photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » , , , , , » UP4B, Perlawanan atau Dukungan

UP4B, Perlawanan atau Dukungan

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

UP4B, Perlawanan atau Dukungan

UP4B lahir sebagai pengakuan negara atas kegagalan
implementasi Otsus. Rakyat Papua menolak UP4B.
Presiden SBY meminta UP4B untuk sementara distatus quo-kan.
UP4B terus eksis. Apakah UP4B akan menjawab
persoalan bangsa Papua?



Kilas Balik 

Secara demokratis, Rakyat Papua bekerjasama dengan pemerintah Belanda mendirikan New Guinea Raad/NGR (Dewan New Guinea) 5 April 1961. Dewan New Guinea menetapkan simbol-simbol kenegaraan Papua:  bendera nasional “Bintang Kejora”, “Hai Tanahku Papua” sebagai lagu kebangsaan, dan nama negara “Papua Barat”. Selanjutnya, tanggal 1 Desember 1961, secara de facto Bintang Kejora dikibarkan di Holandia/Jayapura. Setelah 18 hari kemudian, (19 Desember 1961), Papua digabungkan ke dalam Indonesia (baca: Trikora, New York Agreement, dan Pepera 1969).

Lebih 40 tahun, Papua bergolak. Selama itu tidak ada solusi penyelesaian (Baca: Pelanggaran HAM dan Ketidakadilan Pembangunan). Rakyat Papua terus menuntut pengakuan kedaulatan Papua Barat (baca: Papua Merdeka). Sebagai solusi menang-menang, Indonesia menerbitkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus).

Otsus mengamanatkan tiga hal utama. Pertama, pengkajian kembali sejarah masa lalu (baca: sejarah Papua). Kedua, penyelesaian pelanggaran HAM selama 40 tahun saat dan selama digabungkan dengan Indonesia. Ketiga, keadilan pembangun di segala aspek dan bidang pembangunan dengan tiga semboyan: Pemberdayaan,  Keberpihakan, dan Perlindungan.

Rakyat Papua menyatakan Otsus Gagal diimplementasikan karena tiga amanat di atas tidak dilaksanaan, terutama amanat pertama dan kedua. Amanat ketiga saja dinilai hancur-hancuran (baca: Uang Banjir, Migrasi Banjir, Rakyat Asli Papua Melarat). Rakyat Papua mencatat, Jakarta melahirkan beberapa produk hukum bertentangan dengan Otsus. Salah satunya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 yang memekarkan Irian Jaya Barat.

Ungkapan kekecewaan rakyat atas kegagalan Otsus terus meningkat. Akhirnya, rakyat Papua mengembalikan Otsus dalam bentuk peti mati. Sebagai tanggapan, Presiden SBY keluarkan Instruksi Presiden RI No. 65 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Intruksi ini tidak berarti apa-apa. Rakyat Papua menawarkan dan terus mendesak Jakarta untuk menggelar Dialog atau Refrendum untuk Papua.

Papua terus bergolak. Papua Tanah Damai hanya menjadi slogan kosong yang tak pernah  terjadi di Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) mencari solusi alternatif, yakni Dialog Jakarta-Papua. Sosialisasi Dialog Jakarta-Papua dilakukan di semua kabupaten dan kota di tanah Papua baik dengan orang asli Papua dan dengan non Papua.  Rakyat Papua menetapkan utusannya untuk berdialog dengan Jakarta. Jakarta tidak menanggapi dialog damai yang didorong JDP. Situasi tanah Papua terus dan semakin memanas mulai 2010-2011.

Dalam kondisi ini, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Perpres No. 65 tentang percepatannya dan Perpres No. 66 adalah untuk mengawalnya. Dalam waktu yang sama, pemerintah pusat juga mendorong proses dialog yang konsepnya berbeda dengan yang didorong JDP yang telah disetujui rakyat Papua. Konsep dialog yang ditawarkan Jakarta menginginkan, orang-orang yang mewakili rakyat Papua adalah pemerintah provinsi dan DPR Papua. Rakyat memandang pemerintah provinsi dan DPR Papua adalah kaki tangan negara di Papua sehingga dialog yang murni tidak akan terjadi.

