Perusahan Kelapa Sawit di Nabire Papua Segera"Angkat Kaki"
Perkebunan Kelapa Sawit milik PT Nabire Baru di Nabire, Papua/Foto: SP |
Malang, AMP --
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang-Surabaya mengutuk tindakan
perusahan kelapa sawit yang menggunakan jasa aparat keamanan untuk
melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat pemilik hak ulayat di
Kampung Sima, Nabire, Papua.
Seperti dikutip dari suarapapuacom, AMP mengatakan, perusahan kelapa sawit PT. Nabire Baru beroperasi di Nabire tanpa mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat suku besar Yerisiam sebagai pemilik hak ulayat.
�Tanpa dasar hukum yang jelas PT. Nabire Baru masuk dan beroperasi, kepala suku setempat telah tolak kehadiran perusahan, apalagi menggunakan jasa aparat keamanan," ujar AMP, dalam pernyataan tertulis kepada suarapapua.com, Selasa, (27/1/2015).
Menurut AMP, Kepala suku besar suku Yerisiam juga telah meminta pertanggungjawaban perusahan atas pengambilan kayu putih/mix dalam proses land clearing dan penggunaan material pasir tanpa membayar hak ulayat kepada suku Yerisiam sebagai pemilik hak ulayat di kampung Sima, Distrik Yaur, Nabire.
AMP juga menilai, berbagai persoalan yang dibuat militer Indonesia telah sangat meresahkan warga, dan kehadirannya tidak memberikan kontribusi positif, malahan sering terjadi pembantaian dan penangkapan terhadap masyarakat adat.
�Dengan tegas tarik Brimob PAM atau militer Indonesia di lokasi perkebunan, dan secara umum dari di Tanah Papua. Kami prihatin melihat kondisi masyarakat di sana yang selalu diintimidasi oleh aparat keamanan,� tulis AMP.
AMP juga menilai, insiden penyiksaan dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), apalagi dilakukan dengan cara-cara yang sistematis untuk memusnahkan etnis Melanesia di Papua.
�Tindakan militer seperti pembantaian, penembakan, dan pemenjarahan masih dilakukan hingga saat ini, secara khusus di areal perkebunan PT. Nabire Baru, mereka harus ditarik dari Nabire," tulis AMP.
�Pembantaian-pembantaian tersebut dilakukan dengan permainan politik Indonesia untuk memusnahkan etnis Papua secara perlahan-lahan,� lanjut AMP.
AMP juga mengatakan, operasi-operasi militer Indonesia sejak 1963 hingga saat ini masih terus dilakukan dengan cara-cara yang sistematis, dan diduga bertujuan memusnahkan orang Papua.
AMP menuntut, pertama, tarik militer (TNI/POLRI) organik maupun non-organik dari seluruh tanah Papua; kedua, hentikan seluruh aktivitas eksploitasi di seluruh tanah Papua; dan ketiga, berikan kebebasan dan Hak Menentukan Nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi seluruh Rakyat Papua.
Seperti dikutip dari suarapapuacom, AMP mengatakan, perusahan kelapa sawit PT. Nabire Baru beroperasi di Nabire tanpa mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat suku besar Yerisiam sebagai pemilik hak ulayat.
�Tanpa dasar hukum yang jelas PT. Nabire Baru masuk dan beroperasi, kepala suku setempat telah tolak kehadiran perusahan, apalagi menggunakan jasa aparat keamanan," ujar AMP, dalam pernyataan tertulis kepada suarapapua.com, Selasa, (27/1/2015).
Menurut AMP, Kepala suku besar suku Yerisiam juga telah meminta pertanggungjawaban perusahan atas pengambilan kayu putih/mix dalam proses land clearing dan penggunaan material pasir tanpa membayar hak ulayat kepada suku Yerisiam sebagai pemilik hak ulayat di kampung Sima, Distrik Yaur, Nabire.
AMP juga menilai, berbagai persoalan yang dibuat militer Indonesia telah sangat meresahkan warga, dan kehadirannya tidak memberikan kontribusi positif, malahan sering terjadi pembantaian dan penangkapan terhadap masyarakat adat.
�Dengan tegas tarik Brimob PAM atau militer Indonesia di lokasi perkebunan, dan secara umum dari di Tanah Papua. Kami prihatin melihat kondisi masyarakat di sana yang selalu diintimidasi oleh aparat keamanan,� tulis AMP.
AMP juga menilai, insiden penyiksaan dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), apalagi dilakukan dengan cara-cara yang sistematis untuk memusnahkan etnis Melanesia di Papua.
�Tindakan militer seperti pembantaian, penembakan, dan pemenjarahan masih dilakukan hingga saat ini, secara khusus di areal perkebunan PT. Nabire Baru, mereka harus ditarik dari Nabire," tulis AMP.
�Pembantaian-pembantaian tersebut dilakukan dengan permainan politik Indonesia untuk memusnahkan etnis Papua secara perlahan-lahan,� lanjut AMP.
AMP juga mengatakan, operasi-operasi militer Indonesia sejak 1963 hingga saat ini masih terus dilakukan dengan cara-cara yang sistematis, dan diduga bertujuan memusnahkan orang Papua.
AMP menuntut, pertama, tarik militer (TNI/POLRI) organik maupun non-organik dari seluruh tanah Papua; kedua, hentikan seluruh aktivitas eksploitasi di seluruh tanah Papua; dan ketiga, berikan kebebasan dan Hak Menentukan Nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi seluruh Rakyat Papua.
AMP Komite Kota Malang-Surabaya