Papua Kekurangan 5000 Guru, TNI Terus Didroping
Oleh: Longginus Pekey*)
Di Papua terdapat 2.400 sekolah swasta dan 1.700 sekolah
negeri (SD, SLTP dan SLTA). Papua kekurangan sekitar 5000 guru negeri
maupun swasta. Papua membutuhkan 3000 guru SD, 1000 guru SLTP dan 1000
guru SLTA, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). Sementara itu,
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Muladi meminta pemerintah tidak
ragu-ragu menambah jumlah pasukan TNI ke wilayah Papua (baca: Kompas,
Kamis, 20 April 2006). Pada hal, “SIANG itu, Kamis 24 November 2005
lalu, rakyat yang berada di APO dan pusat kota Jayapura tercengang,
“Booo…, ada apa lagi,” ucapkan warga Papua menyaksikan dua kapal TNI
bernomor lambung 503 dan 514 yang berlabuh di pelabuhan TNI AL medrop
2.000-an TNI non organik. Sepanjang 200 meter di Jalan Raya Ahmad Yani,
mulai dari depan Pelabuhan TNI AL hingga ke Kantor Pos Jayapura,
berjejer 20 truk yang siap mengangkut,”(baca: Tabloid Suara Perempuan Papua, Edisi, 29-11-2005 menulis demikian).
Tanggal 21 November 2005, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Masyarakat Adat, dalam laporannya, seperti yang dilangsir Tabloid Suara Perempuan Papua,
disebutkan, di Distrik Namblong, 27 Oktober lalu (2005), Danramil
menjelaskan kepada masyarakat tentang rencana kehadiran anggota TNI
yang akan ditempatkan di distrik itu untuk membantu masyarakat. Pada
tanggal yang sama juga, Danramil Depapre menjelaskan hal itu kepada
masyarakat Kampung Wambena. Bahkan di Kampung ini, Danramil sudah
menyebutkan, bahwa ada 15 anggota yang akan ditempatkan di Kampung
Wambena. Jumlah pasukan yang akan ditempatkan ditiap kampung juga
diungkapkan Danramil Demta, Letnan Dua (Letda) Triyono. Dia mengatakan,
di kampung Demta Kota, Ambora, Yaugapsa akan ditempatkan pasukan TNI.
Katanya, pasukan itu akan tinggal di rumah-rumah penduduk.
Suara Perempuan Papua melalui www/http:parasindonesia.com
menulis, sosialisasi kehadiran pasukan TNI itu berlangsung di Distrik
Nimbokrang, Depapre, Kaure dan di seluruh distrik di Papua, termasuk di
195 desa atau kampung yang ada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sarmi,
Jayapura, dan Kabupaten Keerom.
“Katakan
saja, kalau pernyataan para Danramil, bahwa setiap kampung ada 15
anggota, maka diperkirakan jumlah pasukan yang didrop di Kabupaten
Sarmi, Jayapura dan Keerom sekitar antara 2.925 hingga 3.500 orang,”
tulis Suara Perempuan Papua. Nah, kira-kira berapa
jumlah keseluruhan tentara/pasukan non organik di Papua? Tiga kabupaten
di Jayapura sudah mencapai 3.500-an. Sementara, dengan adanya pemekaran
wilayah, kini Papua memiliki lebih dari 17 kabupaten. Andai tiap
kabupaten nasifnya sama, berapa keseluruhan pasukan non organik yang
dikirim ke Papua ya. Entalah.
Pendroping
pasukan non organik di tanah Papua jelas untuk membantu rakyat.
Sementara rakyat mempunyai pengalaman masa lalu yang pahit. Pengalaman
itu hingga saat ini masih mereka alami. “…..kehadiran pasukan itu
ditolak lantaran banyaknya tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI
pada masa lalu,” baca Suara perempuan Papua. Kini Papua kekurangan sekitar 5000 guru baik negeri maupun swasta, (baca: Kompas, 18 Januari 2006). “Walau begitu, TNI AD akan membentuk satu divisi Kostrad di Papua,” tulis Suara Perempuan Papua.
