kita berkomitmen bersama bekerja keras untuk mengubah 30% itu menjadi 100%.  Mari berjuang!!

    *) Pemerhati Masalah Sosial Papua, Tinggal di Jayapura.
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)

    Kehadiran RI di Tanah Papua Mengancam Eksistensi OAP

    Oleh Sdr. Antekos *)


    Latar Belakang

    Papua diintegrasikan secara sepihak ke dalam Republik Indonesia (RI), yaitu melalui penyerahan kedaulatan dari pemerintah Negara Kerajaan  Belanda  kepada Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963  melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga saat ini; pembangunan yang diselenggarakan di Papua dihadapkan kepada berbagai permasalahan.

    Salah satu permasalahan yang terjadi di Papua adalah   adanya pemahaman masyarakat Papua bahwa Integrasi merupakan pengambilalihan tanah Papua menjadi wilayah NKRI bagi mereka Papua bukan integrasi ke NKRI. Karena sampai saat ini Bangsa Papua tidak pernah mengakui integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia.

    Bentuk konkret orang Papua tidak mengakui intgrasi itu terwujud melalui pemberontakkan Organisasi Papua Merdeka ( OPM ), yang dimulai pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari dan sampai saat ini, kelompok pro-Merdeka  masih menutut  keadilan, karena Bangsa Papua telah Merdeka tahun 1961, yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Namun dengan kepentingan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB, Negara Papua yang telah merdeka itu, dimasukan kedalam Negara Indonesia secara paksa. Motifnya kepentingan ekonomi. Dengan maksud kekayaan alam Papua diambil oleh mereka misalnya adalah PT. F Reeport, minyak bumi di Sorang , Gas alam, kekayaan laut dan penembangan hutan oleh pengusaha asing.
    Selain itu banyak imigran yang di datangkan dari luar Papua, transmigrasi dan pemekaran provinsi, pemekaran kabupaten, distrik dan kampung yang membuat orang Papua semakin termarginal. Akhirnya orang asli Papua mengalami ketidakadilan, penindasan, kekerasan, perampasan hak dan kepadatan penduduk. Berbagai persoalan tersebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), berjuang bersama masyarakat sipil di pedalaman Papua, untuk bangkit bersama menutut haknya, yakni MERDEKA.

    Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan satu kebenaran sehingga sampai sekarang mereka tetap menuntut harga dirinya sebagai Bangsa Pribumi dan mau MERDEKA. Untuk menutup mata perjuangan tersebut pemerintah Indonesia memberikan otsus dan UP4B. Indonesia tidak perlu membodohi mereka dengan OTSUS, UP4B dan pemekaran Provinsi, Kabupaten dan lain-lain. Karena perjuangan yang dibuat oleh bangsa Papua untuk memperoleh Kemerdekaan.

    Menurut hemat saya Indonesia harus mengerti persoalan, karena rakyat Papua tidak minta OTSUS,UP4B atau pemekaran yang menghabiskan tenaga, pikiran dan uang bermiliaran rupiah. Orang Papua masih merasa bahwa kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua mengancam eksistensi orang asli Papua. Karena kehadiran Indonesia merupakan sebuah ancaman, maka orang Papua mau merdeka agar dapat mengatur dirinya sendiri.

    Pokok  Permasalahan

    Sesuai dengan latar belakang  permasalahan di atas, terlebih bahwa secara fisik TPN  atau militer OPM tidak memiliki kekuatan yang berarti bila dibandingkan dengan Tentara Nasional Indoesia atau ABRI, namun dalam arti “ ideologi masih kuat.  Karena soal ideologi tidak bisa dipadamkan dengan kekuatan militer Indonesia.  Ideology tidak bisa dipadamkan dengan kehadiran OTSUS –UP4B, karena ideologi selalu diwariskan dalam generasi ke generasi sehingga sulit dipadamkan. Dengan demikian Papua merdeka sulit dipadamkan dengan pembangunan, pemekaran, uang Respek dan kekuatan militer.

    Jadi sampai kapan pun idealisme Papua Merdeka dari Negara Indonesia tidak akan pernah  memadamkan ideology ini. Kata lain bahwa ideologi merupakan satu prinsip hidup atau satu  sikap yang dibangun oleh masyarakat Papua sendiri di dalam budaya dan diwariskan dari turun-temurun sesuai dengan permasalahan, masih tetap berkembang dalam setiap suku yang ada di Papua. Kalau ideology ini telah berhasil pasti  rakyat Papua merasa bahagia selama-lamanya karena ideologinya dapat terwujud. Sebelum dicapai mereka terus berjuang dan sampai kapanpun. Ideologi bagaikan seorang ibu  kehilangan anaknya ia terus mencari, walaupun ada tantangan dan hambatan hidup ia terus mencari sampai dapat, demikian juga ideologi Papua Merdeka sama prinsipnya.