Rakyat Papua dari berbagai lapisan terus menolak UP4B dengan berbagai bentuk dan cara. Mulai dari aksi demontrasi sampai pembubaran paksa pelaksaan sosialisasi UP4B terus dilakukan rakyat Papua.     Seperti ditulis, Tabloid Suara Perempuan Papua, Edisi Rabu, 18 Januari 2012 , Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuannya dengan para ketua Sinode Gereja-gereja di Tanah Papua di Istana Negara, Jakarta, mengatakan UP4B untuk sementara di-status quo-kan sambil menunggu masukan-masukan dari berbagai pihak. “Perlu membangun kepercayaan antara rakyat dan pemerintah,”kata Presiden seperti dikutip Tabloid Suara Perempuan Papua.

UP4B Terus Eksis?

Kepala UP4B Letjen TNI  (Pur) Bambang  Darmono terus melakukan sosialisasi dan pelantikan pejabat UP4B. Kamis, 12 Januari 2012, Bambang melantik  13 pejabat UP4B di Gedung Sasana Karya Kantor Gubernur Dok 2 Jayapura. Darmono dibantu oleh Wakil Kepala Drs. Eduard Fonataba, M.M dan empat deputi, salah satunya adalah  Inspektur Jenderal Polisi (Purn) Bagus Ekodanto (mantan Kapolda Papua).
Darmono, dikutip AntaraNews,  Perpres No. 66 tahun 2011 adalah sebuah instrument  dari Otsus agar bisa berjalan. Bambang mengutip pernyataan Presiden, penyelesaian persoalan Papua itu diletakkan pada 3 pilar: NKRI, Otsus serta UP4B.  Pembangunan kesejahteraan rakyat Papua dalam segala hal akan dipenuhi selama tiga tahun, yakni 2012-2014  (baca: Pertemuan Tokoh Agama dari Papua dengan Presiden RI pada Jumat16 Desember 2011).

Mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH pesimis penyelesaian persoalan Papua selama tiga tahun, jika UP4B tidak menggunakan cara kerja Respek. Ketua Komisi E DPR Papua Max Mirino menilai UP4B melecehkan kemampuan Papua membangun dirinya sendiri. Max pesimis percepatan pembangunan bisa terwujud secara optimal (baca: Kompas, Rabu, 11/1/201).  Bambang,  menegaskan, UP4B tidak mengambil peran, tugas, dan wewenang jajaran Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Bambang, Kompas, Rabu (11/1/2011), menegaskan misi utama UP4B membantu presiden dalam melakukan dukungan koordinasi, sinkronisasi, pengendalian, dan evaluasi semua program percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Pemantaban koordinasi itu dilakukan bersama dengan lembaga-lembaga terkait seperti kementrian dan pemerintah daerah untuk menciptakan kesejahteraan orang asli Papua. UP4B juga membantu presiden memastikan percepatan pembangunan terwujud.

Wakil Ketua  UP4B  Drs E. Fonataba, MM  dikutip   Harian Bintang Papua, Sabtu, (7/1), mengatakan tugas  dan tanggungjawab  UP4B   hanya  mengawasi. Soal dana,  Fonataba  mengatakan, UP4B tak ada  uang khusus. ”UP4B  selama ini alokasi  dana  langsung di bawah  Wakil  Presiden. Walaupun  tanpa dana yang memadai tapi orang orang yang ditunjuk  di  UP4B  mempunyai  kemampuan lebih  melakukan pelbagai pendekatan  untuk membangun Papua  khusus  di bidang  ekonomi, kesejahteraan masyarakat.