***
Seorang
guru, pak Ponidi namanya saat ini tinggal di Sleman, Yogyakarta. Dia
pernah tugas bersama kakaknya di Papua sebagai guru. Dia menceritakan
banyak hal. Dari pembicaraan mengenai pengalaman itu ada tiga hal yang
saya petik. Pertama, kondisi pendidikan, katanya, memprihatinkan. Kedua, mengenai guru dalam kacamata orang Papua Barat. Ketiga,
rasa keprihatinan terhadap masyarakat yang mengalami kekerasan oleh
militer saat itu. Pak guru Poni sempat mempertanyakan mengapa inovasi
meiliter lebih didepankan untuk menjadi pengemban hegemoni kekuasaan
Indonesia di Papua Barat. Bukankah pendidikan dan guru bisa menjawab,
bila punya kepentingan politik mempertahankan integritas bangsa.
Di
Papua sosok guru sangat dikagumi terutama. Menyangkut kehidupannya,
seperti tata krama yang patut di ancungi jempol dan menjadi panutan.
Guru dianggap sebagai payung “tut wuri handayani”. Guru sebagai orang
yang berpengetahuan luas dan punya wawasan akan perubahan. Nilai positif
itu, punya tawaran tinggi untuk mejadi guru. Orang tua (keluarga) turut
senang bila anaknya mejadi guru, bahkan akan menjadi bua bibir di
masyarakat. Secara langsung atau tidak mengangkat nama baik keluarga.
Dalam
konteks itu, ada rasa kebanggaan terhadap kehadiran gereja, karena
memberi intensi bagi pembangunan manusia, atau meminjan istilah
Driyarkara, SJ sebagai proses pemanusiaan manusia muda. Hal itu telah
dilakukan dengan pendirian sekolah katolik dan protestan pada tahun 1855
di Manukuari. Bertolak dari kebutuhan masyarakat, sekolah-sekolah itu
mengajarkan tetang menulis, membaca, berhitung, ditambah dengan
keterampilan seperti, belajar menjahit, beternak , bertani juga
mengurusi rumah tangga. Harus diakui ada makna politis yaitu
kristenisasi di Papua Barat (Eropanisasi). Namun, ada makna di balik
itu, telah menjadi catatan sejarah bahwa sumbangan besar telah turut
dalam peradaban Papua Barat.
Berganti zaman, kekuasaan beganti, kebijakan pun berganti. pada tahun 1966 Soeharta tampil sebagai the man of the power hingga
1998. Kekuasaan otoritariannya menghendaki lain tetang pendidikan di
Papua Barat. Pada tahun 1980-an mengintrusikan pendirian sekolah Inpres.
Sebenarnya inpres itu sangat bertetangan dengan kebutuhan masyarakat.
Aspek ilmu pengetahuan lebih diporsir, sesuai kebutuhan politik sebagai
pengembang hegemoni kekuasana Jakarta. Aspek kultur sangt berbeda.
Pembelajaran yang menghafal Pancasila, UUD 1945, bendera merah putih,
gambar presiden Indonesia dan sejarah Indonesia (Jawa sentris).
Mata
pelajaran utama di Papua sampai saat dalam kerangka nasionalisme.
Seperti yang tersurat dalam buku pelajaran yang diajarkan oleh guru di
sekolah. Sampai saat ini, anak-anak di Papua masih menyodorkan bacaan
yang asing dari kehidupannya, misalnya pantai kute, candi Borobudur,
Prambanan, ini Budi, ini Rini, Iwan dan sebagainya. Selain muatan
lokal, seperti tarian tradisional, bahasa daerah, permainan tradisional
tidak medapat perhatian penuh apalagi tetang sejarah daerahnya. Bahkan
pada tahun 1961 sampai tahun 1980-an pemerintah melarang publikasi
tetang unsur-usur kebudayaan yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme
etnis Papua Barat. Ketika kelompok musik mambesak dari mahasiswa
Universitas Cendrawasi (Uncen) Jurusan Antropologi mengoleksi dan
merekam berbagai lagu daerah dan tarian dari berbagai suku di Papua
Barat, mereka harus dikejar-kejar dengan tuduham maker. Pemimpinya Arnol
AP dibunuh aparat, kemudian mayatnya dibuang ke laut. Dengan melihat
kondisi masa lalu ini, mungkin tidak salah bila mengatakan, ini satu
bukti sejarah adanya usaha pelenyapan identitas lokal.
