Ilustrasi Mako Brimob. Foto: Ist.
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Rencana pembangunan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, adalah bukan keinginan murni rakyat. Untuk itu, DPRP Papua diminta segera memediasi semua elemen, rakyat, pemerintah daerah, pihak keamanan dan mahasiswa untuk mendiskusikan bersama.
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dengan tegas menolak Rencana pembangunan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Kami menyarankan kepada Bupati Wempi Wetipo agar harus mendengar aspirasi masyarakat di wilayah La Pago dan berbagai pihak terkait rencana pembangunan Mako Brimob.
"Sikap mahasiswa sudah jelas, bahwa dengan sangat tegas menolak kehadiran Mako Brimob yang saat ini sedang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Jayawijaya. Rencana kehadiran Mako Brimob bukan keinginan murni rakyat. Ia lebih kepada kepentingan-kepentingan elit politik yang ingin mengorbankan rakyat,"
Ditegaskan, alasan pemerintah daerah untuk membangun Mako Brimob adalah untuk meminimalisir kasus kriminal yang diakibatkan oleh minuman keras (Miras) dan aksi penjambretan, sangat tidak tepat.
"Itu bukan alasan yang logis dan sangat tidak masuk akal. Pertanyaannya, apa peran dan fungsi polisi yang ada di Wamena?" kata dia.
Menurutnya, alasan murahan tersebut hanya dipakai untuk memuluskan kepentingan Bupati dan kelompoknya dengan mengabaikan aspirasi masyarakat Jayawijaya yang terus menyampaikan sikap penolakan.
"Sikap mahasiswa sama dengan masyarakat, tetap menolak. Jadi, Bupati jangan paksakan kemauan pribadi," tegas Alus.
Dipaparkan, sejak Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia 1 Mei 1963, kehadiran aparat keamanan di tanah Papua tidak pernah memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat Papua pada umumnya dan Jayawijaya khususnya.
"Kenyataannya, justru ciptakan berbagai kasus pelanggaran HAM seperti kasus gejolak tahun 1977, 6 Oktober di Wamena, Abe Berdarah, Biak Berdarah, Kasus Wasior, Paniai berdarah dan lainnya," beber Alus.
Dari berbagai tersebut, pihaknya tak mau rakyat Papua khususnya di Jayawijaya mengalami hal sama di waktu mendatang. "Kami sangat tidak ingin korban terus berjatuhan di atas tanahnya yang kaya susu dan madu ini," ujarnya.
Ia meminta, jika Bupati Wempi Wetipo ingin melindungi diri dari kasus-kasus korupsi, maka cari cara lain.
"Caranya bukan seperti ini yang mengorbankan rakyat. Rakyatlah yang memilihmu untuk pimpin Jayawijaya dua periode (2008-2018). Untuk itu, tolong pikirkan, apa yang kamu beri untuk rakyat kecil di sana," pinta Himan.
Kalau bupati tetap pada prinsip, mama-mama yang hari-harinnya bekerja mencari nafkah dan biaya hidup di tempat dimana Mako Brimob dibangun itu, nasib mereka akan dikemanakan?
Frans Huby, juru bicara Solidaritas Mahasiswa Pemuda dan Alam semesta Papua (SMPASP) menegaskan, secara objektif kehadiran TNI/POLRI di Papua tidak pernah menjamin rasa aman.
Karena itu, untuk pembangunan Mako Brimob di Wamena benar-benar bukan keinginan murni masyarakat Jayawijaya.
"Kami menilai ini ada kepentingan politik di mana upaya pembangunan Mako Brimob ini diurus orang-orang tertentu sebagai salah satu syarat hadirnya Provinsi Papua Tengah," tegas Frans.
"Kalau pemerintah ingin tau, kebutuhan masyarakat Papua pada umumnya dan Jayawijaya khususnya adalah penanganan masalah HIV/AIDS, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kenapa pemerintah mengesampingkan persoalan HIV/AIDS, dan terus ngotot? Ada kepentingan apa di balik pembangunan Mako Brimob?"
Lebih lanjut ditegaskan, kehadiran Mako Brimob justru akan mempersempit ruang gerak masyarakat mengingat stigma-stigma yang diberikan pemerintah (aparat keamanan) seperti separatis, OPM, GPK, KSB dan lain-lain yang sudah ada dan melekat pada diri masyarakat.
"Masyarakat Papua di Jayawijaya akan termarjinalisasi, ditindas, dibungkam, dan bahkan dibunuh atas nama pembangunan dan stabilatas nasional," ujar Frans Huby.
DPRP Diminta Turun Dengarkan dari Rakyat
Rencana pembangunan Mako Brimob di Jayawijaya, ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Dalam situasi demikian, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) diminta ada sikap tegas.
Saat aksi di halaman kantor Gubernur Papua pada pekan kemarin, massa yang tergabung dalam SMPASP menyampaikan beberapa pernyataan terkait rencana pembangunan Mako Brimob itu.
SMPASP mendesak Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP segera melakukan investigasi bersama dan bangun diskusi dengan melibatkan aparat keamanan, pemerintah daerah, DPRD, mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat karena kabupaten Jayawijaya bukan daerah zona darurat perang.
Selain
itu, sebelum ada diskusi bersama semu pihak, diminta agar segera
hentikan upaya pendekatan kepada tiga distrik, yakni distrik Wouma,
distrik Asso-Lokobal, dan distrik Welesi untuk mencari legitimasi dari
masyarakat setempat demi memuluskan rencana pembangunan Mako Brimob.
"Untuk itu, kami mendesak kepada pemerintah provinsi Papua dan DPRP untuk segera investigasi bersama dan bangun diskusi dengan melibatkan semua elemen." Semua kepentingan pribadi dan kelompok tertentu dibuang jauh-jauh dan jangan menyelesaikan/menambah masalah dalam masalah. Karena rakyat west papua ingin PAPUA MERDEKA! Bukan mengurus kepentingan, kesejahtraan, pembangunan, pemekaran, UP4B dan lain-lain. Bupati dan Para elit politik di kabupaten jayawijaya stop memperalat masyarat untuk kepentingan pribadi.
"Tanah Papua Milik Orang Papua, Kami Berhak Merdeka Tanpa Indonesia, Indonesia Stop memaksa mengindonesiakan orang papua masuk dalam NKRI". (Admin)
Situs ini milik Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komute Kota Surabaya-Malang, copyright@SPM News Group Online Services dan dikelolah oleh Biro Pendidikan dan Propaganda.