UP4B, Perlawanan atau Dukungan
UP4B lahir sebagai pengakuan negara atas kegagalanimplementasi Otsus. Rakyat Papua menolak UP4B.
Presiden SBY meminta UP4B untuk sementara distatus quo-kan.
UP4B terus eksis. Apakah UP4B akan menjawab
persoalan bangsa Papua?
Kilas Balik
Secara demokratis, Rakyat Papua bekerjasama dengan pemerintah Belanda
mendirikan New Guinea Raad/NGR (Dewan New Guinea) 5 April 1961. Dewan New Guinea menetapkan simbol-simbol kenegaraan Papua: bendera nasional
“Bintang Kejora”, “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu kebangsaan, dan nama
negara “Papua Barat”. Selanjutnya, tanggal 1 Desember 1961, secara de
facto Bintang Kejora dikibarkan di Holandia/Jayapura. Setelah 18 hari
kemudian, (19 Desember 1961), Papua digabungkan ke dalam Indonesia (baca: Trikora, New York Agreement, dan Pepera 1969).
Lebih 40 tahun, Papua bergolak. Selama itu tidak ada solusi
penyelesaian (Baca: Pelanggaran HAM dan Ketidakadilan Pembangunan).
Rakyat Papua terus menuntut pengakuan kedaulatan Papua Barat (baca:
Papua Merdeka). Sebagai solusi menang-menang, Indonesia menerbitkan UU
No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus).
Otsus mengamanatkan tiga hal utama. Pertama, pengkajian kembali
sejarah masa lalu (baca: sejarah Papua). Kedua, penyelesaian pelanggaran
HAM selama 40 tahun saat dan selama digabungkan dengan Indonesia.
Ketiga, keadilan pembangun di segala aspek dan bidang pembangunan dengan
tiga semboyan: Pemberdayaan, Keberpihakan, dan Perlindungan.
Rakyat Papua menyatakan Otsus Gagal diimplementasikan karena tiga
amanat di atas tidak dilaksanaan, terutama amanat pertama dan kedua.
Amanat ketiga saja dinilai hancur-hancuran (baca: Uang Banjir, Migrasi
Banjir, Rakyat Asli Papua Melarat). Rakyat Papua mencatat, Jakarta
melahirkan beberapa produk hukum bertentangan dengan Otsus. Salah
satunya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 yang memekarkan Irian Jaya
Barat.
Ungkapan kekecewaan rakyat atas kegagalan Otsus terus meningkat.
Akhirnya, rakyat Papua mengembalikan Otsus dalam bentuk peti mati.
Sebagai tanggapan, Presiden SBY keluarkan Instruksi Presiden RI No. 65
Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.
Intruksi ini tidak berarti apa-apa. Rakyat Papua menawarkan dan terus
mendesak Jakarta untuk menggelar Dialog atau Refrendum untuk Papua.
Papua terus bergolak. Papua Tanah Damai hanya menjadi slogan kosong
yang tak pernah terjadi di Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) mencari
solusi alternatif, yakni Dialog Jakarta-Papua. Sosialisasi Dialog
Jakarta-Papua dilakukan di semua kabupaten dan kota di tanah Papua baik
dengan orang asli Papua dan dengan non Papua. Rakyat Papua menetapkan
utusannya untuk berdialog dengan Jakarta. Jakarta tidak menanggapi
dialog damai yang didorong JDP. Situasi tanah Papua terus dan semakin
memanas mulai 2010-2011.
Dalam kondisi ini, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden RI
No. 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Perpres No. 65 tentang percepatannya dan Perpres No. 66
adalah untuk mengawalnya. Dalam waktu yang sama, pemerintah pusat juga
mendorong proses dialog yang konsepnya berbeda dengan yang didorong JDP
yang telah disetujui rakyat Papua. Konsep dialog yang ditawarkan Jakarta
menginginkan, orang-orang yang mewakili rakyat Papua adalah pemerintah
provinsi dan DPR Papua. Rakyat memandang pemerintah provinsi dan DPR
Papua adalah kaki tangan negara di Papua sehingga dialog yang murni
tidak akan terjadi.