    Papua Kaya dengan Kekayaan Alam

    Dengan latar bekang di atas Bangsa Papua samapai saat ini pemerintah Indonesia  kurang  memperhatikan yaitu, keadilan dan perlindungan. Karena negara merasa yang lebih penting adalah sumer daya alam ( SDA ) dari pada manusianya.  Hal demikian Papaua yang dahulu damai  mejadi tidak  damai menjadi. Sehingga negara datangkan militer dan imigran tidak sesuai dengan aturan hukum Internasionla,yaitu masyarakat pri bumi yang harus dibei salvation tidak dibuat, yang terjadi adalah ketidakadilan, penindasan dan kekerasa militer di seluruh tanah Papua.

    Tetapi hanya demi kepentingan ekonomi mereka selalu membuat teror, pembunuhan secara misterius ( OTK), sebenarnya dibalik semuanya tujuan utama adalah menguasai wilayah seluruh tanah Papua, mengkuras kekayaan alam dan popularitas semata. Kalau kita melihat kaca mata Tuhan merupakan tindakan kejahatan yang tidak manusiawi,yaitu menlangar hukum 10 perintah Allah, yaitu “jangan membunuh dan jangan mencuri ( Kel. 20: 1-17), tetapi sekarang negara Indonesia tidak peduli lagi dengan hukum  Tuhan,maka setiap militer, non militer dan pemimpin Negara yang pernah terlibat dengan masalah Papua akan diadilih oleh Tuhan sesauai dengan perbuatannya. Karena  ia tidak mampu memberikan jaminan kehidupan bagi bangsa Papua.

    Berangkat dari ini bangsa Papua tidak ada kepercayaan kepada pemerintah Indonesia,  karena  sistem yang dipake oleh pemerintah Indonesia  terhadap bangsa Papua tidak sesuai dengan budaya sehingga inti persoalan tidak pernah selesaikan  dengan tuntas.  Maka bangsa Papua semakin mengalami kepunahan secara perlahan-lahan, dan Negara Indonesia tidak pernah mengakui bahwa kami salah.

    Dengan kurangnya kepedulian negara bangsa Papua masih tetap menuntut haknya yaitu kemerdekaan yang pernah ada. Pada hal dalam UUD 45 alinea pertama berbunyi “bahwa   sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa  dan  oleh sebab itu ,maka  penjajah an  di atas dunia  harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

    Namun kemerdekaan itu telah  dipaksakan ke dalam  Negara Indonesia oleh Amerika, Belanda dan PBB, hanya demi kepentingan ekoomi ( sumber daya alam ), maka sampai sekarang  bangsa Papua masih  memperjuangkan haknya agar hak yang diambil itu bisa  dikembalikan. Pada hal dalam UUD-45 di atas sudah ada kebenaran, dan pada tahun 1961 Papua telah merdeka. Namun hanya demi  kepentingan ekonomi, tidak diberikan peluang untuk membas menentukan nasib sendiri, memang tahun 1969 telah diadakan Refreedom,namun tidak sesuai dengan hukum Internasional, yaitu terjadi ketidakadilan dalam refreedom, karena rakya Papua ditodong dengan senjata sehingga tidak semua orang  memilih dan kenyataan adalah perwakilan saja memilih hak suara.

    Oleh karena itu, dari tahun 1961 sampai sekarang bangsa Papua masih tetap dijajah dan sekarang mereka berjuang untuk merdeka dengan diplomasi Internasional. Sebab perjuangan bangsa Papua sudah mendunia dan kemungkinan suatu saat  kebenarannya akan dinyatakan melalui kuasa Tuhan. Biarlah sekarang bangsa Papua mengalami ketidakadilan, penindasan, kekerasan dan pembunuhan tetapi hatiku mengalami ketengan, sebab hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku,aku tidak akan goyah” (Mzm 62), dan aku terus berjuang di dalam Tuhan agar Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dapat memperoleh pengkuan. Atas kekuatan Mazmur ini, saya percaya Papua pasti merdeka.

