Masalah Papua: Dengar Suara Hati Orang Papua
Oleh Topilus B. Tebai*)
Rentetan besar kasus kasus kekerasan yang terjadi di bumi Papua
semakin menjadi-jadi. SBY dalam beberapa kesempatan lalu telah
menyatakan pernyataan yang sangat indah, dengan mengatakan akan
mengedepankan pendekatan kesejahteraan, tetapi kenyataannya tidak
seindah kata-kata itu. Militerlah yang terus didatangkan.
“Kami berikan jempol untuk wacana dan pernyataan yang bagus. Tapi
kita berhadapan dengan realita yang berbeda. Setiap hari ada penembakan
yang tidak pernah ditangkap. Ada yang mengatakan, (pelaku) ini OPM. Dari
mana OPM? Menurut kami, kekerasan dan perlakuan yang tidak adil sudah
lama terjadi dan belum diselesaikan,” kata Pdt Benny Giyai. (Baca:
Kompas 3 Juli 2012).
Sementara itu, kekerasan oleh TNI dan OTK di Papua terus berlanjut.
Penembakan terhadap peserta kongres Papua III oleh militer Indonesia,
berlanjut lagi dengan ditembaknya Mako Tabuni, yang adalah Aktivis KNPB,
yang meninggal dengan sangat menyedihkan, karena 6 buah peluru
bersarang di tubuhnya, dari jarak yang dekat. Berlanjut lagi dengan
penyisiran dan semakin banyaknya militer yang datang ke Papua, membuat
masyarakat tambah resah. Ingatan penderitaan dan perlakuan yang tidak
adil, terutama tentang ingatan akan pelanggaran HAM yang terjadi di
Papua, hanya membuahkan trauma yang berkepanjangan bagi bangsa Papua
(Baca: Voice Of Amerika. Kunjungi juga: http://www.voaindonesia.com/content/saksi-dan-korban-pelanggaran-ham-di-papua-alami-trauma-panjang/1349207.html).
seorang Warga Negara Jerman, Dietman Pieper, ditembak saat bersantai
di pondok wisata Port Numbay, Distrik Japut, Kelurahan Tanjung Ria,
Jayapura 29 Mei lalu. Korban mengalami luka dan dirawat di RS di
Singapura setelah sebelumnya dirawat di RSUD Jayapura.
Kemudian, seorang remaja bernama Gilbert Febrian Madika (16) menjadi
korban penembakan orang tidak dikenal di kawasan Skyline Jl Raya
Jayapura-Abepura (4/6/12). Kejadian penembakan pun kembali terjadi esok
harinya, Selasa 5 Juni. Sekelompok orang tidak dikenal melakukan
penembakan terhadap dua orang warga sipil, Iqbal Rival dan Hardi
Javanto. Peristiwa tersebut terjadi di Jayapura, atau tepatnya Jalan
Raya Jayapura menuju Abepura. Pada hari yang sama, anggota TNI Pratu
Frangki Kune (25) ditemukan terkapar bersama dua warga sipil yang
ditembak Orang Dikenal (OTK).
Para korban penembakan tersebut harus menjalani perawatan intensif di
RumahSakit. Setelah itu, Rabu 6 Juni sekitar pukul 21.10 WIT penembakan
kembali terjadi di Jalan Baru belakang Kantor Walikota Jayapura, Arwan
Apuan seorang PNS Perhubungan Kodam XVII Cendrawasih harus dirawat
intensif setelah peluru mengenai leher kiri tembus rahang
kirinya.Kemudian baru-baru ini seorang satpam pertokoan Saga Mall
Abepura yang nyambi menjadi tukang ojek menjadi korban penembakan OTK di
halaman FKIP Universitas Cenderawasih, korban Tri Surono (35) tewas di
lokasi kejadian dengan luka tembak di leher bagian belakang dan
punggung. (Kunjungi:http://news.okezone.com/read/2012/06/20/337/650158/ penembakan-di-papua-agar-anggaran-polri-naik).