Rakyat Papua dari berbagai lapisan terus menolak UP4B dengan berbagai
bentuk dan cara. Mulai dari aksi demontrasi sampai pembubaran paksa
pelaksaan sosialisasi UP4B terus dilakukan rakyat Papua. Seperti ditulis, Tabloid Suara Perempuan Papua, Edisi Rabu, 18
Januari 2012 , Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuannya
dengan para ketua Sinode Gereja-gereja di Tanah Papua di Istana Negara,
Jakarta, mengatakan UP4B untuk sementara di-status quo-kan
sambil menunggu masukan-masukan dari berbagai pihak. “Perlu membangun
kepercayaan antara rakyat dan pemerintah,”kata Presiden seperti dikutip
Tabloid Suara Perempuan Papua.
UP4B Terus Eksis?
Kepala UP4B Letjen TNI (Pur) Bambang Darmono terus melakukan
sosialisasi dan pelantikan pejabat UP4B. Kamis, 12 Januari 2012, Bambang
melantik 13 pejabat UP4B di Gedung Sasana Karya Kantor Gubernur Dok 2
Jayapura. Darmono dibantu oleh Wakil Kepala Drs. Eduard Fonataba, M.M
dan empat deputi, salah satunya adalah Inspektur Jenderal Polisi (Purn)
Bagus Ekodanto (mantan Kapolda Papua).
Darmono, dikutip AntaraNews, Perpres No. 66 tahun 2011
adalah sebuah instrument dari Otsus agar bisa berjalan. Bambang
mengutip pernyataan Presiden, penyelesaian persoalan Papua itu
diletakkan pada 3 pilar: NKRI, Otsus serta UP4B. Pembangunan
kesejahteraan rakyat Papua dalam segala hal akan dipenuhi selama tiga
tahun, yakni 2012-2014 (baca: Pertemuan Tokoh Agama dari Papua dengan
Presiden RI pada Jumat16 Desember 2011).
Mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH pesimis penyelesaian persoalan Papua selama tiga tahun, jika UP4B tidak menggunakan cara kerja Respek. Ketua
Komisi E DPR Papua Max Mirino menilai UP4B melecehkan kemampuan Papua
membangun dirinya sendiri. Max pesimis percepatan pembangunan bisa
terwujud secara optimal (baca: Kompas, Rabu, 11/1/201).
Bambang, menegaskan, UP4B tidak mengambil peran, tugas, dan wewenang
jajaran Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Bambang, Kompas, Rabu (11/1/2011), menegaskan misi utama UP4B membantu presiden dalam melakukan dukungan koordinasi,
sinkronisasi, pengendalian, dan evaluasi semua program percepatan
pembangunan Papua dan Papua Barat. Pemantaban koordinasi itu dilakukan
bersama dengan lembaga-lembaga terkait seperti kementrian dan pemerintah
daerah untuk menciptakan kesejahteraan orang asli Papua. UP4B juga
membantu presiden memastikan percepatan pembangunan terwujud.
Wakil Ketua UP4B Drs E. Fonataba, MM dikutip Harian Bintang Papua,
Sabtu, (7/1), mengatakan tugas dan tanggungjawab UP4B hanya
mengawasi. Soal dana, Fonataba mengatakan, UP4B tak ada uang khusus.
”UP4B selama ini alokasi dana langsung di bawah Wakil Presiden.
Walaupun tanpa dana yang memadai tapi orang orang yang ditunjuk di
UP4B mempunyai kemampuan lebih melakukan pelbagai pendekatan untuk
membangun Papua khusus di bidang ekonomi, kesejahteraan masyarakat.
