photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » » RIAU MERDEKA ATAU OTONOMI KHUSUS

RIAU MERDEKA ATAU OTONOMI KHUSUS

RIAU MERDEKA ATAU OTONOMI KHUSUS


Jika ditahun 1956 Kongres Rakyat Riau (KRR) I melahirkan opsi perjuangan untuk berpisah dari Propinsi Sumatra Tengah, yang akhirnya melahirkan Propinsi Riau. Tiga puluh empat tahun kemudian di penghujung bulan Januari tepatnya tanggal 1 Februari 2000, dalam perhelatan sama yang bernama Kongres Rakyat Riau II, lahirlah opsi merdeka dari tiga pilihan yang ada yaitu merdeka, otonomi khusus ataupun negara federasi. Dari 623 peserta yang hadir; 270 orang memilih opsi merdeka, 199 orang memilih otonomi khusus dan 146 suara memilih Negara federal.
RIAU MERDEKA ATAU OTONOMI KHUSUS

Semua terperagah antara percaya dengan tidak, keberanian yang diselimuti ketakutan, keseriusan yang penuh keraguan. Keheningan dipecah oleh pernyataan Prof. Tabrani Rab yang katanya presiden pertama,” Kita ingin merdeka mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan lain-lain”. Waktupun berjalan presidenpun katanya berganti dan saat ini dipegang oleh Al Azhar yang katanya presiden kedua, sikap dan pernyataan politik hampir sama, ” Merdeka secara moral dan merdeka tanpa darah”.

Apakah benar Riau ingin merdeka? Melihat kondisi Riau yang masih diselimuti kemiskinan ditengah kekayaan, beraksesoris kebodohan, ketertinggalan dan keterbelakangan, maka jawabannya, ”merdeka yes”. Merdeka disini dipahami dalam kerangka, ingin lepas dari ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan dan ketidak berdayaan. Terlalu lama Riau terpuruk dalam jurang kemiskinan diantara limpahan kekayaan sumberdaya alam yang terpendam didalam bumi dan terhampar dipermukaannya.
Apapun opsi yang dikumandangkan, semuanya berangkat dari ekspresi kekecewaan masyarakat Riau dan aspirasi agar diberikan perhatian sehingga leluasa mengelola sumberdaya yang ada untuk mendukung proses mensejahterakan masyarakat, mengejar ketertinggalan dan menyelamatkan warisan untuk generasi masa depan yang hampir kehabisan kesempatan dan harapan.

Banyak kebijakan masa lalu yang kurang berpihak kepada masyarakat Riau. Lihatlah disisi pendidikan, walaupun sudah enam puluh satu tahun merdeka dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Ternyata dalam aspek pendidikan Riau jauh tertinggal, mulai dari pendidikan dasar sampai kepada pendidikan tinggi. Riau kaya dengan hasil migasnya tetapi baru beberapa tahun terakhir Riau memiliki jurusan Perminyakan, itupun di perguruan tinggi swasta. Riau kaya dengan hasil hutan tetapi Fakultas Kehutanan juga baru berdiri itupun sama di PTSjuga. Riau memiliki dua perusahaan pulp dan kertas terbesar di Asia dan ribuan hektar perkebunan Sawit tetapi Riau tidak memiliki satupun perguruan tinggi ataupun sekolah yang menjebatani tenagakerjanya kesana. Riau terhimpit dalam sistem sehingga baru dalam waktu terakhir memiliki fakultas kedokteran, baru memiliki jurusan-jurusan yang menopang sarjananya merebut pasar kerja yang melimpah di bumi Lancang Kuning ini.

Yang terjadi, diseluruh perusahaan Migas, Pulp and Paper, perusahaan kehutanan, industri Sawit dan berbagai pusat industri, masyarakat Riau hanya menjadi penonton. Tidak ada satupun perusahaan besar di Riau yang persentase tenaga kerja putra tempatan Riau yang mencapai angka 50%. Semuanya diisi oleh saudaranya yang berasal dari Riau, disisi lain tenaga kerja tempatan terpuruk diposisi-posisi marginal seperti security, buruh, office boy dan kalaupun ada yang tinggi ditempatkan diposisi yang selalu bersentuhan dengan masyarakat seperti; humas, community development, koordinator security dan sejenisnya. Ditempatkan dalam ruang kaca dan dijadikan ”bonsai”. Indah dilihat tetapi tidak memiliki otoritas cukup tinggi dan tidak bisa juga dibilang rendah karena selalu mewakili institusi.

