photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » , , , , » Memoria Pasionis di Papua: Sebuah Perspektif Filsafat ke-Tuhan-an

Memoria Pasionis di Papua: Sebuah Perspektif Filsafat ke-Tuhan-an

 photo vanuatu_zpsed2b2tvn.jpg

Memoria Pasionis di Papua: Sebuah Perspektif Filsafat ke-Tuhan-an

Oleh Ernest Pugiye*)

Sejak Papua dianeksasi dalam Indonesia melalui Trikora, rakyat Papua tidak pernah hidup dalam suasana damai. Trikora menjadi awal penderitaan orang Papua. Rakya Papua dari ke hari hidup dalam dunia kegelapan, penderitaan dan kemelaratan. Ingatan akan penderitaan (memoria pasionis) ini memacu rakyat Papua untuk melahirkan perlawanan. Ada banyak aksi yang dilakukan orang Papua untuk menarik perhatian Indonesia dan Internasional.

Ada dua pertanyaan mendasar. Mengapa rakyat Papua masih hidup tidak damai dan rasa asing dari negara Indonesia? Bagaimana membangun budaya damai di Papua?

Paradigma Negatif

Pemerintah Indonesia memandang rakyat Papua sebagai separatis, makar dan manusia tidak beradap serta manusia kelas nol. Pemerintah Indonesia dalam membangun rakyat tidak melihat sebagai warga komunitas Indonesia. Padahal rakyat Papua telah dipersatukan oleh Indonesia sendiri melalui Pepera 1961. “Pancasila” pada sila ketiga telah menegaskan juga “Persatuan Indonesia”. Rakyat Papua telah mengakui diri sebagai warga Indonesia dan kini sudah berumur 50 tahun.

Keberadaan Rakyat Papua bersama NKRI selama 50 tahun merupakan hal amat penting dan lama. Selama 50 tahun itu, rakyat Papua menilai kemanusiaan dan manusia Papua ini tidak dihargai oleh Indonesia. Lebih banyak adalah paradigma negatif. Negara justru melahirkan berbagai kebijakan yang menindas. Program penindasan yang paling baru adalah UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat).
Harus diakui, Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Akibatnya nilai kesatuaan sebagai warga Indonesia telah merosot. Rasa tidak senang, ketidakpercayaan dan saling mencugai di antara rakyat Papua dan Indonesia menjadi sebuah budaya sekular yang tak mudah untuk dituntaskan.

Pembungkaman Nilai Kemanusian

Hampir semua orang Papua tahu bahwa nilai kemanusiaan mereka dibumkam. Sepanjang sejarahnya, rakyat Papua tidak pernah dihargai sebagai manusia sejati, seperti sesama lain. Keluhuran dirinya sebagai manusia yang secitra dengan Allah tidak pernah dihormati dan diperhitungkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Hal itu terbukti dengan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi sejak Pepera 1 November 1961, Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih III (1985) sampai kini masih diperaktekkan oleh TNI dan Polri atas nama negara (baca: Memoria Pasionis).

Hingga saat ini, berbagai tindakan kejahatan kemanusia yang paling berat, kompleks dan memakan proses yang amat panjang untuk dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh. Ketika terjadi masalah kemanusiaan, maka lahir pula masalah kemanusiaan baru yang lain. Dan peristiwa tragis semacam ini menjadi kegiatan rutin di kalangan rakyat Papua. Masalahnya menjadi berbelit-belit di antara rakyat Papua dan Indonesia. Nilai kemanusiaan itu menjadi terpenjara dalam berbagai kompleksitas masalah baik masalah yang terjadi secara sadar atau tidak sadar, baik yang horizontal maupun vertical di Papua.
Berbagai pelanggaran HAM secara fisik dan psikis di Papua belum banyak terpublikasi. Pers lokal dan nasional seakan tutup mata. Negara melarang pers luar asing masuk ke Papua. persoalan semakin rumit dan tertutup.

