Situs ini adalah situs online aktivis suara papua merdeka yang dikembangkan oleh Biro Media dan Propaganda Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang-Surabaya. Anda diperkenankan untuk BERBAGI (menyalin dan menyebarluaskan kembali materi ini dalam bentuk atau format apapun) dan ADAPTASI (menggubah, mengubah, dan membuat turunan dari materi ini untuk kepentingan apapun, termasuk kepentingan komersial). Informasi dalam situs ini masih harus dikonfirmasi kepada pengelola situs di melanesiapost@gmail.com (Activis Independence of Papua/Pengembang Situs)
Tampilkan postingan dengan label Siswa Bicara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Siswa Bicara. Tampilkan semua postingan
Siswa Bicara: Kami dari Anak anak sekolah DKI Yahukimo 100% Mendukung (KNPB) Untuk Perjuangan Tanah Kami
Label:
KNPPB,
Siswa Bicara,
Siswa Papua,
suara siswa papua
Alexander Gobai: Pengaruh Kebudayaan Luar Terhadap Generasi Papua

Pengaruh Kebudayaan Luar Terhadap Generasi Papua
Oleh Alexander Gobai*)Semakin generasi muda Papua mengenal kebudayaan luar, semakin pula tidak mengenal dengan kebudayaan aslinya sendiri, kebudayaan Papua. Kebudayaan luar telah berada di atas tanah Papua selama masa penjajahan sampai pada saat ini. Kebudayaan luar boleh dikatakan kebudayaan modern. Kenyataan ini, tidak bisa di pungkiri atau tidak bisa dibatasi oleh orang lain.
Kebudayaan luar ini telah berada di Papua dan pengaruhnya sangat kuat terhadapa generasi Papua. Contoh, kita bisa melihat dalam keluarga kita. Ada yang tidak mengenal dengan bahasa aslinya (Adatnya) sendiri. Ada pula yang terpengaruh dengan cara memakai pakaian budaya luar. Kondisi ini sangat disayangkan sekali dengan kebudayaan Papua.
Kebudayaan merupakan suatu kebiasaan yang telah tercantum dalam kehidupan. Dengan demikian, kebudayaan yang kita miliki telah menjadi kodrat dan telah menjadi darah daging dalam hidup kita. Oleh karena itu, orang lain tidak bisa mengganggu gugat dengan begitu saja terhadap budaya kita yakni budaya Papua.
Kebudayaan asli Papua telah dan mulai hilang satu demi satu. Problemnya ialah mengapa generasi Papua terlalu cepat mendapatkan pengaruh dari luar khususnya kebudayaan luar. Ada beberapa faktor. Faktor keluarga, faktor pendidikan di sekolah dan juga sebagian dari anak-anak sama sekali tidak mau tahu dengan kebudayaannya sendiri. Mereka lebih lebih utamankan budaya luar. Bahasa misalnya, anak-anak muda lebih pentingkan Bahasa Indonesia dengan logat “gue dan elo”.
Salah cara untuk mengatasi hal ini ialah pertama orang tua. Maka, peran orang tua harus mengajari kebudayaan kepada anak-anak. Jangan orang tua membiarkan anak-anak begitu saja. Kedua, adalah sekolah di Papua harus memberikan ruang untuk belajar budaya Papua. Ketiga, anak-anak Papua harus sadar diri bahwa kita adalah orang Papua dan memunyai budaya sendiri. Salam budaya Papua!
*) Tamat dari SMA Adhi Luhur Nabire-Papua tahun 2012
Masalah Papua: Dengar Suara Hati Orang Papua

Masalah Papua: Dengar Suara Hati Orang Papua
Oleh Topilus B. Tebai*)
Rentetan besar kasus kasus kekerasan yang terjadi di bumi Papua
semakin menjadi-jadi. SBY dalam beberapa kesempatan lalu telah
menyatakan pernyataan yang sangat indah, dengan mengatakan akan
mengedepankan pendekatan kesejahteraan, tetapi kenyataannya tidak
seindah kata-kata itu. Militerlah yang terus didatangkan.