    Orang lain datang mengambil kekayaan dan dijajah kita jangan takut,melainkan berani  dan setia berjuang bersama Tuhan. Sebab di dalam Dia ada kemenangan dan kemenangan itu akan terjadi dan jangan kecil hati. Walaupun orang  Papua sekarang menjadi penonton di atas kekayaannya yang berlimpa-limpa. Kita juga sadar bahwa penderitaan ini merupakan Salib Tuhan  dan harus tetap sabar menerima itu sebagai penderitaan Kristus. Karena kita minta merdeka  negara Indonesia  tidak mau lepas, dengan mengatakan Papua bagian dari NKR. Dengan demikian   pemerintah telah  memberikan OTSUS, kemudian UP4B secara paksa, pada hal rakya Papua mengatakan tidak.

    Tujuannya adalah  agar rakyat bangsa Papua jangan lagi  bicara Merdeka sehingga Indonesia matian-matian menyakini Dunia dengan mengatakan Papua bagian dari NKRI tetapi NKRI bukanlah harga mati. Karena Negara ini suatu saat akan lepas bertubi-tubi,yaitu Papua lepas, Ambon lepas, Kalimatan lepas, Sulawesi lepas, Bali lepas dan Ace pun akan lepas, dan  yang  masih  tinggal  hanya jawa sendiri. Karena rakyat lebih pintar untuk menilai kebenaran dan keadilan,bila ke dua hal ini tidak sesuai dengan hati mereka pasti akan mengatakan merdeka, tetapi bangsa Papua tidak seperti itu, karena Papua sudah pernah punya Negara sendiri,tetapi dicapblok  ke dalam Indonesia demi kepentingan ekonomi semata.

    Penderitaan bangsa Papua tidak bisa dihapus dengan uang, OTSUS, UP4B, dan pemekaran provinsi, kabupaten, desa dan keca mata. Bangsa Papua meminta adalah keadilan karena harga dirinya telah dirampas oleh penjajah Indonesia. Karena Negara Indonesia kurang peduli dengan rakyat yang sementara menderita. Di lebih banyak mengkritisi Negara lain daripada melihat diri sendiri,misalnya masalah Israel dan Palestinan Indonesia campur tangan. Pada hal terhadap bangsanya sendiri juga mengalami penindasan, kekerasan dan ketidakadilan. Menurut hemat saya lebih baik kita mengurus rakyat saya yang menderita.

    Dalam kaitan dengan Papua Negara tidak pedulih dengan  orang Papua, namun lebih  mencintai kekayaan alam dari pada orang Papua yang sementara mengalami kepunahan di atas kekayaan alamnya sendiri ( Genosida), kalau Negara tidak pedulih,maka tidak sampai 2020 orang Papua akan habis dari tanah Papua, yang ada hanya tinggal nama.

    Jadi,  saya harapkan orang-orang Papua harus menyadarinya dan jangan tinggal ikut-ikutan dengan orang lain, dan buanglah sikap minum -mabuk, korupsi dan seks bebas. Karena tidak lama lagi orang Papua akan habis, bila ditawarkan kepentingan Indonesia harap jangan terima,mislanya pemekaran dan pertambangan tanpa melalui dewan adat. Karena saya melihat  Negara ini, tidak menghargai  manusia Papua, tetapi  ia melihat diri kita  seperti babi rusa di hutan,  sehingga dia  selalu membantai tanpa takut nilai kemanusiaan.
    Menurut hemat saya sebenarnya orang Papua juga adalah manusia bukan babi rusa yang ditembang setiap hari. Karena  orang Papua dan orang Jawa, orang Makasar, orang Sumatra,  orang Ambon dan semua merupakan ciptaan Allah yang harus diberikan hak yang sama lalu dilindunginya. Karena itu, bukan  membantai dan menindas tetapi  menyelamatkan mereka dengan memberikan hidup  yang layak seperti dirinya sendiri, bukan sikap otoriter dan mileteristik terhadap mereka yang ditindas.

    Dengan kondisi ini saya sebagai anak negeri; hari ke hari dan tahun ke tahun air mata mengalir terus menerus dengan melihat orang-orangku menderita. Selain manusia Papua, alam Papua juga ikut hancur demi kepentingan  kolonial Indonesia dan Amerika.  Aduh saya kasihan  tidak punya tempat tinggal lagi untuk meletakan kaki, karena semua kekayaan diambil orang dan hutan hancur, ke mana saya harus pergi?.
    Saya dahuluh merasa menikmati dengan kekayaan alamku, tetapi kini ternyata menjadi miskin di atas tanah  yang kaya raya. Saya hanya menjadi penonton seperti pendatang jawa tinggal jauh-jauh. Aduh sedih hatiku. Akan ke manakah anak cucuku  ke depan?  Karena kekayaan alam Papua telah dirampas semuanya, dari kolonial Indonesia. Pada hal  saya belum pernah menikmati  satu pun kekayaan alam  yang telah diwariskan oleh Allah leluhurku.

