Apa Artinya Papua Merdeka
Pengantar
"Merdeka" atau "Papua Merdeka", yang dulunya kata "racun" bagi Indonesia, kini menjadi "kata angin lalu." Bagi masyarakat Papua, kata ini menjadi simbol expresi jatidiri suku-bangsa Melanesia terhadap penjajahnya suku-bangsa Proto-Malay. Ini arti di permukaan yang dapat dijawab oleh anak berumur 3 tahun di Jl. Bestuur Sentani. Tetapi kalau pertanyaan yang sama diajukan kepada Pak Menpan, atau menteri otonomi daerah, maka apakah kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Mr President, lalu apa kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Moses Weror di PNG atau Viktor Kaisiepo di Holland, maka apa yang mereka maksud? Kalau kita tanya kepada Aliansi Mahasiswa Papua, maka apa pengertian mereka?
Arti leksis
Secara leksis, kata "merdeka" dalam bahasa Inggris berarti "terlepas" (independent), atau "tidak tergantung." Lawan katanya "dependent" artinya "tergantung. " Kata merdeka berkonotasi melepaskan diri dari suatu ketergantungan. Ketergantungan itu dapat diartikan dalam segi politik, ekonomi, sosial, teknologi, ilmu-pengetahuan, dan lain sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya barangkali "tergantung kepada apa atau siapa" dan "terlepas dari apa atau siapa." Nah, di sinilah kita kewalahan, terutama kalau Indonesia juga masih "tergantung" kepada entah sesuatu atau seseorang. Alasan yang mudah karena ketergantungan Indonesia tidak menjamin independent Papua Barat. Dengan kata lain, Indonesia sendiri masih tergantung kepada seseorang dan sesuatu, jadi kalau ditanyakan untuk melepaskan Papua Barat, hal itu menjadi sakit kepala yang bukan main hebatnya.
Selanjutnya, kita perlu bertanya, "Ketergantungan dalam bidang apa dan untuk kepentingan apa?" Jawabannya bagi Jakarta masih kabur. Itulah sebabnya Jakarta dicap tidak tegas dan KJ.
Untuk menjamin Papua Barat independent, itu sebenarnya berarti sebuah langkah ke arah independent buat Jakarta, karena aneksasi Papua ke dalam Indonesia sebenarnya bukan tanda kemerdekaan Indonesia, tetapi justru tanda bahwa Jakarta itu belum independent secara arti leksis. (Di sini bukan tempatnya untuk membuktikan apakah Indonesia itu suatu negara yang merdeka atau tidak, yang berhak adalah Mas Amin Rais, Pak Wahid, Mbak Mega, Pak Wiranto, dll. untuk mengkleim kalau mereka memang merdeka dan membuktikannya, paling tidak kepada rakyat Papua Barat.)
Arti Politis
Secara politis kemerdekaan suatu suku-bangsa secara umum dimengerti sebagai suatu kelompok manusia, dengan batasan-batasan geografis, politis, kultural dan historis secara unik dan khas dan memiliki cukup sumberdaya manusia untuk menjalankan pemerintahan, yang dikepalai oleh seorang kepala negara, sayang sekali, yang juga diakui oleh suku-bangsa yang sudah merdeka.
Sudah pasti, legitimasi Indonesia di tanah Papua dapat dengan mudah diragukan. Pelanggaran pertama karena invasi tahun 1962 adalah invasi militer. Lalu Pepera tahun 1969 adalah ilegal. Lalu satu-demi-satu manusia Papua dihabiskan dengan berbagai kebijakan seperti peracunan makanan, keluarga berencana, kebijakan pendidikan, transmigrasi, penerimaan pegawai, dll. Walaupun beberapa negara se-ras kita di Afrika sudah pernah menyatakan keberatan mereka untuk mengakui invasi Indonesia akhir tahun 1960an, badan bergengsi sedunia PBB telah mensahkan invasi ilegal Indonesia, dan kini Indonesia menikmati kekayaan Papua secara luar-biasa.
Tetapi angka 10 bagi Jakarta, karena telah menang dalam diplomasi politiknya sampai hari ini Papua masih dikleim sebagai wilayahnya dan dunia masih mengakui kleimnya. Kini, kalau kita tanya Perdana Menter sesuku-sebangsa di kota Port Moresby, yang konon punya nenek-moyang satu mama-satu-bapa itu akan menjawab "West Papua is part of Indonesia." Sungguh, betapa teganya dia bisanya menangkal suku sendiri. Kalau kita bertanya kepada Australia sebagai negara barat terdekat di Pacific, kebanyakan yang kita dengar seperti ini: "Kita telah habiskan orang Aborigin di benua ini. Kita telah buru mereka seperti binatang. Mereka kini hanya ratusan orang. Jadi, kalau Indonesia berbuat serupa, itu sebenarnya sama dengan kita. Jadi kalau kita menegur Indonesia, itu suatu kesalahan besar, karena Australia mempunyai rekor biadab dalam memperlakukan teman-teman kita orang Aborigin."
