Pemekaran dan Eksistensi Orang Asli Papua (OAP)
Oleh Topilus B. Tebai*)
Sejak Otonomi Khusus diberikan oleh Negara Indonesia kepada Papua,
melalui UU No.21 tahun 2001, pemekaran wilayah semakin banyak terjadi di
Papua. Ibarat koin yang memunyai dua sisi, pemekaran wilayah banyak
dikumandangkan pada era Otsus. Oleh para aktivis pemekaran, masalah
kesejahteran, keterbelakangan dan terisolirnya daerah yang dimekarkan,
disebut sebut sebagai beberapa dari segudang alasan mereka
memperjuangkan pemekaran wilayah. Kini, kita dikagetkan lagi dengan
adanya isu pemekaran, seperti yang dibahas pada Kamis 12 Juli oleh DPRP
di Gedung DPRP Jalan Samratulangi Jayapura. Lantas kita mestinya
bertanya, sejauh mana keberhasilan pemekaran wilayah-wilayah terdahulu,
sehingga kita menjadi sedemikian bernafsu untuk kembali memekarkan
wilayah?
Fenomena Sosial terhadap OAP di daerah Pemekaran
Bila kita melihat perkembangan manusia Papua di daerah pemekaran
dalam berbagai bidang, mestinya membuat para aktivis pemekaran dan para
pengambil kebijakan serta seluruh masyarakat Papua mengevaluasi diri.
Karena bila kita ingin Jujur, secara psikologis, Orang Asli Papua (OAP)
seperti dikagetkan dengan datangnya pemekaran. Mereka tidak tahu, harus
berbuat apa menyongsong pemekaran. Sementara, Pemekaran menjadi pintu
bagi ribuan imigran dari luar Papua yang datang dengan tujuannya
masing-masing yang hendak diperjuangkan dan dicapai.
Di wilayah pemekaran baru pada umumnya, inilah yang terjadi; Banyak
pemuda Papua jadi malas bekerja, ke kebun, dan hanya tinggal seharian di
depan kios kios milik pendatang. Banyak orang Papua menjadi pemabuk,
pemalang jalan, peminta-minta di jalanan dengan memalang jalan, karena
mereka tidak tahu harus berbuat apa di tengah desakan arus globalisasi
lewat pemekaran yang datang itu. Etos kerja menurun, Karena uang Otsus
memanjakan orang Papua, dan membuat orang Papua tidak berpikir lagi
tentang kebun dan ladang mereka, tetapi pikirannya lambat laun beralih
ke masalah uang Otsus dan pilkada.
Prostitusi, mabuk dan miras semakin berkembang di daerah pemekaran.
Judi Togel dan sejenisnya pun mulai membuka pos-posnya di daerah
pemekaran. Bahkan ironisnya, para penegak hukum seperti Polisilah yang
membuka Bandar togel, seperti di Dogiyai, yang menyebabkan tragedi
Dogiyai berdarah. Semuanya itu membuat manusia Papua mengalami degradasi
nilai-nilai hidup dan moral.
Ijasah palsu banyak beredar, membuat banyak orang Papua, juga pendatang yang berlomba-lomba untuk menjadi PNS dengan ijazah palsu.
Ijasah palsu banyak beredar, membuat banyak orang Papua, juga pendatang yang berlomba-lomba untuk menjadi PNS dengan ijazah palsu.
Dan banyak yang diangkat menjadi PNS. Tetapi bagaimana mereka bekerja
nanti, bila tidak memunyai latar belakang pendidikan yang memadai?
Lebih parah lagi, banyak orang yang mengikuti tes PNS lulus dan
ditugaskan menjadi guru. Bila mereka menjadi guru, maka bayangkan saja,
disana akan terjadi pembunuhan structural masa depan anak didik dan
bangsa Papua. Inilah bukti ketidaksiapan potensi SDM. Sungguh,
penggunaan ijazah palsu ini hanya akan menghambat pembangunan, dan
membuyarkan harapan akan masa depan Papua yang lebih baik.
Banyak juga guru yang berusaha untuk menduduki jabatan dalam
eksekutif atau legislative dalam pemerintahan daerah, meninggalkan tugas
mereka. Mereka ingin mencari penghidupan yang lebih baik, karena selama
itu nasib mereka tidak pernah secara serius diperhatikan, apalagi di
daerah pegunungan tengah Papua. Sementara itu, dengan dalih pemekaran
baru, maka tidak sedikit pihak juga yang berusaha untuk meluluskan para
anak didik dari SD sampai SMA, dengan memberi kunci jawaban (KJ).
Padahal, pemberian KJ adalah pembunuhan masa depan anak dan pembunuhan
masa depan bangsa. Sementara pemerintah dan masyarakat disibukkan oleh
Pilkada ayang berlarut-larut, karena berjalan tidak semestinya, sehingga
pembangunan terbengkalai. Kehidupan pemerintahan dan ekonomi tidak
terkontrol dan terkendali.
Sementara di tengah semua kecarut marutan kehidupan social, ekonomi,
dan pilitik di daerah pemekaran, para pendatang datang dan mengendalikan
kehidupan ekonomi, karena hampir semua para pendatang yang datang ke
wilayah pemekaran berprofesi sebagai pedagang. Harga pasar dikendalikan
oleh mereka. Dan akibatnya, harga melambung tinggi. Pemerintah daerah
pemekaran tidak dapat mengontrol semua itu, karena sering disibukkan
oleh masalah kepentingan dan kedudukan yang membuat suasana menjadi
makin kabur. Dan yang lebih parah, Orang Asli Papua hanya menjadi
perantara abadi, dan dikondisikan oleh system yang dibina itu untuk
terus menjadi perantara daripada uang otsus dan konsumen abadi dari
produk luar. Karena ketika mereka menerima uang, hanya dalam sekejab
uang itu akan berpindah tangan kepada abang-abang kita dari luar Papua.