    Apa alasannya  mereka bisa datang merampas  hak saya?. Sebenarnya semua bangsa  di dunia ini, Allah telah memberikan haknya  masing –masing  sesuai dengan kebutuhannya.  Karena   saya kekayaan yang sama juga  kolonial Indonesia, Allah telah berikan   segala kekayaan alam, yaitu kekayaan yang sama Tuhan telah memberikan,yaitu tanah, hutan, air, batu  dan segala isinya, tetapi ia masih merampas juga  hak saya, sangat memalukan dan tidak adil. Saya sekarang  semakin disingkirkan dan tidak dihargai sebagai hak miliknya. Di manakah hak saya Pak SBY ?  Aduh, pak di mana keadilanmu?, saya tidak membutuhkan uang, OTSUS, UP4B dan Pemekaran. Sedangkan yang saya butuhkan dari pak  adalah mengembalikan kedaulatan kami. Bukan mendatangkan TNI-POLRI  di tanah Papua. Karena orang Papua semakin dibunuh oleh TNI-POLRI.

    Solusi

    Dengan konteks demikian saya mau katakana bahwa “ Kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang Asli Papua semakin mengancam”. Oleh karena itu, solusi dari saya bagi rakyat bangsa Papua adalah mengembalikan kedaulatannya yang telah dirampas tahun 1961. Kalau memang Negara ini punya hati nurani lebih baik memberikan tuntutan rakyat Papua.

    Walaupun Negara Indonesia hati berat untuk memberikan haknya,  tetapi bangsa Papua pasti  terus berjuang sampai akhir hayat karena ideologi tidak mungkin mati bersama manusia karena ia selalu berkembang dalam perkembangan zaman. Sebenarnya   yang   dituntut oleh  orang Papua adalah kemerdekaan tahun 1961 , yaitu Pengakuan. Walaupun Negara Indonesia masih keras kepala,tetapi keputusan sudah di depan pintu, Indonesia tidak bisa buat apa-apa dan secara paksa harus diberikan pengakuan. Karena dalam Kongres ketiga di Lapangan Sakeus, Jayapura, 19 Oktober 2011, kita sudah mendeklarasikan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB). Kongres selama tiga hari sejak 17 Oktober itu sudah membentuk Dewan Nasional Papua Barat yang sudah memilih Presiden Republik Federal Papua Barat Forkorus Yaboisembut dan Perdana Menteri Edison Warumi.

    Deklarasi itu didukung oleh  tujuh wilayah adat di Papua. Kongres tersebut sah dan tidak illegal, karena yang diselenggarakan adalah rakyat Papua yang punya negeri ini. Kongres menurut hemat saya Kongres merupakan solusi terbaik bagi rakyat Papua untuk mau mengakhiri penderitaan mereka. Sehingga sekarang rakyat Papua sedang mendorong di Makah Umum PBB agar Negara baru tersebut dapat diakui oleh masyarakat Internaonal, Amerika, Belanda, Indonesia, PBB, dan Negara-negara dunia lain sebagai sahabat dengan Negara Republik Federal Papua Barat ( NRFPB). Walaupun Negara Indonesia tidak mau pusing, lalu memberikan pembangunan kepada rakyat Papua dengan anggaran miliran rupiah , tetapi menurut saya itu bukan solusinya.

    Sesuai dengan pendapat Menteri luar negeri Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) bapak Jacob Rumbiak sesumbar mengatakan bahwa mereka bisa merdeka dan berdaulat paling lambat dua tahun lagi. Karena menurut beliau ada 111 Negara telah  mendapat  dukungan, misalnya dari 111 Negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang.

    dan akan kemungkinan mereka juga akan  memberikan pengakuan. Jadi sekarang bagaiman Negara Indonesia memberikan pengakuan sebelum negara lain memberikan pengakuan terhadap Negara Papua, karena  Indonesia adalah  colonial  terhadap Bangsa Papua.

    Kalau air sudah meluap dia tidak bisa mempertahankan. Karena politik Papua sudah mendunia dan bahkan Negara-negara sahabat Papua mendukung untuk Papua lepas dari NKRI. Sudah terjadi pengakuan; Indonesia tidak punya hak lagi mengambil kekayaan alam Papua dan otomatis angkat kaki dari tanah Papua. Kami duluh dipandang  sebagai  orang  tidak mampu  dan  budaya primitive, tetapi kami sekarang lebih pintar berpolitik Internasional dari pada Indonesia, karena buktinya adalah masalah Papua menjadi masalah Internasional, sehingga kita jangan menutup diri terhadap penderitaan bangsa Papua. Sebab Dunia luar lebih peduli masalah Papua.