Kalau kita memohon bantuan kepada orang Amerika Serikat, maka jawabannya serupa dengan jawaban Australia. Orang-orang putih di Amerika berasal dari Eropa. Mereka menginjakkan kaki di benua itu dan telah memburu orang Indian American secara membabi-buta dan habis-habisan. Bangsa Eropa menyisihkan waktu-waktu luang mereka untuk berburu. Yang diburu bukan binatang, tetapi apa yang kita kenal sebagai Indian-American, teman-teman Anda, pemilik benua yang kini kita sebut Amerika. Film-film cowboy menunjukkan sedikit sisah-sisah yang mereka tinggalkan. Mereka kuta, mereka gagah, mereka lebih beradab daripada orang Eropa. Tetapi sayang, mereka telah diburu, dihabiskan dengan meracuni makanan, dengan keluarga berencana, dengan meracuni air mereka, dengan mensenjatai kelompok-kelompok yang bertikai dan dengan mencap mereka sebagai teroris. Ingat, kata teroris berasal dari Amerika Serikat untuk mencap masyarakat pribumi yang keluar dan berteriak, "Ini tanah saya, hargai saya, jangan bunuh saya!"
Kalau kita bermohon kepada Eropa, tanpa malu mereka akan mengatakan, "Indonesia is wrong. They must stop killing Papuans." Tetapi mereka juga ingat, paling tidak di bawah sadar mereka, bahwa mereka telah berbuat hal-hal yang jauh-jauh lebih jahat dan di luar batas peri-kemanusiaan kepada teman-teman seras dan sebangsa Anda di benua Afrika, di Selandia Baru, di Papua New Guinea, di negara-negara Pacific, di Benua Amerika, di Benua Australia, yang sampai saat ini mereka tidak pernah katakan, "We are sorry that we have killed you so much!"
Jangan pernah lupa juga, bahwa mereka juga bertanggung-jawab atas penderitaan kita di tanah Papua. Mereka yang menjual pesawat pemburu bronco fighters dan hawks atau jet fighters. Jangan lupa bahwa mereka yang mensuplai senjata kepada militer Indonesia. Mereka yang melatih pasukan elite Indonesia yang kita tahu dengan nana Kopassus, dulunya Kopasanda. Mereka yang melatih dan mensuplai berbagai perlengkapan kepada Badan Koordinasi Inteligen Indonesia (BAKIN). Kalau kita melacak cara kerja BAKIN, maka Anda tidak perlu kaget melihat seluruhnya adalah foto-kopi operasi central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat. Dengan kata lain, BAKIN adalah cabang CIA untuk Asia Tenggara dan Pasifik. Kalau kita baca Kompas tanggal 2 Februri 2000, Inggris telah menjanjikan mensuplai peralatan dan pelatihan bagi kepolisian Indonesia. Dengan kata lain, Inggris tidak mau berhenti dan belum kenyang dengan pemburu, senjata, pelatihan pasukan elit dan berbagai kebrutalan tidak manusiawi di Indonesia yang telah mengakibatkan Jakarta harus hilang muka sebagai militer professional. Militer kini dicap buruk, dan sebagian tanggung-jawab ada di London, tetapi itu diabaikan. Malahan kerjasama militer mau ditingkatkan dengan bidang kepolisian. Banyak rakyat mati di Acheh, Timor Loro Sae, Papua Barat, Maluku, dll. dengan peluru Inggris dianggap kurang memuaskan? Barangkali Presiden kita mengangguk dan berterima-kasih atas tawaran tidak manusiawi itu. Tetapi sayang, kita kembali lagi, Indonesia sebenarnya kita perlu sangsikan, "Apakah memang sudah merdeka?"
Secara politis, proklamasi sudah diucapkan tepat tanggal 17-8-1945 jam 10:am di Pegangsaan Timur Jakarta, tetapi lonceng ucapan proklamasi kemerdekaan policy dan ekonomis belum pernah terdengar, paling tidak di telinga orang Papua.
Arti Ekonomis
Jangan lupa bahwa politik era 21 adalah politik bermuatan ekonomis. Tidak ada kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan keuntungan secara ekonomis. Kalau politisi saat ini hanya memikirkan politik, dan mengabaikan ekonomi, maka politisi seperti itu disebut politisi purba dan tak mungkin mereka dipilih di panggung politik.
Sebelum kita lanjut, kita perlu tahu latar-belakang politik bermuatan ekonomis ini. Pertama, kalau kita lihat era kolonialisme, tujuan utama adalah masih sama, yaitu untuk mencari harta-benda dan membawanya kembali ke negara asal mereka. Kita lihat Maluku sebagai kota rempah-rempah. Kebanyakakan rempah-rempah sudah dibawa ke Eropa. Kita lihat emas dan perak di Afrika dan New Guinea. Semua yang digali dibawa ke Eropa.
Kini, sejak Amerika Serikat berdiri, sebagai negara yang sudah bebas dari kolonialisme Inggris, ia tidak menolong bangsa-bangsa yang masih terjajah seperti Indonesia dan negara lain di Afrika dan Asia. Ia tampit sebagai negara adikuasa yang anti kolonialisme, tetapi yang tak mau mengakui diri sebagai kekuasaan imperialisme abad 20 dan barangkali juga abad 21. Apa yang dibuat AS adalah merutuhkan kolonialisme, dan secara otomatis mendirikan koloninya sendiri yang disebut neo-colonial power. Saya curiga, Indonesia adalah negara utama dan anak kesayangan neo-colonial power dari Amerika Serikat. Anda bisa keliling dunia dan baca peta politik AS. Indonesia adalah biji mata AS.