Papua
Barat memberikan devisa terbesar bagi negeri ini, tetapi sangat ironis,
jika Papua yang kaya dengan sumber daya alam itu, rakyatnya tidak
cerdas mengelola kekayaan alam demi kelangsungan hidup. Kalau demikian,
bisakah kita menerimanya bila mengatakan sebagai wujud dari kegagalan
pendidikan Indonesia? Seperti, dikemukakan anggota Komisi X DPR bidang
pendidikan, Cyprianus Aoer, menanggapi kondisi darurat pendidikan,
khususnya masalah guru di Papua Barat. “Kondisi pendidikan di Papua
memasuki tahap darurat. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan hal
tersebut mencerminkan kegagalan pemerintah membangun dunia pendidikan
dan mencerdaskan rakyat Indonesia, khususnya di Papua Barat. Dalam hal
ini, pemerintah gagal bangun dunia pendidikan di Papua Barat. Pemerintah
juga tidak memiliki terobosan baru yang bisa membawa perubahan,
khususnya di bidang pendidikan di Papua yang selama ini tertinggal,“
(baca: Suara Pembaruan. 22/3/06)).
Krisi Guru
Sekolah
Guru Bawahan (SGB), Sekolah Guru Olahraga (SGO) dan Sekolah Pendidikan
Guru (SPG) sudah ditutup sejak tahun 1980-an. Sejak itupula Papua Bara
mengalami kekuranga guru. Saat ini guru tamatan sekolah tersebut sudah
berkurang, karena mereka tua dan tidak bisa mengajar. Sedangkan,
generasi muda Papua kurang berminat menjadi guru. Ada FKIP dan PGSD di
Universitas Cenderawasi (Uncen), lagi pula letaknya di Jayapura (ibukota
provinsi) yang jauh dari kabupaten lain. Itupun tidak didukung dengan
fasilitas dan dosen yang memadai (baca: Papua).
Sosok
guru yang dulu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini suram, guru
dipandang sebelah mata dan terjadi degradasi. Apati muncul, karena ada
kacamata negatif tetang guru. Bisa jadi benar, karena upah gajinya tidak
cukup untuk menjamin hari tua. Menjadi guru sebagai “pilihan” terakhir
daripada mengangur. Bisa dibilang ini permasalahan mendasar yang sedang
dihadapi negara ini. Terkait dengan itu, guru di kota besar pun saat
ini memiliki masalah yang kompleks, bukan hanya masalah kesejahteraan,
tetapi juga masalah profesionalitas yang kurang terperhatikan pemerintah
maupun pengelola universitas dan sekolah.
Krisis
guru berdampak pada kualitas pendidikan di negeri ini. Hal ini terjadi
karena wajah sekolah yang lebih berpatokan pada ilmu pengetahuna,
kurang menggali afeksi dan psikomotori, artinya kurang terciptanya
pembelajaran yang holistik.
Mengapa Harus Militer?
Bukankah
pendidikan adalah solusi? Mengapa bukan guru yang dikirim banyak-banyak
ke Papua Barat? Pertanyaan ini tentu bermakna emisional. Tetapi,
barangkali perlu dipahami tetang kultur Papua Barat yang dalam merespon
sesuatu cenderung berbicara lansung menunjuk sasaran. Alias tidak
nego-nego. Jujur saja, pertanyaan itu tidak mengandung benci dan marah
(emosi). Sama dengan manusai lainnya orang Papua Barat punya jiwa baik
dan halus. Sangat keliru bila dinilai dari seramnya raut muka. Perlu ada
pemahaman bahwa gambaran perjuangan melawan rimba raya, kencangnya arus
sungai dan medan yang berat di Papua Barat itu tampak pada raut muka
manusia Papua Barat.
Bangsa
beradap seperti Indonesia tentu memahami, bahwa proses memanusiakan
manusia, satu-satunya adalah pendidikan. Peran penting itu diembangi
guru. dan itu sudah terbukti dalam sejarah umat manusia, bahwa
pendidikan punya peran besar dalam membangun suatu perdaban. Alasan itu
melatarbelangi pelaksanana pendidikan di Papua Barat. Tetapi, menjadi
pertanyaan mengapa harus militer yang dikirim banyak-banyak. Kata mau
melayani rakyat. Tetapi, kalau kita bertanya apa yang dilakukan militer
di Papua kepada seorang anak kecil di pedalaman Papua, kita akan
mendapatkan jawabanya sangat kontra. Dengan polos anak itu bisa
mengatakan, “Aparat militer itukan untuk membunuh orang Papua to.”