    Menurut saya NKRI TIDAK selamanya harus jadi satu dan kalau selalu sebut NKRI harga mati saya kira tidak tepat. Karena Bangsa Papua punya harapan diberikan pengakuan dan kita tungguh hari saja.  Indonesia jangan merasa remeh perjuangan bangsa Papua dan sekarang bangaiman engkau memberikan pengakuan  kepada Negara Papua secepatnya, sebelum air ombak  dibatang lehermu.

    Penutup 

    Orang Papua merupakan bangsa negoroid dan ras Melanesia. Mereka memilihki  kemampuan untuk mengenali situasi perkembangan politik di Papua dan jangan diam seperti ibu hamil, tetapi bangkit dan bersatu semua elemen masyarakat, pemuda, mahasiswa dan organ. Karena kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang aslih Papua semakin diancama, dan hari ke hari  dibunuh secara misterius oleh oknum tertentu (orang tak dikenal), sampai sekarang TNI-POLRI tidak mampu mengungkapkan pelaku,maka kita harus tahu  bahwa negara ini tidak punya kemanusiaan dan kebenaran hukum untuk  ditegakan. Sehingga dengan situasi seperti ini, jalas-jelas eksistensi kita sedang diancam,jadi kita harus bersatu mendorong Negara Republik Federal Papua Barat ( NRFPB) dapat diberi pengakuan. Jadi saya harapan pengakuan menjadi solusi untuk mengakhiri penderitaan rakyat kita.

    Oleh karena itu, kita jangan terus tidur tetapi mari kita bangkit bersama memperjuangkan harga diri kita lebih cepat lebih baik. Agar Negara colonial Indonesia jangan membuat kita dijajah terus. Harta kekayaan kita semakin habis, orang Papua juga semakin hari mati ditembak oleh TNI-POLRI, karena mereka tidak memperhitungkan nilai  kita sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan.

    Apakah saya sadar Saudara saya   sedang dibunuh? Ataukah saya tidak mau pusing dengan penderitaan sesama saya, karena saya juga mendukung kolonial Indonesia untuk membunuh dan merampas harga diri orang Papua? “Marilah kita mulai lagi karena kita belum buat apa-apa”, dengan bergandengan tangan bersama. Karena perjuangan kita ini, berjalan tanpa persatuan dan kesatuan,apa yang kita perjauangkan  menjadi sia-sia.

    Demkian juga alam perjuangan jangan mengatasnamakan organ, karena yang mau Merdeka bukan organ atau kelompok,melainkan Bangsa Papua,jadi kita harus  bersatu teguh , demi Papua merdeka. Kalau lambat Bangsa Papua yang sedikit ini, akan habis dan tinggal nama saja,lalu orang lain merampas kekayaan kita  dan tanah leluhur nenekmoyang kita akan dikuasai oleh orang lain, jika  kalau kita terlambat langkah pasti  habis total yang tinggal hanya kenangan saja.

    *)  Mahasiswa  Sekolah Tinggih  Filsafat Teologi- Fajar Timur (STFT- F T )

    Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)

    Oleh Topilus B. Tebai*)

    Sejak Otonomi Khusus diberikan oleh Negara Indonesia kepada Papua, melalui UU No.21 tahun 2001, pemekaran wilayah semakin banyak terjadi di Papua. Ibarat koin yang memunyai dua sisi, pemekaran wilayah banyak dikumandangkan pada era Otsus. Oleh para aktivis pemekaran, masalah kesejahteran, keterbelakangan dan terisolirnya daerah yang dimekarkan, disebut sebut sebagai beberapa dari segudang alasan mereka memperjuangkan pemekaran wilayah. Kini, kita dikagetkan lagi dengan adanya isu pemekaran, seperti yang dibahas pada Kamis 12 Juli oleh DPRP di Gedung DPRP Jalan Samratulangi Jayapura. Lantas kita mestinya bertanya, sejauh mana keberhasilan pemekaran wilayah-wilayah terdahulu, sehingga kita menjadi sedemikian bernafsu untuk kembali memekarkan wilayah?

    Fenomena Sosial terhadap OAP di daerah Pemekaran

    Bila kita melihat perkembangan manusia Papua di daerah pemekaran dalam berbagai bidang, mestinya membuat para aktivis pemekaran dan para pengambil kebijakan serta seluruh masyarakat Papua mengevaluasi diri. Karena bila kita ingin Jujur, secara psikologis, Orang Asli Papua (OAP) seperti dikagetkan dengan datangnya pemekaran. Mereka tidak tahu, harus berbuat apa menyongsong pemekaran. Sementara, Pemekaran menjadi pintu bagi ribuan imigran dari luar Papua yang datang dengan tujuannya masing-masing yang hendak diperjuangkan dan dicapai.