“Kami berikan jempol untuk wacana dan pernyataan yang bagus. Tapi
kita berhadapan dengan realita yang berbeda. Setiap hari ada penembakan
yang tidak pernah ditangkap. Ada yang mengatakan, (pelaku) ini OPM. Dari
mana OPM? Menurut kami, kekerasan dan perlakuan yang tidak adil sudah
lama terjadi dan belum diselesaikan,” kata Pdt Benny Giyai. (Baca:
Kompas 3 Juli 2012).
Sementara itu, kekerasan oleh TNI dan OTK di Papua terus berlanjut.
Penembakan terhadap peserta kongres Papua III oleh militer Indonesia,
berlanjut lagi dengan ditembaknya Mako Tabuni, yang adalah Aktivis KNPB,
yang meninggal dengan sangat menyedihkan, karena 6 buah peluru
bersarang di tubuhnya, dari jarak yang dekat. Berlanjut lagi dengan
penyisiran dan semakin banyaknya militer yang datang ke Papua, membuat
masyarakat tambah resah. Ingatan penderitaan dan perlakuan yang tidak
adil, terutama tentang ingatan akan pelanggaran HAM yang terjadi di
Papua, hanya membuahkan trauma yang berkepanjangan bagi bangsa Papua
(Baca: Voice Of Amerika. Kunjungi juga: http://www.voaindonesia.com/content/saksi-dan-korban-pelanggaran-ham-di-papua-alami-trauma-panjang/1349207.html).
seorang Warga Negara Jerman, Dietman Pieper, ditembak saat bersantai
di pondok wisata Port Numbay, Distrik Japut, Kelurahan Tanjung Ria,
Jayapura 29 Mei lalu. Korban mengalami luka dan dirawat di RS di
Singapura setelah sebelumnya dirawat di RSUD Jayapura.
Kemudian, seorang remaja bernama Gilbert Febrian Madika (16) menjadi
korban penembakan orang tidak dikenal di kawasan Skyline Jl Raya
Jayapura-Abepura (4/6/12). Kejadian penembakan pun kembali terjadi esok
harinya, Selasa 5 Juni. Sekelompok orang tidak dikenal melakukan
penembakan terhadap dua orang warga sipil, Iqbal Rival dan Hardi
Javanto. Peristiwa tersebut terjadi di Jayapura, atau tepatnya Jalan
Raya Jayapura menuju Abepura. Pada hari yang sama, anggota TNI Pratu
Frangki Kune (25) ditemukan terkapar bersama dua warga sipil yang
ditembak Orang Dikenal (OTK).
Para korban penembakan tersebut harus menjalani perawatan intensif di
RumahSakit. Setelah itu, Rabu 6 Juni sekitar pukul 21.10 WIT penembakan
kembali terjadi di Jalan Baru belakang Kantor Walikota Jayapura, Arwan
Apuan seorang PNS Perhubungan Kodam XVII Cendrawasih harus dirawat
intensif setelah peluru mengenai leher kiri tembus rahang
kirinya.Kemudian baru-baru ini seorang satpam pertokoan Saga Mall
Abepura yang nyambi menjadi tukang ojek menjadi korban penembakan OTK di
halaman FKIP Universitas Cenderawasih, korban Tri Surono (35) tewas di
lokasi kejadian dengan luka tembak di leher bagian belakang dan
punggung. (Kunjungi:http://news.okezone.com/read/2012/06/20/337/650158/ penembakan-di-papua-agar-anggaran-polri-naik).
