Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua
Oleh: Naftali Edoway*)
Membaca beberapa laporan media yang mengangkat tema Indonesia negara
gagal, sangat mengganggu pikiran saya. Bisakah negara yang gagal ini
membangun Papua, terutama dengan beberapa kebijakannya belakangan ini?
tapi ini juga melegitimasi pikiran rakyat Papua yang selalu menyatakan
Indonesia gagal bangun Papua atau yang belakangan Otsus dikembalikan
karena dinilai gagal dalam penerapannya.
Media okezone online pada Rabu 20 Juni 2012, melaporkan bahwa dari
178 negara di dunia Indonesia menempati urutan ke 63 negara gagal di
dunia (baca.
Hal yang sama diberitakan juga oleh media Kompas online pada Kamis 21
Juni 2012. Penilaian ini dilakukan oleh The Fund of Peace (FFP). Menurut
mereka, pemerintahan SBY-Budiyono gagal memberikan rasa aman dan nyaman
bagi rakyatnya. Misalnya, lemahnya pemerintah dalam menjaga kerukunan
antar umat beragama, ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan HAM dan menjamurnya korupsi.
Adalah hal yang tidak logis, jika Jakarta yang dinilai gagal ingin
membangun Papua. Lihat saja, Jakarta yang seharusnya menjadi barometer
kesejahteraan justru menyimpan seribu satu macam masalah kemiskinan dan
penderitaan. Banyak anak-anak jalanan, pengemis, dan preman yang
menghiasi kota itu. Progam sentralisasi pembangunan dimasa orde baru
yang seharusnya mensejahterakan rakyat yang hidup di ibu kota, justru
diabaikan negara, apalagi dengan mereka yang hidup jauh dari ibu kota
negara itu.
Sistem sentralisasi telah benar-benar menguras sumber-sumber hidup
rakyat di daerah. Jutaan rakyat menderita dalam kemiskinan. Belum lagi
tekanan negara melalui militer yang benar-benar mematikan. Sumber-sumber
hidup rakyat dirampas dengan kekuatan militer. Yang melawan jadi
tumbal. Akhirnya terjadi jutaan kasus pelanggaran HAM yang belum
diselesaikan oleh negara hingga hari ini. Korupsi pun tumbuh dengan
suburnya bak jamur dimusim hujan. Mungkin benar lelucon ini “mana
mungkin maling berteriak maling”. Atau, kalau negara adalah pelakunya
mana mungkin ia mengadili dirinya sendiri, malu dong! Kalau pun ada
proses hukum, itu hanya rekayasa untuk menutup sedikit rasa malunya.
Papua yang dianeksasi melalui kebijakan Trikora sejak 1962, telah
mengalami penderitaan yang cukup panjang. Penderitaannya barangkali
lebih berat dari daerah lain di Indonesia. Banyak pelanggaran HAM yang
dilakukan negara di Papua. Para pelakunya dibiarkan bebas oleh negara,
karena katanya dilakukan atas nama negara. Banyak kekayaan alam telah
dieksploitasi dari daerah ini, namun para pemilik ulayatnya dibiarkan
hidup menderita. Tak secuil pun manfaat yang dirasakan oleh orang asli
Papua. Mungkin karena perbedaan ras dan agama? atau karena niatan ingin
menguras semua kekayaan alam demi kesejahteraan kaum borjuis, imperialis
dan neo-kolonialis atas nama negara.
Memoria passionis telah meninggalkan rasa tidak percaya orang asli Papua terhadap Jakarta. Semua bentuk kebijakan negara pada arasnya tak
membangun. Kebijakannya seperti menabur benih diatas batu, tak ada
hasilnya. Itulah sebabnya Papua menilai Jakarta gagal membangun Papua.
Jakarta gagal mengindonesiakan Papua. Padahal katanya Papua dimasukkan
ke dalam NKRI dengan tujuan membangun kesejahteraan seperti yang
tertuang dalam isi UUD 1945.