Bukan sebuah kalimat basa basi, bila seorang kaka pernah berkata; “Uang
otsus itu membesarkan Pendatang dorang di Papua, dan tong orang Papua
jadi dong pu perantara uang Otsus abadi. Tong terima uang, lalu tong
kasi mereka lagi”.
Bila dilihat perbandingannya, setelah adanya pemekaran, malah dalam
hal ekonomi dan populasi penduduk di Papua, eksistensi manusia Papua
yang harusnya terlihat, sebagai pemilik pulau surga ini tidak terlihat,
malah pemekaran seperti mendorong secara tidak langsung, proses mati dan
tidak terlihatnya eksistensi manusia Papua, khususnya dalam hal
polulasi, dan ekonomi.
Ketidaksiapan OAP Menerima Pemekaran
Ketidaksiapan OAP Menerima Pemekaran
Selain karena ketidak siapan secara psikologis, dan mental, paradigma
berpikir masyarakat belum dibentuk sedemikian rupa, melalui sosialisasi
dan pelatihan sebelum pemekaran, agar mampu menerima pemekaran, dan
menjadikan pemekaran menjadi batu loncatan untuk maju berkembang. Selain
itu, belum memadainya potensi sumber daya Manusia yang akan menopang
pembangunan di daerah pemekaran juga menjadi salah satu problem yang
diabaikan para pengambil kebijakan. Dan dampak dari semua itu,
pembangunan dan eksistensi manusia Papua tidak terlihat di wilayah
pemekaran.
Semua ketidaksiapan ini, pada akhirnya hanya akan membuat Orang Asli
Papua lambat laun akan semakin tersingkir dari percaturan ekonomi pasar
karena kalah bersaing, tidak memunyai modal yang cukup, juga kurang
adanya perhatian dari pemerintah, membuat mereka cepat menggulung tikar
dan mundur. Apa dampaknya? Pasar dimonopoli dan dikendalikan oleh
pedagang dari luar Papua. Aspek kehidupan lain pun demikian.
Orang Asli Papua akan semakin termarginalkan, dan akibatnya muncullah
kecemburuan social. Dan kita harus tahu, bahwa hal ini pada waktunya
nanti akan menjadi potensi konflik harisontal. Mengapa semuanya jadi
begini? Jawabannya jelas; Otsus bukan harapan OAP, Pemekaran dipaksakan
untuk kepentingan segelintir orang dan OAP dijadikan obyek kepentingan,
bukan subyek pembangunan dan pemekaran, OAP belum siap terima pemekaran,
dan ketidakberpihakan kebijakan dari para pengambil kebijakan kepada
OAP.
Upaya Penegakan Eksistensi OAP di Papua
Jelaslah bagi kita, bahwa pemekaran wilayah yang tidak disipkan
dengan betul dan baik, dan yang hanya sarat dengan kepentingan dan
ambisi semata, akan melahirkan pembangunan yang jauh dari adanya
eksistensi manusia Papua, yang harusnya terlihat dalam pembangunan di
tanah Papua. Hal itu terjadi di hampir semua wilayah di Papua.
Maka, selayaknyalah para pengambil kebijakan segera melakukan
upaya-upaya perbaikan atas fenomena di atas. Yang saya tawarkan disini,
mengakhiri tulisan ini adalah; Pertama, segera menata kembali roda
pemerintahan dan roda ekonomi di daerah masing-masing agar berjalan
baik, dan berpihak kepada Orang Asli Papua, karena untuk itulah Otsus
dan pemekaran hadir. Sekali lagi, pembangunan harus berpihak kepada
Orang Papua, dan disanalah eksistensi manusia Papua harus terlihat. Dan
harus ada peraturan daerah yang mengatur dan melindunginya.
Kedua, Segera menghentikan upaya-upaya pemekaran wilayah, baik
provinsi maupun kabupaten untuk sementara waktu. Mari kita sebagai orang
Papua, sesuai dengan profesi kita, kita siapkan dulu kualitas sumber
daya manusia yang memadai di tanah Papua. Mari kita siapkan dulu
masyarakat kita, dalam segala bidang, agar betul siap menerima
pemekaran. Agar masyarakat Papua siap, dan menjadikan pemekaran sebagai
batu loncatan untuk maju melangkah, dari segala keterbelakangan,
bukannya pemekaran membuat masyarakat menjadi tersingkir dan malah
termarginalkan, menjadi konsumen sejati seperti yang terjadi sementara
ini.
Kepada para aktivis pemekaran, mari kita melihat dan meninjau kembali
keinginan kita untuk mekarkan wilayah di Papua. Sudah cukup kita
dikotak-kotakkan. Sudah cukup Papua dikacaubalaukan dan dikaburkan oleh
banyaknya pemekaran dan permainan kepentingan disana, yang membuat orang
Papua menjadi semakin tidak jelas nasibnya. Mari Kita benahi dulu
masalah– masalah yang sementara ini terjadi dan menjadi keprihatinan
kita bersama di atas, barulah nanti, setelah OAP sebagai subjek
pemekaran dirasa cukup siap, baru kita berpikir tentang pemekaran.
Semoga Papua menjadi tanah Damai.
*) Penulis adalah Calon Mahasiswa Baru di Yogyakarta, Tamat SMA Tahun 2012