Ilustrasi saat PEPERA 1969 |
SEJARAH POLITIK BANGSA PAPUA BARAT DAN PANDAGAN POLITIK
Situasi keamanan dan Hak Asasi Manusia di teritori West Papua mulai terganggu sejak Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesai mengambil inisiative bersama militer Indonesia melakukan upaya untuk merebut wilayah koloni Nederlands Nieuw Guinea dan menguasai West Papua dari kekuasaan Pemerintah kolonial Nederland tanpah hak dan inisiative tersebut ditentang oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. Mohamad Hatta dengan alasan Ras dan Kebangsaan yang berbeda serta kewajiban Pemerintah Republik Indonesia menghormati Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua, namun Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia tetap pada kehendaknya yang bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 26 Juni 1945, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 1514(XV) tanggal 20 Desember 1960 dan alinea Pertama Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pemerintah Republik
Indonesia dan Angkatan Perang Republik Indonesia dibawah kepemimpinan
Ir.Soekarno Presiden Republik Indonesia yang mengumumkan Maklumat Tri
Komado Rakyat (TRIKORA) di Alun-alun Jog Jakarta, 19 Desember 1961
mengawali kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia Bangsa Papua dengan
melakukan tindakan Infiltrasi, Konfrontasi dan Aneksasi wilayah West
Papua tanpa hak dengan memanfaatkan situasi politik dunia yang terbagi
antara kekuatan kelompok Komunis yang dipimpin Uni Sovyet bersama
Tiongkok dan Kelompok Liberalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Pemerintah Republik
Indonesia berhasil di rangkul oleh Pemerintah Amerika Serikat yang
didukung oleh TNI AD dan menerima tawaran penyelesaian melalui
perundingan yang difasilitasi Duta Besar Amerika Serikat di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) Mr.Oswalt Bunker.
Mr. Oswalt Bunker Duta
Besar Amerika Serikat di PBB mendesaign Persetujuan New York yang pada
prinsipnya mengamankan tujuan dan kepentingan Pemerintah Republik
Indonesia dengan harapan Pemerintah Amerika Serikat mendapatkan hak
investasi di Indonesia secara khusus di West Papua melalui dokumen
kesepakatan yang didesaign Mr. Oswalt Bunker, hal tersebut nampak jelas
dalam penandatanganan Kontrak Karya PT. Free Port Mc. Moran 1966 atas
eksploitasi Tambang Emas dan Tembaga di Tembagapura West Papua sebelum
pelaksanaan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua di bekas koloni
Nederlands Nieuw Guinea tahun 1969 sebagimana pasal 18 d dan 22 ayat 1
Persetujuan New York yang ditandatangani oleh Pemerintah kerajaan
Nederland dan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 1962 di
gedung Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.
Sejak berakhirnya
Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa UNTEA di West Papua
bekas koloni Nederlands Nieuw Guinea 1 Mei 1963 dan kemudian Kekuasaan
Administrasi diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, dalam
bulan tersebut Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia menerbitkan
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor : 8/Mei/1963 yang
Menyatakan : “ Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai
Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik
dalam bentuk rapat umum, pertemuan umum, demonstrasi-demonstrasi,
percetakan, publikasi, pengumuman-pengumuman, penyebaran, perdagangan
atau artikel, pameran umum, gambar-gambar atau foto-foto tanpa ijin
pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden
Republik Indonesia.“
Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia, Nomor : 8/Mei/1963 adalah bukti pelanggaran
terhadap pasal 22 ayat 1 Persetujuan New York tanggal 15 Agustus 1962
yang ditanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Kerajaan Nederland.
Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia, Nomor : 8/Mei/1963, memberi legitimasi kepada
militer Indonesia untuk melakukan intimidasi dan operasi penangkapan,
penahanan sewenang-wenang tanpa bukti kesalahan terhadap orang pribumi
Papua, penyiksaan, pemerkosaan terhadap perempuan dan ibu-ibu Papua,
perampokan dan perampasan terhadap harta benda warga masyarakat pribumi
Papua, Pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
bangsa Papua yang bersuara keras untuk keadilan dan penegakan pasal 22
ayat 1 Persetujuan New York 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh
Pemerintah Kerajaan Nederland dan Pemerintah Republik Indonesia.
