Siapa Mengurusi Ekologi Papua?
Oleh: Titus Krist Pekei, SH*)
“Jujur
saja, selama ini saya sangat bangga dengan alam Papua yang kaya akan
flora, fauna, mineral, kekayaan sosial, dan kekayaan heterogen
budayanya. Melihat keadaan itu, saya bergumul:Tuhan terima kasih atas
ciptaaMu, bumi Papua yang saya banggakan dalam harianku. Saya baru
sadar, ketika di atas kesengsaraan, kemelaratan dan keterbelakangannya
rakyat Papua puas dengan menyebut tanah Papua kaya-raya tanpa menikmati
hasilnya. Orang seberang datang dengan segala akal untuk menggerogoti
potensi di tanah Papua.
Rakyat
Papua tidak memiliki daya untuk membendung eksploitasi kekayaan alam
tanah Papua dan tenaga manusia Papua. Hukum tidak berpihak lagi, hanya
milik pemodal dan penguasa. Tidak ada tempat untuk rakyat Papua mengadu
lagi maka – Bapak Gubernur, Bupati, Walikota, bapak/Ibu MRP, DPR-P ke
mana hatimu kau simpan?
Bung
NAPI dilayar TV mengatakan WASPADALAH, WASPADALAH, WASPADALAH. Itu
berarti harus dincermati dengan baik sebelum memberikan izin kepada
perusahaan tertentu agar tidak tertipu, oleh perusahaan legal yang
ternyata illegal. Agar tidak seperti saat ini setelah masalah sudah
terjadi baru sadar akan adanya illegal logging, illegal fishing,
illegal PETI, dan lainnya. Kalau bukan sodara dan saya (pemerinah dan
kita masyarakat) berarti siapa yang akan mengurusi ekologis di tana
Papua.
Ekologi
Papua, sebagai suatu sistem yang terdiri dari ragam subsistem memiliki
daya tampung dan daya dukung yang tidak terbatas. Oleh karena itu, untuk
mempertahankan kelestarian lingkungan tersebut perlu diterapkan
berbagai instrumen, seperti pemantauan, pembinaan, pengawasan, dan
penegakan hukum terhadap berbagai kegiatan yang menimbulkan dampak
perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup. Tindakan preventif
dan represif di bawah pengawasan instansi terkait yang jelas, bijak,
serta transparan tanpa ada konfromi sepihak dengan siapapun.
Subsistem
dikategorikan berdasarkan lingkungan sosial, lingkungan buatan dan
lingkungan alami, ketiganya akan menyatu dan berinteraksi sesuai fungsi
dan kegunaan. Interaksi antara lingkungan hidup dalam pengertian ekologi
tidak mengenal batas wilayah dalam Provinsi Papua yang luas dengan
wilayah Kabupaten/Kota dan tidak boleh dipisahkan secara ekologis. Akan
tetapi pertumbuhan Kabupaten/Kota dan perlindungan (proteksi) lingkungan di tingkat lokal sangat dibutuhkan sebagai rambu/pemantau dalam era Otonomi Khusus.
Bagaimana
peraturan khusus mengenai lingkungan ekologis yang kondusif tanpa
mengorbankan taraf hidup masyarakat lokal Provinsi Papua baik
Kabupaten/Kota hingga ke desa-desa dalam merealisasikan makna otsus?
Nampaknya, buat bapak-bapak pejabat gubernur terpilih dan para
bupati/walikota serta MRP, DPRP akan teruji kecakapan/ketajaman berpikir
multi-aspek dalam mengembang tugas di Tanah Papua. Karena selama ini,
pejabat daerah Papua (Provinsi, Kabupaten/Kota) sangat lamban memaknai
Otonomi Khusus. Tidak pernah ada kebijakan mengenai perlindungan
lingkungan atau manajemen pertumbuhan ekonomi kerakyatan secara memadai
karena sikap politik lebih memihak kepada pertumbuhan ekonomi kapitalis
tanpa memperdulikan konsekuensi terhadap lingkungan alam dan
sosial-budaya. Akhirnya, untuk ke depan di erah otonomi khusus, Papua
haru dilegalkan peraturan melalui perdasi dan perdasus yang membutuhkan
keseriusan dalam penanganan masalah ekologi.
