Apa yang
terjadi jika warga Papua New Gunea, Vanuatu, Fiji, Kepulauan Solomons, Timor Leste dan Kanaky bangkit dan
mendesak pemimpin mereka untuk mendukung Papua Barat?
Penulis : Jason MacLeod
Jalan
masih panjang untuk ditempuh tapi pengakuan Indonesia atas kemerdekaan Papua
Barat yang didorong pada pertemuan regional minggu lalu merupakan sebuah
terobosan. Jason MacLeod menjelaskannya mengapa.
Papua
Barat baru saja memenangkan kemenangan luar biasa di pertemuan Melanesian
Spearhead Group (MSG) di Noumea.
Ketika
kepala-kepala pemerintahan dan orang-orang terhormat dari bangsa-bangsa
Melanesia berkumpul untuk pertemuan tahunan MSG di akhir Juni, item yang paling
menonjol pada aggenda adalah keanggotaan Papua Barat. Ini adalah hasil dari
kerja selama 18 bulan oleh John Otto Ondawame, Rex Rumakiek, Andy Ajamiseba dan
Paula Makabory, kelompok yang mengkoordinir West Papua National Coalition of
Liberation (WPNCL), sebuah grup Papua Barat yang menjadi payung organisasi perlawanan di
dalam dan luar negeri.
Pada
pertemuan itu, perwakilan pemerintah Indonesia (yang baru-baru diberi status
pengamat oleh MSG) secara publik mengakui bahwa Papua Barat telah menjadi
masalah internasional. Ini sungguh-sungguh signifikan; selama berpuluh-puluh
tahun pemerintah Indonesia telah bersikeras bahwa Papua Barat adalah isu
internal. Jakarta telah berulangkali
menolak semua tawaran bantuan internasional untuk menyelesaikan konflik
berkepanjangan ini.
Akan
tetapi, sebagaimana dicatat oleh delegasi Papua Barat, pemerintah Indonesia
sangat sadar bahwa anggota-anggota MSG telah secara berhasil mendukung
dorongan-dorongan pada masa lalu untuk dekolonisasi di Vanuatu, Timor Leste,
Kanaky (New Caledonia), dan sekarang Maohi Nui (Polynesia Perancis yang
mencakup Tahiti).
Dalam
pernyataan resmi, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dari
Pemerintah Indonesia, Djoko Suyanto mengundang menteri-menteri luar negeri MSG
untuk mengunjungi Indonesia untuk mengamati pembangunan secara umum, yang juga
mencakup kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat. Menteri senior itu
mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mendukung rencana itu.
Pemerintah
negara-negara Melanesia-- Papua New Guinea, Vanuatu, Fiji, Solomon Islands, dan
FLNKS (Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste, the National
Socialist Liberation Front for Kanaky, sebuah koalisi dari empat badan yang
pro-kemerdekaansepertinya akan mengunjungi Indonesia dalam jangka waktu enam
bulan ke depan, bergantung pada negosiasi dengan Pemerintah Indonesia.
Secara
kolektif, bangsa-bangsa MSG dapat mendesak agar Papua Barat dikembalikan pada
daftar negara-negara yang belum didekolonisasi, dan karenanya membuat Papua
Barat menjadi perhatian Komite Dekolonisasi PBB. Bahwa mereka telah mengundang
lima pemerintah asing untuk melihat situasi di Papua Barat menampakkan betapa
mereka khawatir.
Jika
mereka berkunjung ke Papua Barat, menteri-menteri luar negeri harus menentukan
siapa yang mewakili bangsa Papua Barat: Pemerintah Indonesia, Republik Federal Papua Barat, atau
West Papua National Coalition. MSG mesti memutuskan sendiri hal ini atas
desakan Commodore Vorenqe Bainimarama, kepala pemerintahan militer Fiji, dengan
dukungan dari Sir Michael Somare dari Papua New Guinea. Permohonan West Papua
National Coalition untuk mendapatkan status pengamat atau anggota di MSG
ditunda setelah intervensi pada menit terakhir oleh Jacob Rumbiak, seorang
Papua Barat yang berada di pengasingan, yang mendesak bahwa mereka bukan
perwakilan yang sah dari rakyat Papua Barat.
Semua ini
membuat enam bulan ke depan sungguh-sungguh menarik.
Beberapa
hal bisa kita prediksi dengan peluang yang cukup besar. Pertama, pemerintah
Indonesia akan berusaha untuk membeli pemimpin-pemimpin politik Melanesia.
Dengan korupsi endemik di banyak negara Melanesia, penegakkan hukum yang lemah,
derajat kebebasan pers yang beragam dan pertaruhan kepentingan politik dan
ekonomi, mereka mungkin berhasil. Tentu saja, orang-orang Papua tidak akan bisa
berkompetisi dengan kemurahan hati Indonesia.