Dikutip KBR68H, Jakarta, 25 January 2012, UP4B berencana membangun
jalan sepanjang 400 kilometer di wilayah pegunungan tengah pada 2012
dengan dana APBN tujuh hingga delapan triliun rupiah. UP4B juga berjanji
mendrop ternak atau unggas ke wilayah Pegunungan Papua. Juga akan
dibangun pabrik semen di Manokwari. Mengemuka juga UP4B akan membangun
jaringan internet di semua daerah di Papua hingga pelosok.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua menolak UP4B. Wakil ketua DPR
Papua Komaruddin Watubun mengatakan, UP4B akan menambah masalah baru di
Papua karena tugas yang dijalankan bakal bertabrakan dengan sasaran
kerja pemerintah setempat. Apalagi pemerintah tidak pernah bertemu
dengan pemerintah Papua untuk membahas UP4B (KBR68H, Jakarta, 3 Januari 2012).
Kepada Majalah Selangkah, Ketua Partai Demokrat, Ruben Magai, S.Ip mengatakan menolak terhadap UP4B. “UP4B mau menambah masalah atau menyelesaikan masalah Papua. Pemerintah seharusnya menghargai pemerintah yang ada di sini dan upaya-upaya dialog yang dibangun di Papua,” katanya.
Penolakan keras dari Dewan Adat Papua (DAP) dilakukan di setiap
kabupaten di Papua. Menurut William Bram Ramar, Anggota Dewan Adat
Manokwari, kehadiran UP4B tidak akan menyelesaikan masalah yang dialami
masyarakat Papua. “Solusi untuk menuntaskan persoalan di Papua adalah
dialog dengan pemerintah pusat. Orang Papua tidak pernah akan menerima
itu karena bukan solusi yang tepat. Solusi yang tepat adalah dialog.
Masalah mendasar adalah pembelokan sejarah, soal aneksasi yang dilakukan
Indonesia pada 1 Mei 1963.
Rakyat Papua yang tergabung Forum Komunikasi Rakyat Papua (FKRP)
mengelar unjukrasa penolakan UP4B di Kantor DPR Papua di Jayapura,
Rabu (25/1). Mereka mendesak Presiden SBY mencabut Kepres No. 66/2011
tentang UP4B dan membubarkannya. Kepada kontrtibutor Majalah Selangkah
di Jayapura, koordinator FKRPT-UP4B Herman Sufi mengatakan, rakyat
Papua menolak produk hukum apa pun dari pemerintah Indonesia.
Karaguan UP4B muncul juga dari akademisi. Kepada wartawan, Naftali
Edowai, Dosen STT Wartel Post Jayapura mengatakan keraguannya atas
kehadiran. “Dari sisi hirarki, Kepres posisinya masih berada di bawah
Undang-Undang. “Kalau Otsus yang diatur dengan Undang-Undang saja sudah
gagal, bagaimana mungkin UP4B yang diatur dengan Kepres itu berhasil”
katanya.
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan menolak UP4B. Kepada Majalah Selangkah,
Juru Bicara Internasional, Victor Yeimo mengatakan, KNPB menolak UP4B
atau tawaran apa pun dari Jakarta kecuali referendum. Katanya, masalah
Papua bukan soal makan dan minum tetapi masalah harga diri sebagai
bangsa.
Kompas, Jumat, 16/12/2011), Bram Ramar di Manokwari
mengatakan UP4B tak jauh beda seperti Otsus jilid dua. Tujuan otsus dan
UP4B harus dijelaskan. “Kami tidak percaya dengan UP4B. Kembalikan saja
ke Jakarta,” kata Ramar.
Harus melibatkan semua komponen rakyat Papua, terutama
kelompok-kelompok resisten seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM),
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), Presidium Dewan Papua (PDP), Dewan Adat Papua (DAP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTP), West Papua National Authority (WPNA), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Komite Nasional Pemuda Papua (KNPP), Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bersama
parlemen-palemen daerahnya, serta juga melibatkan Gereja-geraja Kristen
dan Katolik serta institusi agama lain di Tanah Papua.
Wakil Ketua UP4B Eduard Fonataba mengatakan ia memahami kecaman itu.