Di Inggris, AS da berbagai negara maju sedang digalakkan kampanye-kampanye untuk memotong utang "negara berkembang." Ada politisi yang sudah mulai mengumumkan kedermawan mereka "memotong utang." Mereka dipuji karena kebijakan-kebijakan berani mereka itu. Tetapi kalau kita lihat secara ekonomis, sebenarnya mereka tidak menghapuskan, tetapi mereka merubah bentuk utang, dari utang keuangan menjadi utang moral. Utang keuangan akan habis saat dibayar, sedangkan utang moral tidak akan pernah habis, karena utang itu sudah dihapus.
Utang moral itu sebenarnya sama dengan bentuk kolonialisme termutakhir dalam peradaban kita. Untung bagi Indonesia, karena utangnya belum dihapus. Ada NGOs di Indonesia yang secara ignorant berkampanye untuk menghapus utang, tetapi sayang mereka belum paham apa implikasi masa panjangnya. Mereka yang berkampanye memilik alasan yang manusiawi dan masuk akal, antara lain bahwa rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan yang digariskan oleh Bank Dunia. (Perlu diingat di sini dengan baik bahwa garis-garis yang dipatok oleh Bank Dunia sebagai negara maju, sedang berkembang dan terbelakang itu menggunakan patokan Barat dan modern, yang jelas-jelas tidak pas dengan patokan kita orang Papua. Misalnya, orang yang mengenakan koteka dianggap Bank Dunia sebagai di bawah garis kemiskinan. Benarkan? Aneh, tetapi nyata, maaf, di sini bukan tempatnya membahas ini.)
Kini kita bisa bertanya, apakah Indonesia sebenarnya sudah merdeka secara ekonomis? Kalau Indonesia sudah merdeka, maka kemungkinan besar sikapnya adalah bukan menahan-nahan tetapi malahan menawarkan kemerdekaan kepada daearh yang sedang menuntut. Sebenarna daerah-daerah tidak perlu menuntut karena toh ditawarkan. Tetapi saat ini secara ekonomi, Indonesia masih dijajah,karenanya sulit bagi Jakarta untuk mengambil sikap. Sikap plin-plan dan enggan dari Jakarta merupakan sinyal yang cukup jelas bahwa Jakartapun tidak mau menuntuk kemerdekaan ekonomisnya dari penjajahnya. Kalau ini keadaanya, maka kemerdekaan politik bagi Papua masih jauh dari kenyataan di mata Jakarta.
Arti Sejarah
Kalau kita lihat dalam sejarah peradaban manusia, kita dapat mengerti bahwa kemerdekaan suku-bangsa Papua adalah sudah wajar dan sudah saatnya untuk diakui. Kalau kita melihat arti ekonomis di atas, maka hal yang lebih bijaksana kalau Jakarta mengatakan "Papua Merdeka!" daripada mempertahankannya, dan akhirnya Jakarta sendirilah yang menelan pil pahit dan kerugian secara ekonomis dan politis.
Perjuangan Papua Barat bukan hanya sekedar untuk lepas dari neo-kolonialisme Indonesia. Kalau kita berpandangan demikian, perlu kita pikir ulang. Perjuangan hakiki bangsa Papua adalah untuk terlepas dari jurang-jurang maut yang telah digali sejak Order Baru menginjak kaki ke dalam rumah orang Indonesia. Dengan kata lain, "Kita tak mau tanggung resiko dosa-dosa Orde Baru!" Perjuangan ini adalah perjuangan antara masyarakat pribumi dan dunia adikuasa yang mau mengisap semua harta kita. Pastilah Sri Sultan Hamengkubuwono setuju dengan pernyataan ini. Perjuagan ini perjuangan untuk respect atas jati-diri dan harga diri manusia Papua yang diabaikan atas kepentingan dunia Barat.
Beberapa waktu silam Amin Rais pernah berkata bahwa Indonesia perlu disatukan agar daerah-daerah di Indonesia tertolong dari genggaman negara-negara luar. Barangkali beliau salah. Yang harus dibuat Jakarta adalah bukan mempertahankan kesatuan, tetapi malahan memberikan keluasan seluas-luasnya, bahkan menawarkan federasi atau bahkan kemerdekaan. Jakarta tidak boleh menunggu desakan Amerika Serikat, Jakarta tidak perlu minta dukungan Eropa, Jakarta tidak perlu menjilat telapak kaki IMF. Jakarta perlu mejadi "Kakak yang berbesar hati." Jakarta perlu menjadi "otak di balik pemain" bukan pemain bola. Kedudukan Jakarta perlu dirubah supaya Jakarta berfungsi dengan tepat.