    Di wilayah pemekaran baru pada umumnya, inilah yang terjadi; Banyak pemuda Papua jadi malas bekerja, ke kebun, dan hanya tinggal seharian di depan kios kios milik pendatang. Banyak orang Papua menjadi pemabuk, pemalang jalan, peminta-minta di jalanan dengan memalang jalan, karena mereka tidak tahu harus berbuat apa di tengah desakan arus globalisasi lewat pemekaran yang datang itu. Etos kerja menurun, Karena uang Otsus memanjakan orang Papua, dan membuat orang Papua tidak berpikir lagi tentang kebun dan ladang mereka, tetapi pikirannya lambat laun beralih ke masalah uang Otsus dan pilkada.

    Prostitusi, mabuk dan miras semakin berkembang di daerah pemekaran. Judi Togel dan sejenisnya pun mulai membuka pos-posnya di daerah pemekaran. Bahkan ironisnya, para penegak hukum seperti Polisilah yang membuka Bandar togel, seperti di Dogiyai, yang menyebabkan tragedi Dogiyai berdarah. Semuanya itu membuat manusia Papua mengalami degradasi nilai-nilai hidup dan moral.
    Ijasah palsu banyak beredar, membuat banyak orang Papua, juga pendatang yang berlomba-lomba untuk menjadi PNS dengan ijazah palsu.

    Dan banyak yang diangkat menjadi PNS. Tetapi bagaimana mereka bekerja nanti, bila tidak memunyai latar belakang pendidikan yang memadai? Lebih parah lagi, banyak orang yang mengikuti tes PNS lulus dan ditugaskan menjadi guru. Bila mereka menjadi guru, maka bayangkan saja, disana akan terjadi pembunuhan structural masa depan anak didik dan bangsa Papua. Inilah bukti ketidaksiapan potensi SDM. Sungguh, penggunaan ijazah palsu ini hanya akan menghambat pembangunan, dan membuyarkan harapan akan masa depan Papua yang lebih baik.

    Banyak juga guru yang berusaha untuk menduduki jabatan dalam eksekutif atau legislative dalam pemerintahan daerah, meninggalkan tugas mereka. Mereka ingin mencari penghidupan yang lebih baik, karena selama itu nasib mereka tidak pernah secara serius diperhatikan, apalagi di daerah pegunungan tengah Papua. Sementara itu, dengan dalih pemekaran baru, maka tidak sedikit pihak juga yang berusaha untuk meluluskan para anak didik dari SD sampai SMA, dengan memberi kunci jawaban (KJ). Padahal, pemberian KJ adalah pembunuhan masa depan anak dan pembunuhan masa depan bangsa. Sementara pemerintah dan masyarakat disibukkan oleh Pilkada ayang berlarut-larut, karena berjalan tidak semestinya, sehingga pembangunan terbengkalai. Kehidupan pemerintahan dan ekonomi tidak terkontrol dan terkendali.
    Sementara di tengah semua kecarut marutan kehidupan social, ekonomi, dan pilitik di daerah pemekaran, para pendatang datang dan mengendalikan kehidupan ekonomi, karena hampir semua para pendatang yang datang ke wilayah pemekaran berprofesi sebagai pedagang. Harga pasar dikendalikan oleh mereka. Dan akibatnya, harga melambung tinggi. Pemerintah daerah pemekaran tidak dapat mengontrol semua itu, karena sering disibukkan oleh masalah kepentingan dan kedudukan yang membuat suasana menjadi makin kabur. Dan yang lebih parah, Orang Asli Papua hanya menjadi perantara abadi, dan dikondisikan oleh system yang dibina itu untuk terus menjadi perantara daripada uang otsus dan konsumen abadi dari produk luar. Karena ketika mereka menerima uang, hanya dalam sekejab uang itu akan berpindah tangan kepada abang-abang kita dari luar Papua. Bukan sebuah kalimat basa basi, bila seorang kaka pernah berkata; “Uang otsus itu membesarkan Pendatang dorang di Papua, dan tong orang Papua jadi dong pu perantara uang Otsus abadi. Tong terima uang, lalu tong kasi mereka lagi”.