Katannya, penolakan itu wajar terjadi karena program Otsus belum
menyentuh secara utuh dan menyeluruh. Ketidakadilan pembangunan menjadi keluhan utama masyarakat di tanah
Papua. Satu lagi, soal pelurusan sejarah di Papua dengan pemerintah RI
harus dituntaskan agar pembangunan di Papua dan Papua Barat bisa
diterima dan dijalankan oleh masyarakatnya.
Koordinator JDP, Peter Neles Tebay, Pr., mengapresiasi pembentukan
UP4B. Peter Neles berharap UP4B akan mempercepat proses dialog antara
Jakarta dan Papua (baca: Kompas, Senin (14/11/2011). Dikutip, Kompas,
Rabu, 7 Desember 2011, Bambang (mantan Sekretaris Jenderal Dewan
Ketahanan Nasional) menegaskan, pihaknya berhubungan dengan semua pihak
di Papua. ”Bahkan, dengan OPM, kelompok bersenjata, dan pihak-pihak yang
anti-pemerintah pun saya siap berdialog,” ujar Bambang.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Priyo Budi Santoso
mengatakan, UP4B yang dibentuk Presiden jangan hanya menjadi lembaga
birokratis. UP4B harus bisa menjadi jembatan komunikasi berbagai pihak,
termasuk OPM dalam proses penyelesaian masalah di Papua. “Jangan alergi
bicara dengan kelompok radikal OPM,” katanya seperti dikutip Kompas, Jumat, 18 November 2011.
Berkaitan pengakuan dan HAM, Budayawan Radhar Panca Dahana seperti ditulis Kompas,
mengatakan, Orang Papua tak menuntut yang macam-macam. Perlakukan orang
Papua sebagai saudara dan sederajat. Itu sudah sangat menyentuh hati
masyarakat Papua. Koordinator Komunitas Adat Masyarakat Papua
Antikorupsi Papua Michael Rumaropen meminta tuntaskan semua kasus pelanggaran HAM di Papua. Anggota Forum Akademisi untuk Papua Damai,
Otto Syamsuddin Ishak, menerangkan sudah 100.000 lebih orang tewas di
Papua sejak 50 tahun daerah tersebut jadi bagian RI.
Dalam situasi Papua yang carut-marut itu, Indonesia menyatakan
kewaspadaan terhadap pasukan cadangan Amerika Serikat (AS) sebanyak 2500
personil di Darwin. Senin, 21 November 2011 di ANTARA News,
Bambang menegaskan, pasukan cadangan Amerika Serikat (AS) sebanyak 2500
personil di Darwin, Australia, tak akan ikut campur dalam masalah Papua,
meskipun ada PT Freeport di sana. Namun, wakil ketua Komisi I DPR RI,
TB Hasanuddin mengatakan, harus dibuktikan bahwa mereka ditempatkan di
Darwin bukan untuk mengantisipasi Papua.
Otsus sebagai win-win solution gagal diimplementasikan.
Masalah status politik Papua dalam Indonesia dan HAM tidak disentuh sama
sekali. Rakyat kembalikan Otsus ke Jakarta dan meminta merdeka.
Pemerintah dalam rangka NKRI HARGA MATI, menerbitkan Kepres No. 65 Tahun
2007 untuk percepat Otsus. Namun, tidak terjadi perubahan yang berarti.
Dalam kondisi ini, poros tengah (JDP) menawarkan dialog Jakarta-Papua.
Tahun 2011, muncul unit baru untuk percepat Otsus Papua. Banyak orang
pesimis dan menolak.
UP4B lahir untuk percepat Otsus maka harus mengakomodir soal status
politik Papua, HAM, dan soal keadilan pembangunan. Jika UP4B melihat
Papua dengan kaca mata ‘makan dan minum’ seperti selama ini maka dia
(UP4B) akan gagal. Juga, UP4B akan gagal jika UP4B menjadi bentuk
perlawanan Jakarta atas tawaran dialog Jakarta-Papua yang didorong JDP.
Dan, jika UP4B datang dengan hati kecil “INDONESIA HARGA MATI” maka ia
akan ketemu dengan “PAPUA HARGA MATI”. Intervensi internasional bukan
tidak mungkin! [Yermias Degei]