photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » , , , , » Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?

Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

Papua 30 Persen, Pendatang 70 Persen: Mari Refleksi?


Oleh Naftali Edoway *)
 
Sejumlah peneliti dari Universitas Yale Amerika Serikat dan para peneliti di Australia pada tahun 2006 lalu telah menyimpulkan bahwa di tanah Papua sedang terjadi GENOSIDA (pembantaian etnis Papua).  Aktornya adalah TNI dan POLRI. Yang dapat menjadi bukti adalah pada tahun 1969 penduduk asli Papua berjumlah  ± 8.000 jiwa dan PNG ± 6000 jiwa. Setelah rakyat Papua bersama NKRI (45 tahun) penduduk asli Papua  ± 1,5 juta jiwa sementara penduduk asli PNG berjumlah ± 7,5 juta jiwa. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa antara tahun 1961-1969 Indonesia membantai orang asli Papua Barat ±10.000 jiwa.

Pada tahun 2010 BPS Provinsi Papua Barat melaporkan bahwa jumlah orang Asli Papua di propinsi itu sebanyak 51,67% dari total 760.000 jumlah keseluruhan penduduk Papua Barat, (Baca: Kompas.com, selasa 11 Januari 2011).  Artinya jumlah penduduk Papua Barat antara Papua asli dan pendatang adalah fifty-fifty.

Tahun 2010,  Jim Elmslie seorang akademisi dari Australia dalam laporannya yang berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641. Dalam buku itu dilaporkan bahwa jumlah Orang Asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu, jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425.  Jadi, presentase pertumbuhan penduduk non Papua pertahunnya 10.82%.

Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah Orang Asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89% . Sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%.  Diakhir tahun 2010,  orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%.  Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%.  Jadi,  jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854  atau 100%.

Jim Elmslie memperkirakan, tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7,287, 463 atau 100%.  dengan pembagian: jumlah orang Asli Papua 2, 112,681 atau 28.99% dan jumlah non Papua 5,174,782 atau 71.01%. Itu mengindikasikan,  pertumbuhan jumlah orang asli Papua lambat dibandingkan non Papua. Apa  penyebabnya? Jim sendiri mengatakan bahwa selain masalah sosial dan pelanggaran HAM penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar (baca: http://sydney.edu.au/arts/peace conflict/docs/working papers/West Papua Demographics in 2010 Census.pdf).

Tingginya migrasi di Papua diakui Mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH di hadapan masa rakyat tahun 2010 lalu saat masa rakyat Papua demonstrasi mendukung SK 14 MRP. “ Kita akui bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 5% pertahunnya. Padahal normalnya 1%”, koarnya.

Tahun 2011, tepatnya pada 8 Januari 2011, Barnabas Suebu, SH Gubernur Propinsi Papua dalam sambutannya saat melantik Bupati Merauke kembali mengatakan bahwa orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, khususnya lewat migrasi masuk (baca: Papua Pos, 11 Januari 2011).

Terakhir, Kepala Bapeda Propinsi Papua, Alex Rumaseb dalam bedah buku, karya Anthonius Ayorbaba dengan judul The Papua Way: Dinamika Konflik Laten dan Refleksi 10 Tahun Otsus Papua mengatakan, angka  migrasi ke Papua pertahun sebesar 6,39 persen. Sehingga dari data sensus penduduk sebenarnya orang Papua ada 30 persen dan pendatang ada 70 persen (baca: Tabloidjubi.com, 12 Januari 2012 ).
***

Ketika membaca laporan-laporan di atas, kira-kira apa yang terlintas di hati dan pikiran kita? Sebagai orang asli Papua dan yang peduli dengan situasi orang Papua pasti kita tidak menerima keadaan ini.  Luka dalam batin pasti akan semakin tergores. Makian, benci dan marah pasti terlontar dari diri kita. Tapi, apakah kita mau terus berada dalam situasi ini? Apakah kita mau melihat diri kita terus berkurang dan habis di tanah leluhur kita? Apakah kita mau biarkan kisah orang Aborigin di Australia dan kisah orang Indian di Amerika pada masa lampau terulang kembali di tanah Papua?