Kejahatan terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia bangsa Papua yang dilakukan oleh militer Indonesia berlangsung sampai pelaksanaan PEPERA 1969, July-Agustus dibawah legitimasi Keputusan Presiden Republik Indonesia, nomor : 8/Mei/1963.
Pada tahun 1967, dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 199/1967, Irian Barat
dijadikan salah satu Projek diantara 17 Projek Nasional yang mengalami
perobahan susunan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
18/1969, dijadikan Sektor-Sektor dimana Irian Barat (West Papua)
termasuk sebagai salah satu sektor Khusus.
Untuk merealisir Operasi
Sektor Khusus tersebut, Amir Machmud Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia selaku Ketua Sektor Irian Barat segera mengeluarkan
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang meliputi :
a. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 31 s/d 38/1968, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Musyawarah Kabupaten-Kabupaten.
b. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/1969, tentang Penyempurnaan Susunan Organisasi, Tugas dan Wewenang serta Tata Kerja Sektor Irian Barat.
c. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. IB X/1/1/2, tentang Pedoman Operasi yang merupakan kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Sektor Irian Barat.
d. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1/X/1969, tenteng Realisasi Pemantapan dalam bulan Mei dan Djuni 1969 dan Pengamanan Pelaksanaan Pepera.
e. Pedoman No. 12 tahun 1969, tentang tjara kerja Panitia Pembentukan Dewan-Dewan Musyawarah Pepera di Kabupaten-Kabupaten di Irian Barat.
b. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/1969, tentang Penyempurnaan Susunan Organisasi, Tugas dan Wewenang serta Tata Kerja Sektor Irian Barat.
c. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. IB X/1/1/2, tentang Pedoman Operasi yang merupakan kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Sektor Irian Barat.
d. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1/X/1969, tenteng Realisasi Pemantapan dalam bulan Mei dan Djuni 1969 dan Pengamanan Pelaksanaan Pepera.
e. Pedoman No. 12 tahun 1969, tentang tjara kerja Panitia Pembentukan Dewan-Dewan Musyawarah Pepera di Kabupaten-Kabupaten di Irian Barat.
Ketentuan yang dimaksud
pada butir a sampai dengan e menegaskan bahwa Pepera 1969 dilaksanakan
dalam bentuk musyawarah-mufakat melalui perwakilan yang diseleksi dan
ditunjuk oleh Panitia Sektor Irian Barat yang konsultasinya dimulai 14
July 1969 di DMP Merauke sampai dengan selesai tepat pada tanggal 2
Agustus 1969 di DMP Djayapura.
Anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang dipersiapkan oleh Panitia Sektor Irian Barat 1969, ditugaskan untuk membaca naskah Pernyataan Sikap yang telah dirancang oleh Pemeritah selaku Panitia Sektor Irian Barat dalam musyawarah-mufakat yang bunyi kalimatnya sebagai berikut : “ Tetap bersatu dengan Negara Republik Indonesia dan tidak mau dipisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Keterangan Anggota Dewan
Musyawarah Pepera bahwa Naskah Pernyataan yang dibaca dan
ditandatangani oleh mereka adalah sangat bertentangan dengan hati nurani
mereka, namun mereka tidak bisa melawan karena sejak dipilih dan
ditetapkan sebagai anggota DMP sampai saat dijemput dan diantar oleh
militer Indonesia menuju gedung tempat pelaksanaan Musyawarah-mufakat.
Dalam perjalanan mereka dibawah tekanan dan diancam dibunuh oleh militer
Indonesia, jika kalimat yang diucapkan bertentangan dengan naskah
pernyataan yang telah disiapkan oleh Panitia Sektor Irian Barat dan
diserahkan kepada Anggota Dewan Musyawarah Pepera.
Pada akhir tahun 1969,
Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia Mr.Adam Malik, menyampaikan hasil pelaksanaan PEPERA yang
cacat hukum pelaksanaannya kepada Sekretaris General Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagai laporan untuk memenuhi kewajiban yang diatur dalam
pasal 21 ayat 1 Persetujuan New York 15 Agustus 1962.