Sementara akses informasi bagi orang luar dibatasi untuk datang ke
Papua. Seperti pelarangan wartawan dari luar Papua, khususnya dari luar
negeri dibatasi untuk mengambil gambar, atau informasi, terkait dengan
rentetan peristiwa yang selama ini terjadi di Papua. Hal ini sedikit
terkesan dan dapat saja ditafsirkan pemerintah dan TNI melindungi dan
menutupi apa yang sebenarnya terjadi di Papua, agar tidak diketahui
dunia luar.
Banyak pihak melilai, pemerintah RI tidak memerhatikan, tetapi
cenderung menganaktirikan bangsa Papua di tanah Papua. Papua membutuhkan
kurang lebih 5.000an guru atau tenaga pengajar, tetapi malah TNI yang
terus didroping. (kunjungi: http://majalahselangkah.com/papua-kekurangan-5000-guru-tni-terus-didroping/).
Kualitas pendidikan dan layanan kesehatan jauh dari yang semestinya.
Semua ini membuat bangsa Papua mengalami degradasi kepercayaan terhadap
pemerintah RI.
Maka komentar ketidakpuasan pun datang dari berbagai pihak. “Tanah
Papua Damai hanya slogan. Bagaimana bisa damai, hak politik masyarakat
Papua dipasung, mereka lapar, kesehatan mereka buruk, sekolah mereka
tidak lanjut. Omong kosong kesepakatan itu. Itu tidak ada realisasinya,”
ujar Frans Ansanay, seorang pengamat Papua , seperti yang dilangsir
media Okezone, Kamis (21/6/2012.
Sementara itu, Diaz Gwijangge, anggota Kaukus Parlemen Papua(KPP),
mengatakan dalam sebuah kesempatan; “Apa yang kamu (Indonesia) inginkan,
semua sudah kami berikan. Semua tambang sudah kamu ambil, emas kami
(Papua) kamu keruk. Apalagi yang kurang? Kenapa orang kami (Papua) kamu
habisi?” (Kunjungi: http://www.suarakarya-online/. com/news .html?id=305694).
Sementara itu, dengan lantang Jaringan Damai Papua dan masyarakat
Papua meminta Dialog bermartabat, antara Jakarta dan Papua, yang
dimediasi oleh pihak ketiga yang berposisi netral. Namun, pemerintah
tidak menggubrisnya. Hal ini membuat banyak pihak bertanya; Apa maunya
RI? Mengapa kekerasan dan militerisme layaknya DOM terus ada dan
dipelihara di Papua?
Apabila benar, pemerintah itu ada untuk melayani rakyat, dan
pemerintah adalah pelayan rakyat; dan benar juga bahwa segala kebijakan
itu harus berdasarkan keinginan dan kebutuhan, serta menjawab kebutuhan
masyarakat; juga karena pemerintahan pada dasarnya adalah dari rakyat,
pemerintah ada oleh rakyat, dan ada untuk rakyat, maka sudah sepantasnya
pemerintah RI mendenagrkan apa kata orang Papua terkait semua hal yang
terjadi di tanah Papua, dan tidak menutup mata terhadap semuanya. Jawb
apa keinginan mereka.
Bagaimana cara mendengar apa kata hati orang Papua? Apabila RI memang
ingin menjadi negara demokrasi sejati, maka dengarkanlah seruan dan
keinginan, serta suara hati orang Papua. Mari adakan dialog bermartabat,
yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, dengan perwakilan orang
Papua. Bila tidak, tidak ada salahnya jika diadakan Penentuan Pendapat
Rakyat, dengan beberapa opsi bagi orang Papua, antara lain; 1) Tetap
menjadi bagian NKRI, dengan Otonomi seluas luasya. Atau 2) Kemerdekaan
bagi orang Papua. Sisi historis dan culture mendukung hal ini. Karena
bukan sebuah omong kosong belaka, bahwa Papua juga adalah sebuah bangsa
yang berhak untuk menentukan bagaimana kehidupannya ke depan, terkait
eksistensinya sebagai sebuah bangsa, yang semartabat dengan
bangsa-bangsa lain di jagad ini.