    Bila dilihat perbandingannya, setelah adanya pemekaran, malah dalam hal ekonomi dan populasi penduduk di Papua, eksistensi manusia Papua yang harusnya terlihat, sebagai pemilik pulau surga ini tidak terlihat, malah pemekaran seperti mendorong secara tidak langsung, proses mati dan tidak terlihatnya eksistensi manusia Papua, khususnya dalam hal polulasi, dan ekonomi.
    Ketidaksiapan OAP Menerima Pemekaran

    Selain karena ketidak siapan secara psikologis, dan mental, paradigma berpikir masyarakat belum dibentuk sedemikian rupa, melalui sosialisasi dan pelatihan sebelum pemekaran, agar mampu menerima pemekaran, dan menjadikan pemekaran menjadi batu loncatan untuk maju berkembang. Selain itu, belum memadainya potensi sumber daya Manusia yang akan menopang pembangunan di daerah pemekaran juga menjadi salah satu problem yang diabaikan para pengambil kebijakan. Dan dampak dari semua itu, pembangunan dan eksistensi manusia Papua tidak terlihat di wilayah pemekaran.

    Semua ketidaksiapan ini, pada akhirnya hanya akan membuat Orang Asli Papua lambat laun akan semakin tersingkir dari percaturan ekonomi pasar karena kalah bersaing, tidak memunyai modal yang cukup, juga kurang adanya perhatian dari pemerintah, membuat mereka cepat menggulung tikar dan mundur. Apa dampaknya? Pasar dimonopoli dan dikendalikan oleh pedagang dari luar Papua. Aspek kehidupan lain pun demikian.

    Orang Asli Papua akan semakin termarginalkan, dan akibatnya muncullah kecemburuan social. Dan kita harus tahu, bahwa hal ini pada waktunya nanti akan menjadi potensi konflik harisontal. Mengapa semuanya jadi begini? Jawabannya jelas; Otsus bukan harapan OAP, Pemekaran dipaksakan untuk kepentingan segelintir orang dan OAP dijadikan obyek kepentingan, bukan subyek pembangunan dan pemekaran, OAP belum siap terima pemekaran, dan ketidakberpihakan kebijakan dari para pengambil kebijakan kepada OAP.

    Upaya Penegakan Eksistensi OAP di Papua

    Jelaslah bagi kita, bahwa pemekaran wilayah yang tidak disipkan dengan betul dan baik, dan yang hanya sarat dengan kepentingan dan ambisi semata, akan melahirkan pembangunan yang jauh dari adanya eksistensi manusia Papua, yang harusnya terlihat dalam pembangunan di tanah Papua. Hal itu terjadi di hampir semua wilayah di Papua.

    Maka, selayaknyalah para pengambil kebijakan segera melakukan upaya-upaya perbaikan atas fenomena di atas. Yang saya tawarkan disini, mengakhiri tulisan ini adalah; Pertama, segera menata kembali roda pemerintahan dan roda ekonomi di daerah masing-masing agar berjalan baik, dan berpihak kepada Orang Asli Papua, karena untuk itulah Otsus dan pemekaran hadir. Sekali lagi, pembangunan harus berpihak kepada Orang Papua, dan disanalah eksistensi manusia Papua harus terlihat. Dan harus ada peraturan daerah yang mengatur dan melindunginya.

    Kedua, Segera menghentikan upaya-upaya pemekaran wilayah, baik provinsi maupun kabupaten untuk sementara waktu. Mari kita sebagai orang Papua, sesuai dengan profesi kita, kita siapkan dulu kualitas sumber daya manusia yang memadai di tanah Papua. Mari kita siapkan dulu masyarakat kita, dalam segala bidang, agar betul siap menerima pemekaran. Agar masyarakat Papua siap, dan menjadikan pemekaran sebagai batu loncatan untuk maju melangkah, dari segala keterbelakangan, bukannya pemekaran membuat masyarakat menjadi tersingkir dan malah termarginalkan, menjadi konsumen sejati seperti yang terjadi sementara ini.

    Kepada para aktivis pemekaran, mari kita melihat dan meninjau kembali keinginan kita untuk mekarkan wilayah di Papua. Sudah cukup kita dikotak-kotakkan. Sudah cukup Papua dikacaubalaukan dan dikaburkan oleh banyaknya pemekaran dan permainan kepentingan disana, yang membuat orang Papua menjadi semakin tidak jelas nasibnya. Mari Kita benahi dulu masalah– masalah yang sementara ini terjadi dan menjadi keprihatinan kita bersama di atas, barulah nanti, setelah OAP sebagai subjek pemekaran dirasa cukup siap, baru kita berpikir tentang pemekaran. Semoga Papua menjadi tanah Damai.

    *) Penulis adalah Calon Mahasiswa Baru di Yogyakarta,  Tamat  SMA Tahun 2012
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.