Dikutip KBR68H, Jakarta, 25 January 2012, UP4B berencana membangun jalan sepanjang 400 kilometer di wilayah pegunungan tengah pada 2012 dengan dana APBN tujuh hingga delapan triliun rupiah. UP4B juga berjanji mendrop ternak  atau unggas  ke wilayah Pegunungan Papua. Juga akan dibangun pabrik  semen di Manokwari. Mengemuka juga UP4B akan membangun jaringan internet di semua daerah di Papua hingga pelosok.


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua menolak UP4B. Wakil ketua DPR Papua Komaruddin Watubun mengatakan, UP4B akan menambah masalah baru di Papua karena tugas yang dijalankan bakal bertabrakan dengan sasaran kerja pemerintah setempat. Apalagi pemerintah tidak pernah bertemu dengan pemerintah Papua untuk membahas UP4B (KBR68H, Jakarta, 3 Januari 2012).

Kepada Majalah Selangkah, Ketua Partai Demokrat, Ruben Magai, S.Ip mengatakan menolak terhadap UP4B. “UP4B mau menambah masalah atau menyelesaikan masalah Papua. Pemerintah seharusnya menghargai pemerintah yang ada di sini dan upaya-upaya dialog yang dibangun di Papua,” katanya.

Penolakan keras dari Dewan Adat Papua (DAP) dilakukan di setiap kabupaten di Papua. Menurut William Bram Ramar, Anggota Dewan Adat Manokwari, kehadiran UP4B tidak akan menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat Papua. “Solusi untuk menuntaskan persoalan di Papua adalah dialog dengan pemerintah pusat. Orang Papua tidak pernah akan menerima itu karena bukan solusi yang tepat. Solusi yang tepat adalah dialog. Masalah mendasar adalah pembelokan sejarah, soal aneksasi yang dilakukan Indonesia pada 1 Mei 1963.

Rakyat Papua yang tergabung Forum Komunikasi Rakyat Papua (FKRP) mengelar   unjukrasa penolakan UP4B di   Kantor  DPR Papua di Jayapura, Rabu (25/1). Mereka mendesak Presiden SBY mencabut Kepres No. 66/2011 tentang UP4B dan membubarkannya.  Kepada kontrtibutor Majalah Selangkah di Jayapura, koordinator  FKRPT-UP4B Herman Sufi mengatakan, rakyat Papua menolak produk hukum apa pun dari pemerintah Indonesia.

Karaguan UP4B muncul juga dari akademisi. Kepada wartawan, Naftali Edowai, Dosen STT Wartel Post  Jayapura mengatakan keraguannya atas kehadiran.  “Dari sisi hirarki, Kepres posisinya masih berada di bawah Undang-Undang. “Kalau Otsus yang diatur dengan Undang-Undang saja sudah gagal, bagaimana mungkin UP4B yang diatur dengan Kepres itu berhasil” katanya.

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan menolak UP4B. Kepada Majalah Selangkah, Juru Bicara Internasional, Victor Yeimo mengatakan, KNPB menolak UP4B atau tawaran apa pun dari Jakarta kecuali referendum. Katanya, masalah Papua bukan soal makan dan minum tetapi masalah harga diri sebagai bangsa.

Kompas, Jumat, 16/12/2011), Bram Ramar di Manokwari mengatakan UP4B tak jauh beda seperti Otsus jilid dua. Tujuan otsus dan UP4B harus dijelaskan. “Kami tidak percaya dengan UP4B. Kembalikan saja ke Jakarta,” kata Ramar.

Harus melibatkan semua komponen rakyat Papua, terutama kelompok-kelompok resisten seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), Presidium Dewan Papua (PDP), Dewan Adat Papua (DAP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTP), West Papua National Authority (WPNA), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Komite Nasional Pemuda Papua (KNPP), Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bersama parlemen-palemen daerahnya, serta juga melibatkan Gereja-geraja Kristen dan Katolik serta institusi agama lain di Tanah Papua.