Siapa
saja – ketika menyimak pulau Papua, selalu mengatakan Papua masih
perawan lingkungan dengan ukuran luas hutan. Dan komentar lepas lain
dikatakan, Papua sangat potensial dengan sumber daya alam (SDA) dengan
ukuran emas, tambang dan perak. Sedangkan orang Papua sendiri dijepit
antara Papua yang Perawan dan Papua yang potensial. Berarti, untuk ke
depan orang Papua harus di posisikan sebagai apa? Orang Papua tetap
berpikir alam Papua masih perawan akan tetapi baru sadar ketika
ditinggalkan dalam kondisi compang-camping setelah dikeruk kekayaan
alamnya. Dan sadar setelah potensi SDAnya di keruk/kuras, hanya
meninggalkan multi dampak.
Apabila
tenggok kondisi sebelumnya, kebijakan pusat tidak menjadi solusi maka
inovasi lokal melalui perdasi dan perdasus menjadi solusi serentak di
semua wilayah. Namun, cenderung bersifat sementara mengalami kekosongan
dukungan dari tingkat yang di atasnya (pusat). Akibatnya, kondisi lokal
dan sikap/persepsi masyarakat menentukan (termanisfestasi) keseimbangan
antara pertumbuhan kota dan perlindungan lingkungan (Harris & King, 1988).
Nilai-nilai masyarakat membentuk pendekatan perencanaan lokal sehingga
implementasi sangat terkait dengan tujuan dan nilai dari masyarakat itu
sendiri.
Pejabat
lokal Papua harus dekat dengan lingkungan sosial, budaya dan alam dalam
proses perencanaan pembangunan lokal merupakan interaksi yang
berkesinambungan, seperti berikut:
(1) Kondisi dan nilai-nilai
masyarakat sudah mendukung agar dapat munculnya program perlindungan
lingkungan di tingkat lokal. Masyarakat menjadi lebih perduli terhadap
pelayanan pubilik, termasuk program perlindungan lingkungan. Kepentingan
akan sumber daya alam juga diperkuat dengan adanya persepsi masyarakat
yang proaktif.
(2) Pendekatan perencanaan pemerintah daerah ditunjuk
untuk dapat menuangkan nilai-nilai masyarakat ke dalam tindakan dan
program yang spesifik. Seiring berjalannya waktu, masyarakat menjadi
semakin mengerti akan pentingnya kaitan antara pembangunan ekonomi dan
ekologi. Sektor ekonomi seperti pariwisata dan produksi pertanian sangat
bergantung pada kondisi lingkungan yang baik dan seringkali mendukung
program lingkungan. Walaupun usaha ini tidak dapat menghentikan kenaikan
pertumbuhan, namun semakin disadari bahwa kegiatan pertanian dan
pembatasan penggunaan lahan mempunyai hubungan dalam membantu
pertumbuhan.
(3) Rencana dan kebijakan spesifik bagi masyarakat dengan
menggunakan preservasi ruang terbuka hijau, zoning untuk wilayah luas,
dan program perlindungan pertanian untuk menghindari biaya tambahan dari
adanya pertumbuhan dan untuk meniadakan penduduk pada suatu lokasi (Burns, 1980; Frieden, 1979).
Pemerintah daerah juga mempunyai kewajiban dalam menghindari
pembangunan pada wilayah rawan banjir, longsor, gempa, erosi, dan
sebagainya pada sejak dini. Pemerintah juga tidak boleh menerapkan
program dan peraturan yang dapat menimbulkan tantangan legal,
membahayakan bagi individu/pemilik lahan, ataupun yang dapat
meningkatkan biaya untuk pelayanan publik.