Agak aneh kalau orang Papua harus minta tolong kepada bangsa Amerika yang tak manusiawi menggali segala harta di Papua sejak 1960an. Lihat semua perusahaan tambang, perusahaan kayu, perusahaan ikan, perusahaan minyak, dll. di tanah Papua. Agak aneh kalau orang Papua menoleh kepada Inggris atau Belanda yang nalurinya kolonial, yang meninggalkan tanah Papua tanpa belas kasihan. Lebih aneh lagi kalau orang Jawa tidak bisa menolong tetangga terdekatnya yang menderita karena ditindas. Apakah Jawa mau berteman dengan orang asing? Apakah Jawa mau jadi sekutu orang jauh? Kalau begitu sampai kapan sekutu itu berjalan? Sampai kekeyaan semua dibawa keluar dari Indonesia, keharmonisan itu pasti akan lenyap, dan Jawa akan merayap kembali. Teman terdekatnya adalah Sumatra, Borneo, Sulawesi, Bali, Maluku dan Papua. Kalau Jawa tega memperlakukan tetangganya seperti ini dan malahan orang jauh seperti Amerika Serikat yang harus datang membela Papua, maka apa ini yang terjadi? Kalau Jawa tidak manusiawi karena mau bersahabat dengan orang Barat, maka apa untungnya?
Kita patut menyesal bahwa TNI masih mau mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan. Kita perlu sesali bahwa mereka tidak menunjukkan penyesalan sedikitpun. Ini kelemahan kita semua, kelemahan politik dan kelemahan kedewasaan berpolitik. TNI belum paham apa artinya politik di era globalisasi dan abad 21. Sikap TNI tentu merugikan semua bangsa Indonesia, bukan TNI sendiri. (Saya tidak mau menjadi guru politik di sini!)
Kalau kita melihat saat Papua menjadi bagian Indonesia, itu terjadi berkat masa dekolonisasi, di mana suku-bangsa dan pulau yang berada di bawah kolonialisme diberi waktu untuk memilih merdeka atau bergabung dengan negara yang sudah merdeka, dalam hal ini Papua dengan Indonesia. Ini sejarah yang kita semua tahu. Dan ini berdasarkan deklarasi PBB tentang dekolonisasi yang tentu diprakarsai AS dan didukung penuh AS akhir 1950an.
Sejarah itu berlanjut. Sekarang kita sudah ada dalam tingkat peradaban dan tingkat management of governance yang canggih. Kini saat di mana Jakarta perlu bertanya kepada semua teman-teman dekatnya, dan semua negara donor, semua negara pendukungnya yang sementara ini mengatakan, "Kita ingin melihat Indonesia menjadi satu!" Ini sama dengan dulu Harmoko bilang, "Rakyat mau Suharto tetap menjadi Presiden!", tetapi tidak lebih dari 5 bulan kemudian mengatakan: "Saya telah memimpin rapat untuk meminta President Suharto mundur!" Ada pepatah Papua, "Lebih baik teman yang membunuh saya daripada musuh!" Artinya, lebih baik Jakarta mendengar orang Indonesia sendiri daripada menguping ke negara luar, yang jelas-jelas bukan orang Indonesia.
Saya terkesan mendengar salah seorang professor di UGM yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini belum beradab. Peradaban Indonesia itu belum mencapai tingkat manusiawi karena sikap dan paham yang keliru. Salah satunya ditunjukkan TNI dan mereka yang percaya bahwa Indonesia masih bisa tinggal sebagai negara kesatuan.
Penutup
Politik era 21, kalau kita melihat sejarah politik adalah lebih condong politik yang bersifat reaktif, bukan lagi antisipatif. Artinya, kebanyakan politisi perlu belajar bagaimana merespon kepada dilema dan dinamika hidup rakyat mereka, daripada meletakkan dasar-dasar politik, dan ilmu politik serta best-practice of politics dan memaksakan diri untuk menerapkannya. Praktek politik yang memaksakan filsafat dan idealisme telah terbukti berbahaya bagi politisi sendiri. Makanya, kalau Jakarta mau menjadi pemain politik dan pemeran dalam politik internasional, tidak salah kalau saya secara jujur mau sarankan: "Berilah kemerdekaan kepada suku-bangsa Papua Barat sebagai hadiah Millennium Baru, daripada dirampas dari tanganmu, atau daripada orang asing todong Jakarta untuk lepas tangan atas Papua Barat." Itu kenyataan, dan itu secara politis, ekonomis, dan historis bermanfaat bagi Jakarta. Kalau itu tidak terjadi, marilah kita menghiningkan cipta, atas gugurnya Jakarta dan kejayaannya; - kalau bukan besok, ya lusa.
IF ONLY...
If only I were a Javanese,
I would have let West Papua people to be free
If only I were a Javanese,
I would have supported West Papua to be free
If only I were a Javanese,
I would have admitted that I myself am not free
If only I were a Javanese,
I would have pressured Jakarta, to let West Papua be free
If only I were a Javanese,
I would have agreed, that it is time now to offer freedom to West Papua If only I were a Javanese,
I would have no trust to politicians from the USA and Europe
If only I were a Javanese,
I would have build strong solidarity within Indonesia by giving independent to each outer-island demanding it, even before that
If only I were a Javanese,
I would have offered the independence to West Papua
If only I were a Javanese,
I would have been wiser than I am now
Anyway, IF ONLY... !