Pemerintahan
militer Bainimarama telah memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Indonesia
sehingga ia tampaknya tidak akan menolaknya. Tanpa kebebasan press atau
demokrasi di Fiji, ini akan lebih sulit bagi orang-orang Fiji untuk mendesak
bahwa orang-orang Papua seharusnya hidup terbebas dari sepatu Indonesia.
Papua New
Guinea cukup rentan. Sejumlah politisi PNG, sangat kentara Sir Michael Somare,
sangat berkepentingan di pembalakan kayu, perkebunan kelapa sawit, dan rantai
supermarkat dengan pemerintah Indonesia dan militer. Politisi PNG yang lain
akan cemas dengan ketidakstabilan sepanjang batas dengan Papua Barat. Militer
Indonesia telah berkali-kali melanggar batas ke teritori PNG dalam usaha untuk
mengejar orang Papua yang melanggar, termasuk aktivis non-kekerasan yang
mencari suaka. Itu dapat diupayakan sebagai dukungan untuk demiliterisasi Papua
Barat, posisi yang didukung oleh sejumlah politisi PNG.
Kepulauan
Solomon juga rentan terhadap pengaruh Indonesia. dari semua negara Melanesia,
Kep. Solomon memiliki kesadaran terendah akan pendudukan pemerintah Indoensia
atas Papua Barat. Mereka adalah tempat yang substansial untuk kepentingan
logging Indonesia dan Malaysia.
Mengatakan
semua itu, hal ini harus diperhatikan bahwa Gordon D. Lilo, perdana menteri
Kep. Solomon, mengatakna kepada anggota West Papua National Coalition for
Liberation bahwa kasus Papua Barat adalah isu dekolonisasi yang tidak lengkap,
itu telah berlangsung terlalu lama; itu harus diselesaikan sekarang.
Pemerintah
Vanuatu dan FLNKS akan lebih kurang tanggap dengan tawaran Indonesia. Di
Vanuatu tahun lalu pemerintahnya digulingkan oleh kemarahan yang cukup besar
terhadap hubungan dekat perdana menteri saat itu, Sato Kilman, dengan
pemerintah Indonesia. Perdana menteri yang sekarang, Moana Carcases Kalosil,
adalah pendukung yang kuat terhadap kemerdekaan Papua Barat. FLNKS juga
menautkan keberuntungan politik mereka kepada nasib baik perjuangan Papua Barat
untuk referendum melalui bingkai solidaritas Melanesia.
Kita juga
bisa menjamin bahwa pemerintah Australia dan Selandia Baru akan memutar kembali
mantra usang mereka bahwa mereka mendukung keutuhan teritorial pemerintah
Indonesia. Dalam sebuah artikel pada edisi Juni The Monthly Hugh White, pakar strategi merekomendasiakn pemerintah
Australia untuk melepaskan concern apa
pun terkait dengan hak azasi manusi di Papua Barat demai kepentingan politik
dan ekonomi.
Tetapi
menteri dari kedua belah pihak Tasmania secara diam-diam mengakui bahwa
pengaruh mereka terhadap kebijakan luar negeri Indonesia telah surut. Pertemuan
MSG di Noumea secara jelas memperlihatkan betapa kebijakan luar negeri
Australia dan Selandai Baru yang tidak relevan terhadap Papua Barat telah
terjadi dan seberapa MSG telah menjadi dewasa sebagai sebuah badan politik regional.
Akan
tetapi, ketegangan yang familiar antara kelompok-kelompok perlawanan Papua
Barat mencuat dalam pertemuan di Noumena. Patahan yang menonjol, diekspose oleh
sebuah artikel di The Island Business,
adalah antara West Papua National Coalition for Liberation dan Federal Republic
of West Papua, yang sama-sama mengklaim sebagai perwakilan bangsa Papua.
Baik
National Coalition dan the Federal Republic melamar untuk menjadi anggota MSG.
Perwakilan the National Coalition menetap di Vanuatu dengan akses yang mudah ke
sekretariat MSG di Port Vila, namun kepemimpinan the Federal Republic berada di
penjara, dihukum tiga tahun penjara karena deklarasi kemerdekaan yang
bermartabat dan tanpa kekerasan pada 19 Oktober
2011. Dialog di antara kedua kelompok ini sangat sengit.
Ketika
Forkorus Yaboisembut, Presiden dari the Federal Republic of West Papua
mengetahui permohonan the National Coalition pada awal tahun ini, ia menulis
kepada Direktur Jenderal MSG. Dalam surat itu, dengan sangat sopan Yaboisembut
menarik permohonannya, mengatakan:
Sebaliknya
kami memohon agar surat ini dipandang semata sebagai surat dukungan dari Papua
Barat untuk permohonan bagi [the National Coalition] untuk menjadi anggota MSG
dan sebagai sarana perkenalan Republik Federal Papua Barat kepada MSG untuk
tujuan-tujuan ke depan.
Ini, dan
fakta bahwa untuk jangka waktu yang pendek pada akhir 2010-2011 keduanya
merupakan bagian dari struktur pengambilan keputusan bersama, memperlihatkan
bahwa kerjasama sangatlah mungkin. Orang Papua kini memiliki waktu selama enam
bulan untuk menata rumahnya. Ini bisa jadi melibatkan koalisi politik di antara
kelompok-kelompok resistensi, seperti model yang berhasil di Timor Leste dan
Kanaky, atau penyatuan di bawah visi bersama yang serupa dengan Piagam
Kebebasan African National Congress.
Ketika
menteri-menteri luar negeri dari MSG sungguh mengunjungi Papua Barat mereka
akan ditemani oleh media internasionalkemenangan bagi orang Papua yang telah
lama menuntut negara mereka dibuka untuk media asing.
Kalau, di
sisi lain, pemerintah Indonesia mendesak agar jurnalist tidak diikutkan dalam
kunjungan MSG, mereka malah hanya akan menguatkan persepsi internasional bahwa
mereka sungguh-sungguh menyembunyikan sesuatu.
Bagaimana
pun, orang Papua, seperti Timor Leste sebelum mereka yang bermobilisasi ketika
Paus Johanes Paulus II berkunjung pada 1989, akan menggunakan kesempatan ini
untuk mendaftarkan teriakan mereka untuk merdeka sebanyak yang belum pernah
dilihat sebelumnya.
Seruan
seperti itu boleh jadi didengar lebih jauh daripada Papua Barat, yang telah
menjadi isu politik yang meledak di Melanesia. Ikatan antara orang Papua dan
kerabat Melanesia mereka menjadi lebih dekat daripada yang pernah ada; apa yang
terjadi jika warga PNG, Vanuatu, Fiji, Kep. Solomons dan Kanaky bangkit dan
mendesak pemimpin mereka untuk mendukung Papua Barat? Penggulingan pemerintahan
Sato Kilman di Vanuatu adalah cerita yang layak diperhatikan.
Bagaimana
negara Indonesia akan berekasi? Sepertinya mereka akan menunjuk pada uang yang
sudah mereka limpahkan ke Papua Baratyang manfaatnya telah mengalir kepada
perusahaan transnasional dan elite-elite Papua, sementara malah memiskinkan
lebih jauh orang asli Papua. Mereka akan beralasan bahwa Papua Barat adalah
demokrasi; bahwa orang-orang Papua dipilih oleh masyarakat mereka sendiri. Itu
betul, tapi pemerintah Indonesia menyangkal hak orang Papua untuk membentuk
partai politik mereka sendiri. Dalam kenyataan Papua Barat adalah pos terdepan
kolonial yang diatur dari Jakarta.
Tahan
politik Papua memenuhi penjara, bukti penyiksaan sistemik bocor keluar, dan
mayat orang-orang Papua yang dibunuh oleh polisi dan militer menumpuk (seperti
dugaan pembunuhan 40 orang Papua di wilayah Puncak Jaya pada bulan-bulan
belakangan ini).
Akhirnya,
pemerintah Indonesia akan menyebut orang-orang Papua sebagai terosisme yang menyimpang
atau suatu upaya yang dikendalikan oleh asing. Propaganda semacam ini adalah
pilihan yang terakhir dari penguasa otoritarian. Tokoh-tokoh militer Indonesia mengatakan
bahwa gerilyawan bersenjata berjumlah sedikit lebih banyak dari 1000 pejuang
purna-waktu, sebagian besar di antaranya tidak aktif. Sebaliknya, jumlah
gerakan tanpa kekerasan puluhan ribu dan mereka berada di jalanan setiap
minggu, jika tidak setiap hari. Gerekan kemerdekaan Papua Barat adalah
perlawanan berbasis pada warga tanpa kekerasan terhadap pemerintahan Indonesia yang
berkepanjangan.
Pemerintah
Indonesia tidak lagi dapat ber-concern bahwa
Papua Barat, seperti Timor Leste sebelumnya, akan menjadi isu internasional.
Itu sudah sangat terlambat. Papua Barat sudah menjadi isu internasional.
Dalam
enam bulan ke depan pekerjaan Jakarta akan berupa tekanan untuk membuat Papua
taat sementara berusaha untuk meminimalisasi represi. Pekerjaan Papua adalah
untuk merongrong legitimasi pemerintah Indonesia dan menaikkan biaya politik
dan ekonomi dari okupasi itu. Pertaruhan sangat tinggi tapi potensi imbalnya
juga besar: kemerdekaan.
Dr. Jason MacLeod adalah peneliti dan trainer
di Pusat
Australia untuk Studi
Perdamaian dan Konflik, di Brisbane,
Australia. Ia pengajar di
University of Queensland.
Artikel ini diterjemahkan dari
artikel bahasa Inggris yang dimuat di newmatilda.com dengan izin resmi pennulis. Jika Anda berminat membaca artikel-artikel Jason MacLeod kliki di sini.
Translator : Johanes Supriyono