Implementasi
dalam proses ini dimulai dengan adanya visi dari hasil lingkungan yang
diinginkan. Dengan adanya bukti teknis menyangkut evaluasi sains dan
rencana, maupun dari segi legal dan finansial. Program lingkungan yang
diusulkan berdasarkan keuntungan terhadap masyarakatnya dan kemampuan
kota untuk membiayai program dan menyediakan sumber dayanya, sehingga
reaksi dan dukungan dari publik dan swasta dapat terakomodasi. Dengan
berjalannya waktu, proses ini akan mendapat gambaran mengenai tingkat
penerimaan (acceptancy) terhadap program. Implementasi yang
sukses terjadi apabila sikap/persepsi masyarakat dan nilai-nilai
perlindungan lingkungan konvergen (sama).
Saya
sangat setuju dengan prospek perencanaan yang berasal dari masyarakat,
bukan hanya masyarakat yang dilibatkan secara aktif maupun pasif dalam
perencanaan partisipatif, tetapi gerakan perencanaan harus berasal dari
masyarakat itu sendiri. Seperti yang telah disebutkan sebagai bahasan
dalam materi presentasi saya, yaitu bahwa perencanaan untuk melindungi
lingkungan di tingkat lokal (Kabupaten/Kota) di Papua, memang berasal
dari aspirasi masyarakat itu sendiri yang telah menyadari akan kualitas
kehidupan, termasuk dalam melindungi wilayah lingkungan yang sensitif.
Papua
mempunyai persoalan serius, yaitu selain masyarakatnya yang tidak
terlalu peduli/ber’kesadaran’, tetapi pegawai negeri maupun pejabat di
tingkat lokal/provinsi/pusat juga tidak mempunyai kesadaran untuk
mengindahkan peraturan yang telah dibuat. Peraturan juga takkan berarti
tanpa dukungan masyarakat, dan gerakan masyarakat juga takkan berarti
tanpa pejabat/peraturan yang mendukungnya. Dalam proses ini harus ada
hubungan yang timbal-balik (mutual), dan saling mempercayai antara masyarakat dan pemerintah (Daerah, Provinsi, Pusat).
Tetang
ekologi adalah masalah proses jangka panjang, tidak seperti pertumbuhan
ekonomi yang hasilnya jangka pendek. Permukaan tanah yang subur
merupakan hasil proses bertahun-tahun, oleh karena itu perlu diwaspadai
dan dipelihara penggunaan tanahnya. Walaupun Provinsi Papua-Indonesia
tertinggal dari negara-negara maju yang telah lebih dahulu mengalami
masalah–masalah lingkungan ini, tetapi harus dimulai sekarang
gerakan-gerakan peduli lingkungan sebelum lingkungan kita rusak oleh
orang-orang yang tidak peduli akan kehidupan.
Hal
ini dapat menjadi pelajaran bagi kita di negara berkembang saja, tetapi
di negara maju pun mengalami kesulitan dalam melindungi alam. Namun
keseluruhannya ini membutuhkan dukungan dan kerelaan masyarakat untuk
peduli terhadap lingkungan alam Papua, karena pembangunan atau
pertumbuhan juga takkan berhasil tanpa daya dukung lingkungan.
Lingkungan menjadi hak semua orang di masa sekarang maupun masa
mendatang, oleh karena itu lingkungan Papua perlu diproteksi agar dapat
tercapai pembangunan yang berkelanjutan. Mari kita mengurusi masalah
Ekologi di Tanah PAPUA, tanpa saling melempar dan mengetahui tanpa
melibatkan semua pihak [stakeholders] baik pemerintah, swasta,
LSM, masyarakat, akademisi, dan semua komponen masyarakat yang ada di
Tanah Papua. Jika memahami fungsi semua pihak/stakeholders berarti akan
terwujud impian dan makna otsus yang sudah ada beberapa tahun zilam.
Akhirnya, dengan mata hati untuk melihat, menjaga dan memelihara
ekologis demi mewujudkan harapan bersama dari sekarang untuk ke depan
dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang arif, bijaksana,
akomodatif, akuntabel dan transparan. Semoga !!!
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Jogjakarta
*) Alumni Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Aktivis masalah Ekologi.