"Merdeka" atau "Papua Merdeka", yang dulunya kata "racun" bagi Indonesia, kini menjadi "kata angin lalu." Bagi masyarakat Papua, kata ini menjadi simbol expresi jatidiri suku-bangsa Melanesia terhadap penjajahnya suku-bangsa Proto-Malay. Ini arti di permukaan yang dapat dijawab oleh anak berumur 3 tahun di Jl. Bestuur Sentani. Tetapi kalau pertanyaan yang sama diajukan kepada Pak Menpan, atau menteri otonomi daerah, maka apakah kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Mr President, lalu apa kira-kira jawabannya? Kalau kita tanyakan kepada Moses Weror di PNG atau Viktor Kaisiepo di Holland, maka apa yang mereka maksud? Kalau kita tanya kepada Aliansi Mahasiswa Papua, maka apa pengertian mereka?
Arti leksis
Secara leksis, kata "merdeka" dalam bahasa Inggris berarti "terlepas" (independent), atau "tidak tergantung." Lawan katanya "dependent" artinya "tergantung. " Kata merdeka berkonotasi melepaskan diri dari suatu ketergantungan. Ketergantungan itu dapat diartikan dalam segi politik, ekonomi, sosial, teknologi, ilmu-pengetahuan, dan lain sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya barangkali "tergantung kepada apa atau siapa" dan "terlepas dari apa atau siapa." Nah, di sinilah kita kewalahan, terutama kalau Indonesia juga masih "tergantung" kepada entah sesuatu atau seseorang. Alasan yang mudah karena ketergantungan Indonesia tidak menjamin independent Papua Barat. Dengan kata lain, Indonesia sendiri masih tergantung kepada seseorang dan sesuatu, jadi kalau ditanyakan untuk melepaskan Papua Barat, hal itu menjadi sakit kepala yang bukan main hebatnya.
Selanjutnya, kita perlu bertanya, "Ketergantungan dalam bidang apa dan untuk kepentingan apa?" Jawabannya bagi Jakarta masih kabur. Itulah sebabnya Jakarta dicap tidak tegas dan KJ.
Untuk menjamin Papua Barat independent, itu sebenarnya berarti sebuah langkah ke arah independent buat Jakarta, karena aneksasi Papua ke dalam Indonesia sebenarnya bukan tanda kemerdekaan Indonesia, tetapi justru tanda bahwa Jakarta itu belum independent secara arti leksis. (Di sini bukan tempatnya untuk membuktikan apakah Indonesia itu suatu negara yang merdeka atau tidak, yang berhak adalah Mas Amin Rais, Pak Wahid, Mbak Mega, Pak Wiranto, dll. untuk mengkleim kalau mereka memang merdeka dan membuktikannya, paling tidak kepada rakyat Papua Barat.)
Arti Politis
Secara politis kemerdekaan suatu suku-bangsa secara umum dimengerti sebagai suatu kelompok manusia, dengan batasan-batasan geografis, politis, kultural dan historis secara unik dan khas dan memiliki cukup sumberdaya manusia untuk menjalankan pemerintahan, yang dikepalai oleh seorang kepala negara, sayang sekali, yang juga diakui oleh suku-bangsa yang sudah merdeka.
Sudah pasti, legitimasi Indonesia di tanah Papua dapat dengan mudah diragukan. Pelanggaran pertama karena invasi tahun 1962 adalah invasi militer. Lalu Pepera tahun 1969 adalah ilegal. Lalu satu-demi-satu manusia Papua dihabiskan dengan berbagai kebijakan seperti peracunan makanan, keluarga berencana, kebijakan pendidikan, transmigrasi, penerimaan pegawai, dll. Walaupun beberapa negara se-ras kita di Afrika sudah pernah menyatakan keberatan mereka untuk mengakui invasi Indonesia akhir tahun 1960an, badan bergengsi sedunia PBB telah mensahkan invasi ilegal Indonesia, dan kini Indonesia menikmati kekayaan Papua secara luar-biasa.
Tetapi angka 10 bagi Jakarta, karena telah menang dalam diplomasi politiknya sampai hari ini Papua masih dikleim sebagai wilayahnya dan dunia masih mengakui kleimnya. Kini, kalau kita tanya Perdana Menter sesuku-sebangsa di kota Port Moresby, yang konon punya nenek-moyang satu mama-satu-bapa itu akan menjawab "West Papua is part of Indonesia." Sungguh, betapa teganya dia bisanya menangkal suku sendiri. Kalau kita bertanya kepada Australia sebagai negara barat terdekat di Pacific, kebanyakan yang kita dengar seperti ini: "Kita telah habiskan orang Aborigin di benua ini. Kita telah buru mereka seperti binatang. Mereka kini hanya ratusan orang. Jadi, kalau Indonesia berbuat serupa, itu sebenarnya sama dengan kita. Jadi kalau kita menegur Indonesia, itu suatu kesalahan besar, karena Australia mempunyai rekor biadab dalam memperlakukan teman-teman kita orang Aborigin."