Hal yang sama juga terjadi dengan dana pembangunan yang dialokasi pemerintah pusat ke Riau. Baik dari hasil minyak dan gas, hasil tambang, hasil hutan dan berbagai sumber pendapatan dari Riau yang selama ini menopang kehidupan berbangsa dan bernegara, Riau hanya mendapatkan sebagian kecil saja. Dari aspek politikpun tidak jauh berbeda, puluhan tahun hak-hak politik masyarakat Riau untuk dipimpin oleh putra terbaiknya dibatasi. Mulai dari jabatan bupati sampai gubernur, kalau mau jadi menteri cukup berhayal dalam mimpi.

Dibidang sosial budaya, kebangkitan Melayu yang merupakan identitas daerah ini baru hangat beberapa waktu terakhir ini. Daerah yang menyumbangkan bahasa ibunya sebagai pemersatu bangsa, terasa asing dengan bahasanya sendiri. Bahasa Indonesia seperti mendurhakai ibukandungnya bahasa Melayu Riau. Disisi lain, identitas Riau sebagai bangsa yang menjunjung nilai budaya, norma dan agama tercoreng dengan berbagai pusat bisnis yang menjajakan wanita. Riau menjadi pusat industri yang lepas kendali dan hampir kehilangan jati diri. Apa yang tersisa di Riau setelah enam puluh satu tahun merdeka. Kemiskinan meraja lela, kebodohan dimana-mana, Riau tertinggal dari aspek sosial, budaya, pendidikan dan juga agama.
Dibidang lingkungan masyarakat Riau terusir dari tanah nenek moyangnya, akibat keberadaan industri yang mendapat izin tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat Riau jangka panjang. Ribuan hektar hutan Riau diberikan kepada HPH ataupun HPHTI, sebagian lagi digunduli dan ditanami perkebunan kelapa sawit, hasil laut dan sungai mati karena pencemaran yang tidak pernah berhenti. Masyarakat Riau terpurut disudut-sudut kota, sudut kampung, tepi hutan dan tepi sungai.

Masyarakat Riaupun menjadi cengeng akibat derita tak berkesudahan, mudah merajuk karena tidak pernah mendapat perhatian dan pembelaan. Rasa malas dan putus asa menghinggapi yang bermuara hampir tidak peduli karena merasa daerahnya tidak miliknya lagi. Masyarakat Riau menjadi pencemburu dan menutup diri dengan isu ”putra daerah” sebagai wujud minta bagian dalam berbagai kesempatan. Sayangnya dalam kekalutan, kebimbangan dan keputusasaaan, saudaranya yang berasal dari luar Riau menyahuti dengan emosi dengan membuat pula benteng diri dalam berbagai bentuk organisasi.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Januari 2007 Forum Nasional Perjuangan Rakyat Riau untuk Otonomi Khusus (FNPRRO) dideklarasikan. Apakah ini refleksi perjuangan menuntut ketidak adilan ataupun sebatas kepentingan politik belaka, hanya Tuhan yang tahu jawabannya.

Sudah seharusnya menjadi perenungan bersama, bagaimana memberikan hal-hal yang selayaknya kepada Riau. Melakukan proses percepatan pembangunan agar bisa seiring sejalan dengan propinsi lain sehingga siap menghadapi tantangan masa depan. Keikhlasan dan kebesaran jiwa bangsa ini melihat sumbangsih dan kesetiaan Riau untuk tetap bertahan dalam bingkai negara kesatuan, seharusnya dijadikan motor penggerak untuk segera menunjukkan kepedulian dengan memberikan keadilan.

Riau tidak dilahirkan untuk menjadi penghianat, kultur Riau adalah kultur persahabatan, persaudaraan, kesederhanaan dan kesetiaan. Sejarah panjang masyarakat Riau sejak dulu kala menunjukkan sebuah bukti daerah ini patut dihargai dan dihormati.

Dalam gegap gempita gerakan otonomi khusus yang diikuti gerakan merdeka yang hampir tidak bersuara, kesimpulan yang ada bahwa Riau ternyata masih rindu dan cinta dengan bangsa Indonesia dan hanya menuntut perhatian sebagai anak tertua yang sudah banyak berkorban untuk adik-adiknya, mencurahkan segenap penghasilannya untuk membantu orang dan selalu sabar dalam derita, dalam usia sudah dewasa ingin mandiri mengatur hidup dan keungannya sendiri serta mintapula dikasihi, diperhatikan dan dicintai.
Diposkan oleh AZIZON NURZA, SPi, MM di 00.22
Share this post :