Menggali Budaya Papua Lewat Musik, Perlukah?
Oleh Dominikus Douw *)
“Koteka moge Paniai makii,kou aniiya kagaabanoo,anii didi kogaa dani totaa kagaabano,,
Lirik
lagu berbahasa daerah Mee (Papua) di atas ini selalu dinyanyikan oleh
grup band Koteka di Semarang. Koteka adalah pakaian adat untuk laki-laki
dan moge adalah pakaian adat bagi perempuan di pegunungan tengah Papua.
“Paniai makii” tanah air Paniai. “Kou aniya kagaaba” pakaian adat saya. “Anii didi kogaa dani” Saya sungguh bangga dan mencintai pakaian adatku. Dapat juga berarti daerah koteka tumpah darahku.”Totaa kagaaba”
pakaian hasil cipta manusia yang sudah ada sejak dahulu kala dan
terlestarikan hingga kini. Kira-kira demikian pengertian leksikalnya.
Namun kata-kata bahasa Mee yang menjadi sebuah lirik lagu ini, tidak
cukup dijelaskan hanya secara harafiah.
Secara semantik, lirik lagu di atas mengatakan, koteka dan moge adalah
lahir dari angka kepandaian orang pegunungan tengah Papua di masa lalu
(dalam konteks ini Paniai). Ini adalah ciri khas saya. Saya adalah
manusia berperadaban dan bersejarah. Koteka dan moge harus saya
lestarikan karena saya sungguh bangga. Saya sungguh mencintai tanah air
orang berkoteka moge. Aku selalu akan mengingat kau penuh seluruh karena
aku tidak mau kehilangan identitasku. Kaulah (koteka-moge) yang dapat
berbicara kapada dunia akan peradabanku. Aku ingin mengenangmu selalu,
walau aku di ratau.
Berbicara mengenai koteka dan moge di zaman jins, jas dan dasi, mungkin
agak lucu. Bahkan jijik bagi kebanyakan orang, sekalipun orang
pegunungan tengah. Orang akan bertanya mengapa koteka moge harus terus
dilestarikan pada zaman digital ini. Anehkan. Tetapi ketika Anda merasa
aneh, sadarkah kau dengan peradabanmu. Entahlah! Dibenak penulis muncul
pertanyaan. Sejak dahulu kala siapa yang bisa membuat pakaian seperti
yang kita pakai sekarang ini?
Sebelum
revolusi Prancis pecah, manusia kembali kepada adat dan budaya
masing–masing. Ketika itu tetek nenek moyang tidak tahu membuat
pakaian. Mereka hanya memakai koteka dan moge yang merupakan hasil dari
kepandaian moyang. Angka kepandaian itulah yang perlu diapresiasi
lewat musik untuk melestarikannya. Memang di sisi lain pemerintah
berupaya agar koteka harus lepas karena peradaban sudah berganti. Namun
penulis optimis, koteka di zaman ini bukan simbol ketertinggalan.
Melainkan sebuah identitas dari sebuah bangsa. Identitas inilah kiranya
perlu terus diwariskan.
***
Koteka
dibuat dari tumbuhan yang buahnya agak mirip dengan tumbuhan mentimun
atau ketimun. Namun buah koteka agak panjang. Kalau sudah tua buah
koteka agak keras. Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobe biasanya
di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe
dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir
halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah
panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji
beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe
digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering
dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka.
Moge
(cawat) dibuat dari kulit kayu. Namun bukan sembarang pohon. Proses
pembuatannya, pohon itu ditebang ambil dulu kulitnya, setelah
mengambil kulitnya akan direndam dalam pecek atau akan disiram dengan
air agar tetap awet. Kulit kayu itu dikeringkan di terik matahari.
Kemudian kulit kayu itu akan terlihat coklat. Lalu kemudian dianyam dan
dipakai sebagai moge.
Lagu
koteka moge di tetapkan oleh Koteka Group Band sebagai lagu mars. Lagu
ini harus selalu dinyanyikan ketika pentas sebagai lagu pertama. Lagu
koteka moge ini kalau didengar oleh pendengar hanya sederhana saja dan
jauh dari harapkan pendengar baik itu dari sisi musiknya, suaranya dan
kekompakannya dalam menyanyi. Namun di situlah letak seni dan kekhasan
lagu ini. Karena group band Koteka ini dibentuk bukan sekedar untuk
menyanyi dengan suara dan musik yang baik seperti grup musik biasanya.
Akan tetapi mencoba berpikir bagaimana mengangkat seni dan budaya suku
Mee melalui lagu-lagu. Selain itu melalui lagu-lagu, mencoba mengangkat
nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya. Misalnya, melalui lagu
berjudul ’’Woiyo Paniai Makiyo woiyo’. Lagu ini mengandung arti mari
membangun Paniai dan Nabire dengan tinggalkan kebiasaan–kebiasaan
buruk dan mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee Papua yang sudah ada
dari dulu yang hingga hingga kini mulai terkikis.
Bob
Marley, Lucky Dube, UB 40 dan lainnya yang begitu terkenal adalah bukan
lagu-lagu pilhan Koteka Band. Komitmen Koteka Band adalah terus
menciptakan lagu-lagu yang berkaitan dengan nilai– nilai budaya.