Kalau kita memohon bantuan kepada orang Amerika Serikat, maka jawabannya serupa dengan jawaban Australia. Orang-orang putih di Amerika berasal dari Eropa. Mereka menginjakkan kaki di benua itu dan telah memburu orang Indian American secara membabi-buta dan habis-habisan. Bangsa Eropa menyisihkan waktu-waktu luang mereka untuk berburu. Yang diburu bukan binatang, tetapi apa yang kita kenal sebagai Indian-American, teman-teman Anda, pemilik benua yang kini kita sebut Amerika. Film-film cowboy menunjukkan sedikit sisah-sisah yang mereka tinggalkan. Mereka kuta, mereka gagah, mereka lebih beradab daripada orang Eropa. Tetapi sayang, mereka telah diburu, dihabiskan dengan meracuni makanan, dengan keluarga berencana, dengan meracuni air mereka, dengan mensenjatai kelompok-kelompok yang bertikai dan dengan mencap mereka sebagai teroris. Ingat, kata teroris berasal dari Amerika Serikat untuk mencap masyarakat pribumi yang keluar dan berteriak, "Ini tanah saya, hargai saya, jangan bunuh saya!"
Kalau kita bermohon kepada Eropa, tanpa malu mereka akan mengatakan, "Indonesia is wrong. They must stop killing Papuans." Tetapi mereka juga ingat, paling tidak di bawah sadar mereka, bahwa mereka telah berbuat hal-hal yang jauh-jauh lebih jahat dan di luar batas peri-kemanusiaan kepada teman-teman seras dan sebangsa Anda di benua Afrika, di Selandia Baru, di Papua New Guinea, di negara-negara Pacific, di Benua Amerika, di Benua Australia, yang sampai saat ini mereka tidak pernah katakan, "We are sorry that we have killed you so much!"
Jangan pernah lupa juga, bahwa mereka juga bertanggung-jawab atas penderitaan kita di tanah Papua. Mereka yang menjual pesawat pemburu bronco fighters dan hawks atau jet fighters. Jangan lupa bahwa mereka yang mensuplai senjata kepada militer Indonesia. Mereka yang melatih pasukan elite Indonesia yang kita tahu dengan nana Kopassus, dulunya Kopasanda. Mereka yang melatih dan mensuplai berbagai perlengkapan kepada Badan Koordinasi Inteligen Indonesia (BAKIN). Kalau kita melacak cara kerja BAKIN, maka Anda tidak perlu kaget melihat seluruhnya adalah foto-kopi operasi central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat. Dengan kata lain, BAKIN adalah cabang CIA untuk Asia Tenggara dan Pasifik. Kalau kita baca Kompas tanggal 2 Februri 2000, Inggris telah menjanjikan mensuplai peralatan dan pelatihan bagi kepolisian Indonesia. Dengan kata lain, Inggris tidak mau berhenti dan belum kenyang dengan pemburu, senjata, pelatihan pasukan elit dan berbagai kebrutalan tidak manusiawi di Indonesia yang telah mengakibatkan Jakarta harus hilang muka sebagai militer professional. Militer kini dicap buruk, dan sebagian tanggung-jawab ada di London, tetapi itu diabaikan. Malahan kerjasama militer mau ditingkatkan dengan bidang kepolisian. Banyak rakyat mati di Acheh, Timor Loro Sae, Papua Barat, Maluku, dll. dengan peluru Inggris dianggap kurang memuaskan? Barangkali Presiden kita mengangguk dan berterima-kasih atas tawaran tidak manusiawi itu. Tetapi sayang, kita kembali lagi, Indonesia sebenarnya kita perlu sangsikan, "Apakah memang sudah merdeka?"
Secara politis, proklamasi sudah diucapkan tepat tanggal 17-8-1945 jam 10:am di Pegangsaan Timur Jakarta, tetapi lonceng ucapan proklamasi kemerdekaan policy dan ekonomis belum pernah terdengar, paling tidak di telinga orang Papua.
Arti Ekonomis
Jangan lupa bahwa politik era 21 adalah politik bermuatan ekonomis. Tidak ada kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan keuntungan secara ekonomis. Kalau politisi saat ini hanya memikirkan politik, dan mengabaikan ekonomi, maka politisi seperti itu disebut politisi purba dan tak mungkin mereka dipilih di panggung politik.
Sebelum kita lanjut, kita perlu tahu latar-belakang politik bermuatan ekonomis ini. Pertama, kalau kita lihat era kolonialisme, tujuan utama adalah masih sama, yaitu untuk mencari harta-benda dan membawanya kembali ke negara asal mereka. Kita lihat Maluku sebagai kota rempah-rempah. Kebanyakakan rempah-rempah sudah dibawa ke Eropa. Kita lihat emas dan perak di Afrika dan New Guinea. Semua yang digali dibawa ke Eropa.
Kini, sejak Amerika Serikat berdiri, sebagai negara yang sudah bebas dari kolonialisme Inggris, ia tidak menolong bangsa-bangsa yang masih terjajah seperti Indonesia dan negara lain di Afrika dan Asia. Ia tampit sebagai negara adikuasa yang anti kolonialisme, tetapi yang tak mau mengakui diri sebagai kekuasaan imperialisme abad 20 dan barangkali juga abad 21. Apa yang dibuat AS adalah merutuhkan kolonialisme, dan secara otomatis mendirikan koloninya sendiri yang disebut neo-colonial power. Saya curiga, Indonesia adalah negara utama dan anak kesayangan neo-colonial power dari Amerika Serikat. Anda bisa keliling dunia dan baca peta politik AS. Indonesia adalah biji mata AS.