Sementara akses informasi bagi orang luar dibatasi untuk datang ke
Papua. Seperti pelarangan wartawan dari luar Papua, khususnya dari luar
negeri dibatasi untuk mengambil gambar, atau informasi, terkait dengan
rentetan peristiwa yang selama ini terjadi di Papua. Hal ini sedikit
terkesan dan dapat saja ditafsirkan pemerintah dan TNI melindungi dan
menutupi apa yang sebenarnya terjadi di Papua, agar tidak diketahui
dunia luar.
Banyak pihak melilai, pemerintah RI tidak memerhatikan, tetapi
cenderung menganaktirikan bangsa Papua di tanah Papua. Papua membutuhkan
kurang lebih 5.000an guru atau tenaga pengajar, tetapi malah TNI yang
terus didroping. (kunjungi: http://majalahselangkah.com/papua-kekurangan-5000-guru-tni-terus-didroping/).
Kualitas pendidikan dan layanan kesehatan jauh dari yang semestinya.
Semua ini membuat bangsa Papua mengalami degradasi kepercayaan terhadap
pemerintah RI.
Maka komentar ketidakpuasan pun datang dari berbagai pihak. “Tanah
Papua Damai hanya slogan. Bagaimana bisa damai, hak politik masyarakat
Papua dipasung, mereka lapar, kesehatan mereka buruk, sekolah mereka
tidak lanjut. Omong kosong kesepakatan itu. Itu tidak ada realisasinya,”
ujar Frans Ansanay, seorang pengamat Papua , seperti yang dilangsir
media Okezone, Kamis (21/6/2012.
Sementara itu, Diaz Gwijangge, anggota Kaukus Parlemen Papua(KPP),
mengatakan dalam sebuah kesempatan; “Apa yang kamu (Indonesia) inginkan,
semua sudah kami berikan. Semua tambang sudah kamu ambil, emas kami
(Papua) kamu keruk. Apalagi yang kurang? Kenapa orang kami (Papua) kamu
habisi?” (Kunjungi: http://www.suarakarya-online/. com/news .html?id=305694).
Sementara itu, dengan lantang Jaringan Damai Papua dan masyarakat
Papua meminta Dialog bermartabat, antara Jakarta dan Papua, yang
dimediasi oleh pihak ketiga yang berposisi netral. Namun, pemerintah
tidak menggubrisnya. Hal ini membuat banyak pihak bertanya; Apa maunya
RI? Mengapa kekerasan dan militerisme layaknya DOM terus ada dan
dipelihara di Papua?
Apabila benar, pemerintah itu ada untuk melayani rakyat, dan
pemerintah adalah pelayan rakyat; dan benar juga bahwa segala kebijakan
itu harus berdasarkan keinginan dan kebutuhan, serta menjawab kebutuhan
masyarakat; juga karena pemerintahan pada dasarnya adalah dari rakyat,
pemerintah ada oleh rakyat, dan ada untuk rakyat, maka sudah sepantasnya
pemerintah RI mendenagrkan apa kata orang Papua terkait semua hal yang
terjadi di tanah Papua, dan tidak menutup mata terhadap semuanya. Jawb
apa keinginan mereka.
Bagaimana cara mendengar apa kata hati orang Papua? Apabila RI memang
ingin menjadi negara demokrasi sejati, maka dengarkanlah seruan dan
keinginan, serta suara hati orang Papua. Mari adakan dialog bermartabat,
yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, dengan perwakilan orang
Papua. Bila tidak, tidak ada salahnya jika diadakan Penentuan Pendapat
Rakyat, dengan beberapa opsi bagi orang Papua, antara lain; 1) Tetap
menjadi bagian NKRI, dengan Otonomi seluas luasya. Atau 2) Kemerdekaan
bagi orang Papua. Sisi historis dan culture mendukung hal ini. Karena
bukan sebuah omong kosong belaka, bahwa Papua juga adalah sebuah bangsa
yang berhak untuk menentukan bagaimana kehidupannya ke depan, terkait
eksistensinya sebagai sebuah bangsa, yang semartabat dengan
bangsa-bangsa lain di jagad ini.
*) Penulis adalah calon Mahasiswa Baru, tamat SMA tahun 2012