Wakil Ketua UP4B Eduard Fonataba  mengatakan ia memahami kecaman itu. Katannya,  penolakan itu wajar terjadi karena program Otsus belum menyentuh secara utuh dan menyeluruh. Ketidakadilan pembangunan menjadi keluhan utama masyarakat di tanah Papua. Satu lagi, soal pelurusan sejarah di Papua dengan pemerintah RI harus dituntaskan agar pembangunan di Papua dan Papua Barat bisa diterima dan dijalankan oleh masyarakatnya.


Koordinator JDP, Peter Neles Tebay, Pr., mengapresiasi pembentukan UP4B. Peter Neles berharap UP4B akan mempercepat proses dialog antara Jakarta dan Papua (baca: Kompas, Senin (14/11/2011). Dikutip, Kompas, Rabu, 7 Desember 2011, Bambang (mantan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional) menegaskan, pihaknya berhubungan dengan semua pihak di Papua. ”Bahkan, dengan OPM, kelompok bersenjata, dan pihak-pihak yang anti-pemerintah pun saya siap berdialog,” ujar Bambang.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Priyo Budi Santoso mengatakan, UP4B  yang dibentuk Presiden jangan hanya menjadi lembaga birokratis. UP4B harus bisa menjadi jembatan komunikasi berbagai pihak, termasuk OPM dalam proses penyelesaian masalah di Papua. “Jangan alergi bicara dengan kelompok radikal OPM,” katanya seperti dikutip Kompas, Jumat, 18 November 2011.

Berkaitan pengakuan dan HAM, Budayawan Radhar Panca Dahana seperti ditulis Kompas, mengatakan, Orang Papua tak menuntut yang macam-macam. Perlakukan orang Papua sebagai saudara dan sederajat. Itu sudah sangat menyentuh hati masyarakat Papua. Koordinator Komunitas Adat Masyarakat Papua Antikorupsi Papua Michael Rumaropen meminta tuntaskan semua kasus pelanggaran HAM di Papua. Anggota Forum Akademisi untuk Papua Damai, Otto Syamsuddin Ishak, menerangkan sudah 100.000 lebih orang tewas di Papua sejak 50 tahun daerah tersebut jadi bagian RI.

Dalam situasi Papua yang carut-marut itu, Indonesia menyatakan kewaspadaan terhadap pasukan cadangan Amerika Serikat (AS) sebanyak 2500 personil di Darwin. Senin, 21 November 2011  di ANTARA News, Bambang menegaskan, pasukan cadangan Amerika Serikat (AS) sebanyak 2500 personil di Darwin, Australia, tak akan ikut campur dalam masalah Papua, meskipun ada PT Freeport di sana. Namun, wakil ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengatakan, harus dibuktikan bahwa mereka ditempatkan di Darwin bukan untuk mengantisipasi Papua.


Otsus sebagai win-win solution gagal diimplementasikan. Masalah status politik Papua dalam Indonesia dan HAM tidak disentuh sama sekali. Rakyat kembalikan Otsus ke Jakarta dan meminta merdeka. Pemerintah dalam rangka NKRI HARGA MATI, menerbitkan Kepres No. 65 Tahun 2007 untuk percepat Otsus. Namun, tidak terjadi perubahan yang berarti. Dalam kondisi ini, poros tengah (JDP) menawarkan dialog Jakarta-Papua. Tahun 2011, muncul unit baru untuk percepat Otsus Papua. Banyak orang pesimis dan menolak.

UP4B lahir untuk percepat Otsus maka harus mengakomodir soal status politik Papua, HAM, dan soal keadilan pembangunan. Jika UP4B melihat Papua dengan kaca mata ‘makan dan minum’ seperti selama ini maka dia (UP4B) akan gagal. Juga, UP4B akan gagal jika UP4B  menjadi bentuk perlawanan Jakarta atas tawaran dialog Jakarta-Papua yang didorong JDP. Dan, jika UP4B datang dengan hati kecil “INDONESIA HARGA MATI” maka ia akan ketemu dengan “PAPUA HARGA MATI”. Intervensi internasional bukan tidak mungkin! [Yermias Degei]
Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.
Share this post :