*) Penulis adalah calon Mahasiswa Baru, tamat SMA tahun 2012
Label:
Artikel,
Siswa,
Siswa Bicara
Togel Membunuh Generasi Papua

Togel Membunuh Generasi Papua
Oleh Alexander Gobai*)
Ancaman berat yang dihadapi oleh masyarakat Papua saat ini adalah
Togel alias Toto Gelap. Kehidupan masyarakat Papua sangat sensitif
dengan beradaan Togel. Dengan adanya Togel, kehidupan masyarakat Papua
tidak mengenal dan mengingat dengan waktu. Dan, kehidupan mereka telah
tergantung dengan Togel.
Di Kabupaten Nabire banyak terdapat Pos-pos Togel, terutama di jalan
Auri tepat di SMA YAPIS dalam. Salah satu tempat ini menjadi pintu utama
untuk melakukan Judi Togel. Kadang-kadang keberadaan mereka (bandar
Togel) tak mengenal dan mengetahui pengaturan waktu.
Dengan adanya Togel ini, tanpa sadar masyarakat Papua sudah
terpengaruh dengan Togel. Memang benar bahwa masyarakat Papua telah
terjerumus ke dalam pengaruh Togel. Togel sendiri merupakan suatu
permainan yang dilakukan antar individu dengan individu. Artinya bahwa
karena dengan adanya Togel mereka akan melakukan kegiatan interaksi
antara individu dimana yang satu pihak membeli kupan kepada penjual
kupan.
Memang baik untuk melakukan kegiatan Togel. Dengan hal itu, kita bisa
mendapatkan uang dari permainan Togel dan juga kita bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup kita. Namun, di balik itu ada pengaruh besar
yang membuat kehidupan masyarakat Papua menjadi penyakitan. Artinya
bahwa mulai dari pagi sampai malam dan dilanjutkan lagi dari malam
sampai pagi hitung togel. Hal ini bisa mengakibatkan sakit. Tidak hanya
itu, masyarakat juga menjadi malas kerja. Masyarakat menjadi tergantung
pada Togel.
Togel telah berjalan dari tahun 1999-an sampai saat ini. Hal ini
sangat disayangkan sekali ketika masyarakat Papua telah masuk ke dalam
situasi seperti ini. Yang mejadi pertanyaan ialah, mengapa para siswa/i
baik SD, SMP, SMA, mahasiswa serta masyarakat pun ikut turut ke dalam
situasi ini. Yang paling disayangkan lagi ialah siswa SD dan SMP ikut
terut ke dalam pengaruh Togel. Apa gunanya jika kita mengikuti arus
buruk ini. Hal ini merupakan perubahan buruk yang ada saat ini.
Jangan dikasih biarkan generasi-generasi penerus bangsa Papua
mengikuti kehidupan yang buruk ini. Ketika kita membiarkan mereka dengan
begitu saja maka mereka akan lebih hancur lagi untuk melakukan
permainan Togel ini secara terus-menerus. Dengan demkian, para orang tua
harus memerhatikan hal ini. Jangan biarkan karena hal ini akan
berdampak kepada setiap individu.
Ketika orang tua sedang menghitung Togel dan anaknya pun juga
mengikuti bapanya maka lengkaplah sudah. Hal ini yang harus diperhatikan
oleh kedua orang tua. Jangan membiarkan anaknya untuk menghitung Togel,
namun orang harus tegas untuk menyingkirkan dari kehidupan Togel.
Togel telah menjadi kebudayan baru. Sebab, meskipun Togel bisa
membantu dan mengurangi keberatan dari kehidupan keluarga. Namun, hal
ini merusak kehidapan selanjutnya. Togel telah membuat kehidupan
masyarakat menjadi berubah yang duluhnya bekerja keras di kebun namun
karena adanya Togel mereka menjadi malas. Hal ini sangat disayangkan
sekali.