Di Inggris, AS da berbagai negara maju sedang digalakkan kampanye-kampanye untuk memotong utang "negara berkembang." Ada politisi yang sudah mulai mengumumkan kedermawan mereka "memotong utang." Mereka dipuji karena kebijakan-kebijakan berani mereka itu. Tetapi kalau kita lihat secara ekonomis, sebenarnya mereka tidak menghapuskan, tetapi mereka merubah bentuk utang, dari utang keuangan menjadi utang moral. Utang keuangan akan habis saat dibayar, sedangkan utang moral tidak akan pernah habis, karena utang itu sudah dihapus.
Utang moral itu sebenarnya sama dengan bentuk kolonialisme termutakhir dalam peradaban kita. Untung bagi Indonesia, karena utangnya belum dihapus. Ada NGOs di Indonesia yang secara ignorant berkampanye untuk menghapus utang, tetapi sayang mereka belum paham apa implikasi masa panjangnya. Mereka yang berkampanye memilik alasan yang manusiawi dan masuk akal, antara lain bahwa rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan yang digariskan oleh Bank Dunia. (Perlu diingat di sini dengan baik bahwa garis-garis yang dipatok oleh Bank Dunia sebagai negara maju, sedang berkembang dan terbelakang itu menggunakan patokan Barat dan modern, yang jelas-jelas tidak pas dengan patokan kita orang Papua. Misalnya, orang yang mengenakan koteka dianggap Bank Dunia sebagai di bawah garis kemiskinan. Benarkan? Aneh, tetapi nyata, maaf, di sini bukan tempatnya membahas ini.)
Kini kita bisa bertanya, apakah Indonesia sebenarnya sudah merdeka secara ekonomis? Kalau Indonesia sudah merdeka, maka kemungkinan besar sikapnya adalah bukan menahan-nahan tetapi malahan menawarkan kemerdekaan kepada daearh yang sedang menuntut. Sebenarna daerah-daerah tidak perlu menuntut karena toh ditawarkan. Tetapi saat ini secara ekonomi, Indonesia masih dijajah,karenanya sulit bagi Jakarta untuk mengambil sikap. Sikap plin-plan dan enggan dari Jakarta merupakan sinyal yang cukup jelas bahwa Jakartapun tidak mau menuntuk kemerdekaan ekonomisnya dari penjajahnya. Kalau ini keadaanya, maka kemerdekaan politik bagi Papua masih jauh dari kenyataan di mata Jakarta.
Arti Sejarah
Kalau kita lihat dalam sejarah peradaban manusia, kita dapat mengerti bahwa kemerdekaan suku-bangsa Papua adalah sudah wajar dan sudah saatnya untuk diakui. Kalau kita melihat arti ekonomis di atas, maka hal yang lebih bijaksana kalau Jakarta mengatakan "Papua Merdeka!" daripada mempertahankannya, dan akhirnya Jakarta sendirilah yang menelan pil pahit dan kerugian secara ekonomis dan politis.
Perjuangan Papua Barat bukan hanya sekedar untuk lepas dari neo-kolonialisme Indonesia. Kalau kita berpandangan demikian, perlu kita pikir ulang. Perjuangan hakiki bangsa Papua adalah untuk terlepas dari jurang-jurang maut yang telah digali sejak Order Baru menginjak kaki ke dalam rumah orang Indonesia. Dengan kata lain, "Kita tak mau tanggung resiko dosa-dosa Orde Baru!" Perjuangan ini adalah perjuangan antara masyarakat pribumi dan dunia adikuasa yang mau mengisap semua harta kita. Pastilah Sri Sultan Hamengkubuwono setuju dengan pernyataan ini. Perjuagan ini perjuangan untuk respect atas jati-diri dan harga diri manusia Papua yang diabaikan atas kepentingan dunia Barat.
Beberapa waktu silam Amin Rais pernah berkata bahwa Indonesia perlu disatukan agar daerah-daerah di Indonesia tertolong dari genggaman negara-negara luar. Barangkali beliau salah. Yang harus dibuat Jakarta adalah bukan mempertahankan kesatuan, tetapi malahan memberikan keluasan seluas-luasnya, bahkan menawarkan federasi atau bahkan kemerdekaan. Jakarta tidak boleh menunggu desakan Amerika Serikat, Jakarta tidak perlu minta dukungan Eropa, Jakarta tidak perlu menjilat telapak kaki IMF. Jakarta perlu mejadi "Kakak yang berbesar hati." Jakarta perlu menjadi "otak di balik pemain" bukan pemain bola. Kedudukan Jakarta perlu dirubah supaya Jakarta berfungsi dengan tepat.
