photo fgr_zpsa263fa65.gif

Headlines News :
Home » » Selamatkan Hak Milik dan Hidup Orang Papua

Selamatkan Hak Milik dan Hidup Orang Papua

Semua hasil karya yang dimuat di situs ini baik berupa teks, gambar dan suara serta segala bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta SPM Group Online
Tulis text anda disini

Selamatkan Papua (Foto: Ist)
 Oleh: Ernest Pugiye* 

Sayang sekali jika kita mengalami langsung betapa asingnya hak milik dan hak hidup manusia dan alam Papua di negerinya sendiri. Sejak Papua dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia 1 Maret 1963, hak milik dan hidup rakyat Papua sudah semakin nyaris memprihatinkan. Hingga kini, orang Papua masih tetap kehilangan hak hidup dan hak milik tanah Papua.

Memang, pemerintah RI dengan berbagai kebijakan telah menjaga hak-hak rakyat dan alam Papua demi keselamatan Papua. Diantaranya seperti, UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, UP4B, dan Otonomi Plus yang kini dipaksakan oleh pemerintah pusat di Papua.

Namun realisasinya, pemerintah belum menjamin kehidupan rakyat Papua secara penuh. Rakyat kini tetap menjadi terasing dari negerinya sendiri. Baik aspek pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan ekonomi serta politik hanya tetap saja nyaris merosot.

Harus diakui bahwa bahasa manusia paling amat terbatas untuk menjelaskan kompleksitasnya masalah Papua hanya jika kita secara langsung mau terlibat dalam seluk beluk persoalan hidup rakyat Papua. Keselamatan seolah-olah telah kembali pada dirinya sendiri.

Bagaimana pemerintah harus mau menyatakan keselamatan bagi Papua?

Kepemilikan Bersama

Saat ini, rakyat butuh keselamatan duniawi. Keselamatan ini teramat berkaitan erat dengan penyelamatan hak milik dan hak hidup rakyat Papua di negerinya sendiri.

Ada sebuah realitas nyata bahwa hidup berkomunitas adalah letak dasar dari keselamatan. Dikatakan demikian karena keselamatah itu biasa dialami dalam komunitas. Hak atas hidup dan tanah Papua adalah milik komunitas Melanesia demi keselamatan sejati. Tanpa komunitas, tidak ada keselamatan bagi Papua.

Dalam arti lain, Papua baik secara eksistensial maupun substansial sudah merupakan milik bersama. Tidak ada istilah hidup individualis bagi mereka. Mungkin, hidup individualistic ini paling cocok bagi dunia Barat di sana. Tapi bagi Papua, mereka ada dan hidup justru karena kepemilikan bersama.

Kepemilikan bersama ini tidak boleh diganggu gugat jika pemerintah hendak menjamin hak hidup dan hak milik rakyat Papua. Karena itu, berbagai kebijakan, apapun bentuk dan wujudnya yang diterapkan oleh pemerintah harus mau memperhitungkan kepemilikan bersama ini.

Sejauh pemerintah tidak mengutamakan nilai kepemilikan bersama dalam membangun Papua, maka sejauh itu pula pemerintah telah gagal membangun Papua. Juga pemerintah tidak berada bersama rakyat dan alam Papua. Bahkan pemerintah hanya menyatakan diri sebagai beban hidup yang paling berat bagi rakyat dan alam Papua. Padahal pemerintah hadir sebagai tanda keselamatan bagi rakyat dan alam Papua.

Perlu dipahami bahwa nilai fundamental yang terpatri dalam komunitas Papua yakni relasi serasi. Relasi ini merupakan nilai dasar yang mampu membingkai komunitas mereka. Relasi kasih menjadi inspirasi dasar bagi komunitas Papua.

Berbagai hal yang menyangkut kehidupan Papua biasanya dinyatakan melalui relasi serasi oleh mereka. Tanpa relasi, mereka tak pernah hidup sebagai komunitas di Tanah Melanesia.

Di sinilah, kita bisa memahami bahwa relasi ini hendak mengarahkan rakyat Papua pada budaya resiprositas. Nilai resiprositas menjadi bagian integral yang tidak dipisahkan dari nilai relasi serasi, hidup berkomunitas dan nilai keselamatan duniawi yang dihayati oleh orang asli Papua. Maka dengan berpedoman pada nilai-nilai ke-Melanesia-an ini, pemerintah dalam membangun Papua mesti mau memberikan diri dan hidupnya bagi penegakkan hak milik dan hak hidup rakyat dan alam Papua demi keselamatan sejati.

Filosofi Papua

Pemerintah dalam membangun Papua harus mengambil dan berlandaskan diri pada filosofi Papua. Menurut saya, ada empat filosofi yang dihayati oleh rakyat Papua yakni: melihat, mendengar, berpikir dan bekerja. Keempat filosofi ini mengandung dan melahirkan sikstem kehidupan secara sejati bagi Papua.

Nampak jelas, ada hubungan yang amat berkaitan erat ketika rakyat Papua menghayati keempat filosofi ini. Perlu dipahami secara mendalam bahwa keempat filosofi ini adalah nafas kehidupan bagi mereka dalam membangun Papua. Mereka pun diarahkan oleh keempat filosofi dasar tersebut. Ini Papua punya pikiran.

Justru persoalan muncul di Papua pada setiap saat yakni perampasan hak ulayat yang merupakan kepemilikan bersama bagi Papua. Kepemilikan hak atas hidup dan tanah dari setiap komunitas suku bangsa Papua diambil secara sepihak oleh pemerintah dengan menghalalkan segala cara yang bersifat semu. Apalagi, Papua ini semakin diwarnai dengan berbagai pemekaran wilayah.

Seperti perampasan tanah adat Papua yang dilakukan oleh pemerintah dengan alasan pembangunan di Kabupaten Keerom, masyarakat Pegunungan Bintang dan rakyat Kabupaten Dogiyai serta rakyat Papua di Kabupaten Lanny Jaya yang sedang mengungsi dan korban kekerasan militer atas 5 warga sipil tidak berdosa, bahkan memenjarakan dua orang wartawan asing.

Lalu di Timika hari ini, dikabarkan bahwa enam warga sipil ditembak mati dan pelakunya belum dipublikasikan.

Bagi Papua, nilai kehidupan mulai semakin terasa kembali pada dirinya sendiri. Sementara pemerintah dan para pengusaha telah semakin berdamai di atas jeritan dan tangisan rakyat Papua.

Biasanya, pemerintah lebih mengutamakan pengamanan diri di balik semua realitas konflik Papua. Karena itu, berbagai konflik Papua biasa dianggap sulit untuk dituntaskan secara komprehensif.

Saya pikir, keselamatan bagi Papua menjadi sebuah kenyataan konkret hanya apabila pemerintah berani, rela dan segera melaksanakan dialog Jakarta-Papua. Karena dialog adalah kata kunci untuk membuka pintu perdamaian, keselamatan sejati bagi Papua. Itu sudah!


*Ernest Pugiye adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua

Sumber: DI SINI
Share this post :