Komitmen itu, sudah mulai terwujud dengan rekaman live namun karena
keterbatasan dana, maka rekaman tracknya masih belum. Yang penting
sekarang adalah, bagaimana memetik pengalaman ini untuk mencoba
mengembangkan kebudayaan melalui lagu-lagu dalam rangka mengangkat
nilai-nilai budaya.
Personil
Black Brothers, Pace Sembor, ketika di Jakarta bulan Mei 2005, saat
beliau mengantarkan mayat rekannya David Rumaropen mengatakan ’’Kalau kalian mau berfokus ke dunia musik janganlah sekali–kali mau cinta sekolah.’’
Ini artinya bakat yang sudah ada itu harus terus kita kembangkan.
Menurut penulis bakat itu sudah ada pada orang (mahasiswa) Papua,
misalnya pada saat kita bermain musik, lalu satu orang angkat lagu dan
suaranya pas dengan bunyi gitarnya, dan lagu tersebut dilantunkan oleh
orang–orang yang ada di sampingnya tanpa mempelajari not dan
sebagainya. Namun seperti pengalaman Koteka Band, kendala kita adalah
tidak ada dukungan. Setelah bakat itu terlihat, siapa yang akan
memfasilitasi? Ya kita tanya saja kepada para pejabat daerah. Semua
kepala daerah tingkat I maupun para tingkat II Papua. Apakah ada bagian
kesenian daerah yang benar-benar memperhatikan dan mengangkat budaya
daerah? Ataukah kita harus ikut budaya dari luar saja?, seperti lagunya
Bob marley dan kolega–koleganya?
Contoh lain potensi yang tak pernah terperhatikan adalah tahun 2002 di Yogya ada group band bernama Paradise Band atau Black Wissel.
Pada saat itu teman–teman Black Wissel pernah mencoba membuat rekaman
livenya sebagai bukti dan syarat untuk melengkapi permohonan kepada
Pemda Nabire dan Pemda Paniai, untuk merekam tracknya. Namun tidak
mendapatkan bantuan dari Pemda Nabire dan Pemda Paniai. Itu
ketidakpekaan pemerintah daerah untuk mengembangkan seni dan budaya.
Dengan
melihat realita ini muncul pertanyaan, kapan orang Papua (suku Mee)
akan berkembang dan mengangkat nilai–nilai budaya lewat musik? Namun
kini kembali kepada kita semua baik pejabat, mahasiswa, dan seluruh
lapisan masyarakat suku Mee, yang ada di Papua maupun yang ada di luar
Papua. Apakah kita mau kembangkan group Band KAIDO dari bandung, BLACK
WISSEL dari Yogja dan KOTEKA Group Band dari Semarang. Ketika grup band
ini dengan susah payah telah meraih dan membangun budaya lewat musik,
namun tidak terperhatikan. Penulis berharap kepada teman-teman dari suku
Mee yang pernah membentuk group band, apabila kalian didukung oleh dana
dan fasilitas, maka cobalah kembangkan kitong pu budaya kah, seperti gowai, ugaa, tupe, wanii dan lain- lain.
Penulis
juga pesan kepada teman–teman yang baru dan telah membentuk group band
perlu pahami bahwa BOB MARLEY itu dari Jamaica dan LUCKY DUBE dari
Afrika Selatan. Mereka berdua tidak sama dalam melantunkan lagunya,
musiknya, dan suaranya jelas beda. Ketika JIMMY CLIFF pentas di
Jamaica ia mengatakan “Saya bukan BOB MARLEY, saya adalah JIMMY CLLIF,,
maka ia menyanyikan lagu–lagu ciptaan sendiri. Penulis berharap kalau
bisa, perlunya mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee yang telah ada
seperti ugaa, Gowai, tupe, wani dan lainnya, karena pada prinsipnya bahwa, ,,Kita bukan mereka dan mereka bukan kita.”
Seni
dan budaya kita Papua (suku Mee) semakin terkikis habis oleh
alkulturasi budaya. Kini kita lebih suka dengan lagu-lagu dari luar,
kita mulai meninggalkan budaya kita yang khas. Kita semakin menjadi
manusia tidak beridentitas. Untuk itu, mari kita menerapkan falsafah
orang Mee, yakni dou, gai, ekowai dalam menyikapi hal ini.
Pesan
khusus kepada pejabat–pejabat orang Mee, lebih khusus lagi Bupati
Nabire dan Bupati Paniai sebagai orang yang mengambil kebijakan di
daerah, cobalah perhatikan generasi esok suku Mee Papua, agar
nilai–nilai seni dan budaya tetap terlestari untuk selamanya. Karena
memang kita harus lihat dulu ke dalam suku Mee, kemudian Papua
seluruhnya dan secara nasional dan mendunia (internasinal). Kita
berjalan itu, sambil melihat ke arah jalan (kebawah) bukan sambil
melihat ke atas langit. Semoga saja! Amin!
Activis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Semarang
*) Alumnus Fakultas Hukum UNTAG 1945 Semarang