    Dialog Jakarta-Papua dan Harga Mati

     photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

    Dialog Jakarta-Papua dan Harga Mati

    Oleh Ones Madai*)

    Dialog di antara Orang Asli Papua dan Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI) atau sering di sebut dengan Dialog Jakarta-Papua menjadi buah bibir, baik itu di kalangan kaum aktivitis pro Kemerdekaan Bangsa Papua Barat dan elit-elit politik Indonesia. Kedua belah pihak yang bertikai mempertahankan argumennya masing-masing. Jakarta memilih harus dialog namun NKRI Harga Mati dan dimediasi oleh orang-orang ternama di Indonesia. Sedangkan, Orang Asli Papua (OAP) lebih memilih Dialog dimediasi oleh pihak ketiga yang independent dan Papua Merdeka Harga Mati.

    Dalam dialog tesebut timbul dua pilihan persepsi (pemahaman) yang sangat bertentangan  yakni NKRI Harga Mati dan Papua Merdeka Harga Mati. Apabila kedua pemahaman tersebut tidak menemukan solusi yang konkret maka dialog menjadi sebuah wacana yang tak kunjung selesai. Dalam artikel yang tidak sempurna ini, saya mengajak para pembaca untuk lebih jelih memaknai dialog secara komperehensif guna menemukan ujung pangkalnya.

    Papua Merdeka Harga Mati 

    Rentetan penembakan yang menewaskan warga sipil,  berawal sejak tahun 1963 hingga sekarang menjadi perhatihan khusus dari aktivis pro kemerdekaan bangsa papua barat dan lembaga-lembaga kemanusiaan yang di indonesia maupun di tingkat  internasional. Pelanggaran HAM menjadi perhatikan serius oleh lembaga kemanusiaan tingkat internasional, nasional dan daerah. Segala teguran dari lembaga-lembaga tersebut berhasil di redam oleh petinggi-petinggi di Indonesia.

    Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, pelaksanaannya dibahwa garis tekanan militer indonesia dan penuh traumatis karena PEPERA tersebut di laksanakan dengan todongan senjata. Traumatis dan tekanan aparat militer menjadi sejarah bagi kaum pemerhati kemanusiaan dan para pejuang pro demokrasi untuk mengungkap segala tindakan kebrutalan di atas tanah Papua.

    Berhubung dengan segala dehumanis yang terjadi di atas tanah Papua, kampanye kemerdekaan papua barat semakin mengebuh di belahan bumi. Bukan saja di papua. Keberadahan orang papua di negara-negara luar pun semakin mengoncang untuk mendukung Papua Merdeka.

    Pada dasarnya, Orang Asli Papua (OAP) mengangap sebuah persoalan yang terjadi di bumi cenderawasih belum pernah di tuntaskan. Sehingga, jangan salah apabila Orang Papua bicara PAPUA MERDEKA adalah HARGA MATI.

    NKRI Harga Mati

    Pandangan NKRI menganggap bahwa PEPERA 1969 telah sah dan final. Sehingga, anggapan dari jakarta bahwa, tak seorangpun boleh membuka akar persolan Papua yang kerap terjadi pada tahun 60-an. Selain itu, para petinggi di jakarta meredam berbagai kasus pelanggaran HAM dengan program-program yang menyesatkan rakyat Papua namun nihil implementasinya. Persoalan yang marak di ujung Timur Indonesia, menurut pandangan NKRI adalah sebuah masalah konstruktif. Sehingga, pemerintah Indonesia membuat berbagai program seperti Otonomi Khusus (Otsus), Pemekaran, dan kini, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

    Melalui program prioritas tersebut segala milyaran rupiahpun sedang di kucurkan ke tanah Papua. Namun, faktanya tidak ada satupun program berjalan secara efektif sehingga program tersebut di nyatakan gagal total.

    Papua merupakan dapur dunia yang di hiasi dengan berbagai intan dan permata serta emas dan uranium maupun nikel dan tembaga. Sehingga, jangan salah jika Jakarta menggangap Papua bagian dari NKRI atau NKRI HARGA MATI.

    Solusi

    Jakarta dan Papua adalah dua kelompok yang berbeda. baik itu dari sisi ras, kulit maupun rambut. Selain itu, dua pemahaman dialog yang berbeda pula. Untuk menyelesaikan persoalan Jakarta dan Papua, kedua belah pihak harus hilangkan kata HARGA MATI. Kata harga mati bagaikan virus yang  bisa memperpanjang proses dialog.

    *) Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua Surabaya 
    (AMP KK Surabaya)
    Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.
     
     photo bendera-bintang-kejora-dan-cewek-bule-jpg1_zps4a30c64f.jpg
     photo SALAMPEMBEBASANDANREVOLUSI_zpsbdffla8q.gif