Jawaban itu muncul karena memiliki akar histories yang menyimpan beban
psikologis dan traumatis dalam diri generasi anak itu. Memang ini
gambaran umum hati kecil orang Papua tentang aparat militer.
Pemahaman
umum itu terkait dengan stigma separatis dan maker (GPK) yang telah
dibangun oleh pemerintah Indonesia yang akhirnya ribuan masyarakat
Papua Barat menjadi korban. Banyak anak, termasuk saya kehilangan orang
tua, paman. Karena orang tua dan saudara dibunuh dengan sadis oleh
aparat militer waktu Papua Barat menjadi Daerah Operasi Militer (DOM)
sekitar tahun 1963 sampai 80-an, masa rezim militeristik Soeharto. Telah
terjadi pemaksaan dan kekerasan lainnya kepada masyarakat yang tidak
memahami dan tidak menghafalkan symbol-simbol kenegaraan. (bendera,
lambang negra, lagu nasional, Undang-undang termasuk bahasa). Upaya
peningkatan SDM tidak mendapat porsi. Itulah sebabnya masyarakat Papua
terus terpojok. Bagi masyarakat Papua militer hadir bukan sebagai sosok
guru yang diharapkan membawa perubahan hidup.
Waktu
terus berlalu, globalisasi membonceng hadirnya teknologi informasi.
Kemajuan itu diikuti dengan kesadaran masyarakat. Papua Barat mulai
berubah wajah menjadi sedikit maju, masyarakat seperti terbangaun dari
tidur. Sudah mulai ada kesadaran kalau ada pembodohan, ada kekerasan,
ada penindasan secara ekonomi (kekayana alam dibawa ke Jakarta),
cultural (jawanisasi) dan politik (tuduhan separatis) dan terutama
perlakuan hukum yang memihak. Misalkan pada bebarapa kasus HAM berat,
seperti peristiwa Abepura I, Pembunuhan terhadap pemimpin besar orang
Papua, Theys Hiyo Eluay dan bebarapa yang lainnya tidak ada penyelesaian
yang jelas.
Orang
Kamoro, Amugme (suku di Timika), dan suku lain di pedalaman mulai
menyadari. Kehadiran PT Freepot Indonesia (FI) tahun 1969 misalnya,
telah merusak lingkungan, melakukan tindakan kejahatan terhadap
lingkungan, roh leluhur di gunung Gresberg telah dirusaki.
Selain itu FI memiliki akar historis bahwa penyebab konflik antara
masyarakat dan militer adalah perpanjangan tangan negara.
Namun,
entah mengapa tidak ada sulusi yang ditawarkan pemerintah untuk
menyelesaikan problem-problem di Papua Barat. Semakin nampak demokrasi
itu mahal bagi orang Papua Barat. Harapan akan terbukanya pintu
demokrasi belum juga kunjung terbuka. Mungkin demokrasi di negeri ini
harus diperjuangkan lagi, karena sampai era reformasi ini ruang dialog
masih tertutup untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua Barat
secara bijak. Bagaiman tidak bijak, bila militer terus dijadikan
pahlawan untuk menjawab permintaan rakyat akan keadilan, kesejateraan
dan kedamaian. Mengapa harus militer, masyarkat tidak punya senjata api.
Sudah bisa memahami arti organisasi untuk mengorganisir diri. Dalam hal
ini, masyarakat Papua mengaharapkan dialog nasional untuk penyelesaian
berbagai persoalan.
Untuk
menyikapi itu semua ada baiknya kita pikirkan bersama, mencari solusi
bersama untuk menjawab kebutuhan masyarakat, kita harus lebih banyak
belajar untuk menerima dan mendengarkan suara dan aspirasi orang lain
dalam kerangka kemanusiaan yaitu saling menghormati dan menghargai
sebagai ciptahan Tuhan. Pintu demokasi itu harus dibuka lebar-lebar,
artinya bangsa ini harus membuka diri dan belajar mendengar serta
memahami apa yang menjadi aspirasi mereka (masyarakat Papua Barat).
Kalau mengakui sebagai bagian darinya, tanpa harus mengedepankan
militer. Kita berharap tidak terjadi lagi peristiwa Abepura berdarah
yang ketiga kalinya dengan jumlah korban lebih besar, karena akan
semakin memperburuk citra bangsa ini di mata masyarakat maupun di dunia
internasional yang dapat mengancam keutuhan negara ini.
*) Ketua Lembaga Pendidikan Papua