Pemekaran Wilayah dan Manusia

Otonomi Khusus tidak bicara soal pemekaran. Namun, selama 10 tahun Otsus, tanah Papua dibagi menjadi dua provinsi dan menjadi 38 kabupaten. Pemekaran merupakan lahan konflik dan kebunnya para migrasi. Daerah dimekar, manusia dikotak-kotak. Semua aspk dikuasai kaum pendatang tanpa proteksi secara resmi dari pemerintah.

Seluruh eksistensi orang Papua sebagai satu ras (Melanesia) terluluhlantakan. Tubuh dan jiwa tercabit-cabit ulah pemekaran. Keretakan keluarga tumbuh subur. Kondisi ini semakin membuat orang tidak memiliki kesadaran sebagai warga Indonesia. Nilai-nilai Pancasilais yang merupakan indentitas negara tidak dihayati di Papua. Rakyat Papua mengalami kehilangan harapan dan kepercayaan. Karena, jiwa telah dimekarkan dari tubuh.  Semua orang tampak tidak memunyai rasa prikemanusiaan terhadap diri dan sesamanya sebagai warga komunitas Indonesia. Pandangan Genosida bukan saja pembunuhan fisik menjadi jelas dan nyata.

Filisofi “Harga Mati”

Filosofi yang dibangun oleh Indonesia dan pejuang Pembebasan Papua Barat adalah “NKRI Harga Mati” dan “Papua Harga Mati”. Setiap pihak bersikukuh dan mengklaim pihaknya di posisi paling benar. Ungkapan yang menggerogoti keluhuran martabat manusia: “Koo….Epenkah?” menjadi sebuah jiwa di antara setiap mereka dalam pengalaman hidup praksis.

Mereka dua adalah manusia penting, “Epen”. Yang tidak penting adalah konsepnya yang keliru yakni konsep “Harga Mati”. Konsepnya dinilai keliru dan tidak penting karena ada potensi yang mengamcam kehidupan. Ancaman kehidupan di antara kedua pihak yang bertikai selama ini yakni rakyat Papua dan pemerintah Indonesia justru terjadi karena didorong oleh filosofi ‘Harga Mati”.

Dalam konteks hidup semacam ini perlu dicarikan alternatif, jalan tengah. Lebih jauh, kedua pihak mesti bebas dari dirinya sendiri, filosofi “Harga Mati” dan ketertutupan hatinya. Mereka mesti menstransensikan diri dari dunia imitasi yang paling massif dan tidak hidup ini.

Merajut Kebebasan dan Berdialog Damai

Merajut kebebasan dan dialog damai merupakan sebentuk upaya pemulihan Papua sebagai tanah damai. Hal ini sangat penting bahkan menjadi sebuah unsur yang paling ensensial karena tanpa pembebasan dan berdialog damai mereka akan dibuai dan dimakan oleh kedangkalan konsep, filosofi dan kegelapan hidupnya masing-masing.

Upaya kebebasan dan dialog damai menjadi sarana atau mendia untuk menganalisa, mengindetifikasi dan mencari solusi atas semua konsep yang keliru dan berbagai konflik kemanusia lain yang terjadi secara konkret di Papua. Saya percaya, mereka dapat memepertanggungjawabkan semua realitas penderitaan manusia Papua berdasarkan argumentasi-argumentasi yang mengutamakan kebaikan bersama (bonum comune) sambil mencari solusi yang memuaskan antara kedua bela pihak yang bertikai (rakyat Papua dan pemerintah Indonesia).

Nilai fundamental dan universal seperti keadilan, kedamaian, kebebasan dan cinta kasih dan mengangkat martabat manusia menjadi inspirasi utama dalam mengembangkan karya kebebasan dan dialog damai dengan melibatkan pemerintah luar negeri sebagai pihak netral. Rakyat Papua dan pemerintah Indonesia mesti menolak pihak-pihak yang mau menuntaskan masalah Papua dengan kekerasan. Langkah ini adalah jalan menuju Papua tanah damai yang sesungguhnya.

*)  Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura, Jayapura Papua
Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.
Share this post :