Sepertinya, misi kebijakan Otsus untuk menjadikan orang Papua menjadi tuan di atas negerinya terbalik. Bukannya menjadi tuan di negerinya tetapi menjadi hamba, miskin dan musnah. Bukannya mengatur dan memerintah tetapi diatur dan diperintah. Bukannya menjadi produsen, distributor dan konsumen sekaligus tetapi kenyataannya hanya konsumen setia.

Kemudian, tanah yang diyakini sebagai mama pun beralih tangan dan kita menjadi anak durhaka. Mimpi Papua Baru yang kita inginkan terlihat semakin kabur. Apalagi saat ini pemerintah Pusat menghadirkan UP4B dengan maksud mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat. Ditambah lagi permintaan pemekaran kabupaten kota dan provinsi yang semakin ramai. Lalu,  pertanyaan saya adalah mengapa ini terjadi dan siapa yang menciptakan situasi ini?

Dari berbagai laporan di atas faktor utama terjadinya penurunan jumlah orang asli Papua adalah migrasi. Namun, dalam refleksi, kita menemukan dua faktor utama yang membuat keadaan ini semakin parah.
Pertama, faktor luar, yakni (a) sejarah integrasi yang direkayasa pemerintah NKRI yang disusul dengan berbagai pelanggaran HAM; (b) kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat dalam segala bidang yang membingungkan, yang tidak berpihak kepada Papua; (c) sikap apatis negara terhadap semua situasi di Papua, dan lain-lain.

Kedua, faktor dari dalam, yakni (a) sikap orang Papua terutama para pemimpin yang selalu mau didikte dan menerima dengan mentah-mentah semua keinginan pusat; (b) pemerintah daerah yang kurang bertaring dalam membuat kebijakan memproteksi orang asli Papua; (c) orang Papua yang selalu berpikir utopis (suka mimpi dan berkhayal); (d) orang Papua yang selalu merasa puas dengan apa yang ada sekarang, mengejar kepuasaan hari ini tanpa berpikir ke depan, dan lain-lain.

Itu artinya,  terjadinya penurunan jumlah orang asli Papua  hingga 30%  pada tahun 2012 ini, penyebabnya bukan hanya pemerintah pusat tapi juga oleh orang Papua sendiri.  Di dalam kasus penderitaan kita di Papua, kedua faktor itu saling bekerja sama. Bahkan faktor dari dalam, Papua sendiri menjadi “jembatan emas” bagi pihak luar untuk melemparkan Papua ke dalam jurang permasalahan. Dengan perkataan lain, orang Papua sendiri, menjadi (faktor dari dalam) menjadi Tim Sukses untuk menghancurkan dirinya sendiri dan masa depannya. 

Kalau begitu, bagaimana kita keluar dari penderitaan ini?  Papua merdeka? Barangkali itu terlalu jauh tetapi harus terus diperjuangkan. Marilah kita melihat berita terakhir di atas sebagai kairos Tuhan atau jalan dari Tuhan untuk mengubah situasi kita. Mungkin kita harus mulai dengan merefleksi diri kita dan organisasi kita. Sejauh mana saya telah berfungsi baik bagi rakyat saya dan atau sejauh mana organisasi yang saya pimpin atau di dalamnya saya menjadi anggota telah paling sedikit membawa kesembuhan bagi luka batin rakyat selama ini? Lalu,  kita mulai berdialog, berdialog dengan diri kita, dengan organisasi yang lain yang setujuan, dengan prinsip “one people one soul”. Berdialog dengan prinsip kasih dan keprihatinan. Katakan, STOP dengan semua kebiasaan buruk kita yang ujungnya menghancurkan diri, keluarga, dan komunitas kita. Dan,  kita berkomitmen bersama bekerja keras untuk mengubah 30% itu menjadi 100%.  Mari berjuang!!

*) Pemerhati Masalah Sosial Papua, Tinggal di Jayapura.
Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.
Share this post :