Pada tahun 1971, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Resolusi nomor 2504, yang menerima pelaksanaan dan hasil PEPERA 1969 July – Agustus. Resolusi 2504/1971 tersebut memberikan legitimasi kepada pemerintah asing Republik Indonesia untuk menjajah dan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia di West Papua tanpa didasari suatu pelaksanaan Referendum yang sejati menurut praktek Internasional ;
Selanjutnya dibawah
legitimasi Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504/1971, Pemerintah
Republik Indonesia dibawah kepemimpinan Jenderal TNI Soeharto Presiden
Republik Indonesia menetapkan teritori West Papua sebagai Daerah Operasi
Militer (DOM) yang didukung oleh Doktrin Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde
Baru dan telah membunuh lebih dari seratus ribu orang pribumi West
Papua tanpa alasan kesalahan namun hanya karena menuntut keadilan atas
Pelaksanaan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua.
Berdasarkan pada fakta
hukum dan Hak Penentuan Nasib sendiri Bangsa Papua serta riwayat
tindakan kejahatan Pemerintah Republik Indonesia terhadap hak politik
bangsa Papua di teritori West Papua bekas koloni Nederlands Nieuw
Guinea, maka Nieuw Guinea Raad / Parlemen Nasional West Papua
berpendapat :
Bahwa Gangguan Keamanan
dan pembunuhan secara sistematis oleh Pemerintah Republik Indonesia,
Militer Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
terhadap bangsa Papua di teritori West Papua bekas koloni Nederlands
Nieuw Guinea sejak masa Orde Lama dibawah kepemimpinan Ir. Soekarno,
Orde Baru dibawah kepemimpinan Jenderal TNI Soeharto sampai masa
Revormasi dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Presiden
Republik Indonesia, missi pembunuhan sistematik masih terus berlangsung
di teritori West Papua terhadap masyarakat pribumi West Papua.
Bahwa segala tindakan
yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Militer bersama
Kepolisian Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah status politik
West Papua diluar prinsip-prinsip Hukum Internasional dan standart Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Ilegal dan melawan Hukum
Internasional.
Upaya-upaya penyelesaian
yang telah dan sedang dilakukan oleh Pemerintah Rebublik Indonesia
dengan memberlakukan Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2001, tentang Otonomi
Khusus (OTSUS) Bagi Provinsi Papua jo Peraturan Pemerintah No.54 tahun
2004, tentang Majelis Rakyat Papua dan pembentukan Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) adalah teori penyelesaian
konflik Politik West Papua yang tidak mendasar dan bertentangan dengan
akar persoalan status politik West Papua.
Komite Nasional Papua Barat KNPB menilai upaya-upaya Pemerintah Republik Indonesia tersebut merupakan kejahatan Politik Sistematik untuk mengelabui masyarakat Internasional dan Negara-Negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempertahan kekuasaan Penjajahannya di teritori West Papua.
Kami komite Nasional
Papua Barat KNPB berpendapat sesungguhnya upaya-upaya Pemerintah
Republik Indonesia sebagaimana tersebut di atas hanya merupakan taktik
untuk menghindar dari tanggungjawab moral dan hukum Pemerintah Republik
Indonesia atas Kejahatan yang telah dilakukan terhadap Hak Penentuan
Nasib Sendiri Bangsa Papua sebagai unsur Hak Asasi Manusia bangsa Papua
yang merupakan hak paling mendasar sejak :
- Periode TRIKORA 19 Desember 1961 sampai dengan PEPERA 1969,14 July – 2 Agustus.
- Periode Persetujuan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2504 tahun 1971, yang menerima hasil PEPERA 1969 yang cacat hukum hingga saat ini dan seterusnya.
Komite Nasional Papua Barat berpendapat bahwa Persetujuan New York 15 Agustus 1962 yang ditandatangani oleh Pemerintah Kerajaan Nederland dan Permerintah Republik Indonesia terkait penyelesaian sengketa Politik atas teritori West Papua Harus Ditinjau Kembali sebab Bangsa Papua menilai Persetujuan New York 15 Agustus 1962 merupakan akar kejahatan terhadap Kemanusiaan di West Papua.
Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengambil Inisiative nyata dan mempertanggungjawabkan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2504/1971, yang menerima hasil PEPERA West Papua 1969 yang cacat hukum. Peninjauan Kembali Materi Hukum Persetujuan New York 15 Agustus 1962 dan Pelaksanaan Penetuan Pendapat Rakyat 1969 July – Agustus, Wajib dilakukan dihadapan Pengadilan Internasional.
Demikian Pandangan Resmi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) tentang Situasi Keamanan di West Papua.
Holandia/Jayapura West Papua 10 Oktober 2014
Penulis adalah Ones Suhuniap Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat.