RIAU MERDEKA ATAU OTONOMI KHUSUS
Jika ditahun 1956 Kongres Rakyat Riau (KRR) I melahirkan opsi perjuangan untuk berpisah dari Propinsi Sumatra Tengah, yang akhirnya melahirkan Propinsi Riau. Tiga puluh empat tahun kemudian di penghujung bulan Januari tepatnya tanggal 1 Februari 2000, dalam perhelatan sama yang bernama Kongres Rakyat Riau II, lahirlah opsi merdeka dari tiga pilihan yang ada yaitu merdeka, otonomi khusus ataupun negara federasi. Dari 623 peserta yang hadir; 270 orang memilih opsi merdeka, 199 orang memilih otonomi khusus dan 146 suara memilih Negara federal.
RIAU MERDEKA ATAU OTONOMI KHUSUS
Semua terperagah antara percaya dengan tidak, keberanian yang
diselimuti ketakutan, keseriusan yang penuh keraguan. Keheningan dipecah
oleh pernyataan Prof. Tabrani Rab yang katanya presiden pertama,” Kita
ingin merdeka mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
lain-lain”. Waktupun berjalan presidenpun katanya berganti dan saat ini
dipegang oleh Al Azhar yang katanya presiden kedua, sikap dan pernyataan
politik hampir sama, ” Merdeka secara moral dan merdeka tanpa darah”.
Apakah benar Riau ingin merdeka? Melihat kondisi Riau yang masih
diselimuti kemiskinan ditengah kekayaan, beraksesoris kebodohan,
ketertinggalan dan keterbelakangan, maka jawabannya, ”merdeka yes”.
Merdeka disini dipahami dalam kerangka, ingin lepas dari ketertinggalan,
kemiskinan, kebodohan dan ketidak berdayaan. Terlalu lama Riau terpuruk
dalam jurang kemiskinan diantara limpahan kekayaan sumberdaya alam yang
terpendam didalam bumi dan terhampar dipermukaannya.
Apapun opsi yang dikumandangkan, semuanya berangkat dari ekspresi
kekecewaan masyarakat Riau dan aspirasi agar diberikan perhatian
sehingga leluasa mengelola sumberdaya yang ada untuk mendukung proses
mensejahterakan masyarakat, mengejar ketertinggalan dan menyelamatkan
warisan untuk generasi masa depan yang hampir kehabisan kesempatan dan
harapan.
Banyak kebijakan masa lalu yang kurang berpihak kepada masyarakat
Riau. Lihatlah disisi pendidikan, walaupun sudah enam puluh satu tahun
merdeka dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Ternyata dalam
aspek pendidikan Riau jauh tertinggal, mulai dari pendidikan dasar
sampai kepada pendidikan tinggi. Riau kaya dengan hasil migasnya tetapi
baru beberapa tahun terakhir Riau memiliki jurusan Perminyakan, itupun
di perguruan tinggi swasta. Riau kaya dengan hasil hutan tetapi Fakultas
Kehutanan juga baru berdiri itupun sama di PTSjuga. Riau memiliki dua
perusahaan pulp dan kertas terbesar di Asia dan ribuan hektar perkebunan
Sawit tetapi Riau tidak memiliki satupun perguruan tinggi ataupun
sekolah yang menjebatani tenagakerjanya kesana. Riau terhimpit dalam
sistem sehingga baru dalam waktu terakhir memiliki fakultas kedokteran,
baru memiliki jurusan-jurusan yang menopang sarjananya merebut pasar
kerja yang melimpah di bumi Lancang Kuning ini.
Yang terjadi, diseluruh perusahaan Migas, Pulp and Paper, perusahaan
kehutanan, industri Sawit dan berbagai pusat industri, masyarakat Riau
hanya menjadi penonton. Tidak ada satupun perusahaan besar di Riau yang
persentase tenaga kerja putra tempatan Riau yang mencapai angka 50%.
Semuanya diisi oleh saudaranya yang berasal dari Riau, disisi lain
tenaga kerja tempatan terpuruk diposisi-posisi marginal seperti
security, buruh, office boy dan kalaupun ada yang tinggi ditempatkan
diposisi yang selalu bersentuhan dengan masyarakat seperti; humas,
community development, koordinator security dan sejenisnya. Ditempatkan
dalam ruang kaca dan dijadikan ”bonsai”. Indah dilihat tetapi tidak
memiliki otoritas cukup tinggi dan tidak bisa juga dibilang rendah
karena selalu mewakili institusi.