Oleh karena itu, salah satu cara untuk menghilangkan permainan Togel
ini adalah pihak Aparat keamanan harus dengan tegas untuk menutup
permainan buruk ini. Karena jika dibiarkan secara terus-menerus maka
semua masyarakat tidak akan mengenal yang namanya “Bekerja Keras”.
*) Alumnus SMA Adhi Luhur Nabire, Papua
Label:
Artikel,
Generasi Papua,
Siswa,
Siswa Bicara,
Togel
Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)

Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)
Oleh Topilus B. Tebai*)
Sejak Otonomi Khusus diberikan oleh Negara Indonesia kepada Papua,
melalui UU No.21 tahun 2001, pemekaran wilayah semakin banyak terjadi di
Papua. Ibarat koin yang memunyai dua sisi, pemekaran wilayah banyak
dikumandangkan pada era Otsus. Oleh para aktivis pemekaran, masalah
kesejahteran, keterbelakangan dan terisolirnya daerah yang dimekarkan,
disebut sebut sebagai beberapa dari segudang alasan mereka
memperjuangkan pemekaran wilayah. Kini, kita dikagetkan lagi dengan
adanya isu pemekaran, seperti yang dibahas pada Kamis 12 Juli oleh DPRP
di Gedung DPRP Jalan Samratulangi Jayapura. Lantas kita mestinya
bertanya, sejauh mana keberhasilan pemekaran wilayah-wilayah terdahulu,
sehingga kita menjadi sedemikian bernafsu untuk kembali memekarkan
wilayah?
Fenomena Sosial terhadap OAP di daerah Pemekaran
Bila kita melihat perkembangan manusia Papua di daerah pemekaran
dalam berbagai bidang, mestinya membuat para aktivis pemekaran dan para
pengambil kebijakan serta seluruh masyarakat Papua mengevaluasi diri.
Karena bila kita ingin Jujur, secara psikologis, Orang Asli Papua (OAP)
seperti dikagetkan dengan datangnya pemekaran. Mereka tidak tahu, harus
berbuat apa menyongsong pemekaran. Sementara, Pemekaran menjadi pintu
bagi ribuan imigran dari luar Papua yang datang dengan tujuannya
masing-masing yang hendak diperjuangkan dan dicapai.
Di wilayah pemekaran baru pada umumnya, inilah yang terjadi; Banyak
pemuda Papua jadi malas bekerja, ke kebun, dan hanya tinggal seharian di
depan kios kios milik pendatang. Banyak orang Papua menjadi pemabuk,
pemalang jalan, peminta-minta di jalanan dengan memalang jalan, karena
mereka tidak tahu harus berbuat apa di tengah desakan arus globalisasi
lewat pemekaran yang datang itu. Etos kerja menurun, Karena uang Otsus
memanjakan orang Papua, dan membuat orang Papua tidak berpikir lagi
tentang kebun dan ladang mereka, tetapi pikirannya lambat laun beralih
ke masalah uang Otsus dan pilkada.
Prostitusi, mabuk dan miras semakin berkembang di daerah pemekaran.
Judi Togel dan sejenisnya pun mulai membuka pos-posnya di daerah
pemekaran. Bahkan ironisnya, para penegak hukum seperti Polisilah yang
membuka Bandar togel, seperti di Dogiyai, yang menyebabkan tragedi
Dogiyai berdarah. Semuanya itu membuat manusia Papua mengalami degradasi
nilai-nilai hidup dan moral.
Ijasah palsu banyak beredar, membuat banyak orang Papua, juga pendatang yang berlomba-lomba untuk menjadi PNS dengan ijazah palsu.
Ijasah palsu banyak beredar, membuat banyak orang Papua, juga pendatang yang berlomba-lomba untuk menjadi PNS dengan ijazah palsu.
Dan banyak yang diangkat menjadi PNS. Tetapi bagaimana mereka bekerja
nanti, bila tidak memunyai latar belakang pendidikan yang memadai?