Setelah Reformasi, pemerintah Jakarta memaksa menerapkan Otsus di Papua. Otsus dihadirkan untuk mematahkan semangat ingin merdeka (pisah
dari NKRI) dari Orang asli Papua. Tapi disisi lain Otsus mungkin niat
Jakarta untuk membayar lunas dosa-dosanya. Tapi sayang! Ia tidak menjadi
obat yang mujarab untuk Papua. Ia justru menjadi semacam racun yang
mematikan secara perlahan-lahan. Lihat saja! Pelanggaran HAM masih terus
terjadi, Theys Hiyo Eluay adalah salah satu korban dari kebijakan ini.
Disisi lain rakyat dikondisikan untuk saling membenci dan membunuh.
Perhatikan kasus di Kwamki Narama Timika yang belum berakhir hingga
hari ini sampai kepada konflik Pilkada yang menelan korban jiwa di Ilaga
Puncak Papua.
Kebijakan UP4B yang belakangan dihadirkan di Papua pasca pengembalian
Otus oleh OAP pun tak bisa membangun Papua. Katanya, itu adalah unit
yang mempercepat pembangunan di Papua. Tapi pada kenyataannya ia menjadi
jerat yang membungkam suara-suara nurani rakyat kecil yang merasa
diperlakukan tidak adil. Yang merasa mereka dijajah. Akhirnya Musa Mako
Tabuni menjadi korban kebijakan ini. Kematiannya dipercepat oleh
kebijakan UP4B oleh negara. Negara mencabut nyawanya untuk mematikan
bangkitnya semangat protes kaum kecil, kaum yang terjajah yang selalu
dilihat sebagai musuh oleh negara. Bahkan dianggap teroris oleh negara
belakangan ini. Hal ini diperkuat lagi dengan digantinya Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian yang nota bene mantan Kadensus 88.
Anehnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono justru mengeluarkan
pernyataan bahwa Jakarta tak berencana merubah kebijakan keamanan di
Papua. Katanya, “Sejak tujuh tahun yang lalu, segera setelah saya
mengemban amanah menjadi Presiden di negeri ini, saya telah melakukan
pendekatan untuk penyelesaian masalah Papua. Yang dulu pendekatannya
mungkin bersifat kepada keamanan, setelah kita evaluasi nampaknya kita
pandang kurang tepat. Oleh karena itulah, kita ubah menjadi pendekatan
kesejahteraan demi keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan saudara-saudara
kita di Papua dan Papua Barat.”
Saya menilai bahwa sikap pemerintah seperti ini justru melegitimasi
kelakuan aparat keamanan di Papua yang selama ini bersikap sadis dan
geram.
Dua kebijakan negara diatas (Otsus dan UP4B) tak mampu mengangkat
rakyat Papua dari kemiskinan yang melilit hidup mereka. Dalam diskusi
yang bertemakan Save Papua Save Indonesia di Campus Center Institut
Teknologi Bandung (ITB) Jalan Ganeca, pada Jumat 31 Agustus 2012 lalu,
terungkap bahwa 83,3% rumah tangga di Papua masih hidup miskin. Mereka
bahkan termiskin di Indonesia. Data yang lain menyebutkan bahwa 966, 76 ribu orang Papua masih hidup dalam kemiskinan.
Pertanyaannya, inikah wujud kampaye NKRI di dunia internasional bahwa
Papua sedang di bangun? Memalukan. Jika dalam skala negara ia dinilai
gagal, bagaimana mungkin ia bisa membangun Papua. Apalagi proses Pepera
saja masih menjadi polemik antara Papua dan Jakarta hingga kini.
Lalu apa solusinya? Pertanyaan ini penting dan harus dipikirkan
secara matang oleh kita semua. Bagi saya sebagai bagian dari kaum kecil
yang menderita, jawabannya sangat sederhana, Merdeka (lepas dari NKRI).
Alasannya juga sederhana, Indonesia gagal bangun Papua dan akan terus
gagal. Tapi saya sadar, untuk mencapai impian itu butuh proses yang
panjang. Tidak sesederhana jawaban saya diatas. Sekali lagi, butuh
proses, tapi apa prosesnya? Referendum atau dialog. Entalah! Tapi butuh
kematangan berpikir kita semua, untuk mengeluarkan rakyat bahkan diri
kita dari rasa tertindas yang membelenggu.