Hal yang sama juga terjadi dengan dana pembangunan yang dialokasi
pemerintah pusat ke Riau. Baik dari hasil minyak dan gas, hasil tambang,
hasil hutan dan berbagai sumber pendapatan dari Riau yang selama ini
menopang kehidupan berbangsa dan bernegara, Riau hanya mendapatkan
sebagian kecil saja. Dari aspek politikpun tidak jauh berbeda, puluhan
tahun hak-hak politik masyarakat Riau untuk dipimpin oleh putra
terbaiknya dibatasi. Mulai dari jabatan bupati sampai gubernur, kalau
mau jadi menteri cukup berhayal dalam mimpi.
Dibidang sosial budaya, kebangkitan Melayu yang merupakan identitas
daerah ini baru hangat beberapa waktu terakhir ini. Daerah yang
menyumbangkan bahasa ibunya sebagai pemersatu bangsa, terasa asing
dengan bahasanya sendiri. Bahasa Indonesia seperti mendurhakai
ibukandungnya bahasa Melayu Riau. Disisi lain, identitas Riau sebagai
bangsa yang menjunjung nilai budaya, norma dan agama tercoreng dengan
berbagai pusat bisnis yang menjajakan wanita. Riau menjadi pusat
industri yang lepas kendali dan hampir kehilangan jati diri. Apa yang
tersisa di Riau setelah enam puluh satu tahun merdeka. Kemiskinan meraja
lela, kebodohan dimana-mana, Riau tertinggal dari aspek sosial, budaya,
pendidikan dan juga agama.
Dibidang lingkungan masyarakat Riau terusir dari tanah nenek
moyangnya, akibat keberadaan industri yang mendapat izin tanpa
memperhatikan kepentingan masyarakat Riau jangka panjang. Ribuan hektar
hutan Riau diberikan kepada HPH ataupun HPHTI, sebagian lagi digunduli
dan ditanami perkebunan kelapa sawit, hasil laut dan sungai mati karena
pencemaran yang tidak pernah berhenti. Masyarakat Riau terpurut
disudut-sudut kota, sudut kampung, tepi hutan dan tepi sungai.
Masyarakat Riaupun menjadi cengeng akibat derita tak berkesudahan,
mudah merajuk karena tidak pernah mendapat perhatian dan pembelaan. Rasa
malas dan putus asa menghinggapi yang bermuara hampir tidak peduli
karena merasa daerahnya tidak miliknya lagi. Masyarakat Riau menjadi
pencemburu dan menutup diri dengan isu ”putra daerah” sebagai wujud
minta bagian dalam berbagai kesempatan. Sayangnya dalam kekalutan,
kebimbangan dan keputusasaaan, saudaranya yang berasal dari luar Riau
menyahuti dengan emosi dengan membuat pula benteng diri dalam berbagai
bentuk organisasi.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Januari 2007 Forum Nasional
Perjuangan Rakyat Riau untuk Otonomi Khusus (FNPRRO) dideklarasikan.
Apakah ini refleksi perjuangan menuntut ketidak adilan ataupun sebatas
kepentingan politik belaka, hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
Sudah seharusnya menjadi perenungan bersama, bagaimana memberikan
hal-hal yang selayaknya kepada Riau. Melakukan proses percepatan
pembangunan agar bisa seiring sejalan dengan propinsi lain sehingga siap
menghadapi tantangan masa depan. Keikhlasan dan kebesaran jiwa bangsa
ini melihat sumbangsih dan kesetiaan Riau untuk tetap bertahan dalam
bingkai negara kesatuan, seharusnya dijadikan motor penggerak untuk
segera menunjukkan kepedulian dengan memberikan keadilan.
Riau tidak dilahirkan untuk menjadi penghianat, kultur Riau adalah
kultur persahabatan, persaudaraan, kesederhanaan dan kesetiaan. Sejarah
panjang masyarakat Riau sejak dulu kala menunjukkan sebuah bukti daerah
ini patut dihargai dan dihormati.
Dalam gegap gempita gerakan otonomi khusus yang diikuti gerakan
merdeka yang hampir tidak bersuara, kesimpulan yang ada bahwa Riau
ternyata masih rindu dan cinta dengan bangsa Indonesia dan hanya
menuntut perhatian sebagai anak tertua yang sudah banyak berkorban untuk
adik-adiknya, mencurahkan segenap penghasilannya untuk membantu orang
dan selalu sabar dalam derita, dalam usia sudah dewasa ingin mandiri
mengatur hidup dan keungannya sendiri serta mintapula dikasihi,
diperhatikan dan dicintai.
Diposkan oleh AZIZON NURZA, SPi, MM di 00.22
Diposkan oleh AZIZON NURZA, SPi, MM di 00.22