Lebih parah lagi, banyak orang yang mengikuti tes PNS lulus dan
ditugaskan menjadi guru. Bila mereka menjadi guru, maka bayangkan saja,
disana akan terjadi pembunuhan structural masa depan anak didik dan
bangsa Papua. Inilah bukti ketidaksiapan potensi SDM. Sungguh,
penggunaan ijazah palsu ini hanya akan menghambat pembangunan, dan
membuyarkan harapan akan masa depan Papua yang lebih baik.
Banyak juga guru yang berusaha untuk menduduki jabatan dalam
eksekutif atau legislative dalam pemerintahan daerah, meninggalkan tugas
mereka. Mereka ingin mencari penghidupan yang lebih baik, karena selama
itu nasib mereka tidak pernah secara serius diperhatikan, apalagi di
daerah pegunungan tengah Papua. Sementara itu, dengan dalih pemekaran
baru, maka tidak sedikit pihak juga yang berusaha untuk meluluskan para
anak didik dari SD sampai SMA, dengan memberi kunci jawaban (KJ).
Padahal, pemberian KJ adalah pembunuhan masa depan anak dan pembunuhan
masa depan bangsa. Sementara pemerintah dan masyarakat disibukkan oleh
Pilkada ayang berlarut-larut, karena berjalan tidak semestinya, sehingga
pembangunan terbengkalai. Kehidupan pemerintahan dan ekonomi tidak
terkontrol dan terkendali.
Sementara di tengah semua kecarut marutan kehidupan social, ekonomi,
dan pilitik di daerah pemekaran, para pendatang datang dan mengendalikan
kehidupan ekonomi, karena hampir semua para pendatang yang datang ke
wilayah pemekaran berprofesi sebagai pedagang. Harga pasar dikendalikan
oleh mereka. Dan akibatnya, harga melambung tinggi. Pemerintah daerah
pemekaran tidak dapat mengontrol semua itu, karena sering disibukkan
oleh masalah kepentingan dan kedudukan yang membuat suasana menjadi
makin kabur. Dan yang lebih parah, Orang Asli Papua hanya menjadi
perantara abadi, dan dikondisikan oleh system yang dibina itu untuk
terus menjadi perantara daripada uang otsus dan konsumen abadi dari
produk luar. Karena ketika mereka menerima uang, hanya dalam sekejab
uang itu akan berpindah tangan kepada abang-abang kita dari luar Papua.
Bukan sebuah kalimat basa basi, bila seorang kaka pernah berkata; “Uang
otsus itu membesarkan Pendatang dorang di Papua, dan tong orang Papua
jadi dong pu perantara uang Otsus abadi. Tong terima uang, lalu tong
kasi mereka lagi”.
Bila dilihat perbandingannya, setelah adanya pemekaran, malah dalam
hal ekonomi dan populasi penduduk di Papua, eksistensi manusia Papua
yang harusnya terlihat, sebagai pemilik pulau surga ini tidak terlihat,
malah pemekaran seperti mendorong secara tidak langsung, proses mati dan
tidak terlihatnya eksistensi manusia Papua, khususnya dalam hal
polulasi, dan ekonomi.
Ketidaksiapan OAP Menerima Pemekaran
Ketidaksiapan OAP Menerima Pemekaran
Selain karena ketidak siapan secara psikologis, dan mental, paradigma
berpikir masyarakat belum dibentuk sedemikian rupa, melalui sosialisasi
dan pelatihan sebelum pemekaran, agar mampu menerima pemekaran, dan
menjadikan pemekaran menjadi batu loncatan untuk maju berkembang. Selain
itu, belum memadainya potensi sumber daya Manusia yang akan menopang
pembangunan di daerah pemekaran juga menjadi salah satu problem yang
diabaikan para pengambil kebijakan. Dan dampak dari semua itu,
pembangunan dan eksistensi manusia Papua tidak terlihat di wilayah
pemekaran.