Agak aneh kalau orang Papua harus minta tolong kepada bangsa Amerika yang tak manusiawi menggali segala harta di Papua sejak 1960an. Lihat semua perusahaan tambang, perusahaan kayu, perusahaan ikan, perusahaan minyak, dll. di tanah Papua. Agak aneh kalau orang Papua menoleh kepada Inggris atau Belanda yang nalurinya kolonial, yang meninggalkan tanah Papua tanpa belas kasihan. Lebih aneh lagi kalau orang Jawa tidak bisa menolong tetangga terdekatnya yang menderita karena ditindas. Apakah Jawa mau berteman dengan orang asing? Apakah Jawa mau jadi sekutu orang jauh? Kalau begitu sampai kapan sekutu itu berjalan? Sampai kekeyaan semua dibawa keluar dari Indonesia, keharmonisan itu pasti akan lenyap, dan Jawa akan merayap kembali. Teman terdekatnya adalah Sumatra, Borneo, Sulawesi, Bali, Maluku dan Papua. Kalau Jawa tega memperlakukan tetangganya seperti ini dan malahan orang jauh seperti Amerika Serikat yang harus datang membela Papua, maka apa ini yang terjadi? Kalau Jawa tidak manusiawi karena mau bersahabat dengan orang Barat, maka apa untungnya?
Kita patut menyesal bahwa TNI masih mau mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan. Kita perlu sesali bahwa mereka tidak menunjukkan penyesalan sedikitpun. Ini kelemahan kita semua, kelemahan politik dan kelemahan kedewasaan berpolitik. TNI belum paham apa artinya politik di era globalisasi dan abad 21. Sikap TNI tentu merugikan semua bangsa Indonesia, bukan TNI sendiri. (Saya tidak mau menjadi guru politik di sini!)
Kalau kita melihat saat Papua menjadi bagian Indonesia, itu terjadi berkat masa dekolonisasi, di mana suku-bangsa dan pulau yang berada di bawah kolonialisme diberi waktu untuk memilih merdeka atau bergabung dengan negara yang sudah merdeka, dalam hal ini Papua dengan Indonesia. Ini sejarah yang kita semua tahu. Dan ini berdasarkan deklarasi PBB tentang dekolonisasi yang tentu diprakarsai AS dan didukung penuh AS akhir 1950an.
Sejarah itu berlanjut. Sekarang kita sudah ada dalam tingkat peradaban dan tingkat management of governance yang canggih. Kini saat di mana Jakarta perlu bertanya kepada semua teman-teman dekatnya, dan semua negara donor, semua negara pendukungnya yang sementara ini mengatakan, "Kita ingin melihat Indonesia menjadi satu!" Ini sama dengan dulu Harmoko bilang, "Rakyat mau Suharto tetap menjadi Presiden!", tetapi tidak lebih dari 5 bulan kemudian mengatakan: "Saya telah memimpin rapat untuk meminta President Suharto mundur!" Ada pepatah Papua, "Lebih baik teman yang membunuh saya daripada musuh!" Artinya, lebih baik Jakarta mendengar orang Indonesia sendiri daripada menguping ke negara luar, yang jelas-jelas bukan orang Indonesia.
Saya terkesan mendengar salah seorang professor di UGM yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini belum beradab. Peradaban Indonesia itu belum mencapai tingkat manusiawi karena sikap dan paham yang keliru. Salah satunya ditunjukkan TNI dan mereka yang percaya bahwa Indonesia masih bisa tinggal sebagai negara kesatuan.
Penutup
Politik era 21, kalau kita melihat sejarah politik adalah lebih condong politik yang bersifat reaktif, bukan lagi antisipatif. Artinya, kebanyakan politisi perlu belajar bagaimana merespon kepada dilema dan dinamika hidup rakyat mereka, daripada meletakkan dasar-dasar politik, dan ilmu politik serta best-practice of politics dan memaksakan diri untuk menerapkannya. Praktek politik yang memaksakan filsafat dan idealisme telah terbukti berbahaya bagi politisi sendiri. Makanya, kalau Jakarta mau menjadi pemain politik dan pemeran dalam politik internasional, tidak salah kalau saya secara jujur mau sarankan: "Berilah kemerdekaan kepada suku-bangsa Papua Barat sebagai hadiah Millennium Baru, daripada dirampas dari tanganmu, atau daripada orang asing todong Jakarta untuk lepas tangan atas Papua Barat." Itu kenyataan, dan itu secara politis, ekonomis, dan historis bermanfaat bagi Jakarta. Kalau itu tidak terjadi, marilah kita menghiningkan cipta, atas gugurnya Jakarta dan kejayaannya; - kalau bukan besok, ya lusa.
IF ONLY...
If only I were a Javanese,
I would have let West Papua people to be free
If only I were a Javanese,
I would have supported West Papua to be free
If only I were a Javanese,
I would have admitted that I myself am not free
If only I were a Javanese,
I would have pressured Jakarta, to let West Papua be free
If only I were a Javanese,
I would have agreed, that it is time now to offer freedom to West Papua If only I were a Javanese,
I would have no trust to politicians from the USA and Europe
If only I were a Javanese,
I would have build strong solidarity within Indonesia by giving independent to each outer-island demanding it, even before that
If only I were a Javanese,
I would have offered the independence to West Papua
If only I were a Javanese,
I would have been wiser than I am now
Anyway, IF ONLY... !