Semua ketidaksiapan ini, pada akhirnya hanya akan membuat Orang Asli
Papua lambat laun akan semakin tersingkir dari percaturan ekonomi pasar
karena kalah bersaing, tidak memunyai modal yang cukup, juga kurang
adanya perhatian dari pemerintah, membuat mereka cepat menggulung tikar
dan mundur. Apa dampaknya? Pasar dimonopoli dan dikendalikan oleh
pedagang dari luar Papua. Aspek kehidupan lain pun demikian.
Orang Asli Papua akan semakin termarginalkan, dan akibatnya muncullah
kecemburuan social. Dan kita harus tahu, bahwa hal ini pada waktunya
nanti akan menjadi potensi konflik harisontal. Mengapa semuanya jadi
begini? Jawabannya jelas; Otsus bukan harapan OAP, Pemekaran dipaksakan
untuk kepentingan segelintir orang dan OAP dijadikan obyek kepentingan,
bukan subyek pembangunan dan pemekaran, OAP belum siap terima pemekaran,
dan ketidakberpihakan kebijakan dari para pengambil kebijakan kepada
OAP.
Upaya Penegakan Eksistensi OAP di Papua
Jelaslah bagi kita, bahwa pemekaran wilayah yang tidak disipkan
dengan betul dan baik, dan yang hanya sarat dengan kepentingan dan
ambisi semata, akan melahirkan pembangunan yang jauh dari adanya
eksistensi manusia Papua, yang harusnya terlihat dalam pembangunan di
tanah Papua. Hal itu terjadi di hampir semua wilayah di Papua.
Maka, selayaknyalah para pengambil kebijakan segera melakukan
upaya-upaya perbaikan atas fenomena di atas. Yang saya tawarkan disini,
mengakhiri tulisan ini adalah; Pertama, segera menata kembali roda
pemerintahan dan roda ekonomi di daerah masing-masing agar berjalan
baik, dan berpihak kepada Orang Asli Papua, karena untuk itulah Otsus
dan pemekaran hadir. Sekali lagi, pembangunan harus berpihak kepada
Orang Papua, dan disanalah eksistensi manusia Papua harus terlihat. Dan
harus ada peraturan daerah yang mengatur dan melindunginya.
Kedua, Segera menghentikan upaya-upaya pemekaran wilayah, baik
provinsi maupun kabupaten untuk sementara waktu. Mari kita sebagai orang
Papua, sesuai dengan profesi kita, kita siapkan dulu kualitas sumber
daya manusia yang memadai di tanah Papua. Mari kita siapkan dulu
masyarakat kita, dalam segala bidang, agar betul siap menerima
pemekaran. Agar masyarakat Papua siap, dan menjadikan pemekaran sebagai
batu loncatan untuk maju melangkah, dari segala keterbelakangan,
bukannya pemekaran membuat masyarakat menjadi tersingkir dan malah
termarginalkan, menjadi konsumen sejati seperti yang terjadi sementara
ini.
Kepada para aktivis pemekaran, mari kita melihat dan meninjau kembali
keinginan kita untuk mekarkan wilayah di Papua. Sudah cukup kita
dikotak-kotakkan. Sudah cukup Papua dikacaubalaukan dan dikaburkan oleh
banyaknya pemekaran dan permainan kepentingan disana, yang membuat orang
Papua menjadi semakin tidak jelas nasibnya. Mari Kita benahi dulu
masalah– masalah yang sementara ini terjadi dan menjadi keprihatinan
kita bersama di atas, barulah nanti, setelah OAP sebagai subjek
pemekaran dirasa cukup siap, baru kita berpikir tentang pemekaran.
Semoga Papua menjadi tanah Damai.
*) Penulis adalah Calon Mahasiswa Baru di Yogyakarta, Tamat SMA Tahun 2012
Label:
aksi siswa papua,
Artikel,
OAP,
Orang Asli Papua,
Siswa Bicara